BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

Dasar Determinasi Pasien TB

Dasar Determinasi Kasus TB. EPPIT 12 Departemen Mikrobiologi FK USU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI TUBERKULOSIS. Retno Asti Werdhani Dept. Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

S T O P T U B E R K U L O S I S

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

Penyebab Tuberkulosis. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang menular langsung, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis

PENANGANAN DAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS. Edwin C4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. penyakit infeksius yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh

Dasar Determinasi Kasus TB

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jumlah kematian per tahun. Kematian tersebut pada umumnya

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.bakteri ini berbentuk batang dan bersifat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora (2004), adalah tingkat perilaku

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II. Meningkatkan Pengetahuan dan, Mirandhi Setyo Saputri, Fakultas Farmasi UMP, 2014

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

Tema Lomba Infografis Community TB HIV Care Aisyiyah 2016

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit ini tersebar ke seluruh dunia. Pada awalnya di negara industri

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

APA ITU TB(TUBERCULOSIS)

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB 1 PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi TB kebanyakan melalui udara, yaitu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sulianti (2004) Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2011, kesehatan adalah suatu

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tinjauan Pustaka. Tuberculosis Paru. Oleh : Ziad Alaztha Pembimbing : dr. Dwi S.

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bakteri Mycobacterium Tuberkulosis (KemenKes, 2014). Kuman tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC)

BAB 1 PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang

ABSTRAK EFEK SAMPING PENGOBATAN TUBERKULOSIS DENGAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS KATAGORI 1 PADA FASE INTENSIF

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberculosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pemeriksaan dahak penderita. Menurut WHO dan Centers for Disease Control

Peran ISTC dalam Pencegahan MDR. Erlina Burhan Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI RSUP Persahabatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dan termasuk salah satu sasaran Millennium Development Goals (MDGs) dalam

PENGARUH KOINSIDENSI DIABETES MELITUS TERHADAP LAMA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU

BAB I PENDAHULUAN. oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB tidak hanya menyerang

BAB I PENDAHULUAN. dari golongan penyakit infeksi. Pemutusan rantai penularan dilakukan. masa pengobatan dalam rangka mengurangi bahkan kalau dapat

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. World. Health Organization (WHO) dalam Annual report on global TB

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. tanah lembab dan tidak adanya sinar matahari (Corwin, 2009).

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTITUBERKULOSIS PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DEWASA DI INSTALASI RAWAT JALAN BALAI BESAR KESEHATAN PARU X TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh kuman TBC ( Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman. lainnya seprti ginjal, tulang dan usus.

Tuberkulosis Dapat Disembuhkan

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

UNTUK PENGOBATAN TUBERKULOSIS DI UNIT PELAYANAN KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di seluruh dunia. Sampai tahun 2011 tercatat 9 juta kasus baru

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Tuberkulosis Paru (TB Paru) suatu penyakit kronis yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) sejak tahun 1993

I. PENDAHULUAN. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium tuberculosis masih

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kadang-kadang juga berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai,

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium Tuberculosis dan paling sering menginfeksi bagian paru-paru.

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. yang akan dilakukan yaitu : Program Pemberantasan TB Paru. 3. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) secara teratur dievaluasi dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

2016 GAMBARAN MOTIVASI KLIEN TB PARU DALAM MINUM OBAT ANTI TUBERCULOSIS DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. pengobatan. Pada era Jaminan Kesehatan Nasional saat ini pembangunan


BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. TBC (Mycobacterium tuberculosis) (Kemenkes RI, 2013). Tuberkulosis adalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit tuberkulosis atau lebih sering disebut TB, merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan menular granulomatosa kronik yang paling sering disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (MTB) (Icksan dan Luhur, 2008). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan tahun 2012 terdapat 74.000 anak meninggal setiap tahun dan kasus tuberkulosis anak mencapai sekitar setengah juta kasus baru setiap tahun. Di negara berkembang jumlah anak-anak berusia di bawah 15 tahun yang terinfeksi TB adalah 40%-50% dari total populasi. Jumlah penderita TB di Indonesia masih terbilang tinggi, karena saat ini Indonesia menempati peringkat keempat setelah China, India, dan Afrika Selatan. Sampai saat ini TB tetap menjadi salah satu penyakit paling mematikan di dunia (WHO, 2013). Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu indikator keberhasilan Millenium Development Goals (MDGs) yang harus dicapai oleh Indonesia, yaitu menurunkan angka kesakitan dan angka kematian menjadi setengahnya di tahun 2015. Berdasarkan baseline data tahun 1990 dan pencapaian di tahun 2010, Indonesia telah berhasil menurunkan insiden 45%, prevalensi 35%, dan angka kematian sebanyak 71%. Walaupun jumlahnya sudah berhasil ditekan, namun jumlah pasien TB dan kematiannya masih juga cukup banyak (Aditama, 2012). Obat-obat yang digunakan pada pengobatan tuberkulosis adalah obat anti tuberkulosis (OAT) yang merupakan antibiotik. Penanggulangan yang tidak tepat menyebabkan masalah kekebalan antimikrobial, meningkatkan biaya pengobatan dan efek samping antibiotika. Dibandingkan dengan dewasa ketidaktepatan pengobatan pada pasien anak berkaitan dengan perbedaan farmakokinetika, dosis, rute pemberian dan kepatuhan yang semuanya harus dipertimbangkan dalam pengobatan (Aslam et al, 2003). 1

