BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja dan mensejahterakan masyarakat. Dalam mendukung peran pelaku

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Terhadap kasus yang dihadapi oleh PT Metro Batavia dan International Lease

BAB I PENDAHULUAN. bagi pemenuhan kebutuhan transportasi yang cepat dan aman. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pangsa pasar terbesar di dunia. Pertumbuhan industri penerbangan juga cenderung

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. yang memuaskan dalam usaha pengembangan ekonomi suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, mendukung mobilitas manusia, barang dan jasa serta

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

`BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari pergaulan sehariharinya

BAB I PENDAHULUAN. ekstrem dapat dikatakan pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan. mengakibatkan kepemilikan apapun (Kotler, 2002:83).

DAFTAR ISI. DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... vii

BAB I PENDAHULUAN. datang dan berangkat mencapai dan (Buku Statistik

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Menurut Hurriyati (2005, p.49) : untuk bauran pemasaran jasa mengacu

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP CALON PENUMPANG PT. METRO BATAVIA UNTUK MEMPEROLEH REFUND

BAB I PENDAHULUAN. yang tetap ingin survive dalam menciptakan keunggulan kompetitif yang UKDW

mempengaruhi eksistensi maskapai penerbangan di Indonesia pada umumnya, karena setiap pelaku usaha di tiap kategori bisnis dituntut untuk memiliki

UKDW. 1.1 Latar Belakang Masalah. Akhir-akhir ini perkembangan industri jasa transportasi di Indonesia berkembang

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan kebutuhannya adalah transportasi udara. Transportasi udara merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi telah mendorong timbulnya persaingan yang sangat kompetitif

BAB I. PENDAHULUAN. Keberhasilan fenomenal Southwest Airlines di Amerika Serikat sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan suatu alat transportasi untuk mempermudah mobilisasi. Dari berbagai

STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN NO 77/PAILIT/2012/PN NIAGA. JKT.PST DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

2 Indonesia dalam hal melakukan penyelesaian permasalahan di bidang hukum persaingan usaha, yang diharapkan terciptanya efektivitas dan efisiensi dala

KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA

BAB I PENDAHULUAN. hanya itu, Indonesia juga memiliki modal besar untuk meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Akhir-akhir ini perkembangan industri jasa transportasi di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Alat transportasi adalah suatu alat penunjang kemudahan yang berperan bagi

BAB I PENDAHULUAN. terakhir di Indonesia. Sejumlah armada bersaing ketat merebut pasar domestik

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (MEA) pada akhir tahun MEA atau AEC (ASEAN Economic

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan bisnis yang semakin ketat sekarang ini menyebabkan banyak

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Setiap perusahaan baik itu perusahaan jasa, industri ataupun

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan penerbangan tumbuh dengan pesat banyak perusahaan atau maskapai

UNIVERSITAS MEDAN AREA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. yang sangat banyak yaitu kurang lebih 210 juta, dengan total wilayahnya

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan praktik penerbangan bukanlah perkara sederhana. Ada banyak

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENETAPAN TARIF ANGKUTAN PENUMPANG. Adapun dasar hukum penetapan tarif angkutan penumpang yaitu:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam zaman modern ini segala sesuatu memerlukan kecepatan dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

pengangkutan udara dilakukan oleh perusahaan penerbangan dapat dirasakan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan informasi yang sudah diproses dan dilakukan penyimpanan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. tempat ke tempat lain dengan berbagai tujuan dan menggunakan jenis transportasi yang

BAB I PENDAHULUAN. restrukturisasi dengan musyawarah dan mufakat, atau

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengacu pada regulasi penerbangan yang terdiri atas Annex dan Dokumen

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

2016, No Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Pedoman Imbalan Jasa bagi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan bisnisnya, suatu perusahaan pasti ingin mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Profil Perusahaan PT. AirAsia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. banyak orang yang melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lain

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN M E M U T U S K A N : NOMOR : KM 81 TAHUN 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anisa Rosdiana, 2013

