BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

lebih ramah lingkungan, dapat diperbarui (renewable), dapat terurai

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DESKRIPSI PROSES

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum)

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab IV Hasil dan Pembahasan

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET

BAB I PENDAHULUAN. minyak ikan paus, dan lain-lain (Wikipedia 2013).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

: Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT.

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI )

A. Sifat Fisik Kimia Produk

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Prarancangan Pabrik Biodiesel dari Biji Tembakau dengan Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. oksigen. Senyawa ini terkandung dalam berbagai senyawa dan campuran, mulai

PEMBUATAN BIODIESEL. Disusun oleh : Dhoni Fadliansyah Wahyu Tanggal : 27 Oktober 2010

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

4 Pembahasan Degumming

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES

I. PENDAHULUAN. produksi biodiesel karena minyak ini masih mengandung trigliserida. Data

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

PROSES TRANSESTERIFIKASI MINYAK BIJI KAPUK SEBAGAI BAHAN DASAR BIODIESEL YANG RAMAH LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat. Selain itu konsumen

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

INTENSIFIKASI BIODIESEL DARI MINYAK JELANTAH DENGAN METODE INTERESTERIFIKASI DAN PEMURNIAN DRY WASHING

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

PRODUKSI BIODIESEL DARI MINYAK JELANTAH MENGGUNAKAN KATALIS HETEROGEN CANGKANG BEKICOT (ACHATINA FULICA) DENGAN METODE PENCUCIAN DRY WASHING

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PANGAN LEMAK UJI SAFONIFIKASI

Pengaruh Ukuran Arang Aktif Ampas Tebu sebagai Biomaterial Pretreatment terhadap Karakteristik Biodiesel Minyak Jelantah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

Butadiena, HCN Senyawa Ni/ P Adiponitril Nilon( Serat, plastik) α Olefin, senyawa Rh/ P Aldehid Plasticizer, peluas

LAPORAN TETAP TEKNOLOGI BIOMASSA PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK JELANTAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METANOLISIS MINYAK KOPRA (COPRA OIL) PADA PEMBUATAN BIODIESEL SECARA KONTINYU MENGGUNAKAN TRICKLE BED REACTOR

HASIL DAN PEMBAHASAN

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas ton/tahun BAB I PENDAHULUAN

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

SAINS II (KIMIA) LEMAK OLEH : KADEK DEDI SANTA PUTRA

BAB I PENDAHULUAN. bahan dasar seperti kelapa sawit, kelapa, kedelai, jagung, dan lain-lain. Meski

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN. Perkembangan komposit berlangsung dengan sangat pesat seiring dengan

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT

BAB II PUSTAKA PENDUKUNG. Ketersediaan energi fosil yang semakin langka menyebabkan prioritas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian

Nama Kelompok : MUCHAMAD RONGGO ADITYA NRP M FIKRI FAKHRUDDIN NRP Dosen Pembimbing : Ir. IMAM SYAFRIL, MT NIP.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebelum mengenal bahan bakar fosil, manusia sudah menggunakan biomassa

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumber energi alternatif saat ini terus digiatkan dengan tujuan

I. PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

4001 Transesterifikasi minyak jarak menjadi metil risinoleat

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

BAB I PENDAHULUAN UKDW. teknologi sekarang ini. Menurut catatan World Economic Review (2007), sektor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH PENAMBAHAN NaOH DAN METANOL TERHADAP PRODUK BIODIESEL DARI MINYAK GORENG BEKAS (JELANTAH) DENGAN METODE TRANSESTERIFIKASI

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. ini sumber energi yang banyak digunakan adalah sumber energi yang berasal dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Minyak Nabati Minyak dan lemak adalah triester dari gliserol, yang dinamakan trigliserida. Minyak dan lemak sering dijumpai pada minyak nabati dan lemak hewan. Minyak umumnya berasal dari tumbuhan, contohnya minyak jagung, minyak zaitun, minyak kacang dan lain-lain. Minyak dan lemak mempunyai struktur dasar yang sama. Minyak merupakan salah satu kelompok dari golongan lipida. Satu sifat yang khas dari golongan lipida (termasuk lemak dan minyak) adalah daya larutnya dalam pelarut organik (eter, benzene, khloroform) atau sebaliknya ketidak-larutanya dalam pelarut air. Berdasarkan sumbernya, lemak digolongkan menjadi dua, yaitu lemak hewani yang berasal dari hewan dan lemak nabati yang berasal dari tumbuhan. Perbedaan dari lemak hewani dan lemak nabati yaitu: lemak hewani umumnya bercampur dengan steroid hewani yang disebut kolesterol, lemak nabati umumnya bercampur dengan steroid nabati yang disebut fitosterol. Kadar asam lemak tidak jenuh dalam lemak hewani lebih sedikit dibandingkan lemak nabati. (Umami, 2015) Minyak nabati dapat digunakan dalam pembuatan biodiesel. Komposisi yang terdapat dalam minyak nabati terdiri dari trigliserida-trigliserida asam lemak, asam lemak bebas (ALB), monogliserida dan digliserida, serta beberapa komponen-komponen lain seperti phosphoglycerides, vitamin, mineral, atau sulfur. Penyusun utama minyak dan lemak adalah trigliserida,

