BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Two Factor Theory Teori Two Factor Theory yang dikemukakan oleh Herzberg dalam Furnham et al. (2009) menyatakan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan dalam pekerjaan bukanlah dua hal yang saling berlawanan, tetapi dua entitas yang terpisah yang disebabkan aspek yang berbeda dari pekerjaan yang disebut sebagai faktor Higienis dan Motivator. Herzberg dalam Furnham et al. (2009) menyebutkan dimensi dari faktor higienis atau faktor pemeliharaan sebagai berikut: 1. Kebijakan perusahaan dan administrasi. Kebijakan yang dilakukan adil bagi organisasi. Termasuk dalam kebijakan perusahaan dan administrasi ialah semua yang berkaitan dengan prosedur yang dilakukan perusahaan dalam mengatur jalannya pekerjaan diperusahaan. 2. Supervisi (supervision). Bimbingan dan bantuan teknis yang diberikan atasan kepada karyawan, diantaranya: bimbingan, dorongan, semangat, bantuan teknis, komunikasi dan informasi. 3. Hubungan interpersonal dengan rekan kerja. Derajat kesesuaian yang dirasakan dalam berinteraksi dengan tenaga kerja lainnya. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu, mempunyai rekan kerja yang ramah, membina 9
hubungan, mendukung pelaksanaan tugas, dapat, dapat diajak bekerja sama, mempunyai rasa kesatuan yang kuat akan menghantarkan karyawan kepada kepuasan kerja yang meningkat. 4. Hubungan interpersonal dengan atasan. Perilaku atasan merupakan unsur utama dari kepuasan kerja. Kepuasan kerja karyawan akan meningkat apabila pimpinan bersifat ramah, dapat memahami dan mendengarkan pendapat dari karyawannya. 5. Gaji (salary). Imbalan yang sesuai dengan hasil kerja karyawan. Upah dipandang adil apabila didasarkan pada tuntutan pekerjaan dan tingkat keterampilan individu. 6. Keamanan kerja. Rasa aman yang dirasakan karyawan terhadap lingkungan kerja, suasana kerja yang aman baik berupa materil maupun nonmaterial. 7. Kondisi kerja. Lingkungan kerja yang baik dan nyaman akan memudahkan karyawan untuk mengerjakan tugas dengan baik. Herzberg juga menjelaskan dimensi dari faktor motivator adalah sebagai berikut: 1. Prestasi (achievement). Keberhasilan menyelesaikan tugas, besar kecilnya karyawan mencapai prestasi kerja yang tinggi, melakukan pekerjaan yang terbaik, berprestasi, penilaian prestasi kerja dilakukan secara konsisten, adil, objektif. 2. Penghargaan (recognition). Besar kecilnya penghargaan atau penghormatan, pujian, pengakuan dari atasan yang diberikan kepada 10
karyawan atas kinerjanya. 3. Kenaikan pangkat ( advancement). Kesempatan untuk maju yang dicapai selama bekerja. Termasuk dalam kenaikan pangkat ialah kebijakan promosi yang adil. 4. Pekerjaan itu sendiri (work it self). Besar kecilnya tantangan yang dihadapi karyawan. Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan yang memberi kesempatan untuk menggunakan keterampilan, menawarkan berbagai tugas, dan kebebasan. Pada kondisi tantangan yang sedang kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan. 5. Tanggung jawab (responsibility). Tanggung jawab yang diemban atau dimiliki seseorang terhadap tugas yang harus diselesaikan. Secara ringkas dinyatakan oleh Herzberg, bahwa faktor higienis atau faktor pemeliharaan menyebabkan banyak ketidakpuasan bila faktor tersebut tidak ada, tetapi member motivasi jika faktor itu ada. Sebaliknya faktor motivator membimbing kearah motivasi yang kuat dan pemuasan bila faktor itu ada, tetapi menyebabkan ketidakpuasan jika faktor tersebut tidak ada. 2.2 Landasan Konsep 2.2.1 Kepuasan Kerja Kepuasan kerja karyawan yang tinggi sangat penting untuk manajer yang percaya bahwa suatu organisasi memiliki tanggung jawab untuk memberikan karyawan pekerjaan yang menantang dan menguntungkan (Nadiri dan Tanova, 2010). Terdapat beberapa pengertian tentang kepuasan kerja. Pertama, 11
