BAB I PENDAHULUAN. Museum selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Keberadaan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. merawat, meneliti, dan memamerkan benda-benda yang bermakna penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Ketentuan dalam pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Budaya, salah satu bentuk pemanfaatan cagar budaya yang diperbolehkan adalah untuk

BAB II URAIAN TEORITIS MENGENAI MUSEUM

BAB II DATA DAN ANALISA. Sumber data-data untuk menunjang studi Desain Komunikasi Visual diperoleh. 3. Pengamatan langsung / observasi

BAB I. A. Pendahuluan. Museum, menurut International Council of Museums (ICOM), adalah

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PERSEBARAN SITUS DI KABUPATEN BANTUL DAN ANCAMAN KERUSAKANNYA 1 OLEH: RIRIN DARINI 2

BAB I Pendahuluan. Pariwisata merupakan sebuah industri yang menjanjikan. Posisi pariwisata

DAFTAR ISI.. HALAMAN JUDUL. HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA LEMBAR PENGESAHAN.. HALAMAN PENETAPAN PANITIA UJIAN UCAPAN TERIMKASIH ABSTRACT...

I. 1. Latar Belakang I Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah remaja di Indonesia memiliki potensi yang besar dalam. usia produktif sangat mempengaruhi keberhasilan pembangunan daerah,

BAB I PENDAHULUAN. pada awal abad ke-20 memberikan dampak besar bagi museum-museum di Eropa.

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

PENGEMBANGAN MASJID AGUNG DEMAK DAN SEKITARNYA SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN. Di Negara Indonesia ini banyak sekali terdapat benda-benda

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri

BAB I PENDAHULUAN. membentang luas lautan yang merupakan pesisir utara pulau Jawa. Kabupaten

Mengenal Beberapa Museum di Yogyakarta Ernawati Purwaningsih Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta

biasa dari khalayak eropa. Sukses ini mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk menggiatkan lagi komisi yang dulu. J.L.A. Brandes ditunjuk untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017

1.5 Ruang lingkup dan Batasan Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Komunikasi dan edukasi..., Kukuh Pamuji, FIB UI, 2010.

BENTENG KRATON PLERET: Data Historis dan Data Arkeologi. FORTRESS OF THE PLERET PALACE: Historical and Archaeological Data

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah dalam bahasa Indonesia merupakan peristiwa yang benar-benar

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Berkembangnya Islam di Nusantara tidak lepas dari faktor kemunduran

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan serta menggalakan dunia kepariwisataan kini semakin giat

BAB I PENDAHULUAN. Kota Gudeg, Kota Pelajar, Kota Budaya dan Kota Sejarah. Dari julukan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing

MEMUTUSKAN : BAB I KETENTUAN UMUM

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 7 PENUTUP. Visi Museum La Galigo belum menyiratkan peran museum sebagai pembentuk identitas Sulawesi Selatan sedangkan misi

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah salah satu daerah yang

BAB I PENDAHULUAN. Museum Transportasi Darat di Bali 1

REVITALISASI SITUS MASJID KAUMAN-PLERET SEBAGAI UPAYA REKONSTRUKSI KEHIDUPAN RELIGI PADA ZAMAN KERAJAAN MATARAM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. menarik wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata. Salah satu

BAB VI PENUTUP. tahun Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta telah melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. pendapat yang menganggap bahwa perkembangan sektor pariwisata selama ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Judul 1.2 Pengertian Judul

STUDI PARTISIPASI PEDAGANG DAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PARTISIPASI DALAM REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN SURAKARTA TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. memberikan manfaat bagi masyarakat pada sebuah destinasi. Keberhasilan

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Museum Sejarah Jakarta merupakan museum sejarah yang diresmikan

BAB I PENDAHULUAN. sustainable tourism development, village tourism, ecotourism, merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SABRINA SABILA L2D

UPAYA PELESTARIAN PENINGGALAN PURBAKALA DI WILAYAH PROPINSI MALUKU. Drs. M. Nendisa 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadaan Museum di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PERANCANGAN DAN PERENCANAAN INTERIOR MUSEUM FILATELI DAN KANTOR DI KANTOR POS BESAR YOGYAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengertian museum adalah sebagai berikut : benda seni dan pengetahuan. bahwa : (Dirjen Kebudayaan Depdikbud, 1984)

