MENGGAGAS PARADIGMA BARU PENDIDIKAN MATEMATIKA KONTEMPORER

dokumen-dokumen yang mirip
Pembelajaran Matematika Realistik Sebagai Sebuah Cara Mengenal Matematika Secara Nyata

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pendekatan Realistic Mathematics Education atau Pendekatan Matematika

BAB II KAJIAN TEORI. aplikasi dari konsep matematika. Pengenalan konsep-konsep matematika

EVALUASI TERHADAP BAHAN AJAR MATEMATIKA BERBASIS PMRI DI BANDUNG RAYA

PENINGKATAN PROFESIONAL GURU SEKOLAH DASAR MELALUI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI)

BAB II KAJIAN TEORITIS

PARADIKMA BARU PEMBELAJARAN MATEMATIKA

PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME PARADIGMA BARU DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH. Oleh :

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK

IMPLEMENTASI REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) DI SEKOLAH. Oleh Edy Tandililing (PMIPA, FKIP, Universitas Tanjungpura, Pontianak)

SEKILAS TENTANG PMRI. Oleh Shahibul Ahyan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MELALUI PENDEKATAN PMR DALAM POKOK BAHASAN PRISMA DAN LIMAS. FMIPA UNP,

BAB I PENDAHULUAN. matematika kurang disukai oleh kebanyakan siswa. Menurut Wahyudin (1999),

PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI) DAN RELEVANSINYA DENGAN KTSP 1. Oleh: Rahmah Johar 2

penekanannya pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa serta keterampilan dalam penerapan matematika. Namun, sampai saat ini masih banyak

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dari Freudenthal Institute, Urecht University di negeri Belanda. kepada siswa, melainkan tempat siswa menemukan kembali ide dan

PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK, KAITANNYA DENGAN PERFORMANSI PESERTA DIDIK Oleh: Ahmad Nizar Rangkuti 1

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SD MENGGUNAKAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI)

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR)

PEMBELAJARAN PMRI. Oleh Muhammad Ridhoni (Mahasiswa Magister Pend. Matematika Universitas Sriwijaya, Palembang)

PENDEKATAN PEMBELAJARAN IPS DI SMP (Oleh: Dra. Neti Budiwati, M.Si.)

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME)

Model Pembelajaran Konstekstual dalam Bidang Studi Ekonomi Pendahuluan

PEMANFAATAN BUDAYA TRADISIONAL UNTUK MEMBANTU KEGIATAN INVESTIGASI PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan sehari- hari maupun dalam ilmu pengetahuan.

MAKALAH. Oleh: R. Rosnawati, dkk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORI. merupakan suatu ide abstrak yang memungkinkan seseorang untuk. pengertian yang benar tentang suatu rancangan atau ide abstrak.

Vol. 1 No. 1 Th. Jan-Des 2016 ISSN: PENGGUNAAN ICEBERG DALAM PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI)

BAB I. Matematika dan perkembangan teknologi serta informasi tidak dapat dipisahkan.

UPAYA MENINGKATKAN MINAT BELAJAR MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN PMRI PADA SISWA KELAS VII SMP MAARIF 5 PONOROGO

II. TINJAUAN PUSTAKA. Rasa puas ini (atau lebih tepat barangkali. membangkitkan rasa ingin tahu lebih lanjut yang memerlukan pemuas.

Kata Kunci: Pendidikan Matematika Realistik, Hasil Belajar Matematis

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR)

PENERAPAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS VI SDN 2 PATEGALAN JATIBANTENG

Pembelajaran Fungsi Komposisi dan Fungsi Invers Melalui Pendekatan Matematika Realistik untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMA

DASAR FILOSOFI. Manusia harus mengkontruksikan pengetahuan pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

DESAIN PEMBELAJARAN PENJUMLAHAN BILANGAN 1-29 BERBASIS PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI) DI SD NEGERI 117 PALEMBANG

PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK PADA PEMBELAJARAN PECAHAN DI SMP. Di sampaikan pada Pelatihan Nasional PMRI Untuk GuruSMP Di LPP Yogyakarta Juli 2008