2 Penanggulangan TB terutama di negara berkembang masih belum memuaskan, karena angka kesembuhan hanya mencapai 30% saja, mengingat banyaknya permasalahan yang muncul terkait dengan kasus TB yang ada yaitu, tingginya angka putus berobat (drop out), angka keberhasilan pengobatan yang rendah, peningkatan kasus HIV di rumah sakit, munculnya resistensi Multi Drug Resistant (MDR) TB akibat kurangnya pengawasan terhadap program pelayanan TB, persediaan OAT yang tidak memadai, kualitas obat yang tidak memenuhi standar, dan penatalaksanaan pengobatan yang tidak adekuat (Depkes, 2010). Ketepatan pengobatan (tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat dan tepat dosis, serta waspada efek samping) merupakan faktor penting yang berperan dalam mencapai keberhasilan terapi dan menghambat atau menurunkan laju peningkatan penyakit tuberkulosis. Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari penderita tuberkulosis akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25% akan menjadi kasus kronik yang tetap menular (Wibisono et al., 2010). Ketidaktepatan penggunaan antibiotik dapat mengakibatkan meningkatnya jenis-jenis kuman yang resisten dan tidak tercapainya tujuan terapi, karena itulah dilakukan penelitian terhadap evaluasi penggunaan antibiotik OAT seperti tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat dan tepat dosis (dosis yang diberikan, frekuensi minum obat, dan lamanya waktu pengobatan) menggunakan Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Utami pada tahun 2010 pengobatan TB anak di Balai Besar Pengobatan Paru Masyarakat Surakarta sudah mengikuti aturan pada Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 2008. Diperoleh hasil penggunaan antibiotik obat anti tuberkulosis (OAT) ketepatan obat sebanyak 100%, ketepatan dosis rifampisin 80,81%, isoniazid 85,86% dan pirazinamid 86,87% dan ketepatan lama pengobatan (6-12 bulan) sebanyak 87,63% (Utami, 2010). Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kerasionalan pengobatan tuberkulosis anak di RSUD Dr. Moewardi apakah sudah mengikuti pedoman Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam buku saku Pelayanan

3 Kesehatan Anak di Rumah Sakit tahun 2008 yang merupakan edisi bahasa Indonesia dari Pocket Book of Hospital Care for Children dari WHO tahun 2005. Menurut KemKes RI tahun 2013 rumah sakit pemerintah masih under-diagnosis dalam menangani pasien tuberkulosis anak. Sehingga dipilihnya RSUD Dr. Moewardi karena rumah sakit rujukan nasional, milik pemerintah yang memiliki fungsi dan fasilitas untuk pendidikan dan penelitian. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dapat dirumuskan suatu permasalahan, yaitu apakah penggunaan antibiotik obat anti tuberkulosis (OAT) pada TB anak di RSUD Dr. Moewardi sudah sesuai dengan Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit tahun 2008. Evaluasi kerasionalan penggunaan obat anti tuberkulosis (OAT) meliputi tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat dan tepat dosis. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kerasionalan penggunaan obat anti tuberkulosis (OAT) pada pasien TB anak di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit tahun 2008. Evaluasi kerasionalan meliputi tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat dan tepat dosis. D. Tinjauan Puataka 1. Pengertian Tuberkulosis Penyakit tuberkulosis atau lebih sering disebut TB, merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan menular granulomatosa kronik yang paling sering disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (MTB). Orang yang terinfeksi bakteri M. tuberculosis 85% mengalami TB paru dan sisanya 15% menyerang pada organ tubuh lainya seperti kulit, tulang dan organ-organ dalam lainnya (Icksan dan Luhur S, 2008).