7 yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Trigliserida atau triasilgliserol adalah sebuah gliserida yaitu ester dari gliserol dan tiga asam lemak, penyusun utama minyak nabati atau lemak hewani adalah trigliserida, monogliserida dan digliserida. Rumus kimia trigliserida adalah CO2COOR-CHCOOR'-CH2-COOR", dimana R, R dan R" masingmasing adalah sebuah rantai alkil yang panjang atau asam lemak jenuh dan tak jenuh dari rantai karbon. Apabila terdapat dua gugus alkohol dari gliserol yang mengikat gugus asetil dan terdapat satu gugus alkohol maka esternya dinamakan digliserida, dan jika hanya ada satu gugus alkohol pada gliserol yang mengikat gugus asetil asam lemak dan dua gugus alkohol lainnya bebas, esternya dinamakan monogliserida. (Umami, 2015) Asam lemak bebas (ALB) adalah asam lemak yang terpisahkan dari trigliserida, digliserida, monogliserida, dan gliserin bebas. Hal ini dapat disebabkan oleh pemanasan dan terdapatnya air sehingga terjadi proses hidrolisis. Oksidasi juga dapat meningkatkan kadar asam lemak bebas dalam minyak nabati. (Hardiani, 2010) 2.2. Minyak Goreng Bekas (Waste Cooking Oil) Minyak goreng bekas (minyak jelantah) merupakan limbah yang berasal dari rumah tangga, terutama dari restoran dan industri pangan. Minyak jelantah mengandung beberapa senyawa yang berbahaya bagi

8 kesehatan manusia yang dihasilkan selama proses pemanasan (penggorengan) dalam jangka waktu tertentu antara lain : polimer, aldehid, asam lemak bebas, dan senyawa aromatik. Selama penggorengan minyak mengalami reaksi degradasi yang disebabkan oleh panas, air dan udara, sehingga terjadi reaksi oksidasi, hidrolisis dan polimerisasi (Umami, 2015). Penggunaan minyak goreng yang benar menurut ilmu kesehatan hanya dapat digunakan paling banyak tiga kali penggorengan atau pemanasan karena setelah melampaui tiga kali pemanasan telah mengandung radikal bebas yang dapat merugikan kesehatan karena bisa menumbuhkan sel kanker di tubuh manusia (Arisurya, 2009) Minyak jelantah merupakan minyak nabati turunan dari minyak kelapa sawit (palm oil). Rata-rata komposisi asam lemak minyak kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1 Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit. Asam Lemak Jumlah (%) Asam Oleat 30-45 Asam Linoleat 7-11 Asam Miristat 1,1-2,5 Asam Stearat 3,6-4,7 Sumber : Umami, 2015 Salah satu bentuk pemanfaatan minyak jelantah agar dapat bermanfaat adalah dengan mengubahnya secara proses kimia menjadi biodiesel. Pembuatan biodiesel dari minyak jelantah ini dapat dilakukan melalui reaksi transesterifikasi untuk mengubah minyak (trigliserida) menjadi asam lemak