INTERAKSI SISWA DALAM PEMBELAJARAN PMRI. Makalah dipresentasikan pada. Pelatihan PMRI untuk Guru-Guru SD di Kecamatan Depok dalam rangka

Pemahaman Konsep FPB Dengan Pendekatan RME. Oleh: Lailatul Muniroh

BAB I PENDAHULUAN. berdampak positif dalam pencapaian prestasi belajar yang optimal. Hasil

BAB I PENDAHULUAN. sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget, mereka berada pada fase. operasional konkret. Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

InfinityJurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 2, No.1, Februari 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN Contextual Teaching and Learning

Kemampuan Berpikir Relasional Siswa dalam Mengerjakan Soal Kontekstual dengan Pendekatan Realistik Pada Topik Fungsi Linear

MENDESAIN SENDIRI SOAL KONTEKSTUAL MATEMATIKA *

SIKLUS KEDUA PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BILANGAN BULAT DI KELAS IV SEKOLAH DASAR DENGAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK

PENGGUNAAN MODEL RME DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA TENTANG PECAHAN SISWA KELAS V SD

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan diberikannya mata pelajaran matematika untuk siswa

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek dalam kehidupan yang memegang

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

Jurnal EDUCATIO Jurnal Pendidikan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengembangan kurikulum matematika pada dasarnya digunakan. sebagai tolok ukur dalam upaya pengembangan aspek pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan secara formal, tepat dan akurat sehingga tidak memungkinkan

BAB. I PENDAHULUAN. Hilman Latief,2014 PENGARUH PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL TERHADAP HASIL BELAJAR Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.

PENGEMBANGAN MULTIMEDIA PEMBELAJARAN MATEMATIKA PADA MATERI FUNGSI KUADRAT BERBASIS RME UNTUK SISWA SMA/MA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMANFAATAN VIDEO TAPE RECORDER (VTR) UNTUK PEGEMBANGAN MATEMATIKA REALISTIK DI SMP

IMPLEMENTASI LESSON STUDY MELALUI PENDEKATAN PMRI PADA MATA KULIAH METODE STATISTIKA I

KONSEP SAMA DENGAN PADA PENJUMLAHAN DI SEKOLAH DASAR DAN PEMBELAJARANNYA Sugiman FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. Nasional Pendidikan pasal 19 dikatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia. Lebih lanjut matematika dapat memberi bekal kepada siswa. matematika siswa secara umum belum menggembirakan.

PENANAMAN NORMA-NORMA SOSIAL MELALUI INTERAKSI SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN PMRI DI SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu dari sekian banyak mata pelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan suatu landasan dan kerangka perkembangan ilmu

I. PENDAHULUAN. Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu pilar utama dalam menentukan

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan di era globalisasi seperti saat ini. Pemikiran tersebut dapat dicapai

BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN MENGHITUNG LUAS PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menuju ke arah yang lebih baik. Menurut Hamalik (2001: 37) belajar

Jurnal Silogisme: Kajian Ilmu Matematika dan Pembelajarannya Oktober 2016, Vol. 1, No.1. ISSN:

PEMBELAJARAN PENGURANGAN PECAHAN MELALUI PENDEKATAN REALISTIK DI KELAS V SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berpikir dan kemampuan dalam memecahkan masalah, terutama dalam

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN FISIKA DI SMA

BAB I PENDAHULUAN. berkembang pesat baik isi maupun aplikasinya, sehingga pengajaran matematika

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. dan sasarannya. Efektivitas merujuk pada kemampuan untuk memiliki tujuan

BAB I PENDAHULUAN. seiring berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang begitu pesat,

KURIKULUM MATEMATIKA TAHUN 1984 DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK. Tatang Herman

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENDEKATAN KONTEKSTUAL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING) PADA PENDIDIKAN ANAK DINI USIA. Muh. Tawil, *)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia khususnya para siswa di tingkat pendidikan Sekolah Dasar hingga

(Penelitian PTK Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Nogosari) SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam (IPA) yang terdiri