4 Mycobacterium tuberculosis tidak dapat diklasifikasikan menjadi grampositif atau gram-negatif. Basil tuberkulosis ditandai dengan tahan asam. Sifat tahan asam ini tergantung pada integritas selubung yang terbuat dari lilin, berbentuk batang, dinding selnya mengandung komplek lipida-glikolipida serta lilin (wax) yang sulit ditembus zat kimia. Umumnya M. tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara mikroskopis sehingga disebut sebagai basil tahan asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman dapat dormant (tertidur sampai beberapa tahun) (Depkes RI, 2006). Pada umumnya anak yang terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis tidak menunjukkan penyakit tuberkulosis (TB). Satu-satunya bukti infeksi adalah uji tuberkulin (Mantoux) positif. Resiko terinfeksi dengan kuman TB meningkat bila anak tersebut tinggal serumah dengan pasien TB paru basil tahan asam (BTA) positif. Terjadinya penyakit TB bergantung pada sistem imun untuk menekan multiplikasi kuman. Kemampuan tersebut bervariasi sesuai dengan usia, yang paling rendah adalah pada usia yang sangat muda. Ganggunan gizi dan HIV dapat menurunkan daya tahan tubuh sedangkan campak dan batuk rejan dapat mengganggu sistem imun. Dalam keadaan seperti ini penyakit TB lebih mudah terjadi. Tuberkulosis seringkali menjadi berat apabila lokasinya di paru, selaput otak, ginjal atau tulang belakang. Bentuk penyakitnya ringan bila lokasinya di kelenjar limfe leher, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, abdomen, telinga, mata dan kulit (Depkes RI, 2009). 2. Penularan Tuberkulosis Sumber penularan tuberkulosis pada anak adalah orang dewasa (terutama anggota keluarga) dengan dahak BTA positif. Jumlah kasus TB anak diperkirakan 10-20% dari seluruh kasus TB. Jumlah kasus TB anak dipengaruhi jumlah sumber penularan, kedekatan anak dengan sumber penularan dan umur anak ketika tertular TB. Hasil pemeriksaan BTA pada anak jarang positif sehingga secara umum anak bukan merupakan sumber penularan. Meningkatnya jumlah kasus TB

5 anak merupakan gambaran kegagalan program pengendalian TB dewasa. Prioritas utama pengendalian TB adalah memberikan pengobatan yang adekuat pada kasus yang infeksius (dewasa) dan TB anak karena dapat mengurangi angka reaktivasi dan reinfeksi di kemudian hari (KemKes RI, 2012). a. Cara Penularan 1) Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis BTA positif. 2) Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. 3) Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. 4) Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. 5) Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. (KemKes RI, 2011) b. Risiko penularan 1) Risiko tertular tergantung dari tingkat pejanan dengan percikan dahak. 2) Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. 3) Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.

6 4) Menurut WHO Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif. (KemKes RI, 2011) 3. Klasifikasi Tuberkulosis a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena: 1) Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. 2) Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Pasien dengan TB paru dan TB ekstra paru diklasifikasikan sebagai TB paru. (KemKes RI, 2011) b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, keadaan ini terutama ditujukan pada TB Paru: 1) Tuberkulosis paru BTA positif. a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. c) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 2) Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.

7 b) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis. c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika OAT, bagi pasien dengan HIV negatif. d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan. (KemKes RI, 2011) 4. Gejala Tuberkulosis Anak. Anak dicurigasi TB jika memiliki gejala: a) Riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa. b) Uji tuberkulin positif ( 10 mm, pada keadaan imunosupresi 5 mm). c) Berat badan menurun atau gagal tumbuh. d) Batuk kronik 3 minggu, dengan atau tanpa wheeze. e) Demam ( 2 minggu) tanpa sebab yang jelas. f) Pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik. g) Pembengkakan tulang/sendi punggung, panggul dan lutut h) Tidak ada nafsu makan dan berkeringat malam. (Depkes RI, 2009) 5. Diagnosis Tuberkulosis Anak Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis (KemKes RI, 2011). Diagnosis TB anak sampai saat ini masih banyak menghadapi tantangan akibat sulitnya mendapatkan spesimen pemeriksaan bakteriologi serta rendahnya konfirmasi bakteriologi yang didapat. Pemeriksaan BTA aspirat lambung pada TB anak menunjukkan hasil positif pada 10-15% pasien saja. Namun demikian pemeriksaan bakteriologi (BTA dan biakan M. tuberculosis) tetap harus dilakukan pada setiap pasien (KemKes RI, 2012). Kesulitan menegakkan diagnosis pasti pada anak disebabkan oleh 2 hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen dahak (Depkes RI, 2009). Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap gejala