kepuasan kerja sebagai reaksi emosional yang kompleks. Reaksi emosional ini merupakan akibat dari dorongan, keinginan, tuntutan, dan harapan karyawan terhadap pekerjaan yang dihubungkan dengan realitas yang dirasakan oleh karyawan, sehingga menimbulkan suatu bentuk reaksi emosional yang berwujud perasaan senang, perasaan puas, ataupun perasaan tidak puas. Kedua, kepuasan kerja adalah suatu sikap individu terhadap pekerjaan yang berhubungan dengan situasi kerja, kerja sama antar karyawan, imbalan yang diterima dalam pekerjaan, dan hal-hal yang menyangkut faktor fisik dan psikologis (Sutrisno, 2009:74). Kepuasan kerja tetap menjadi wilayah yang penting dari diskusi di bidang manajemen, psikologi dan terutama dalam perilaku organisasi dan manajemen sumber daya manusia. Vitell (d alam Swaminathan, 2013), menyebutkan sejumlah dimensi dari kepuasan kerja yakni kompensasi, kepuasan terhadap manajemen, kepuasan terhadap rekan kerja yang memberi kontribusi terhadap kepuasan kerja yang dirasakan oleh karyawan. Menurut Handoko (2008:193), kepuasan kerja adalah keadaan emosional karyawan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan. Aswathappa (d alam Ahmed dkk, 2003), membahas tentang faktor-faktor penentu kepuasan kerja yang terdiri dari pembayaran upah dan hadiah uang. Organisasi yang berbeda menggunakan sistem upah yang berbeda dan manfaat lainnya. Mokaya et al. (2013) menyatakan organisasi harus terus mengadakan perubahan kearah yang positif, karena tugasnya tidak hanya menarik staf yang tepat, akan tetapi juga harus menciptakan dan mempertahankan motivasi kerja, sehingga tercipta kepuasan kerja dari staf itu sendiri. 12
Kepuasan kerja karyawan dapat meningkatkan produktivitas, mengurangi turnover staf dan meningkatkan kreatifitas dan komitmen. Locke (dalam Krishnan et al., 2010) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan puas terhadap pekerjaan yang dilakukan, dimana termasuk didalamnya adalah gaji, promosi dan lingkungan kerja. Darmawati (2013) menyimpulkan bahwa indikator kepuasan kerja diantaranya adalah pekerjaan mereka, gaji, promosi, supervisi, rekan kerja, serta seluruh pekerjaan yang merekan lakukan. Kepuasan kerja terjadi apabila kebutuhan-kebutuhan individu sudah terpenuhi dan terkait dengan derajat kesukaan dan ketidaksukaan karyawan. Hal ini merupakan sikap umum yang dimiliki oleh karyawan yang erat kaitannya dengan imbalan yang mereka yakini akan diterima setelah melakukan sebuah pengorbanan (Robbins, 2003:91). Menurut Strauss & Sayler (dalam Jumari dkk., 2013), ada 5 dimensi kepuasan kerja yaitu : 1) Gaji, yaitu jumlah gaji atau upah yang diterima dan kelayakan imbalan tersebut. 2) Pekerjaan, yaitu tingkat hingga dimana tugas-tugas tersebut dianggap menarik dan memberikan peluang untuk belajar dan menerima tanggung jawab. 3) Promosi, yaitu tersedianya peluang-peluang untuk mencapai kemajuan dalam jabatan. 4) Supervisi, yaitu kemampuan supervisor untuk menunjukkan perhatian terhadap karyawan. 13
5) Rekan kerja, yaitu tingkat hingga dimana para rekan sekerja bersikap bersahabat dan kompeten. 2.2.2 Self- efficacy Self-efficacy merupakan tingkat keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap kekuatan diri (percaya diri) dalam mengerjakan dan menjalankan suatu tugas atau pekerjaan tertentu. Self-efficacy adalah keyakinan seseorang mengenai peluangnya untuk berhasil mencapai tugas tertentu (Kreitner dan Kinicki,2005:79). Beberapa penelitian akademik telah membuktikan bahwa self efficacy berhubungan dengan kontrol diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, kinerja dan upaya dalam pemecahan masalah (Cherian dan Jolly, 2013). Self-efficacy memiliki dampak pada pola reaksi emosional pikiran individu. Bandura (dalam Cherian dan Jolly, 2013), self- efficacy juga dapat digambarkan sebagai fungsi dari kepercayaan diri dengan mana individu dapat menyelesaikan tugas. Self-efficacy adalah persepsi bahwa seseorang mampu dan yakin terhadap kemampuan dirinya dalam melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kayu dan Bandura (dalam Staples dkk.,1999) menyatakan bahwa selfefficacy merupakan keyakinan individu untuk membentuk peran sentral dalam proses pengawasan melalui motivasi individu dan pencapaian kinerja. Selfefficacy juga menentukan upaya beberapa orang kebanyakan menghabiskan melakukan tugas dan berapa lama mereka akan bertahan dengan pekerjaan atau tugasnya. Menurut Bandura (1997), teori kognitif sosial mengidentifikasi 14