BAB II PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS

I. PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia sedang mendapat perhatian dari pemerintah. Berbagai

BAB II KAJIAN PUSTAKA

DESAIN ATURAN SINUS DAN ATURAN COSINUS BERBASIS PMRI

I. PENDAHULUAN. perkembangan. Perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang memang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Heri Sugianto, 2013

Transkripsi:

MENGGAGAS PARADIGMA BARU PENDIDIKAN MATEMATIKA KONTEMPORER MAILIZAR Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Indraprasta PGRI Jakarta Abstract. Mathematics education in our country is currently experiencing a paradigm shift. There was a strong anxiety and awareness, especially among policy makers, to renew mathematics education. The aim is that the learning of mathematics more meaningful for students and can provide adequate supplies of competence both to further study or for entering the workforce. This paper describes the new paradigm. The outline will be elaborated on some new approaches in learning mathematics, such as kontruktivis, contextual (contextual teaching and learning or CTL), and in particular will be described on realistic mathematics education approach (MEA). Keys Word: New Paradigm of Education, Teaching Mathematics, Educational Practice, Learning Process PENDAHULUAN Ada perkembangan yang sangat berpengaruh dan menjadi ciri praktik pendidikan di Indonesia selama ini adalah pembelajaran berpusat pada guru. Guru menyampaikan pelajaran dengan menggunakan metode ceramah atau ekspositori sementara para siswa mencatatnya pada buku catatan. Dalam proses pembelajaran yang demikian, guru dianggap berhasil apabila dapat mengelola kelas sedemikian rupa sehingga siswa-siswa tertib dan tenang mengikuti pelajaran yang disampaikan guru. Program pengajaran dianggap sebagai proses penyampaian fakta-fakta kepada para siswa. Siswa dianggap berhasil dalam belajar apabila mampu mengingat banyak fakta, dan mampu menyampaikan kembali fakta-fakta tersebut kepada orang lain, atau menggunakannya untuk menjawab soal-soal dalam ujian. Guru sendiri merasa belum mengajar kalau tidak menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Guru yang baik adalah guru yang menguasai bahan, dan selama proses belajar mengajar mampu menyampaikan materi tanpa melihat buku pelajaran. Guru yang baik adalah guru yang selama 2 kali 45 menit dapat menguasai kelas dan berceramah dengan suara yang lantang. Materi pelajaran yang disampaikan sesuai dengan GBPP atau apa yang telah tertulis di dalam buku paket. Praktik pendidikan yang selama ini berlangsung di sekolah ternyata sangat jauh dari hakikat pendidikan yang sesungguhnya, yaitu pendidikan yang menjadikan siswa sebagai manusia yang memiliki kemampuan belajar untuk mengembangkan potensi dirinya dan mengembangkan pengetahuan lebih lanjut untuk kepentingan dirinya sendiri. Menurut Zamroni (2000) praktik pendidikan yang demikian mengisolir diri dari lingkungan sekitar dan dunia kerja, serta tidak mampu menjadikan siswa sebagai manusia yang utuh dan berkepribadian. Paradigma baru pendidikan lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Kebenaran ilmu tidak terbatas pada apa yang disampaikan oleh guru. Guru harus mengubah perannya, tidak lagi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner, tetapi menjadi fasilitator yang membimbing siswa ke arah pembentukan pengetahuan oleh diri mereka sendiri. Melalui paradigma - 145 -

