BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembiayaan kesehatan di Indonesia mempunyai tujuan untuk menyediakan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Sumber pembiayaan kesehatan dapat berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, masyarakat, swasta dan sumber lain. Pada sumber anggaran kesehatan yang berasal dari Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di luar gaji (Pemerintah RI, 2009). Analisis tentang pembiayaan kesehatan di Indonesia mengalami beberapa masalah, yaitu: jumlahnya kecil, kurang biaya untuk program promotif dan preventif, kurang biaya operasional, terlambat realiasi, tidak dikaitkan dengan kinerja, terfragmentasi, inefisien, dan biaya kesehatan yang semakin meningkat. Menurut Gani (2006), anggaran kesehatan direncanakan secara historikal dan besarnya tergantung pada pagu anggaran, yang dari tahun ke tahun tidak banyak berubah. Setelah desentralisasi diterapkan pada tahun 1999/2000, masalah tersebut tidak banyak berubah, bahkan di beberapa daerah jumlahnya bertambah kecil (Azwar, 1996; Gani, 2006) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara menyebutkan bahwa dalam penyusunan dan penetapan anggaran harus berbasis pada kinerja dan prestasi kerja (Pemerintah RI, 2003). Hal ini penting mengingat tingkat kebutuhan dana Pemerintah yang makin tinggi, sementara sumber dana terbatas. Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) menyebutkan bahwa instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/ jasa yang dijual tanpa 1
2 mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatan didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas, disebut sebagai BLU. Tujuannya adalah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi, produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat. BLU menyusun Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) berdasarkan basis kinerja dan perhitungan akuntansi biaya menurut jenis layanannya. RBA BLU disusun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan pendapatan yang diterima dari masyarakat, badan lain dan APBD/APBN (Pemerintah RI, 2005a; Pemerintah RI, 2005b). Kota Yogyakarta merupakan 1 diantara 5 Kabupaten/ Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta, mempunyai luas wilayah 32,50 km 2, dengan jumlah penduduk tahun 2010 sebesar 459,246 jiwa. Wilayah Kota Yogyakarta dibagi menjadi 14 kecamatan 45 kelurahan (Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, 2011). Visi Dinas Kesehatan adalah terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang tinggi/ optimal melalui budaya hidup sehat dalam lingkungan sehat dan pelayanan kesehatan bermutu dan terjangkau. Misi untuk mewujudkan Kota Yogyakarta sehat yaitu dengan: 1). Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) kesehatan bekerja sama dengan institusi pendidikan atau lembaga lain; 2). Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelayanan upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perorangan (UKP); 3). Meningkatkan net-working/ kolaborasi antar elemen pelaku kesehatan dan sektor kesehatan; 4). Melaksanakan fungsi regulasi sarana dan tenaga kesehatan; 5). Melaksanakan mutu institusi kesehatan; dan 6). Melaksanakan jaminan kesehatan. Tabel 1. Alokasi Anggaran Bidang Kesehatan Kota Yogyakarta Tahun 2010 2012 Tahun PAD APBD Bidang % Anggaran Kesehatan (Rp) 2010 2011 2012 818.052.316.985 789.008.136.521 889.626.131.133 917.054.170.180 889.772.128.777 934.387.078.100 68.246.698.256 72.152.591.899 84.408.416.330 Sumber : (Pemerintah Kota Yogyakarta 2010b; Pemerintah Kota Yogyakarta 2011; Pemerintah Kota Yogyakarta 2010c) 7,4 8,1 9,0