beberapa kondisi dimana individu dapat bekerja bervariasi bahkan dalam domain yang berbeda. Sedangkan menurut Judge dan Bono (2001), self- efficacy tinggi akan menghasilkan suatu pencapain prestasi kerja dan kepuasan kerja yang lebih besar dibandingkan dengan karyawan dengan self-efficacy rendah. Menurut Schwazer dan Schmitz (dalam Aftab et al.2005), terdapat dua tingkat efikasi diri yaitu : 1) Tingkat Efikasi Diri Tinggi Seseorang dengan tingkat efikasi diri (self-efficacy) tinggi lebih memilih untuk melaksanakan tugas ekstra, menuntut, dan inovatif. 2) Tingkat Efikasi Diri Rendah Seseorang dengan tingkat efikasi diri (self-efficacy) rendah akan banyak menimbulkan masalah dalam diri mereka sendiri seperti, kegelisahan, depresi, bahkan akan rentan terhadap situasi atau kondisi buruk. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Bandura, self-efficacy pada individu dapat dianalisa berdasarkan dimensinya, meliputi : 1) Magnitude (tingkat kesulitan), yakni berhubungan dengan tingkat kesulitan tugas. 2) Generality (luas bidang perilaku), yakni menjelaskan keyakinan individu untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu dengan tuntas dan baik. 3) Strength (kekuatan), yakni berhubungan dengan derajat dan kemantapan terhadap keyakinannya. Betz dan Smith (200 2), mengukur keberhasilan diri sosial, mereka digambarkan sebagai perhitungan antisipasi efikasi diri mengenai berbagai 15
perilaku dalam konteks sosial. Jones (1986), dalam Tesis yang berjudul Analisis Pengaruh Empowerment, Self-Efficacy dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan di PT. Mayora Tbk. oleh Chasanah (2008), mengungkapkan sumber atau indikator dari selfefficacy yang tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Bandura, yaitu : perasaan mampu melakukan pekerjaan, kemampuan yang lebih baik, senang pekerjaan yang menantang dan kepuasan terhadap pekerjaan. Penelitian lain mengenai self efficacy dan kepuasan kerja adalah yang dilakukan oleh Klasser dan Ming Chiu (2010), yang meneliti 1.430 orang guru, dengan tujuan ingin menguji hubungan antara pengalaman kerja, karakteristik guru (gender dan tingkat pendidikan), self efficacy, stress kerja dan kepuasan kerja. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa guru yang memiliki tingkat self efficacy yang tinggi akan memiliki tingkat kepuasan kerja lebih tinggi dibandingkan guru dengan tingkat self efficacy rendah. Jadi self-efficacy merupakan suatu, keyakinan diri dan kepercayaan seseorang terhadap kemampuan yang ada dalam dirinya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan menghadapi segala permasalahan yang nantinya akan berpengaruh pada cara individu dalam mengatasi permasalahan tersebut. 2.2.3 Motivasi Kerja Motivasi merupakan suatu rangsangan yang dibuat oleh perusahaan guna meningkatkan gairah bekerja pada karyawan. Motivasi adalah kekuatan yang dihasilkan dari keinginan seseorang untuk memuaskan dan memenuhi kebutuhannya ( Purwanto, 2013). Hasibuan (2010:92) menyatakan bahwa 16