Abito Bamban Yuuwono. Abstrak

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Daya tarik kepariwisataan di kota Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jogi Morrison, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

, 2015 KOMPLEKS MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA DALAM SITUS MASYARAKAT KOTA CIREBON

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan geografi sebuah kawasan bukan hanya merupakan. pertimbangan yang esensial pada awal penentuan lokasi, tetapi mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Museum merupakan suatu lembaga yang sifatnya tetap dan tidak mencari

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Deskripsi Judul

PEDOMAN MUSEUM SITUS CAGAR BUDAYA DIREKTORAT MUSEUM DIREKTORAT JENDERAL SEJARAH DAN PURBAKALA DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

BAB 1 PENDAHULUAN. mempromosikan museum-museum tersebut sebagai tujuan wisata bagi wisatawan

BAB V KESIMPULAN. dituliskan dalam berbagai sumber atau laporan perjalanan bangsa-bangsa asing

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya melalui industri pariwisata. Sebagai negara kepulauan,

BAB I PENDAHULUAN. sepatutnyalah potensi Sumberdaya Budaya (Culture Resources) tersebut. perlu kita lestarikan, kembangkan dan manfaatkan.

PEMBERDAYAAN GURU-GURU IPS / SEJARAH DI BANTUL DALAM UPAYA PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT TERHADAP PELESTARIAN BENDA-BENDA PENINGGALAN SEJARAH *

BAB I PENDAHULUAN. bangunan yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, namun banyak juga yang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya sangat pesat. Hal ini ditandai dengan bertambahnya pelanggan

2015 PENGEMBANGAN RUMAH BERSEJARAH INGGIT GARNASIH SEBAGAI ATRAKSI WISATA BUDAYA DI KOTA BANDUNG

Jakarta dulu dan Kini Senin, 22 Juni :55

PUSAT INFORMASI BATIK di BANDUNG BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. ragam bentuk seni kerajinan yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Sejak

BAB I PENDAHULUAN. tradisional yang masih kental. Tidak mengherankan bahwa Yogyakarta

Bab 1. Pendahuluan. Kesenian dan kerajinan ini merupakan aset penting budaya lokal yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul

BAB I PENDAHULUAN. Desa Karangtengah merupakan salah satu desa agrowisata di Kabupaten Bantul,

BAB I PENDAHULUAN. Museum merupakan institusi permanen yang melayani kebutuhan publik melalui

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 58 Tahun : 2016

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG HARI JADI KABUPATEN SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. bermakna kultural bagi masyarakatnya. Sayang sekali sebagian sudah hilang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia salah satu negara yang sangat unik di dunia. Suatu Negara

BAB I PENDAHULUAN. suku, agama, dan adat istiadat yang tak pernah luput dari Anugerah sang

BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE. dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta terletak antara 70 33' LS ' LS dan ' BT '

BAB I PENDAHULUAN. 1 Neufeld ed. in chief, 1988; Webster New World Dict

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang LAPORAN TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udkhiyah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Pengertian Judul 2. Latar Belakang 2.1. Latar Belakang Umum Museum di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Museum selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Keberadaan museum berawal dari minat para bangsawan Eropa untuk mengumpulkan bendabenda unik dan langka maupun rampasan perang. Ketika itu benda-benda kuno dianggap menarik, indah, langka, dan sangat diminati. Kalangan ini lazim disebut Antiquarian (Munandar dkk, 2011). Pada masa Renaissance museum lalu berkembang menjadi lembaga ilmu pengetahuan, karena koleksi museum menjadi bahan penelitian oleh para ahli. Sejak itu, museum lebih terbuka untuk umum dan mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan jaman dan masyarakatnya. Kini, museum lebih dikenal sebagai lembaga yang mengumpulkan, meneliti, dan memamerkan koleksi untuk kepentingan masyarakat luas. Di Indonesia, museum diperkenalkan oleh orang-orang Eropa. Salah satu tokoh yang sering disebut sebagai perintis pendirian museum di Indonesia adalah G.E. Rumphius (1628-1702). Dia seorang naturalis kelahiran Jerman tetapi bekerja untuk VOC. Pada tahun 1660 ketika ia menjadi saudagar, Rumphius mulai tertarik kepada dunia alam Pulau Ambon. Pada 1662 dia mulai mengumpulkan berbagai spesies tumbuhan dan kerang di rumahnya (Munandar dkk, 2011). 1