baru tersebut diharapkan di kelas siswa aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi (Zamroni, 2000). Kerangka Kontekstual Tentang Pembelajaran Matematika Pada bagian ini akan diuraikan beberapa pendekatan baru dalam pembelajaran matematika yang relevan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas. Pedekatan terebut adalah: konstruktivis dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning). a. Konstruktivis Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang baru. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus-menerus (Suparno, 1997). Prinsip-prinsip kontruktivisme banyak digunakan dalam pembelajaran sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial, (2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar, (3) murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, (4) guru sekadar membantu penyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus (Suparno, 1997). Dalam wacana filsafat konstruktivis berpikir yang baik adalah lebih penting daripada mempunyai jawaban yang benar atas suatu persoalan yang dipelajari. Seseorang yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi fenomen baru, akan dapat menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan lain (Suparno, 1997). Seringkali diungkapkan bahwa menurut paradigma baru pendidikan peran guru harus diubah, yaitu tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada para siswanya, tetapi harus mampu menjadi mediator dan fasilitator. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut: 1) Menyediakan pengalaman belajar yang memeungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu memberi ceramah bukanlah tugas utama seorang guru. 2) Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka (Watt & Pope, 1989). Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik (Tobin, Tippins, & Gallard, 1994). 3) Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa. (Suparno, 1997). Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal, diperlukan beberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh pengajar. - 146 -

1. Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan. 2. Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh terlibat. 3. Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah pelajar. 4. Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar. 5. Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru. (Suparno, 1997). b. Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran kontekstual berangkat dari suatu kenyakinan bahwa seseorang tertarik untuk belajar apabila ia melihat makna dari apa yang dipelajarinya. Orang akan melihat makna dari apa dipelajarinya apabila ia dapat menghubungkan informasi yang diterima dengan pengetahuan dan pengelamannya terdahulu. Sistem pembelajaran kontekstual didasarkan pada anggapan bahwa makna memancar dari hubungan antara isi dan konteksnya. Konteks memberi makna pada isi. Lebih luas konteks, dalam mana siswa dapat membuat hubungan-hubungan, lebih banyak makna isi ditangkap oleh siswa. Bagian terbesar tugas guru, dengan demikian, adalah menyediakan konteks. Apabila siswa dapat semakin banyak menghubungkan pelajaran sekolah dengan konteks ini, maka lebih banyak makna yang akan mereka peroleh dari pelajaran-pelajaran tersebut. Menemukan makna dalam pengetahuan dan ketrampilan membawa pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan tersebut (Johnson, 2002). Ketika siswa menemukan makna dari pelajaran di sekolah, mereka akan memahami dan mengingat apa yang telah mereka pelajari. Pembelajaran konteksual memungkina siswa mampu menghubungkan pelajaran di sekolah dengan konteks nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga mengetahui makna apa yang dipelajari. Pembelajaran kontekstual memperluas konteks pribadi mereka, sehingga dengan menyediakan pengalaman-pengalaman baru bagi para siswa akan memacu otak mereka untuk membuat hubungan-hubungan yang baru, dan sebagai konsekuensinya, para siswa dapat menemukan makna yang baru (Johnson, 2002). Pembelajaran kontekstual merupakan sistem yang holistik (menyeluruh). Ia terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan, yang apabila dipadukan akan menghasilkan efek yang melebihi apa yang dapat dihasilkan oleh suatu bagian secara sendiri (tunggal). Persis seperti biola, celo, klarinet dan alat musik yang lain dalam suatu orkestra yang mempunyai suara yang berbeda, tetapi secara bersama-sama alat-alat musik tersebut menghasilkan musik. Jadi, bagian-bagian yang terpisah dari CTL melibatkan proses yang berbeda, apabila digunakan secara bersama-sama, memungkinkan siswa membuat hubungan untuk menemukan makna. Setiap elemen yang berbeda dalam sistem CTL memberikan kontribusi untuk membantu siswa memahami makna pelajaran atau tugastuga sekolah. Digabungkan, elemen-elemen tersebut membentuk suatu siswa yang memungkinkan siswa melihat makna dari pelajaran sekolah, dan menyimpannya (Johnson, 2002). Dari uraian di atas, CTL didefinisikan sebagai suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dari pelajaran sekolah yang sedang mereka pelajari dengan menghubungkan pelajaran tersebut dengan konteksnya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, sosial, maupun budaya. Untuk mencapai tujuan itu, sistem tersebut meliputi delapan komponen: (1) membuat hubungan yang bermakna, (2) melakukan pekerjaan yang berarti, (3) pengaturan belajar sendiri, (4) kolaborasi, (5) - 147 -