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Analisis Strategi Bisnis (Business Strategy Analysis)

Sri Sutarwati 1), Hardiyana 2), Novita Karolina 3) Program Studi D1 Ground Handling Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan 3)

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada tahun 2010, Indonesia yang memiliki populasi 237 juta jiwa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

I. PENDAHULUAN. Masyarakat sangat bergantung dengan angkutan umum sebagai tranportasi penunjang

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB I PENDAHULUAN. sangat pesat. Terkait dengan pertumbuhan industri jasa, di sisi lain juga semakin

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan sarana transportasi yang menunjang proses kehidupan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. dipastikan kapan akan terjadinya. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut yaitu

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

BAB I PENDAHULUAN. dan tentu saja akan meningkatkan kebutuhan akan transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah Negara kepulauan yang sangat besar dan

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB I PENDAHULUAN. kepuasan konsumen sehingga dapat mendatangkan profit bagi perusahaan.

BAB I PENDAHULUAN. rapi sehingga dapat menunjang kegiatan pariwisawa. Industri yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. penerbangan untuk masuk berkompetisi di industri penerbangan Indonesia. Data

Boks 2. Kesuksesan Sektor Jasa Angkutan Udara di Provinsi Jambi

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB I PENDAHULUAN. signifikan di Indonesia. Sejumlah maskapai penerbangan saling. berkompetitif untuk merebut pasar domesitik maupun internasional.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mengalami perkembangan di segala bidang, salah satunya di bidang ekonomi. Perkembangan tersebut tidak lepas dari peran pelaku usaha, karena mereka berperan penting dalam menyokong pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini. Hal ini juga disebabkan karena pelaku usaha menyediakan lapangan kerja dan mensejahterakan masyarakat. Dalam mendukung peran pelaku usaha pemerintah turut mengatur perihal perlindungan terhadap pelaku usaha dalam mendirikan usaha didalam Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi: 1 Dasar ekonomi demokrasi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat diutamakan, bukan kemakmuran seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kepentingan rakyat. Salah satu jenis bidang usaha yang digemari belakangan ini adalah di bidang jasa penerbangan. Hal ini dikarenakan bidang transportasi merupakan salah satu bidang yang sangat penting untuk memperlancar roda pereknomian di Indonesia. Hal ini tak pelak menjadi kesempatan bagi pelaku usaha untuk mendirikan usaha yang bergerak di bidang jasa penerbangan. Dunia penerbangan Indonesia sebelum tahun 2000 menjadi sorotan mata dunia setelah adanya kecelakaan yang terjadi terus menerus dan juga sanksi dari 1. (http://www.ekon.go.id/berita/view/menko-perekonomian-ingatkan.821.html#.vdozpxjff1u) Diunduh 02 Oktober 2014 1

2 Uni Eropa membawa penerbangan nasional ke titik terendah. 2 Menurut seorang pengamat penerbangan tranportasi seperti dikutip sebuah harian ibu kota, jeleknya citra keselamatan (safety) penerbangan di Indonesia menyebabkan maskapai penerbangan nasional menjadi paria di langit global. 3 Faktor keselamatan operasi penerbangan bukanlah sesuatu yang mudah dipahami karena harus didukung dengan kemampuan dan pengetahuan teknologi yang cukup. 4 Pada masa sebelum tahun 2000, perusahaan maskapai penerbangan di Indonesia hanya terbatas pada segelintir maskapai. Nama-nama maskapai tersebut adalah, seperti Garuda Indonesia, Merpati, Bouraq, dan Mandala. Salah satu yang menyebabkan sedikitnya jumlah maskapai adalah karena sulitnya mendapatkan izin dari pemerintah untuk mendirikan maskapai yang baru. Lalu perubahan terjadi di dunia penerbangan Indonesia sejak tahun 2000. Pemerintah melakukan deregulasi peraturan perundang-undangan tentang penerbangan di Indonesia yang memberikan izin kepada maskapai penerbangan yang baru untuk menerbangi ruterute kota besar dan mencabut larangan masuk dan izin pengoperasian pesawat yang kemudian diatur dalam Keputusan Presiden No 33 Tahun 2000 Tentang Larangan Pemasukan dan Pemberian Izin Pengoperasian Pesawat Terbang. Hal ini ditambah juga dengan Keputusan Menteri Perhubungan No 11 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara bahwa, pemerintah mengijinkan maskapai untuk mengoperasikan hanya dua pesawat, sekalipun pesawat tersebut masih dalam tahapan negosiasi. Tak heran bahwa sebelum tahun 2000 dunia penerbangan Indonesia hanya memiliki lima maskapai penerbangan berjadwal, 2. Chappy Hakim, Pelangi Dirgantara, Jakarta:Kompas, 2010, hlm 69. 3. Ibid., hlm. 74. 4. Ibid., hlm. 76.