motivasi merupakan cara mendorong gairah bawahan, agar mereka mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuan dan keterampilan untuk mewujudkan kebutuhan perusahaan. Motivasi merupakan kesediaan untuk melaksanakan upaya tinggi untuk mencapai tujuan keorganisasian yang dikondisikan oleh upaya, untuk memenuhi kebutuan individual tertentu (Robbins, 1999:50). Motivasi mendorong seseorang untuk melakukan tindakan yang membantu mereka untuk mencapai efektivitas tugas dengan cara yang dapat menginspirasi orang untuk pekerjaan mereka dan dapat membawa lebih banyak motivasi kerja terhadap komitmen dan keyakinan diri mereka terhadap pekerjaan atau tugas tertentu. Horwitz et al. (2003), memperkirakan bahwa karyawan mendapatkan motivasi tinggi melalui lingkungan kerja yang menantang dan dukungan dari manajemen puncak. Jika karyawan kompetitif dan ingin melakukan pekerjaan dengan efisiensi penuh, maka pekerjaan yang menantang adalah motivator terbaik. Menurut Suwanto dan Priansa (2011:171), motivasi berarti pemberian motif. Motif disini diartikan sebagai tujuan yang dapat berupa rangsangan. Tanpa adanya rangsangan para karyawan akan kurang menampakkan dan akan menyimpan kemampuan dirinya. Locke dan Latham (2004:388), telah mengevaluasi efektivitas motivasi kerja sebagai akibat dari kedua faktor internal dan eksternal yang memaksa karyawan untuk bekerja dengan lebih bersemangat yang hasilnya menjadi kepuasan kerja. Peneliti lainnya (Dedonno dan Demaree; 2008), terkait dengan gagasan 17
ini menunjukkan bahwa persepsi individu dengan motivasi akan berdampak pada kinerja karyawan yang akan berpengaruh pada kepuasan kerja karyawan tersebut. Penurunan motivasi kerja dapat terjadi karena kurang disiplin yang disebabkan oleh turunnya tingkat kepuasan karyawan tersebut (A rifin dkk., 2014). Sedangkan menurut George dan Jones (2005), motivasi kerja dapat didefinisikan sebagai suatu dorongan secara psikologis kepada seseorang yang menentukan arah dari perilaku (direction of behavior) seseorang dalam suatu organisasi, tingkat usaha (level of effort), dan tingkat kegigihan atau ketahanan dalam menghadapi suatu halangan atau masalah (level of persistence). Ardana dkk. (2011:193) menyatakan bahwa terdapat tiga jenis dari motivasi yaitu Material incentive, Semi material incentive dan Non material incentive. Ketiga jenis motivasi diatas akan dijelaskan sebagai berikut. 1) Material Incentive yaitu, pendorong yang dapat dinilai dengan uang. 2) Semi Material Incentive, yaitu segala sesuatu yang tidak dapat dinilai dengan uang. 3) Non Material Incentive yaitu, seluruh jenis perangsang yang tidak termasuk dalam salah satu golongan diatas seperti promosi yang objektif, pekerjaan yang terjamin dan penempatan yang tepat. Masalah motivasi kerja akan muncul dalam suatu organisasi atau perusahaan apabila terdapat kesenjangan antara hasil yang dicapai dengan hasil yang diharapkan oleh suatu perusahaan atau organisasi dan kesenjangan tersebut disebabkan oleh kurangnya usaha yang dilakukan. 18
Ardana dkk. (2011:199) menyatakan beberapa prinsip dasar untuk menganalisis masalah motivasi sebagai berikut. 1) Memberi ganjaran atas perilaku yang diinginkan adalah motivasi yang lebih efektif dari pada menghukum perilaku yang tidak dikehendaki. 2) Faktor motivasi yang dipergunakan harus diyakini yang bersangkutan. 3) Perilaku berganjaran cenderung akan diulangi. 4) Perilaku tertentu lebih reinforced apabila ganjaran atau hukuman bersifat segera dibandingkan ditunda, 5) Nilai motivasional dari ganjaran atau hukuman akan lebih tinggi baik yang berakibat pribadi dibandingkan dengan organisasional. 6) Nilai motivasional dan ganjaran atau hukuman yang diantisipasi akan lebih tinggi apabila sudah pasti akan terjadi dibandingkan dengan yang masih bersifat kemungkinan. Menurut Ardana dkk (2011:199) m asalah untuk kerja akan timbul apabila berada dibawah apa yang diharapkan, dan masalah tersebut bukan disebabkan oleh rendahnya motivasi melainkan disebabkan oleh masalah komunikasi, masalah kemampuan atau keterampilan, masalah pelatihan dan masalah kesempatan untuk maju. George dan Jones (2005), menyatakan bahwa dimensi dari motivasi kerja adalah sebagai berikut. 1) Arah perilaku (Direction of behavior), yaitu mengacu pada perilaku yang dipilih seseorang dalam bekerja dari banyak pilihan perilaku yang dapat mereka jalankan baik tepat maupun tidak. 2) Tingkat Usaha (Level of effort), yaitu seberapa keras usaha seseorang 19
