BAB I PENDAHULUAN.

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pariwisata sebagai salah satu industri jasa ikut membantu meningkatkan perekonomian negara seiring dengan industri lainnya seperti pertanian, pertambangan dan manufaktur. Namun sementara ini, industri pariwisata hanya mampu menyumbang US$ 10 miliar devisa negara, dengan total sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 6 persen per tahunnya. Padahal, potensi alam dan keragaman budaya Indonesia sangat besar untuk dikembangkan dan menghasilkan penerimaan yang lebih besar lagi. Indonesia pada 2014 hanya mencatatkan angka kunjungan wisman (wisatawan mancanegara) sebesar atau tumbuh 7,2 persen dibandingkan dengan tahun 2013 yang sebanyak wisman (Christian, 2015). Dengan angka pertumbuhan tersebut, industri pariwisata Indonesia diprediksi akan terus tumbuh karena angka pertumbuhan Indonesia lebih tinggi bila dilihat dari angka rata-rata pertumbuhan pariwisata dunia sebesar 4,7 persen (Christian, 2015). Kebijakan Pemerintah provinsi Jawa Barat sebagai perwakilan pemerintah pusat telah menyusun kegiatan prioritas diantaranya adalah pelestarian keraton, wisata ziarah (pilgrimage) dan pengembangan ekowisata (Bappeda Jabar, 2014). Dalam strategi kewilayahan Provinsi Jawa Barat, Cirebon Raya atau Kota Metropolitan Cirebon dijadikan sebagai Metropolitan Budaya dan Sejarah dengan sektor unggulan wisata, industri, dan kerajinan. Hal ini didukung pula oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yaitu dengan merevitalisasi Keraton di Kota Cirebon yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kacirebonan, Keraton Kanoman dan Keraton Keprabonan. Kota Cirebon adalah salah satu kota wisata budaya di Jawa Barat. Dilihat dari posisi geografis adalah salah satu kota di bagian timur Jawa Barat dengan luas daerah 37,54 km persegi dengan wilayahnya yang strategis, yakni sebagai titik bertemunya jalur tiga kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung dan 1

2 Semarang serta semua jenis transportasi darat, laut, dan udara saling berintegrasi mendukung pembangunan kota Cirebon. Kota Cirebon juga adalah kota terbesar keempat di wilayah pantai utara Jawa setelah Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Dengan posisi wilayah yang strategis tersebut, terbuka peluang untuk berinvestasi dalam segala bidang seperti rumah makan, hotel, pusat perbelanjaan, pendidikan. Sektor pariwisata Cirebon yang tumbuh pesat dengan keunggulannya yaitu wisata budaya telah menjadi daya tarik berbagai turis asing seperti dari Belanda, Amerika dan Asia (Kompas.com, 7 Mei 2013). 700, , , , , , , , , , , , Gambar 1.1 Jumlah Kunjungan Wisatawan Kota Cirebon Tahun Sumber: Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan & Pariwisata Kota Cirebon, 2014 Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kota Cirebon dari data Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata (DISPORABUDPAR) Kota Cirebon periode cenderung mengalami peningkatan. Pada Gambar 1.1, tahun 2014 mengalami peningkatan cukup besar dibandingkan tahun sebelumnya dari wisatawan menjadi , peningkatan sebanyak wisatawan atau mengalami pertumbuhan sebesar 10 persen. Dari peningkatan jumlah wisatawan tersebut maka harus diimbangi dengan pelayanan fasilitas kota dan jasa wisata yang berkualitas sehingga dapat memberikan kepuasan bagi para wisatawan agar bisa menarik minat untuk berkunjung kembali. Menurut Udkhiyah (2013) dalam Anggraini (2014), potensi daya tarik wisata di Kota Cirebon berupa kekayaan warisan budaya yang beragam. Potensi daya tarik wisata di Kota Cirebon umumnya berupa peninggalan masa kerajaan Islam pada 2

3 zaman dahulu. Peninggalan tersebut dapat berupa peninggalan fisik dan nonfisik. Peninggalan fisik berupa keraton, masjid, makam atau situs para wali penyebar agama Islam, dan sebagainya, sedangkan peninggalan nonfisik berupa kesenian tradisional seperti Sintren, Nadran, Wayang Golek, dan lain-lain. Salah satu obyek situs cagar budaya yang menjadi ikon Kota Cirebon dan pariwisata Provinsi Jawa Barat adalah Keraton Kasepuhan. Keraton Kasepuhan berdiri pada tahun 1529 di atas lahan seluas 18,55 hektar. Desain dan arsitektur keraton ini merepresentasikan terjadinya akulturasi budaya yang ada di Cirebon. Terdapat ciri khas Jawa, Sunda, Hindu, Arab, Tiongkok, dan Mesir di beberapa bagian bangunan keraton. Didalam keraton terdapat bangunan dan benda-benda bersejarah dimasa Sunan Gunung Jati. Angka kunjungan wisawatan ke Keraton Kasepuhan pada 2012 hingga 2014 relatif sama. Dari data yang ditampilkan Gambar 1.2, kunjungan pada 2012 sebanyak sedangkan 2013 mengalami penurunan menjadi wisatawan. 100,000 90,000 80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000-89,173 87,226 88,789 72,805 62, Gambar 1.2 Jumlah Kunjungan Wisatawan Ke Keraton Kasepuhan Tahun Sumber: Badan Pengelola Keraton Kasepuhan BPKK (data diolah, 2015) Pada tahun 2014 angka kunjungan naik yaitu sebanyak wisatawan tetapi angka ini masih dibawah rekor kunjungan tahun Setiap tahunnya Keraton Kasepuhan hanya mengandalkan event tertentu saja seperti muludan atau lebaran untuk menarik banyak pengunjung. Wisatawan di hari biasa juga perlu 3