3 Tabel 1 menggambarkan adanya peningkatan alokasi anggaran untuk bidang kesehatan dari tahun ke tahun, tahun 2011 meningkat sebesar 0,7 % dari tahun 2010 dan tahun 2012 meningkat sebesar 0,9% dari tahun 2011. Pada penelitian Harmana (2006) di Kabupaten Pontianak alokasi anggaran untuk bidang kesehatan sebesar 8,99% dari total APBD, belum menunjukkan komitmen daerah secara nyata karena besaran anggaran tersebut masih jauh dibawah anggaran untuk bidang pendidikan yaitu sebesar 36,36% dari APBD (Harmana & Adisasmito, 2006). Walaupun ada tanda-tanda meningkatnya jumlah total biaya kesehatan di daerah, secara keseluruhan belum memecahkan masalah kronis dalam pembiayaan kesehatan yaitu: (a) belum mencapai tingkat kebutuhan normative; (b) kurang biaya operasional; (c) tidak fleksibel dalam penggunaannya sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan. Tabel 2. Belanja Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta Tahun 2012 Belanja Daerah Anggaran (Rp) Persentase (%) Belanja tidak langsung/belanja pegawai 32.157.301.543 41,29 Belanja langsung terdiri dari : 0,00 Program pelayanan administrasi perkantoran 2.778.954.950 3,57 Program peningkatan sarana dan prasarana 323.399.000 0,42 aparatur Program peningkatan pengembangan system 86.298.000 0,11 pelaporan capaian kinerja dan keuangan Program upaya pelayanan kesehatan 7.745.935.155 9,95 Program Upaya Pelayanan Gizi dan 1.775.792.750 2,28 Kesehatan Keluarga Program pengendalian penyakit dan 1.538.862.500 1,98 penyehatan lingkungan Program pembiayaan dan jaminan 20.034.517.125 25,73 pemeliharaan kesehatan Program regulasi dan pengembangan sumber 497.097.500 0,64 daya manusia kesehatan Program Pemberdayaan Masyarakat dan 2.778.686.750 3,57 Promosi Kesehatan Program Penelitian, Pengembangan dan 692.406.000 0,89 Informasi Kesehatan Program Peningkatan Pelayanan Kefarmasian 7.463.324.000 9,58 dan Pengelolaan Alat Kesehatan Jumlah 77.872.575.273 100,00 Sumber : (Pemerintah Kota Yogyakarta 2011)
4 Tabel 2 menggambarkan bahwa belanja tidak langsung/ belanja pegawai mempunyai persentase yang paling tinggi sebesar 41,29% dari total belanja Dinas Kesehatan, program upaya pelayanan kesehatan sebesar 9,95% dari seluruh kegiatan di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Anggaran tersebut digunakan untuk program peningkatan mutu pelayanan dasar dan rujukan dan pengelolaan operasional Puskesmas. Penggunaan anggaran operasional Puskesmas tersebut digunakan untuk mendukung pelayanan kesehatan dasar baik rawat jalan maupun rawat inap, yang berarti bahwa bagian tersebut terjadi pemanfaatan berupa tenaga, biaya, waktu dan aktivitas-aktivitas pelayanan yang lebih banyak dan rutin. Puskesmas saat ini dituntut oleh masyarakat untuk memberikan pelayanan kesehatan bermutu dan terjangkau. Sehingga perlu dikembangkan sistem pembiayaan kesehatan, karena berpengaruh terhadap mutu pelayanan. Sumber pembiayaan Puskesmas berasal dari Pemerintah (APBN dan APBD), bantuan pembangunan sarana kesehatan dan dari masyarakat dalam bentuk retribusi yang dibayar masyarakat setelah mendapat pelayanan (out of pocket atau fee for service) (Sukamerta & Rochmah, 2008). Penelitian yang dilakukan Junnu (2009) di Puskesmas Salam Kota Magelang menunjukkan hasil bahwa tarif berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Tahun 2007 hanya mampu menutupi sekitar 66,12% kebutuhan operasional Puskesmas (Junnu, 2009). Tanggung (2008) menunjukkan besaran subsidi poli umum, poli gigi dan poli Kesehatan Ibu dan Anak-Keluarga Berencana (KIA-KB) Puskesmas Aertembaga hanya menutup 69,65% dari besaran biaya operasional sesungguhnya (Tanggung, 2008). Puskesmas Jetis merupakan salah satu Puskesmas dengan rawat inap yang berada di Kota Yogyakarta. Wilayah kerjanya mencakup 156 Ha dengan jumlah penduduk 30.276 jiwa yang tersebar di 3 kelurahan yaitu kelurahan Bumijo, Cokrodiningratan dan gowongan. Sarana kesehatan Puskesmas Jetis berupa Puskesmas induk dengan jumlah tempat tidur 7 buah (7 tempat tidur dewasa dan 7 tempat tidur bayi), ginekology bed 2 buah. Seluruh tenaga 60 orang, terdiri dari tenaga medis, paramedis dan non medis dengan rincian sebagai berikut: dokter umum 6 orang, dokter gigi 2 orang, perawat 7 orang, perawat gigi 4 orang, bidan 10 orang, petugas gizi 2 orang, apoteker dan asisten apoteker 3 orang, analis