9 metil ester. Kandungan asam lemak bebas (FFA) pada bahan baku (minyak jelantah) merupakan salah satu faktor penentu metode pembuatan biodiesel. Penggunaan minyak goreng yang sering digunakan secara berulang ulang menjadikan minyak dari berwarna kuning menjadi berwarna gelap. Proses oksidasi juga menyebabkan warna minyak menjadi gelap, tetapi mekanisme terjadinya komponen yang menyebabkan warna gelap ini masih belum sepenuhnya diketahui. Perubahan warna dapat disebabkan oleh perubahan zat warna alami atau tokoferol yang terkandung dalam minyak, produk degradasi minyak, reaksi maillard karena minyak yang panas akan mengekstraksi zat warna yang terdapat dalam bahan pangan, karena adanya logam seperti Fe, Cu, Mn atau adanya oksidasi. (Adhani, Isalmi, dkk. et al., 2016) Minyak goreng bekas (waste cooking oil) bila tidak digunakan kembali biasanya dibuang begitu saja ke saluran pembuangan. Limbah yang terbuang ke pipa pembuangan dapat menyumbat pipa pembuangan karena pada suhu rendah minyak maupun lemak akan membeku dan mengganggu jalannya air pada saluran pembuangan. Minyak bekas penggorengan dapat diolah kembali menjadi energi baru sebagai energi biodiesel dengan melalui tahapan proses kimiawi dan pemanasan. (Nur & Zakia, 2014) Metode yang digunakan untuk merubah ke biodiesel dengan cara transesterifikasi. Reaksi transesterifikasi itu sendiri bertujuan untuk memecah trigliserida menjadi ethyl ester dan gliserol. Prinsip kerjanya yaitu merubah trigliserida menjadi metil ester, di samping itu mengunakan alkohol (methanol) dan katalis alkali (NaOH). (Pawoko, 2009)

10 2.3. Biodiesel Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif pengganti minyak diesel yang diproduksi dari minyak tumbuhan atau lemak hewan. Penggunaan biodiesel dapat dicampur dengan petroleum diesel (solar). Biodiesel mudah digunakan, bersifat biodegradable, tidak beracun, dan bebas dari sulfur dan senyawa aromatik. Selain itu biodiesel mempunyai nilai flash point (titik nyala) yang lebih tinggi dari petroleum diesel sehingga lebih aman jika disimpan dan digunakan. (Hanna et al., 2013) Biodiesel termasuk dalam golongan mono alkil ester atau metil ester dengan panjang rantai karbon antara 12 sampai 20. Biodiesel adalah monoalkil ester dari asam lemak yang diturunkan dari minyak nabati atau lemak hewan. Pengertian lainnya biodiesel adalah nama yang diberikan untuk bahan bakar mesin diesel yang dibuat dari konversi kimia lemak hewan atau minyak nabati. Sedangkan Hambali et al. (2007) dalam skripsi Pawoko (2009) mengartikan biodiesel sebagai bioenergi atau bahan bakar nabati yang dibuat dari minyak nabati, baik minyak baru maupun bekas dan melalui proses esterifikasi, transesterifikasi atau proses esterifikasi-transesterifikasi. (Pawoko, 2009) 2.4. Standar Mutu Biodiesel Persyaratan mutu biodiesel di Indonesia sudah dilakukan dalam SNI- 7182-2015, yang telah disahkan dan diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN). Persyaratan kualitas biodiesel disajikan dalam Tabel 2.2

11 Tabel 2.2. Persyaratan Mutu Biodiesel di Indonsia No. Parameter Uji Satuan, min/maks Persyaratan 1 Massa jenis pada 40 kg/m 3 850-890 2 Viskositas kinematic pada 40 mm 2 /s (cst) 2,3 6,0 3 Angka setana min 51 4 Titik nyala (mangkok tertutup), min 100 5 Titik kabut, maks 18 6 Korosi lempeng tembaga (3 jam pada 50 ) 7 Residu karbon -dalam percontoh asli; atau -dalam 10% ampas distilasi %-massa, maks nomor 1 0,05 8 Air dan sedimen %-volume, maks 0,05 9 Temperatur distilasi 0 %, maks 360 10 Abu tersulfaktan %-massa, maks 0,02 11 Belerang mg/kg, maks 50 12 Fosfor mg/kg, maks 4 13 Angka asam mg-oh/g, maks 0,5 14 Gliserol bebas %-massa, maks 0,02 15 Gliserol total %-massa, maks 0,24 16 Kadar ester metil %-massa, min 96,5 17 Angka iodium %-massa (g-i 2 /100 18 Kestabilan oksidasi Periode induksi metode rancimat atau Periode induksi metode petro oksi g), maks menit 19 Monogliserida %-massa, maks 0,8 Sumber : SNI 7182-2015 0,3 115 480 36