Dalam perkembangan selanjutnya, sejumlah orang Eropa di Batavia mendirikan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada 24 April 1778, yaitu perkumpulan untuk memajukan kesenian dan ilmu pengetahuan untuk kepentingan umum. (Sutaarga, 1990: 10). Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Batavia Society for the Arts and Sciences) merupakan cikal bakal Museum Nasional. Dari latarbelakang sejarah yang diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa permuseuman di Indonesia juga bermula dari minat pribadi para kolektor, ilmuwan, dan perkumpulan-perkumpulan peminat benda masa lalu sebagaimana terjadi di Eropa. Mereka dengan sadar menyimpan beberapa artefak yang dianggap penting dari sudut sejarah kebudayaan. Minat dan perhatian bendabenda kuno tersebut semakin meningkat sehingga akhirnya disadari perlu adanya lembaga khusus yang menangani benda-benda tersebut untuk kemudian diteliti dan dipamerkan kepada khalayak. Rupanya minat terhadap museum kemudian juga berkembang di antara para bangsawan dan cendekiawan bangsa Indonesia sendiri. Minat mereka tumbuh karena mendapat pendidikan dari orang-orang Eropa dalam politik etis diterapkan di Indonesia oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Di Jawa beberapa bangsawan juga menaruh perhatian terhadap bidang kebudayaan dan permuseuman. Hal ini ditunjukkan dengan pendirian museum-museum di sejumlah daerah. Pada masa pemerintahan Paku Buwono IX, K.R.A Sosrodiningrat IV berperan mendirikan Museum Radya Pustaka (1890) di Surakarta. Museum ini 2

mendapat dukungan dari kalangan keraton, seperti R.T.H. Joyodiningrat II dan G.P.H. Hadiwijaya. Museum Sonobudoyo di Yogyakarta berawal dari Java Instituut yang bergerak dalam bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali, dan Lombok.Yayasan itu berdiri pada 1919 di Surakarta dipelopori oleh sejumlah ilmuwan Belanda dan Indonesia antara lain R.M. Hussein Djajadiningrat. Museum Sonobudojo diresmikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada 6 November 1935. Selain museum yang menitikberatkan pada kebudayaan, muncul pula museum-museum bersifat ilmu pengetahuan sains didirikan di Bogor, yakni Museum Zoologi (1894) yang didirikan oleh J.C.Koningsberger dan pada tahun 1929 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Museum Geologi di Bandung (Munandar dkk, 2011). Perkembangan museum di Indonesia selanjutnya terjadi setelah masa Kemerdekaan RI. Pada tanggal 29 Februari 1950 Bataviaach Genootschap van Kunsten en Wetenschappen diganti menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI) (Direktorat Museum, 2009). Museum masa setelah Kemerdekaan RI secara kelembagaan memang mengalami perubahan, akan tetapi keadaannya tidak banyak berubah. Setelah masa Kemerdekaan, berbagai museum di Indonesia baik yang ada di pusat maupun daerah (provinsi), diselenggarakan dengan mengikuti aturan dari Direktorat Permuseuman. Aturan ini meliputi program, design dan metode katalognya. Bahkan banyak museum swasta juga mengikuti aturan tersebut. Pada masa itu terjadi penyeragaman pengelolaan museum. Aturan atau standar yang ditentukan pemerintah pusat ini dapat ditemukan di hampir seluruh museum 3