berpikir kritis dan kreatif, (6) mendewasakan individu, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian autentik. (Johnson, 2002). PEMBAHASAN: PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994), dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan dunia riil (de Lange, 1995). Dunia riil adalah segala sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, ataupun kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita (Blum & Niss, 1989). Dunia riil diperlukan untuk mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum. Materi kurikulum yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual akan membantu proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Dalam PMR, proses belajar mempunyai peranan penting. Rute belajar (learning route) di mana siswa mampu menemukan sendiri konsep dan ide matematika, harus dipetakan (Gravemeijer, 1997). Sebagai konsekuensinya, guru harus mampu mengembangkan pengajaran yang interaktif dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi terhadap proses belajar mereka. Pada saat ini, PMR mendapat perhatian dari berbagai pihak, seperti guru, siswa, orangtua, dosen LPTK (teacher educators), dan pemerintah. Beberapa sekolah dasar di Yogyakarta, Bandung dan Surabaya telah melakukan ujicoba dan implementasi PMR dalam skala terbatas. Sebelum PMR diimplementasikan secara luas di Indonesia, perlu pemahaman yang memadai tentang teori baru tersebut. Seringkali kegagalan dalam inovasi pendidikan bukan disebabkan karena inovasi itu jelek, tapi karena kita tidak memahaminya secara benar. Makalah ini akan menguraikan secara garis besar tentang sejarah PMR, mengapa kita perlu mengembangkan PMR di Indonesia, bukti empiris prospek penerapan PMR di Indonesia, dan ditutup dengan harapan terhadap implementasi PMR di tanah air. a. Sejarah PMR PMR tidak dapat dipisahkan dari Institut Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah Utrecht University, Belanda. Nama institut diambil dari nama pendirinya, yaitu Prof. Dr. Hans Freudenthal (1905-1990), seorang penulis, pendidik, dan matematikawan berkebangsaan Jerman-Belanda. Sejak tahun 1971, Institut Freudenthal mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive receivers of readymade mathematics (penerima pasif matematika yang sudah jadi). Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai situasi (konteks), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar. Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context-link solution), siswa secara perlahan - 148 -

mengembangkan alat dan pemahaman matematik ke tingkat yang lebih formal. Modelmodel yang muncul dari aktivitas matematik siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi. b. Mengapa kita perlu mengembangkan PMR? Orientasi pendidikan di Indonesia mempunyai ciri: cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek; guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner; materi bersifat subject-oriented; dan manajemen bersifat sentralistis (Zamroni, 2000). Orientasi pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak sejalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian (Zamroni, 2000). Paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Zamroni, 2000): 1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching); 2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri; dan 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. Teori PMR sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (cotextual teaching and learning, disingkat CTL). Namun, baik pendekatan konstruktivis maupun CTL mewakili teori belajar secara umum, PMR adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Selanjutnya juga diakui bahwa konsep PMR sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar. Salah satu pertimbangan mengapa Kurikulum 1994 direvisi adalah banyaknya kritik yang mengatakan bahwa materi pelajaran matematika tidak relevan dan tidak bermakna (Kurikulum 1994 Akhirnya Disempurnakan, 1999). Beberapa konsepsi PMR tentang siswa, guru dan tentang pengajaran yang diuraikan berikut ini mempertegas bahwa PMR sejalan dengan paradigma baru pendidikan, sehingga ia pantas untuk dikembangkan di Indonesia. c. Konsepsi tentang siswa Pendidikan Matematika Realistik (PMR) mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut: 1. Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya; 2. Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri; 3. Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan; 4. Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman; 5. Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematik. d. Peran guru Sementara itu, Pendidikan Matematika Realistik (PMR) mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut: - 149 -