untuk bekerja sesuai dengan perilaku yang dipilih. 3) Tingkat kegigihan (Level of persistence),yaitu mengacu pada motivasi karyawan ketika dihadapkan pada suatu masalah, rintangan atau halangan dalam bekerja, seberapa keras seorang karyawan tersebut terus berusaha untuk mrnjalankan perilaku yang dipilih. Dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas baik kinerja karyawan maupun kepuasan kerja karyawan hendaknya perusahaan atau organisasi melakukan motivasi atau dorongan terhadap setiap karyawan berkinerja lebih baik lagi dan memiliki kepuasan kerja yang tinggi terhadap pekerjaanya dalam perusahaan tersebut. Motivasi memiliki hubungan yang erat dengan sikap dan perilaku yang dimiliki oleh seseorang. Sikap yang ada pada setiap individu berinteraksi dengan nilai-nilai, emosi, peran, struktur sosial dan peristiwaperistiwa baru, yang dapat dipengaruhi dan diubah oleh perilaku (Slamet Riyadi, 2011). Djamaludin (2009), menyatakan bahwa motivasi kerja sangat dibutuhkan oleh individu untuk mendorong pencapaian hasil dari aktivitas yang dilakukan secara memuaskan. Pencapaian hasil maksimal dalam bekerja, sangat dominan dipengaruhi motivasi kerja individu. Jadi, motivasi kerja yang tinggi dari seseorang dapat mendorong terciptanya sebuah kepuasan kerja. 2.3 Rumusan Hipotesis Penelitian 2.3.1 Pengaruh Self- Efficacy terhadap Kepuasan Kerja Lau (2012), dalam penelitiannya terhadap 224 mahasiswa pada sebuah Universitas di Amerika Serikat menunjukkan bahwa self-efficacy berhubungan positif pada kepuasan kerja. Maka dapat disimpulkan bahwa 20
semakin tinggi self-efficacy seseorang semakin tinggi pula kepuasan kerja seseorang. Sebaliknya, semakin rendah self-efficacy seseorang maka tingkat kepuasan kerjanya semakin menurun. Hal ini membuktikan bahwa sel-efficacy yang dimiliki oleh seorang pegawai memberikan dorongan terhadap kepuasan kerja. Karena mereka menganggap bahwa pada dasarnya setiap orang pasti memiliki self efficacy, tetapi self efficacy tersebut terbentuk karena dukungan dari perusahaan. Lodjo (2013), dalam penelitiannya terhadap 127 karyawan PT. PLN Suluttenggo mengatakan bahwa keyakinan diri sangatlah penting. Semakin mampu dan yakin seseorang dalam mengerjakan tugasnya akan semakin tinggi kepuasan kerja karyawan tersebut. Penelitian lain juga menyatakan bahwa selfefficacy berpengaruh positif pada kepuasan kerja (Samuel, 2013). Berdasarkan penelitian sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa : H 1 : Self-efficacy berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja. 2.3.2 Pengaruh Motivasi Kerja terhadap Kepuasan Kerja Kartika dan Kaihatu (2010) dalam penelitiannya terhadap 72 karyawan Pakuwon Food Festival menyatakan bahwa motivasi kerja berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan. Selain penelitian yang dilakukan oleh Brahmasari dan Suprayetno (2008) dalam penelitiannya terhadap 1.737 orang pegawai di PT. Pei Hai International Wiratama Indonesia di Surabaya dan Jombang menyatakan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif pada kepuasan kerja karyawan. Penelitian lainnya dilakukan oleh Djamaludin (2009) terhadap 200 orang PNS yang ada di Kota Maba menyatakan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif pada kepuasan kerja. Berdasarkan penelitian sebelumnya 21
maka dapat disimpulkan bahwa : H 2 : Motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja. 2.3.3 Model Penelitian Berdasarkan definisi dan kajian teori dari beberapa para ahli yang ada, maka dapat disusun suatu model penelitian sebagai dasar penentu hipotesis seperti gambar berikut ini: Gambar 2.1 Model Penelitian Self-Efficacy (X1) H 1 (+) Kepuasan Kerja (Y) Motivasi Kerja (X 2 ) H 2 (+) Sumber: H1 : Lau (2012), Lodjo (2013), dan Samuel (2013) H2 : Kartika dan Kaihatu (2010), Brahmasari dan Suprayetno (2008), dan Djamuluddin (2009) 22