3 tetapi perubahan terjadi sejak ditetapkan deregulasi penerbangan oleh pemerintah hingga maskapai penerbangan Indonesia meningkat menjadi 23 maskapai. 5 Dalam satu dekade ini, pertumbuhan di bidang industri penerbangan Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan. Sejak tahun 2000 setelah adanya deregulasi penerbangan, menyebabkan munculnya banyak maskapai penerbangan yang baru di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan sekitar 17.000 pulau yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Berkembangnya jumlah maskapai tersebut diikuti juga dengan meningkatnya pengguna jasa transportasi udara. Hal ini dapat dilihat dari data statistik yang menggambarkan peningkatan pengguna jasa angkutan udara di Indonesia. Berikut data statistik pengguna jasa penerbangan di Indonesia baik domestik maupun internasional periode 2013-2016. Tabel 1.1 Statistik Nasional Angkutan Udara Penumpang & Pesawat Domestik 2013-2016 Tahun Penumpang Pesawat Datang Berangkat Transit Datang Berangkat Transit 2013 59.286.374 52.920.779 6.109.356 563.625 522.426-2014 70.992.113 61.278.162 5.810.309 523.623 540.448-2015 54.836.573 52.140.638 5.672.591 538.441 531.031-2016 51.752.999 58.857.670 5.235.981 557.987 533.145 - Total 236.868.059 225.197.249 22.828.237 2.183.676 2.127.050 - Sumber: Dikutip dari Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Perhubungan Republik Indonesia 5. Tjiptono Darmadji. 60 Cara Cerdas Mengembangkan Perusahan, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2006, hlm. 44.

4 Berdasarkan pada Tabel 1.1 dalam rute domestik Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa transportasi udara masih menjadi pilihan utama bagi masyarakat walaupun terjadinya penurunan pada tahun 2015 dan 2016. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan peningkatan pengguna jasa transportasi udara adalah tersedianya armada pesawat dan kapasitas utama pesawat terbang. Selain itu, jasa tranportasi udara merupakan andalan bagi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan bisnis, kegiatan di bidang pariwisata, dan segala kegiatan di bidang yang lainnya. Efektivitas waktu dan pelayanan yang menjadikan tranportasi udara menjadi pilihan utama oleh masyarakat dibandingkan jenis transportasi yang lain. Tabel 1.2 Statistik Nasional Angkutan Udara Penumpang & Pesawat Domestik 2013 & 2014 Tahun Penumpang Pesawat Datang Berangkat Transit Datang Berangkat Transit 2013 9.121.765 8.935.160 71.223 66.668 66.952-2014 11.824.520 12.426.810 41.984 89.831 88.056-0 - - - - - - Total 20.946.285 21.361.970 113.207 156.499 155.008 - Sumber: Dikutip dari Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Perhubungan Republik Indonesia Berdasarkan Tabel 1.2 Badan Pusat Statistik mencatat jumlah pengguna jasa penerbangan baik penumpang maupun aktifitas penerbangan dengan rute-rute tujuan mancanegara/ internasional juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2014 dibandingkan dengan tahun 2013. Kecuali untuk penerbangan yang membutuhkan transit di suatu Negara untuk menuju destinasi terakhir mengalami penurunan diakibatkan oleh pihak-pihak maskapai penerbangan merubah menjadi penerbangan langsung (Direct Flight).