8 atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh program nasional pengendalian tuberkulosis untuk diagnosis TB anak (KemKes, 2011). Tabel 1. Sistem skor (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang Parameter 0 1 2 3 Kontak TB Tidak Laporan BTA BTA (+) jelas keluarga, BTA (-),tidak tahu, atau tidak jelas Uji tuberculin Negatif Positif ( 10 mm, atau 5 mm pada keadaan imunosupresi) Berat badan/ keadaan gizi Demam tanpa sebab jelas Bawah garis merah (KMS) atau BB/U <80 % 2 minggu Klinis gizi buruk (BB/U <60%) Batuk 3 minggu Pembesaran kelenjar limfe kolli, aksila, inguinal Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, faraks Foto toraks toraks Normal/ tidak jelas (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2014) 1 cm, jumlah >1, tidak nyeri Ada pembengkakan Kesan TB Gambar 1. Alur tatalaksana pasien TB anak (Depkes RI, 2009).

9 Sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, dilakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan. (Depkes RI, 2009) 6. Antibiotik Antibiotik berasal dari kata anti = lawan, bios = hidup, adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Tjay dan Rahardja, 2007). a. Antibiotik yang ideal harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1) Mempunyai kemampuan untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. 2) Tidak menimbulkan terjadinya resistensi. 3) Tidak menimbulkan pengaruh samping (side effect) yang buruk pada host seperti reaksi alergi, kerusakan saraf, iritasi lambung dan sebagainya. 4) Tidak mengganggu keseimbangan flora normal dari host seperti flora usus atau flora kulit. (Entjang, 2003) b. Resistensi Untuk mencegah terjadinya resistensi maka dalam penggunaan antibiotik harus diingat : 1) Antibiotik tidak digunakan secara sembarangan tanpa mengetahui khasiatnya dengan pasti. 2) Antibiotik yang biasa dipakai secara sistemik tidak dipakai sebagai obat lokal (topical). 3) Dosis, cara pakai dan lama pemakaian digunakan secara benar pada setiap penyakit infeksi. 4) Kombinasi antibiotik digunakan untuk meninggikan khasiatnya.

10 5) Penggunaan antibiotik diberikan jika suatu bibit penyakit resisten terhadap antibiotik yang diberikan. (Entjang, 2003) 7. Pengobatan Tuberkulosis Anak Prinsip pengobatan TB pada anak tidak berbeda dengan orang dewasa, tetapi memerlukan perhatian seperti berikut: a. Pemberian obat baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan diberikan setiap hari. b. Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak. (Depkes RI, 2006) a. Panduan Pengobatan Tuberkulosis pada Anak Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2 bulan pertama) dan tahap lanjutan (4 bulan). Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat pada fase awal/intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan dengan 2 macam obat pada fase lanjutan (4 bulan, kecuali pada TB berat). Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan. Untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT disediakan dalam bentuk paket. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket OAT anak berisi obat untuk tahap intensif, yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z); sedangkan untuk tahap lanjutan yaitu Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) (Depkes RI, 2009). b. Susunan Panduan Obat pada Tuberkulosis Anak adalah 2HRZ/4HR Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z) selama 2 bulan diberikan setiap hari (2HRZ). Tahap lanjutan terdiri dari dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) selama 4 bulan diberikan setiap hari (4HR). (Depkes RI, 2006) Dosis: Isoniazid : 5-15 mg/kgbb/hari, dosis maksimal 300 mg/hari Rifampisin : 10-20 mg/kgbb/hari, dosis maksimal 600 mg/hari Pirazinamid : 15-30 mg/kgbb/hari, dosis maksimal 2000 mg/hari (Depkes RI, 2009)