5 laboratorium 2 orang, sanitarian 1 orang, rekam medis 1 orang, dan tenaga non medis (staf umum, petugas kebersihan, sopir, penjaga malam, petugas masak dan surveilance) 22 orang. Pelayanan Puskesmas Jetis mencakup rawat jalan dan rawat inap khusus persalinan, dimana kebutuhan makan pasien dan loundry di rawat inap dikelola sendiri oleh puskesmas. Tabel 3. Pencapaian Kinerja Pelayanan Puskesmas Jetis Tahun 2011 Indikator Kinerja Sasaran Target Pencapaian Jumlah % Jumlah % Poli Umum 30.276 30.276 100 26.462 87 Cakupan Kunjungan Ibu Hamil 400 380 95 473 118 Cakupan persalinan 380 342 90 352 100 Cakupan pelayanan nifas 380 342 90 352 100 Cakupan kunjungan bayi 352 317 90 342 97 Cakupan peserta KB aktif 3.054 2.291 75 2.298 75 Sumber : (Puskesmas Jetis, 2012) Tabel 3 menunjukkan bahwa secara umum Pencapaian pelayanan Puskesmas Jetis pada tahun 2011 melebihi target pencapaian kinerja sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) tahun 2010. Selain pencapaian kinerja pada tabel 3, pencapaian pelayanan rawat inap di Puskesmas Jetis pada tahun 2011 sebanyak 1083 hari rawat inap dengan Average Length of Stay 3 hari, hal tersebut menunjukkan angka penggunaan tempat tidur (Bed Occupancy Ratio/ BOR) 42%, belum sesuai standar BOR yaitu 60-85%. Gambar 1. Pendapatan, Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) dan Belanja Puskesmas Jetis Tahun 2009 2012
6 Gambar 1 menunjukkan kecenderungan pendapatan Puskesmas Jetis yang terus meningkat, DPA Puskesmas lebih rendah dari pendapatan Puskesmas, dan belanja operasional per tahun dibawah DPA. Pada tahun 2012 menunjukkan pendapatan yang tidak dibelanjakan sebesar Rp. 122.902.264,- (17%), karena prosedur operasional Puskesmas di Kota Yogyakarta. Tabel 4. Sumber Pendapatan Puskesmas Jetis Tahun 2012 Sumber Pendapatan Persentase (Rp) (%) Pasien dalam wilayah 176.403.525 27,55 Pasien luar wilayah 442.767.750 69,15 Lansia 21.139.000 3,30 Jumlah 640.310.275 100,00 Sumber : Puskesmas Jetis 2012 Tabel 3 menunjukkan sumber pendapatan Puskesmas Jetis Tahun 2012, pendapatan terbesar dari pasien luar wilayah sebesar Rp. 442.767.750,- (69,15%). Hal tersebut menunjukkan bahwa pasien yang paling banyak memanfaatkan pelayanan berasal dari luar wilayah Kecamatan Jetis. Sumber pembiayaan Puskesmas lainnya berasal dari Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Pusat. Pada tahun 2012 Puskesmas Jetis mendapat Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dari Pemerintah Pusat sebesar Rp. 85.000.000,-. BOK tersebut digunakan untuk menyelenggarakan UKM berupa promotif dan preventif di wilayah kerja Puskesmas Jetis. Alternatif untuk melakukan reformasi pembiayaan kesehatan adalah menghitung kebutuhan biaya untuk melaksanakan upaya kesehatan salah satunya dengan program costing didasarkan pada perhitungan unit cost (Gani, 2006). Melihat gambaran kondisi diatas dan dalam rangka persiapan pelaksanaan Puskesmas BLU di tahun 2014, maka perlu dilakukan penelitian tentang perhitungan usulan anggaran dengan mempertimbangkan SPM tahun 2010, subsidi dan pendapatan berbasis unit cost di Puskesmas Jetis.
7 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini sebagai berikut: berapa besar usulan anggaran dengan mempertimbangkan target SPM tahun 2010, subsidi dan pendapatan berbasis unit cost di Puskesmas Jetis? C. Tujuan Penelitian Tujuan umum: Untuk memperoleh gambaran besaran usulan anggaran berbasis unit cost dan persepsi stakeholder terhadap hasil perhitungan usulan anggaran di Puskesmas Jetis. Tujuan khusus: 1. Mengidentifikasi besaran unit cost pelayanan rawat jalan dan rawat inap di Puskesmas Jetis. 2. Mengidentifikasi besaran usulan anggaran dengan mempertimbangkan target SPM tahun 2010, subsidi dan pendapatan berbasis unit cost di Puskesmas Jetis sebagai persiapan pelaksanaan BLU. 3. Mengidentifikasi persepsi stakeholder terhadap hasil perhitungan usulan anggaran berbasis unit cost di Puskesmas Jetis. D. Manfaat Penelitian Manfaat praktis: 1. Bagi Puskesmas, sabagai bahan perencanaan dan pengembangan manajemen keuangan Puskesmas sebagai persiapan pelaksanaan BLU. 2. Bagi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, sebagai bahan menentukan besaran anggaran berbasis unit cost di Puskesmas Jetis.