5 Dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan jasa transportasi udara saat ini, membuat banyak pelaku usaha berlomba-lomba untuk mendirikan usaha di bidang jasa tranportasi udara. Hal ini disebabkan karena relatif tingginya potensi keuntungan yang dapat diraih. Sebagaimana diketahui bahwa dalam jangka pendek, meski dalam kondisi merugi, keuntungan dari penjualan tiket pesawat masih mampu untuk membayar biaya variable (variable cost). Kondisi ini merupakan daya tarik bagi pelaku usaha untuk masuk dalam bisnis jasa penerbangan. Berikut daftar maskapai penerbangan di Indonesia. Tabel 1.3 Perusahaan-perusahaan Aktif dalam Industri Penerbangan di Indonesia Tahun 2015 Maskapai Niaga Berjadwal Garuda Indonesia Merpati Airlines Indonesia Air Asia Lion Airlines Wings Airlines Sriwijaya Air KAL Star Aviation Express Air Citilink Transnusa Batik Air NAM Air Sky Aviation Aviastar Mandiri Sky Aviation (Revoke) Maskapai Niaga Tidak Berjadwal Trigana Air Kartika Airlines Pelita Air Riau Airlines Manunggal Air Service Nusantara Air Air Maleo Indonesia Air Linus Airways Travira Air Susi Air Enggang Air Service Jhonlin Air Transport Dimonim Air Pacific Royale

6 Maskapai Niaga Berjadwal Maskapai Niaga Tidak Berjadwal Tri MG Intra Asia Airlines Deraya Air Taxi Sumber: Dikutip dari Direktorat Jenderal Perhubungan Republik Indonesia Perkembangan jumlah perusahaan penerbangan di satu sisi menguntungkan bagi para pengguna jasa tranportasi karena akan terdapat banyak pilihan maskapai yang tersedia. Terlebih, sebagian besar maskapai penerbangan yang ada menerapkan sistem LCC (Low Cost Carrier) yakni biaya operasional yang kecil dimana maskapai penerbangan memakai biaya operasional yang dikeluarkan dan melakukan efisiensi. Penerapan sistem LCC (Low Cost Carrier) bertujuan agar terjadinya persaingan antar perusahaan maskapai penerbangan yang bertujuan untuk menarik penumpang sebanyak-banyaknya dengan menawarkan tarif yang lebih murah atau menawarkan berbagai macam bonus yang dapat menarik perhatian daripada konsumen. Di sisi lain, dengan tarif yang murah maka dapat menurunkan kualitas pelayanan (service), bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah akan menyebabkan berkurangnya kualitas pemeliharaan dan perawatan pesawat sehingga rawan terhadap keselamatan penerbangan dan akan berdampak kurang baik terhadap keamanan, kenyamanan, dan perlindungan konsumen. 6 Penumpang sekaligus konsumen jasa penerbangan mempunyai hak-hak yang dilindungi oleh undang-undang yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Pidato Seminar Hukum 6. Saefullah Wirapradja. Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang Menurut Hukum Udara Indonesia, Jakarta, 2006, hlm.5-6.