12 2.5. Teknik Pembuatan Biodiesel 2.5.1. Esterifikasi Esterifikasi merupakan reaksi antara asam lemak bebas dengan alkohol dengan bantuan katalis asam, misalnya asam klorida (HCl), asam sulfat (H 2 SO 4 ) ataupun katalis asam padat untuk menghasilkan ester. Asam sulfat, asam sulfonat organik atau resin penukar kation asam kuat merupakan katalis yang biasa dipakai dalam industri. Reaktan alkohol rantai pendek, seperti metanol harus ditambahkan dalam jumlah yang sangat berlebih dan air sebagai produk samping harus disingkirkan dari fasa reaksi, yaitu fasa minyak. Melalui kombinasi-kombinasi yang tepat dari kondisi-kondisi reaksi dan metode penyingkiran air, konversi sempurna asam-asam lemak menjadi metil ester dapat dituntaskan dalam waktu 1 jam (Pawoko, 2009). Reaksi esterifikasi mengkonversi asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak menjadi metil ester. Reaksi esterifikasi ditunjukkan pada persamaan reaksi berikut: Esterifikasi biasa dilakukan untuk membuat biodiesel dari minyak berkadar asam lemak bebas tinggi (berangka-asam 5 mg-oh/g). Tahap esterifikasi biasa diikuti dengan tahap transesterfikasi. Namun sebelum produk esterifikasi diumpankan ke tahap transesterifikasi, air dan bagian

13 terbesar katalis asam yang dikandungnya harus disingkirkan terlebih dahulu. (Umami, 2015) 2.5.2. Proses Transeterifikasi Reaksi transesterifikasi secara umum merupakan reaksi alkohol dengan trigliserida menghasilkan metil ester dan gliserol dengan bantuan katalis basa. Alkohol yang umumnya digunakan adalah metanol dan etanol. Reaksi ini cenderung lebih cepat membentuk metil ester dari pada reaksi esterifikasi yang menggunakan katalis asam. Namun, bahan baku yang digunakan pada reaksi transesterifikasi harus memiliki asam lemak bebas yang kecil (< 2 %) untuk menghindari pembentukan sabun. (Adhani, Isalmi, dkk. et al., 2016) Reaksi transesterifikasi dengan katalis basa biasanya menggunakan logam alkali alkoksida, NaOH, KOH, dan NaHCO 3 sebagai katalis. Katalis basa ini lebih efektif dibandingkan katalis asam, konversi hasil yang diperoleh lebih banyak, waktu yang dibutuhkan juga lebih singkat serta dapat dilakukan pada temperatur kamar. Agar reaksi berjalan cepat tahap transesterifikasi memerlukan pengadukan dan pemanasan (50-55 o C) atau di bawah titik didih methanol (64,7 o C) untuk memisahkan gliserin dan metil ester (biodiesel). Pada reaksi transeseterifikasi ini, sebagai reaktan dapat digunakan metanol atau etanol. (Pawoko, 2009) Dalam reaksi alkoholis, alkohol bereaksi dengan ester dan menghasilkan ester baru. Pada pembuatan biodiesel melalui reaksi transesterifikasi dapat dilakukan secara batch dan bisa juga secara

14 kontinyu. Persamaan reaksi antara trigliserida dan metanol pada proses transesterifikasi ditunjukkan pada gambar berikut. CH2 O C R RCOOR CH2OH RCOOR CHOH RCOOR CH2OH Alkil Ester Gliserol O CH2 O C R R OH Transesterifikasi NaOH O CH2 O C R O Trigliserida Alkohol Produk yang diinginkan dari reaksi transesterifikasi adalah ester metil asam-asam lemak. Terdapat beberapa cara agar kesetimbangan lebih ke arah produk, yaitu: a. Menambahkan metanol berlebih ke dalam reaksi b. Memisahkan gliserol c. Menurunkan temperatur reaksi (transesterifikasi merupakan reaksi eksoterm). (Umami, 2015) 2.6. Katalis Katalis merupakan zat yang dapat mempercepat reaksi tanpa ikut terkonsumsi oleh keseluruhan reaksi. Pada dasarnya, katalis justru harus ikut bereaksi dengan reaktan untuk membentuk suatu zat antara yang aktif. Zat