provinsi di Indonesia. Tata pamer museum Indonesia pada umumnya terdiri dari serangkaian display dalam almari kaca, display tersebut menampilkan budaya lokal dan sejarah dengan tema-tema yang sudah ditentukan polanya, di antaranya berupa hasil kerajinan, baju adat, peristiwa sejarah dan tokoh tertentu. Aturan ini menyebabkan tampilan museum-museum di Indonesia tampak hampir sama di berbagai tempat (Taylor, 1994: 73-79). Pada masa itu tata pameran museum di Indonesia cenderung menyajikan informasi yang terkotak-kotak, hal ini kemungkinan disebabkan kebijakan pusat yang mengarahkan pada pembagian benda-benda dalam klasifikasi tertentu (antara lain numismatika, epigafika, etnografika, regalia, historia dan lain-lain). Kebijakan untuk menyeragamkan tata pameran dan informasi dalam kelompok tersebut bertujuan agar museum mampu menampilkan keragaman budaya nusantara (Taylor, 1994). Namun kebijakan itu kurang memperhatikan cara komunikasi yang baik karena informasi yang disampaikan cenderung dipilah pilah begitu saja. Cara-cara ini membatasi keluwesan penyampaian informasi secara kontekstual, menyeluruh dan terpadu (Tanudirjo, 2007:19). Secara umum perkembangan permuseuman di Indonesia setelah masa kemerdekaan dapat dibagi dalam beberapa periode yaitu: (a) era transisi kemerdekaan hingga masa orde baru, (b) era permuseuman dalam zaman Orde baru, dan (c) era Indonesia masa reformasi hingga sekarang ini. Ciri utama dari era transisi adalah masih berubah-ubahnya regulasi permuseuman, museum dalam rencana pembangunan, dan institusi permuseuman 4

masih mencari formatnya. Ciri museum masa Orde Baru adalah regulasi yang seragam dan pembangunan museum-museum di tiap provinsi. Adanya pembakuan dan keseragaman yang diterapkan di museum terlihat dari penyeragaman koleksi, tata pamer, pola pengelolaan museum. Ketika Orde Baru berakhir, perkembangan museum berlanjut pada masa reformasi yang menekankan otonomisasi. Hal itu terjadi ketika lembaga-lembaga museum di ibu kota provinsi diserahkan pengelolaan dan pengembangannya kepada pemerintah daerah, sejalan dengan otonomi di bidang-bidang lainnya (Munandar dkk, 2011) Kondisi permuseuman Indonesia dari dahulu hingga sekarang kurang berkembang. Keadaan ini sangat berbeda dengan perkembangan museum di dunia yang sangat pesat akhir akhir ini. Walaupun upaya peningkatan kinerja museum mulai terlihat sejak tahun 2010,di antaranya melalui gerakan cinta museum, tahun kunjungan museum, revitalisasi museum dan pendidikan permuseuman di UGM, UI dan Unpad. Namun, beberapa kegiatan diatas belum banyak memberi perubahan pada permuseuman di Indonesia.. Seiring perkembangan pemikiran tentang museum, kini muncul paradigma baru permuseuman yang dikenal sebagai new museology yang berkembang sekitar tahun 1970an. Museum yang dulunya berorientasi pada koleksi kini lebih mengutamakan kepentingan publik. Museum harus mengetahui keinginan dari pengunjung, pendekatan ini disebut visitor oriented museum (Tanudirjo, 2009: 10). Lalu, pada sekitar tahun 2000 mulai muncul perkembangan yang lebih baru lagi. Menurut Van Mensch (2011: 3), kata kunci perkembangan museum terbaru itu adalah partisipasi. 5

Dalam paradigma new museology muncul konsep untuk berbagi tanggungjawab, museum tidak hanya menjadi tanggungjawab pihak museum saja namun juga menjadi tanggungjawab masyarakat (Mensch, 2011: 15). New museology berupaya membangun identitas komunitas dengan meneliti kebutuhan masyarakat dan berupaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Magetsari, 2008 : 9). Ada beragam bentuk perwujudan new museology, salah satunya adalah museum terpadu (integrated museum). Inti dari museum terpadu adalah (a) memadukan atau mengintegrasikan beragam koleksi, (b) melibatkan banyak disiplin ilmu dalam pengelolaannya, (c) melakukan kajian museografi (berupa kegiatan konservasi/restorasi, registrasi/dokumentasi, desain pameran, pendidikan, serta program pelatihan manajemen museum), (d) menghubungkan keberadaan museum dengan warisan budaya (heritage) yang ada di sekitarnya dan (e) melibatkan masyarakat secara aktif. Masyarakat merupakan komponen penting yang tidak dapat dipisahkan dari sumber daya budaya. Museum berusaha untuk melayani masyarakat, memecahkan persoalan bersama. Konsep museum terpadu ini akan cocok diterapkan di kawasan yang terdapat beberapa situs yang letaknya cukup berdekatan, memiliki nilai historis yang penting dan saling bersinggungan. Kondisi tersebut banyak dijumpai di Indonesia, salah satunya adalah Kawasan Situs di Desa Plered, Kabupaten Bantul DIY. Kawasan Plered memiliki nilai historis tinggi karena menjadi salah satu bekas Kraton Mataram Islam. Kawasan ini memiliki daya tarik tersendiri untuk dijelajahi lebih dalam. Sumberdaya budaya yang terdapat di Desa Plered yang 6