7 Pengangkutan Udara Tahun 1977, Emil Salim mengemukakan pendapat sebagai berikut: Pemakai jasa angkutan udara perlu memperoleh perlindungan hukum untuk tiga hal yang utama yaitu keselamatan penerbangan, perkembangan tarif atau harga dari jasa angkutan udara dan kualitas dari pelayanan pengangkutan udara. 7 Suatu sistem perlindungan hukum total akan memberikan perlindungan pada penumpang mulai dari taraf pembuatan pesawat udara sampai saat ia tiba di tempat tujuan, ataupun pesawat mengalami kecelakaan, ahli warisnya yang berhak untuk menerima kompensasi/ganti rugi. Di dalam perusahaan penerbangan terdapat empat jenis risiko utama (primary risk) yaitu: financial risk, strategic risk, hazard risk, dan operational risk. Operational risk adalah hal yang berkaitan pelaksanaan operasional penerbangan. Pelaksanaan operasional penerbangan merupakan proses yang rumit dan kompleks dan memerlukan dukungan dari sistem transportasi yang canggih yang pernah ada. Operational risk memiliki keterkaitan dengan financial risk. Keterkaitannya adalah dimana operasional penerbangan harus dilakukan dengan benar-benar baik dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah, mulai dari proses pengaturan jadwal penerbangan (flight schedule), untuk penumpang (passenger), dan pengiriman barang (consignor). Selain itu yang menjadi masalah yang utama dari maskapai penerbangan adalah perihal ketersediaan pesawat. Untuk memenuhi tiap aspek di atas dibutuhkan biaya yang tidak sedikit yang harus dimiliki oleh tiap-tiap maskapai. Perusahaan maskapai diberikan kebebasan untuk menentukan kebijakan dalam manajemen maskapai untuk menghindari terjadinya financial risk tanpa menghilangkan kewajiban utama mereka untuk memprioritaskan keselamatan dan kenyamanan penumpang. 7. Emil Salim, Seminar Hukum Pengangkutan Udara, Penerbit Binacipta, 1980, hlm. 15.

8 Perusahaan penerbangan dalam hal menghindari terjadinya financial risk mencoba untuk mencari solusi, salah satunya dengan melakukan peminjaman kepada Bank. Pembelian pesawat terbang baik baru ataupun bekas dapat melalui jalur kredit bank. Bank sebagai kreditor akan memegang hipoteknya sampai perusahaan maskapai sebagai debitor telah melunasi utang secara keseluruhan. Syarat untuk mendapatkan pinjaman agunan ini adalah kapal dan pesawat terbang yang memiliki volume bruto minimal 20 meter kubik dan bobot bruto maksimal 20 meter kubik. Perusahaan maskapai penerbangan diwajibkan untuk melunasi utangnya dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Apabila debitor tidak dapat melunasi utangnya, maka kreditor dapat mengajukan pailit kepada debitor. Hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan (UUK) Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang menyebutkan bahwa debitor mempunyai dua atau lebih kreditor (lebih dari satu kreditor), dan debitor sedikitnya tidak membayar satu utang yang telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih. 8 Selain melunasi utang kepada kreditor yang sudah jatuh tempo, debitor juga diwajibkan melakukan kewajiban melayani konsumen yang menggunakan jasa maskapai terkait. Apabila problematika baru timbul sejak ditetapkan pailit oleh pengadilan, maka maskapai tersebut di non aktifkan dan dilarang untuk melayani jasa penerbangan. Permasalahan pailit yang dialami oleh maskapai penerbangan 8. Sutan Remy Sjahdeini. Hukum Kepailitan, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002, hlm. 107-108.