11 Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak, paduan OAT disediakan dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap = KDT (Fixed Dose Combination = FDC). Tablet KDT untuk anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu: 1) Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin), H (Isoniazid) dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif. 2) Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H (Isoniazid) yang digunakan pada tahap lanjutan. Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak dan komposisi dari tablet KDT tersebut. Tabel berikut ini adalah contoh dari dosis KDT yang komposisi tablet RHZ adalah R = 75 mg, H = 50 mg, Z= 150 mg dan komposisi tablet RH adalah R = 75 mg dan H = 50 mg. BERAT BADAN (kg) Tabel 2. Dosis KDT (R75/H50/Z150 dan R75/H50) pada anak 2 BULAN TIAP HARI RHZ (75/50/150) mg (Depkes RI, 2009) 4 BULAN TIAP HARI RH (75/50) mg 5-9 1 tablet 1 tablet 10-14 2 tablet 2 tablet 15-19 3 tablet 3 tablet 20-32 4 tablet 4 tablet Keterangan: 1. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit 2. Anak dengan BB 33 kg, disesuaikan dengan dosis dewasa 3. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah 4. OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum diminum. (Depkes RI, 2009). Bila paket KDT belum tersedia, dapat digunakan paket OAT Kombipak Anak. Dosisnya seperti pada tabel berikut ini : Tabel 3. Dosis OAT Kombipak-fase-awal/intensif pada anak JENIS OBAT BB<10 kg BB 10-20 kg BB 20-32 kg Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg (Depkes RI, 2009). Tabel 4. Dosis OAT Kombipak-fase-lanjutan pada anak JENIS OBAT BB<10 kg BB 10-20 kg BB 20-32 kg Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg (Depkes RI, 2009).

12 c. Tindak Lanjut Pengobatan Tuberkulosis Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat, sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan sambil mencari penyebabnya. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan. (Depkes RI, 2009) d. Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) untuk Anak Bila anak balita sehat, yang tinggal serumah dengan pasien TB paru BTA positif, mendapatkan skor < 5 pada evaluasi dengan sistem skoring, maka kepada anak balita tersebut diberikan isoniazid dengan dosis 5 10 mg/kgbb/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG diberikan setelah pengobatan pencegahan selesai (KemKes RI, 2011). e. DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse) Sejak tahun 1995 program pemberantasan TB dilaksanakan dengan strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO. Di Indonesia dituangkan dalam bentuk Gerakan Terpadu Nasional Tuberkulosis (GERDUNAS-TB) (Wibisono et al., 2010). Stategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu: 1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan. 2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya. 3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien. 4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif. 5) Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program. f. Multi Drugs Resistant Tuberkulosis Multi Drug Resistant TB adalah penderita TB aktif dengan kuman yang resisten terhadap sedikitnya Rifampisin dan Isoniazid, dengan atau tanpa disertai

13 resistensi terhadap obat lain. Multi Drug Resistant (MDR) TB terjadi akibat pengobatan yang tidak rasional seperti pemberian resep yang tidak benar oleh dokter, regimen tidak benar, penggunaan obat tidak lengkap dan karena tidak adanya evaluasi dan pemantauan dalam pengobatan (Wibisono et al., 2010). 8. Kewaspadaan Tuberkulosis Resisten Obat pada Anak Kasus TB resisten obat terutama Multi Drug Resistant (MDR) TB yang mulai meningkat di Indonesia menyebabkan resiko terjadinya resisten obat pada anak. Kewaspadaan terjadinya TB resisten obat pada anak pada kondisi berikut: a. Kontak dengan pasien terbukti MDR tuberkulosis. b. Kontak dengan pasien TB yang resiko tinggi terjadi MDR TB misalnya pasien kambuh, gagal dan default. c. Anak dengan riwayat pengobatan TB berulang. d. Anak yang tidak menunjukkan perbaikan klinis setelah 2-3 bulan terapi obat lini pertama. (Tuberkulosis Indonesia, 2015) 9. Hasil Pengobatan Pasien Tuberkulosis BTA positif a. Sembuh adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang (follow-up) hasilnya negatif pada akhir pengobatan (AP) dan pada satu pemeriksaan sebelumnya b. Pengobatan lengkap adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada akhir pengobatan (AP) dan pada satu pemeriksaan sebelumnya. c. Pasien meninggal adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. d. Putus berobat (default) adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. e. Pasien gagal (failure) pengobatan adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. f. Pasien pindah (transfer in) adalah pasien yang dipindah ke unit pencatatan atau pelaporan lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

14 g. Keberhasilan pengobatan (treatment success) adalah pasien yang dikatakan sembuh dan telah menyelesaikan pengobatan lengkap. Digunakan pada pasien dengan BTA positif atau biakan positif. (KemKes, 2011) E. Keterangan Empiris Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui kesesuaian antara pengobatan di RSUD Dr. Moewardi dengan standar pedoman Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam buku saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit yang merupakan edisi bahasa Indonesia dari Pocket Book of Hospital Care for Children dari WHO tahun 2005.