masih ada hingga sekarang merupakan bukti arkeologis bahwa kawasan tersebut merupakan salah satu permukiman kuno di wilayah Yogyakarta dibuktikan dengan temuan sisa struktur yang diduga merupakan bekas kedaton Kerajaan Mataram Islam, Masjid Agung Kauman, Makam Gunung Kelir dan Situs Kerto. Kawasan situs di Desa Plered merupakan peninggalan dari masa Kerajaan Mataram Islam. Kerajaan Mataram Islam pusat pemerintahannya bermula di Kota Gede, lalu pindah Kerto, kemudian pindah ke Plered, dan selanjutnya pindah lagi ke Kartasura. Ketiga lokasi kota tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan kemudahan akses terhadap sumber-sumber kehidupan dan juga kemudahan dalam segi pertahanan-keamanan (Adrisijanti, 2000 : 246). Plered merupakan daerah kekuasaan Amangkurat I. Masa pemerintahannya berlangsung sekitar 1645-1677 M. Menurut catatan Van Goens yang berkunjung ke wilayah ini, pada bulan Juni 1648 keraton Plered telah berdiri (Graaf, 1987 :11). Amangkurat I memindahkan keraton dari Kerta ke Plered, yang hanya berjarak kurang lebih 1 km. Plered sebagai pusat pemerintahan Mataram ditinggalkan oleh Sunan Amangkurat I pada tanggal 28 Juni 1677 dalam usahanya menyelamatkan diri dari serangan Trunajaya ( Graaf, 1987: 197). Daerah Plered yang berada pada ketinggian antara 25 hingga 300 mdpl dan memiliki banyak tinggalan arkeologis. Sebaran tinggalan arkeologis yang cukup banyak di Desa Plered ini semakin meyakinkan Plered merupakan kawasan bersejarah yang cukup penting, Hal ini dibuktikan juga dengan ditemukannya berbagai artefak, prasasti dan toponim yang masih ada hingga masa kini. 7

Sebaran data artefak yang cukup padat di kawasan Desa Plered, Kab.Bantul Yogyakarta sebagian telah diamankan oleh Dinas Kebudayaan DIY, antara lain : di Dusun Kedaton berjumlah 57 BCB, di Dusun Kauman berjumlah 13 BCB, sedangkan di Dusun Gunung Kelir terdiri dari 4 temuan BCB. Dinas Kebudayaan Provinsi Yogyakarta dalam kegiatan pengamanan benda-benda purbakala di kawasan Plered ini juga dapat mengamankan kurang lebih 101 benda yang kemudian disimpan di Museum Purbakala Plered. Dari jumlah seluruh benda yang diamankan, 58 bendadi antaranya merupakan temuan baru yang belum terdapat dalam daftar inventarisasi oleh BPCB Yogyakarta (Tim Disbud Provinsi, 2013: 67). Temuan dua prasasti di Kecamatan Plered pada tahun 1976 dan 1985 menjadi bukti tentang keberadaan kawasan Plered yang cukup penting tidak hanya pada masa kerajaan Islam. Jika merujuk pada angka tahun yang tertera pada prasasti yaitu sekitar tahun 796 Ç atau sekitar abad ke-9 M wilayah Plered ini menjadi bagian dari kerajaan Mataram Kuna. Prasasti Wihara I ditulis menggunakan bahasa dan huruf Jawa Kuna berisi tentang sima (daerah perdikan atau daerah yang bebas akan pajak kerena keistimewaan yang dimilikinya), berangka tahun 796 Saka. Prasasti Wihara II menggunakan bahasa dan huruf Jawa Kuna, juga berisi tentang penetapan sima. Menurut pendapat Dr. Titi Surti Nastiti, prasasti yang ditemukan di Plered ini merupakan salinan (Tim Disbud DIY, 2013 :16). Di Kawasan Plered juga masih terdapat toponim lama. Toponim tersebut antara lain: Kauman, Gerjen, Trayeman, Panegaran, Kepanjen, Bintaran, 8