9 juga terjadi terhadap maskapai penerbangan Batavia Air yang dinaungi dibawah PT Metro Batavia. Penulis tertarik untuk menganalisis kasus pailitnya PT Metro Batavia dikarenakan ketidakmampuan perusahaan maskapai PT Metro Batavia dalam memenuhi kebutuhan finansial untuk melunasi utang kepada kreditor dan melakukan pengembalian tiket (refund), menyebabkan timbulnya gugatan atas adanya wanprestasi bahkan digugat pailit oleh para kreditornya. Proses kepailitan akan ditindaklanjuti dengan proses pemberesan harta pailit (harta kekayaan termohon pailit akan dilikuidasi) yang akan dilakukan oleh kurator yang ditunjuk langsung oleh Hakim Pengawas. Dalam hal putusan pernyataan pailit telah ditetapkan oleh pengadilan niaga, maka kekayaan kreditor berubah status menjadi harta pailit. Terhadap harta pailit debitor berlaku sita umum dan debitor tidak lagi berwenang untuk mengurus dan melakukan perbuatan hukum apapun terkait harta tersebut. 9 Sebelum melakukan pembagian harta pailit debitor, kurator akan melakukan pencocokan utang dengan tiap-tiap kreditor dan akan dibagikan sesuai dengan status tiap-tiap kreditor, baik itu kreditor preferen, kreditor konkuren, atau kreditor separatis. Kurator dalam melakukan pembagian harta pailit dituntut untuk melakukan pengkalkulasian dengan benar dan tepat karena hal ini berkaitan dengan hak dari kreditor yang di dalamnya termasuk konsumen yang berada dalam posisi tawar yang tidak menguntungkan. 9. Ibid., hlm. 179.

10 B. Kasus Posisi Sebelum PT Metro Batavia dinyatakan pailit, berikut adalah jumlah asset PT Metro Batavia sebelum dinyatakan pailit: 1. Sertipikat Hak Guna Bangunan No. 854/Selapajang Jaya, luas 60 m2, atas 2. Sertipikat Hak Guna Bangunan No. 899/Selapajang Jaya, luas 12 m2, atas 3. Sertipikat Hak Guna Bangunan No. 856/Selapajang Jaya, luas 72 m2, atas 4. Sertipikat Hak Guna Bangunan No. 857/Selapajang Jaya, luas 72 m2, atas 5. Sertipikat Hak Guna Bangunan No. 861/Selapajang Jaya, luas 72 m2, atas 6. Sertipikat Hak Guna Bangunan No. 862/Selapajang Jaya, luas 72 m2, atas nama Yudiawan Tansari 7. Sertipikat Hak Guna Bangunan No. 863/Selapajang Jaya, luas 120 m2, atas 8. Sertipikat Hak Guna Bangunan No. 910/Selapajang Jaya, luas 62 m2, atas 9. Sertipikat Hak Guna Bangunan No. 900/Selapajang Jaya, luas 10 m2, atas 10. Sertipikat Hak Guna Bangunan No. 911/Selapajang Jaya, luas 59 m2, atas

11 11. Sertipikat Hak Guna Bangunan No. 901/Selapajang Jaya, luas 13 m2, atas 12. Sertipikat Hak Guna Bangunan No. 912/Selapajang Jaya, luas 94 m2, atas 13. Sertipikat Hak Guna Bangunan No. 902/Selapajang Jaya, luas 26 m2, atas nama Yudiawan Tansari. Daftar asset PT Metro Batavia/Batavia Air (dalam pailit) hampir seluruh property tanah dan bangunan milik PT Metro Batavia (dalam pailit) di atas namakan Yudiawan Tansari selaku Direktur Utama PT Metro Batavia. Dalam perkara pailit PT Metro Batavia, berikut adalah kronologinya: Tahun 2009 PT Metro Batavia melakukan perjanjian sewa-menyewa pesawat (Aircraft Lease Agreement) yang tertuang dalam Aircraft Lease Agreement dengan International Lease Finance Corporation (ILFC). Perjanjiannya memuat perihal sewa-menyewa sebuah pesawat Airbus A330-202 dengan harga sewa senilai US$2,202 juta. Jangka waktu sewa adalah enam tahun sejak 28 Desember 2009 sampai dengan 27 Desember 2015. PT Metro Batavia melakukan perjanjian sewa-menyewa pesawat dengan tujuan untuk mengikuti tender pelayanan haji yang dibuka oleh Pemerintah Indonesia. Tetapi dari kontrak leasing selama 9 tahun, sudah 3 tahun terakhir PT Metro Batavia mengalami kekalahan tender di Kementerian Agama. Hal ini diperparah dengan ketidakpedulian PT Metro Batavia untuk mendayagunakan Pesawat A330 untuk melayani rute-rute lain.