15 antara ini kemudian bereaksi dengan molekul reaktan yang lain menghasilkan produk. Pada akhirnya, produk kemudian terlepas dari permukaan katalis. Pada umumnya reaksi transesterifikasi dan esterifikasi merupakan reaksi lambat. Tanpa adanya katalis, proses pembuatan biodiesel dengan reaksi transesterifikasi hanya dapat menghasilkan konversi sebesar 85% setelah 10 jam reaksi pada suhu 235 C dengan tekanan 62 bar (Umami, 2015). 1. Katalis asam Pembuatan biodiesel dapat juga dengan menggunakan katalis asam. Selain dapat mengkatalisis reaksi transesterifikasi minyak menjadi biodiesel, katalis asam juga dapat mengkatalisis reaksi esterifikasi asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak menjadi biodiesel. 2. Katalis Basa Terdapat dua jenis katalis basa yang dapat digunakan dalam pembuatan biodiesel, yaitu katalis basa homogen dan katalis basa heterogen. Katalis yang banyak digunakan dalam reaksi transesterifikasi adalah katalis basa homogen seperti NaOH atau KOH. Laju reaksi transesterifikasi dengan katalis basa lebih cepat jika dibandingkan dengan katalis asam. Karena dalam larutan basa, suatu karbonil dapat diserang langsung oleh nukleofilik tanpa protonasi sebelumnya. Berdasarkan alasan ini, proses industri sering menggunakan katalis basa. (Nur & Zakia, 2014) Kelemahan pada reaksi transesterifikasi berkatalis basa yaitu tidak dapat diterapkan untuk bahan baku minyak yang memiliki kandungan

16 asam lemak bebas di atas 2%. Keberadaan asam lemak bebas yang tinggi akan menyebabkan terjadinya reaksi samping berupa reaksi penyabunan yang akan mengkonsumsi katalis sehingga menurunkan yield biodiesel, dan mempersulit proses pemisahan produk. Berikut adalah reaksi yang terjadi antara asam lemk bebas dengan katalis basa : (Umami, 2015) 2.7. Pemurnian Biodiesel Biodiesel yang dihasilkan dari reaksi-reaksi di atas tidak bisa langsung digunakan, karena masih mengandung sisa reaksi dan pengotor lain yang dapat menimbulkan bahaya pada sistem pembakaran. Zat pengotor yang terkandung di dalam biodiesel kasar antara lain sabun, gliserol, sisa metanol, katalis, dan air. Oleh karena itu, biodiesel yang akan digunakan harus dimurnikan terlebih dahulu, agar memenuhi standar biodiesel yang ada. (Darmawan & Susila et al., 2013). Metode pemurnian yang biasa digunakan adalah metode water washing. Water washing adalah suatu proses pemurnian biodiesel di mana air hangat ditambahkan ke dalam biodiesel kasar dengan persentase tertentu, lalu didiamkan sampai air pencuci terpisah dari biodiesel, kemudian air tersebut dibuang. Pada saat proses pencampuran, air akan melarutkan pengotor yang terkandung di dalam biodiesel, karena sifat kepolarannya sama dengan air. Proses ini dilakukan berulang-ulang sampai penampakan air pencucinya

17 bersih atau jernih. Untuk memastikan hilangnya air dari biodiesel, maka setelah dilakukan pencucian, biodiesel dikeringkan dengan cara pemanasan. Proses ini tentu membutuhkan air dalam jumlah yang banyak dan energi yang besar terutama untuk pengeringan biodiesel. Selain itu, proses ini juga menimbulkan limbah cair yang banyak dan membahayakan lingkungan, serta waktu pemurnian yang cukup lama. (Nurdyaningrum & Nasrudin et al., 2013) Solusi teknologi yang dapat digunakan untuk memperbaiki proses pemurnian biodiesel adalah pemurnian dengan metode dry washing, yaitu pemurnian dengan memanfaatkan proses adsorbsi untuk menghilangkan zat pengotor dalam biodiesel kasar. Teknik pencucian kering biasanya digunakan untuk memurnikan biodiesel dengan menggunakan adsorben seperti, magnesium silikat (magnesol atau Trisyl), resin pertukaran ion (Amberlite atau Purolite), selulosa, arang aktif, karbon aktif, dan serat aktif, dll. Adsorben ini terdiri dari adsorpsi asam dan basa yang dapat (mengikat) situs dan memiliki afinitas yang kuat untuk senyawa polar seperti metanol, gliserin, gliserida, logam dan sabun. Diperoleh bahwa sabun dan gliserin dapat dihilangkan dengan kombinasi empat metode, yaitu filtrasi, adsorpsi fisik, pertukaran ion dan penghilangan sabun dengan gliserin afinitas. (Gupta et al., 2014) pemurnian biodiesel dengan metode dry washing memiliki beberapa keuntungan atau kelebihan dibandingkan dengan metode water washing. Beberapa keuntungan itu adalah:

18 1. Proses pencucian kering dapat mengurangi waktu produksi. Biodiesel yang telah dilakukan pencucian kering dapat digunakan dalam beberapa jam dan secara signifikan proses produksi lebih cepat daripada bahan bakar dengan metode pencucian basah 2. Proses pencucian kering dapat menurunkan biaya. karena tidak memerlukan air. Pada pemurnian water washing, biaya yang dibutuhkan sangat besar, terutama biaya untuk pengolahan limbah cair. 3. Ruang produksi yang dibutuhkan lebih kecil, karena tidak membutuhkan tangki pencucian dan tangki settling. 4. Proses pencucian kering menghasilkan bahan bakar berkualitas lebih bagus, terutama untuk karakteristik kadar air biodiesel. Karena tidak ada penambahan air dalam proses pencucian kering, sehingga kandungan air kurang dari 500 ppm sesuai dengan ASTM D 6751. Dalam metode pencucian basah, kadar air yang dihasilkan dapat mencapai lebih dari 1.000 ppm, menyebabkan biaya operasional mahal, sulit dan membutuhkan waktu yang banyak untuk menghilangkannya secara efektif. (Freedman, 1984; Gupta et al., 2014) 2.8. Adsorben Adsorben adalah bahan padat dengan luas permukaan dalam yang sangat besar. Permukaan yang luas ini terbentuk karena banyaknya pori yang halus pada padatan tersebut. Kebanyakan zat pengadsorpsi atau adsorben

19 adalah bahan-bahan yang sangat berpori, dan adsorpsi berlangsung terutama pada dinding-dinding pori atau pada daerah tertentu di dalam partikel itu. Karena pori-pori adsorben biasanya sangat kecil maka luas permukaan dalamnya menjadi beberapa kali lebih besar dari permukaan luar. Biasanya luasnya berada dalam ukuran 200-1000 m 2 /g adsorben dengan diameter pori sebesar 0,0003-0,02 µm. (Arisurya, 2009) 2.8.1. Magnesol (Magnesium silicat) Magnesol (Mg 3 (Si 4 O 10 )(OH) 2 ) merupakan sumber daya mineral yang melimpah terdapat di Indonesia. Magnesium silikat berbentuk serbuk, berwarna putih, dan tidak larut dalam air. Senyawa ini tergolong senyawa stabil, tidak mudah terbakar dan tidak mudah meledak. Permukaan magnesium silikat yang bersifat hidrofobik mengontrol kandungan kotoran bahan organik yang terdapat pada minyak dengan cara menarik kotoran tersebut yang juga bersifat hidrofobik ke dalam suatu lapisan film, sehingga bahan pengotor dapat beraksi dan membentuk gumpalan dengan partikel pengotor lainnya. Komposisi magnesium silikat di antaranya SiO 2 sebanyak 63,4 %, MgO 31 % dan H 2 O 4,7 %. (Arisurya, 2009) Magnesium silikat memiliki luas permukaan 619 m 2 /g dengan struktur menyerupai silika gel. Senyawa ini akan menjerap asam lemak bebas menggunakan ikatan hidrogen yang terjadi antara gugus karbonil (C=O) asam lemak dengan permukaan gugus silanol (Si-O-H) pada senyawa tersebut. Adsorpsi yang terjadi digolongkan ke dalam adsorpsi fisik. Adsorpsi kimia baru dapat terjadi bila proses adsorpsi dilakukan pada suhu

20 tinggi. Suhu tinggi akan mengakibatkan ion karboksilat membentuk ikatan ion dengan oksida logam pada permukaan magnesium silikat sintetik. (Arisurya, 2009) Magnesium silikat digunakan dalam pencucian kering biodiesel, yaitu pencucian biodiesel tanpa menggunakan air. Magnesium Silikat memiliki potensi selektif menyerap bahan hidrofilik seperti gliserin, mono- dan digliserida. Permukaan silikat magnesium terdiri dari sebagian hidrofobik dan sebagian hidrofilik. Bagian hidrofobik meliputi gugus siloksan ( Si-O- Si ) dan bagian hidrofilik mengandung hidroksi terisolasi kelompok (-Mg- OH), kelompok silanol individu ( Si-OH) dan ikatan hidrogen yang terbentuk karena dekat dengan gugus hidroksil yang terhubung ke atom silikon tetangga. Sehingga magnesium silikat sebagai adsorben mampu mengadsorpsi bahan pengotor seperti asam lemak bebas, sabun, katalis yang belum tereaksi. (Pornsawan A., J. Pornrin, dkk. et al., 2015).