Surodinanggan, Jaha, Mertosanan, Pugeran, Suren, Kanoman, Kaputren, Kedaton, Kentolan, Wirakerten, Kundhen dan Sampangan (Adrisijanti, 2000 : 219). Di antara topinim tersebut, tiga toponim menunjukkan profesi tertentu di Situs Plered ini yaitu Kauman (permukiman ulama), Gerjen (penjahit), dan Kundhen (perajin gerabah). Adanya toponim, sebaran artefak yang cukup banyak, temuan prasasti dan sisa struktur menjadi salah satu bukti bahwa Kawasan Situs Plered merupakan bekas permukiman kuno dan diduga merupakan bekas kedaton Kerajaan Mataram Islam. Situs ini memiliki nilai penting kesejarahan yang cukup tinggi dan keberadaan sumberdaya budaya yang cukup banyak sangat potensial untuk dikembangkan dan dikelola dengan konsep museum terpadu. B. Rumusan Masalah Mengingat potensi sumberdaya budaya yang ada di wilayah Plered, daerah ini potensial untuk dibentuk museum terpadu. Namun, karena konsep museum terpadu termasuk baru di Indonesia, untuk mewujudkan hal itu akan muncul permasalahan yaitu: Bagaimana langkah-langkah yang diperlukan untuk membentuk museum terpadu di Kawasan Plered Yogyakarta? Permasalahan itu akan menjadi pertanyaan penelitian yang menjadi dasar disusunnya thesis ini. 9

C. Batasan Penelitian Penelitian ini difokuskan pada situs situs tinggalan dari masa Kerajaan Mataram Islam yang berada di wilayah administratif Desa Plered, Kecamatan Plered, Kabupaten Bantul,Yogyakarta. Situs-situs yang dimaksud meliputi: Situs Kedaton Plered, Situs Masjid Agung Kauman, Situs Makam Gunung Kelir dan Situs Kedaton Kerto. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran konsep museum terpadu yang dapat diterapkan di Kawasan Situs Plered. Dalam konsep tersebut ditekankan pentingnya memberdayakan masyarakat sekitar situs agar ikut berperan aktif dalam pengelolaan dan pelestarian situs. Dengan demikian diharapkan kajian ini akan menunjukkan potensi pemberdayaan rakyat melalui museum terpadu. Penelitian ini dimaksudkan untuk membuka wacana tentang pengelolaan museum secara terpadu antara pemerintah dan masyarakat sekitar situs untuk melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui pengaturan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan untuk kesejahteraan masyarakat. 10

E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran dan menyuguhkan suatu model yang dapat diaplikasikan pada pengelolaan museum secara bersama-sama dan bersinergi, antara pihak pemerintah, akademisi dan masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan tentang museum terpadu yang belum banyak diaplikasikan di Indonesia. Penerapan museum terpadu di Kawasan Situs Plered menjadi media komunikasi dua arah dan sarana menyalurkan pengetahuan tentang sejarah manusia, budaya, dan kondisi masyarakat sesuai perkembangan paradigma baru museum. F. Keaslian Penelitian Kawasan situs Plered merupakan salah satu bekas pusat pemerintah kerajaan Mataram Islam. Penelitian di wilayah ini memang sudah banyak dilakukan oleh para ahli, sehingga tidak mungkin membuat bahasan secara rinci semua penelitian tersebut. Di antara berbagai penelitian tersebut, salah satu hasil penelitian yang menginspirasi penelitian ini adalah disertasi Inajati Adrisijanti yang berjudul Kota Gede, Plered, dan Kartasura sebagai Pusat Pemerintahan Kerajaan Mataram Islam (±1578 TU -1746 TU) : Suatu Kajian Arkeologis. Meskipun penelitian ini membahas kota-kota pusat pemerintahan kerajaan Mataram Islam, namun bahasan tentang Plered sangat komprehensif sehingga 11