12 Permasalahan utang PT Metro Batavia dengan International Lease Finance Corporation (ILFC) dikarenakan di dalam perjanjian terdapat klausul apabila Termohon gagal membayar, termohon wajib membayar bunga keterlambatan dengan tingkat 4% (empat persen) ditambah dengan suku Bunga Primer (primer rate) (suku bunga dari waktu ke waktu yang diumumkan oleh JP Morgan Chase Bank di New York sebagai suku bunga pinjaman primer. Berdasarkan hal-hal di atas, PT Metro Batavia (Termohon) terbukti memiliki utang atas kewajiban pembayaran sewa dan cadangan yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Selain itu PT Metro Batavia juga memiliki kewajiban untuk membayar bunga keterlambatan sesuai dengan perjanjian. Jumlah total kewajiban PT Metro Batavia (Termohon) adalah sebesar US$4,939,166.53 (empat juta Sembilan ratus tiga puluh Sembilan seratus enam puluh enam dollar Amerika Serikat dan lima puluh tiga sen), yang terdiri dari pembayaran sewa, reserves, dan bunga. Selain memiliki utang dengan International Lease Finance Corporation (ILFC), PT Metro Batavia juga terbukti memiliki utang dengan perusahaan lain yakni Sierra Leasing Limited ( Sierra ). Perjanjian (Aircraft Lease Agreement) dilaksanakan tertanggal 6 Juli 2009. Jumlah utang PT Metro Batavia (Termohon) dengan PT Sierra per tanggal 13 Desember 2012 adalah sebesar US$4,939.166.53,- (empat juta Sembilan ratus tiga puluh Sembilan ribu seratus enam puluh enam dollar Amerika Serikat dan lima puluh tiga sen). Di bulan Oktober Tahun 2012, Air Asia berencana untuk mengakuisisi PT Metro Batavia senilai US$80.000.000 (delapan puluh juta dollar Amerika

13 Serikat). Hal ini sempat menjadi polemik di Indonesia, karena kekhawatrian akan masuknya Pihak Asing ke dalam industri penerbangan Nusantara. Namun rencana Air Asia untuk mengakuisisi PT Metro Batavia dibatalkan karena risiko bisnis dan risiko penurunan pendapatan. Kegagalan Air Asia mengakuisisi PT Metro Batavia, menyebabkan terjadinya pengurangan rute-rute secara drastis oleh PT Metro Batavia, dimana pada awalnya melayani 64 rute berkurang menjadi 44 rute penerbangan. Puncaknya terjadi pada Tahun 2013 dimana PT Metro Batavia dituntut pailit oleh International Lease Finance Corporation (ILFC). Selang beberapa hari, International Lease Finance Corporation (ILFC) mengajukan pencabutan tuntutan pailit. Tetapi PT Metro Batavia (Termohon) menolak pengajuan pencabutan tuntutan karena PT Metro Batavia merasakan kerugian yang cukup signifikan. Berdasarkan pengajuan tuntutan pailit oleh International Lease Finance Corporation (ILFC), maka tertanggal 30 Januari 2013 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Jakpus) menetapkan menjatuhkan pailit terhadap PT Metro Batavia berdasarkan Putusan Pengadilan No 77 / Pailit / 2012 / PN.Niaga.Jkt.Pst. Paska penetapan pailit yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka PT Metro Batavia di-non-aktifkan dari setiap kegiatan pelayanan penerbangan. Terhadap putusan tersebut, maka secara normatif, posisi konsumen yang sudah melakukan pemesanan tiket sangat lemah. Sebab menurut UU No 37 Tahun 2004 tentang kepailitan, konsumen menduduki posisi yang paling akhir untuk dibayar/dipenuhi haknya oleh manajemen Batavia Air berupa pengembalian uang tiket (refund).