1. Guru hanya sebagai fasilitator belajar; 2. Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif; 3. Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil; dan 4. Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil, baik fisik maupun sosial. e. Konsepsi tentang pengajaran Pengajaran matematika dengan pendekatan PMR meliputi aspek-aspek berikut (De Lange, 1995): 1. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang riil bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna; 2. Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut; 3. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan; 4. Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran. f. Bukti Empiris Prospek Penerapan PMR di Indonesia Beberapa penelitian tentang PMR telah dilaksanakan di Indonesia. Hasil-hasil penelitian tersebut memberikan bukti empiris tentang prospek pengembangan dan implementasi PMR di tanah air. Hasil-hasil penelitian tersebut diuraikan di bawah ini. Penelitian yang dilakukan Fauzan (2002) tentang implementasi materi pembelajaran realistik untuk topik luas dan keliling di kelas 4 sekolah dasar di Surabaya menunjukkan bahwa materi PMR dapat digunakan dalam pembelajaran matematika di SD. Dalam penelitian tersebut Fauzan (2002) menemukan bahwa para guru dan siswasiswa menyukai materi pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, yaitu menurut mereka materi tersebut sangat berbeda dengan buku yang dipakai sekarang baik dari segi isi maupun pendekatannya. Dengan menggunakan materi PMR di kelas, proses belajar mengajar menjadi lebih baik, di mana siswa lebih aktif dan kreatif, guru tidak lagi menggunakan metode chalk dan talk, dan peran guru berubah dari pusat proses belajar mengajar menjadi pembimbing dan narasumber. Penelitian Fauzan (2002) juga menemukan bahwa pada awalnya terdapat berbagai masalah yang disebabkan oleh sikap negatif siswa dalam belajar matematika yang merupakan akibat pendekatan tradisional pengajaran matematika. Untuk mengatasi hal tersebut Fauzan (2002) menyarankan untuk memperhatikan hal-hal berikut: 1. Sedini mungkin menjelaskan kepada siswa tentang perubahan peran mereka dan guru mereka dalam proses belajar mengajar, dan hal itu berbeda dengan cara sebelumnya atau yang selama ini dipraktikkan di kelas. 2. Guru perlu menjelaskan kepada para siswa tentang kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan, dan jenis jawaban yang diharapkan untuk menyelesaikan soal-soal kontekstual. 3. Berkenaan dengan sikap negatif siswa-siswa dalam proses belajar mengajar matematika, hal-hal berikut dapat membantu mengubah sikap tersebut: - 150 -

a. Menciptakan pendahuluan yang menantang sebelum siswa mulai menyelesaikan soal-soal kontekstual sehingga siswa merasa gembira dan bertanggung jawab menyelesaikan soal-soal tersebut. b. Menciptakan suasana demokratis di kelas sehingga siswa tidak merasa takut untuk secara aktif terlibat dalam proses belajar mengajar. Suasana demokratik artinya siswa merasa bebas untuk aktif dalam proses belajar tanpa merasa takut membuat kesalahan jika mereka ingin bertanya atau menjawab pertanyaan. c. Menerapkan aturan-aturan dalam mengajukan pertanyaan dan dalam menjawab pertanyaan (misalnya mengangkat tangan, tidak boleh berteriak). Katakan kepada siswa bahwa ada konsekuensinya jika mereka tidak mengikuti aturan yang telah disepakati (misalnya dalam menjawab soal harus disertai dengan alasan, kalau itu dilakukan siswa akan mendapat nilai lebih baik). 4. Sebagian orangtua siswa membantu anaknya dalam pengerjakan soal-soal pekerjaan rumah (PR), oleh karena itu mereka perlu diberitahu tentang perubahan pendekatan pembelajaran matematika ini, yaitu dari pendekatan tradisional ke pendekatan realistik. 5. Disadari bahwa para siswa dan guru perlu waktu untuk dapat mengadaptasikan pendekatan PMR ini dalam proses belajar mengajar di kelas. Sehingga untuk dapat menerapkan PMR secara berhasil perlu pembiasaan melalui latihan di kelas. Penelitian Armanto (2002) tentang pengembangan alur pembelajaran lokal topik perkalian dan pembagian dengan pendekatan realistik di SD di dua kota, Yogyakarta dan Medan, menunjukkan bahwa siswa dapat membangun pemahaman tentang perkalian dan pembagian dengan menggunakan strategi penjumlahan dan pembagian berulang. Penelitian Armanto (2002) juga menunjukkan bahwa siswa belajar perkalian dan pembagian secara aktif; membangun pemahaman mereka sendiri dengan menggunakan strategi penemuan kembali, dan mendapatkan hasil (menyelesaikan soal) baik secara individu maupun kelompok. Kesempatan siswa untuk belajar dalam situasi yang berbedabeda mendorong mereka merumuskan kembali proses belajar mereka. Selama proses belajar siswa menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam belajar perkalian dan pembagian bilangan multi-angka. Hasil yang kurang lebih sama juga dilaporkan oleh Hadi (2002). Dalam penelitiannya yang dilaksanakan di Yogyakarta dengan mengambil sampel siswa-siswa SLTP ditemukan hasil positif dalam penggunaan materi PMR dalam pembelajaran matematika, yaitu siswa menjadi lebih termoticvasi, aktif, dan kreatif dalam proses belajar mengajar disebabkan oleh materi yang menarik karena dilengkapi dengan gambargambar dan cerita. Siswa juga menunjukkan kemajuan dalam belajar matematika, yang ditujukkan dengan pemahaman konsep matematika yang mereka pelajari dan peningkatan skor yang mereka peroleh dari pretes ke postes, walupun dengan menggunakan tes konvensional. Temuan yang sama juga dilaporkan dalam penelitian di Bandung, yaitu siswa-siswa SLTP di sekolah percobaan menunjukkan perubahan sikap yang positif terhadap matematika, hal itu dipandang sebagai permulaan yang baik dalam pengembangan pendidikan matematika di Indonesia (Zulkardi, 2002). PENUTUP Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan PMR di Indonesia diharapkan prestasi akademik siswa meningkat, baik dalam mata pelajaran matematika maupun mata pelajaran lainnya. Sejalan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana yang dikemukakan oleh Zamroni (2000), pada aspek prilaku diharapkan siswa mempunyai ciri-ciri: - 151 -