8 Manfaat teoritis: 1. Sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang berharga bagi peneliti dalam bidang pembiayaan pelayanan kesehatan khususnya perhitungan unit cost Puskesmas. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian dengan topik yang hampir sama antara lain: 1. Hartono (2006), Analisis Usulan Tarif Puskesmas Rawat Inap Berbasis Unit Cost di Puskesmas Lintau Buo II Kabupaten Tanah Datar. Tujuan penelitiannya mengetahui besarnya unit cost rawat jalan dan rawat inap, usulan tarif dan persepsi stakeholder. Jenis penelitiannya deskriptif dengan rancangan studi kasus menggunakan metode double distribution, variabel penelitian meliputi usulan tarif, unit cost, Ability to Pay (ATP), tarif pesaing dan persepsi stakeholder. Hasil penelitiannya adalah unit cost untuk rawat jalan BP dengan pendekatan direct cost sebesar Rp. 3.804,-, dan dengan pendekatan full cost sebesar Rp. 14.609,-. ATP/ Willingnes to Pay (WTP) masyarakat Rp 6.155,-, tarif yang diusulkan sebesar Rp. 3.500,-. Persamaan dengan penelitian ini pada metode double distribution yang digunakan untuk analisis data (Hartono, 2006). 2. Tanggung (2008), Analisis biaya per satuan Pelayanan di Puskesmas Aertembaga Kota Bitung Provinsi Sulawesi Utara. Tujuan penelitiannya mengetahui besaran unit cost dan subsidi di poli umum, poli gigi dan poli KIA- KB serta persepsi stakeholder terhadap pembiayaan operasional di Puskesmas. Jenis penelitiannya deskriptif dengan rancangan studi kasus. Pengolahan data menggunakan metode Activity-Based Costing (ABC) dengan unit analisis Puskesmas Aertembaga pada poli umum, poli gigi, dan poli KIA-KB. Hasil penelitiannya adalah biaya per satuan pelayanan poli umum Rp. 10.257,-, poli gigi Rp. 9.510,- dan pelayanan ibu hamil di poli KIA-KB Rp. 14.103,-, besaran subsidi sebesar Rp. 183.778.651,-, Rp. 38.805.680,- dan Rp. 23.418.018,-. Persamaannya pada variabel unit cost yang diteliti (Tanggung, 2008).
9 3. Junnu (2009), Analisis biaya satuan rawat jalan Puskesmas Salam Kebupaten Magelang. Tujuan penelitiannya menghitung unit cost, mengukur ATP/WTP masyarakat dan membandingkan tarif pesaing. Jenis penelitiannya deskriptif dengan rancangan studi kasus, menggunakan metode double distribution. Variabel yang diteliti meliputi unit cost, ATP/WTP, jasa pelayanan, tarif pesaing dan usulan tarif rawat jalan Puskesmas. Hasil penelitian tersebut adalah biaya satuan pemeriksaan umum Rp. 6.032,-. ATP/WTP masyarakat 21,3% bersedia membayar di atas Rp. 7.392,-, dan 78,8% mempunyai kemauan membayar dibawah Rp. 7.392,-/kunjungan. Persamaan dengan penelitian ini adalah metode double distribution yang digunakan untuk analisis data (Junnu, 2009). 4. Sari (2011), Analisis Biaya Satuan Poliklinik Ibu dan Anak Sebagai Bahan Usulan Penetapan Subsidi di Rumah Sakit Ibu dan Anak Pemerintah Aceh. Tujuan penelitiannya mengetahui besaran unit cost, subsidi biaya, pendapat stakeholder. Jenis penelitiannya adalah deskriptif dengan rancangan studi kasus dengan menggunakan metode Activity Based Cost (ABC). Unit analisisnya adalah Poliklinik Ibu dan Anak. Variabel penelitiannya adalah unit cost, subsidi biaya dan pendapat stakeholder. Hasil penelitian tersebut adalah rata-rata biaya direct cost sebesar Rp 133.616,- dan driver cost Rp. 2.421,- serta unit cost Rp. 20.046,-. Total subsidi sebesar Rp. 1.019.946.211,-. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel unit cost dan subsidi yang diteliti (Sari, 2011). Perbedaan penelitian ini daripada penelitian sebelumnya adalah pada metode double distribution yang digunakan untuk menghitung unit cost dalam menghitung besaran usulan anggaran dengan mempertimbangkan target SPM tahun 2010, subsidi dan pendapatan di Puskesmas Jetis, dengan unit penelitian yang mencakup seluruh unit pelayanan rawat inap dan rawat jalan, dalam gedung dan luar gedung, dan adanya pola tarif yang sudah terbentuk sebelumnya.