memberikan gambaran yang cukup lengkap mengenai warisan budaya di wilayah ini. Namun, sebagaimana terlihat dari judulnya, penelitian Inajati Adrisijanti ini lebih merupakan kajian arkeologis daripada kajian permuseuman. Sementara itu, penelitian yang dilakukan untuk penulisan thesis ini merupakan penelitian yang lebih mengarah pada kajian pemanfaatan tinggalan-tinggalan arkeologis pada masa sekarang dan mendatang dalam bentuk pengembangan museum terpadu. Lagipula, kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian adalah paradigma new museology yang belum banyak diterapkan dalam penelitian warisan budaya di Indonesia, termasuk di wilayah Plered ini. Karena itu, penelitian ini merupakan penelitian situs-situs Plered yang berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Tulisan lain yang membahas tentang Plered adalah skripsi dari Lutfi Khamid yang berjudul Situs Makam Gunung Kelir, Pleret, Yogyakarta. Tulisan Lutfi Khamid ini fokus tentang Situs Makan Ratu Malang, yaitu selir dari Amangkurat I. Tulisan ini membahas tentang sejarah pembuatannya, alasan pembuatan makam Ratu Malang hingga deskripsi tinggalan arkeologi yang ada di Situs Ratu Malang. Sementara penelitian pada tesis ini mengenai langkah langkah penerapan museum terpadu yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Penulis mengambil wilayah penelitian Kawasan Situs di Desa Plered, dan Situs Ratu Malang menjadi salah satu dari koleksi museum terpadu. 12

G. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan upaya untuk menerapkan suatu konsep atau kerangka pikir tertentu dalam suatu kasus. Dalam hal ini, kerangka pikir yang dimaksud adalah museum terpadu, sedangkan kasusnya adalah warisan budaya di wilayah Plered. Sesuai dengan penalaran pemikiran tersebut maka setidaknya ada dua kelompok informasi penting yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu : Informasi terkait dengan konsep museum terpadu yang akan dijabarkan secara lebih rinci meliputi: pengertian, sejarah dan syarat-syarat terbentuknya museum terpadu. Konsep museum terpadu ini diperoleh dari studi pustaka, yang hasilnya akan diuraikan di Bab II pada penelitian ini. Gambaran tentang keadaan sumberdaya budaya atau warisan budaya yang ada di Kawasan Situs Plered. Informasi ini dapat diperoleh dari studi pustaka, observasi dan wawancara dengan tokoh tokoh masyarakat Plered yang hasilnya akan dijabarkan menjadi Bab III pada tulisan ini. Kemudian pada tahap berikutnya dilakukan Analisis gap (analisis Kesenjangan) terhadap kedua kelompok informasi tersebut. Dari analisis yang dilakukan akan menghasilkan informasi yaitu: o Hasil penelitian tentang museum terpadu akan menghasilkan rangkuman tentang ciri-ciri, syarat dan cara penyelenggaraan museum terpadu. o Hasil dari konsep museum terpadu yang telah diketahui kemudian akan diterapkan pada kondisi Kawasan Situs di Desa Plered, Bantul, Yogyakarta 13

o Dalam proses analisis, penulis menerapkan analisis kesenjangan (gap analysis), yaitu penulis berupaya untuk menemukan apa saja kondisi yang sesuai dan apa saja kondisi yang tidak sesuai untuk menerapkan museum terpadu pada warisan budaya di wilayah Plered. Apabila ditemukan hal-hal yang tidak sesuai (gap), maka hasil penelitian ini akan dapat memberikan arahan tentang hal-hal apa saja yang perlu dilakukan agar konsep museum terpadu dapat diterapkan di kawasan situs Plered yaitu berupa ide dan saran. o Sesuai dengan alur penalaran penelitian ini, maka hasil akhir penelitian ini berupa rangkuman dari langkah yang harus diambil untuk menerapkan museum terpadu berupa concept plan (konsep perencanaan). Bagian penutup dari penelitian ini berisi kesimpulan hasil penelitian untuk mewujudkan museum terpadu di Kawasan Situs Plered. 14

H. BAGAN ALIR PENELITIAN Permasalahan: Bagaimana Konsep Museum terpadu (Integrated Museum) dapat diterapkan dalam pengelolaan warisan budaya di Kawasan Situs Plered Kajian Literatur Tentang Museum Terpadu (Integrated Museum) Pengumpulan data Warisan Budaya melalui Observasi, Studi Pustaka, dan wawancara Ciri Museum Terpadu (Integrated Museum) dan Prasyarat penerapannya Kondisi Warisan Budaya di Kawasan Situs Plered Analisis Kesenjangan (gap analysis) Kondisi Yang sesuai Kondisi Yang belum sesuai Langkah- langkah yang diperlukan 15