4 ditingkatkan oleh karena itu perlu perbaikan secara menyeluruh dan profesional sehingga mampu menarik wisatawan. Selain data kunjungan wisatawan tersebut diatas yang menunjukkan trend tidak ada kenaikan yang signifikan. Sedangkan berdasarkan hasil survei terbuka oleh Anggraini (2014), sebanyak 63 persen pengunjung memberikan saran kepada manajemen keraton agar mengenai kebersihan lingkungan dan ketertiban perlu ditingkatkan, jangan terjadi pungutan-pungutan atau sumbangan diluar tiket masuk yang telah dibayarkan sebelum pintu masuk keraton. Dari hal tersebut menunjukkan dugaan pengunjung merasa kurang puas atas layanan wisata yang diberikan. Oleh sebab itu perlu penelitian atau survei lanjutan dengan mengukur kualitas pelayanan jasa kepariwisataan di Keraton Kasepuhan Cirebon berdasarkan lima dimensi kualitas. Mengukur kualitas suatu industri jasa bisa menggunakan metode SERVQUAL, Menurut Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1988), ada 5 dimensi yang diukur yaitu: tangible (wujud), reliability (kehandalan), responsiveness (cepat tanggap), assurance (keyakinan atas pelayanan), dan empathy (kepedulian). Pengukuran kualitas di industri pariwisata sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dengan menambah atau mengganti dimensi yang diukur. Menurut Chen (2008), mengganti reliability dan assurance dengan communication (komunikasi) dan consumables (konsumsi), Markovic, Raspor dan Komsic (2013) menambahkan hiburan edukasi (educational intertainment) dan kenyamanan (convenience), menambahkan communication dan sociability (Chang, 2009).Pengukuran terhadap dimensi-dimensi tersebut diatas pada prinsipnya adalah menghitung kesenjangan atau gap antara harapan (expectation) dengan persepsi (perception) yang dirasakan oleh konsumen sehingga dapat diketahui atribut mana dari setiap dimensi yang sudah terpenuhi kualitasnya. Hanya dengan mengukur kualitas saja tidaklah cukup, pengukuran kualitas pelayanan perlu dianalisis umpan balik dalam menentukan upaya perbaikan untuk memenuhi kepuasan pelanggan. Pengukuran kualitas pelayanan dengan SERVQUAL hanya memberikan informasi penting mengenai kesenjangan pelayanan yang diterima dan yang diharapkan namun tidak dapat menentukan 4

5 bagaimana menutup kesenjangan tersebut sehingga perlu diintegrasikan dengan alat kualitas jasa lainnya untuk mengurangi besar kesenjangan kualitas jasa (Tan & Pawitra, 2001). Menurut Yuri dan Nurcahyo (2013), tujuan utama Quality Function Deployment (QFD) adalah menerjemahkan kriteria subjektif tentang kualitas menjadi sesuatu yang lebih objektif. Dengan demikian kriteria tersebut dapat diukur secara kuantitatif agar dapat digunakan pada tahap pembuatan produk selanjutnya. Kriteria subjektif dalam studi kasus penelitian ini merupakan kriteria yang dibutuhkan oleh pengunjung Keraton Kasepuhan Cirebon. Dan setiap kriteria yang dianggap tidak memenuhi kepuasan pengunjung akan menjadi bagian customer need pada matriks HOQ sedangkan upaya manajemen Keraton Kasepuhan dalam memenuhi keinginan dan kepuasan pengunjung akan menjadi technical response pada matriks HOQ. 1.2 Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apa harapan pengunjung terhadap layanan Keraton Kasepuhan Cirebon? 2. Bagaimana kesenjangan (gap) antara harapan (expectation) dan persepsi (perception) pengunjung terhadap layanan Keraton Kasepuhan Cirebon? 3. Bagaimana perbaikan kualitas layanan di Keraton Kasepuhan Cirebon? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian sebagai berikut: 1. Mengetahui atribut harapan pengunjung mengenai kualitas pelayanan Keraton Kasepuhan Cirebon. 2. Mengetahui Kesenjangan (gap) kualitas pelayanan yang dirasakan dengan yang diharapkan pada Keraton Kasepuhan Cirebon. 3. Mengetahui cara perbaikan kualitas pelayanan di Keraton Kasepuhan Cirebon yang sesuai dengan harapan pengunjung. 5

6 1.3.2 Manfaat Penelitian Manfaat Penelitian sebagai berikut: 1. Mampu menerapkan teori pengukuran kualitas jasa khususnya di bidang jasa wisata dengan menggunakan metode SERVQUAL yang diintegrasikan dengan QFD. 2. Hasil penelitian dapat digunakan oleh pihak manajemen Keraton Kasepuhan Cirebon sebagai masukan untuk perbaikan kualitas layanan. 3. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan baik pusat, provinsi (Jawa Barat) maupun daerah (Kota Cirebon). 1.4 Asumsi dan Batasan Masalah Asumsi dan batasan masalah dari penelitian ini adalah: 1. Pelayanan pada hari libur dan hari biasa dianggap sama. 2. Karakteristik dan motivasi pengunjung untuk datang ke keraton dianggap sama. 3. Pengunjung telah merasakan semua layanan yang tersedia dan telah membeli tiket masuk. 4. Responden dibatasi hanya pengunjung dari dalam negeri (domestik). Analisis dalam penelitian ini hanya sampai dengan HOQ fase 1. 6