1. Suasana siswa di kelas mereka lebih aktif dalam diskusi, mengajukan pertanyaan dan gagasan, serta aktif dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari; 2. Siswa mampu bekerja sama dengan membuat kelompok-kelompok belajar; 3. Siswa bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain; 4. Siswa memiliki kepercayaan diri yang tinggi. DAFTAR PUSTAKA Armanto, D. 2002. Teaching multiplication and division realistically in Indonesian primary schools: a prototype of local instructional theory. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente. Blum, W. and Niss, M. 1989. Mathematical Problem Solving, Modelling, Applications, and Links to Other Subjects State, Trends and Issues in Mathematics Instruction. In: W. Blum, M. Niss, and I. Huntley (Eds.), Modelling, Applications and Applied Problem Solving: teaching mathematics in a real contexts. Chichester: Ellis Horwoord. De Lange, J. 1995. Assessment: No change without problem. In: T. Romberg (ed.) Reform in school mathematics and authentic assessment. Albany NY: State Univeristy of New York Press. Fauzan, A. 2002. Applying realistic mathematics education in teaching geometry in Indonesian primary schools. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente. Gravemeijer, K.P.E. 1994. Developing realistic mathematics education. Utrecht: CD-β Press, the Netherlands. Gravemeijer, K.P.E. 1997. Instructional design for reform in mathematics education. In: Beishuizen, Gravemeijer and Van Lieshout (Eds.) The Role of Contexts and Models in the Development of Mathematics Strategies and Procedures. Utrecht: CD-β Press, the Netherlands. Johnson, E.B. 2002. Contextual teaching and learning, what it is and why it s here to stay. Thaousand Oaks: Corwin Press, Inc. Hadi, S. 2002. Effective Teacher Professional Development for the Implementation of Realistic Mathematics Education in Indonesia. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente. Kurikulum 1994 Akhirnya Disempurnakan 1999. Kompas. [On-line]. Tersedia: http://kompas.com/kompas%2dcetak/berita%2dterbaru/1634.html Suparno, P. 1997. Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing. Zulkardi. 2002. Developing a learning environment on realistic mathematics education for Indonesian student teachers. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente. - 152 -