BAB V KESIMPULAN Persepolis karya Marjane Satrapi merupakan karya francophone yang telah mendapatkan legitimasi sebagai karya grafis bersifat internasional dan dimasukkan ke dalam ranah studi literatur. Layaknya sebuah novel, Persepolis mengandung narasi, ide, pendalaman karakter, dan latar sejarah yang mendukung kekompleksan ceritanya. Penggunaan bahasa Prancis dalam Persepolis menunjukkan usaha Satrapi agar karyanya bisa menjadi karya yang dinikmati dunia internasional dan memperlihatkan kemampuan dan keikutsertaan Satrapi dalam memasuki budaya asing yang bukan merupakan budaya aslinya. Karya Satrapi (Persepolis 1 dan Persepolis 2) yang termasuk karya autobiografis menjadi saksi yang menceritakan secara jujur mengenai revolusi dan perang Iran-Irak. Ketidakstabilan politik dan ekonomi di Iran mengakibatkan adanya revolusi dan perang yang menjadi pemicu kontestasi identitas seorang individu yang dibesarkan pada masa itu. Pergantian regulasi serta rezim pemerintah yang berkuasa pada masa sebelum dan sesudah revolusi diceritakan Satrapi membawa persoalan identitas yang dihadapi masyarakat Iran, khususnya bagi para perempuan Iran mengenai regulasi berjilbab. Perempuan Iran dalam Persepolis terbagi menjadi kelompok sekuler, yang menentang pemakaian jilbab kembali dan kelompok fundamentalis, yang mendukung pemakaian jilbab kembali. Adanya pertentangan di antara kedua kelompok ini disebabkan oleh regulasi rezim Reza Shah atau pemerintahan monarki terdahulu yang justru melarang perempuan memakai jilbab sebagai bentuk westernisasi dan modernisasi 194
Iran pada zaman itu. Westernisasi dan modernisasi Iran pada masa kekuasaan Shah memberi angin segar bagi kelompok perempuan sekuler Iran yang mendapatkan pendidikan à la Barat, namun ketika Shah akhirnya jatuh karena revolusi, kelompok inilah yang kemudian menjadi objek opresi kelompok perempuan fundamentalis. Sementara kelompok perempuan fundamentalis yang mendapat giliran angin segar pada saat Khomeini berkuasa menjadi bagian dari patroli pengawas khusus perempuan untuk mengajarkan mengenai cara berjilbab yang baik menurut syariah Islam. Tidak hanya perubahan dalam regulasi berpakaian, Persepolis juga menceritakan perubahan sistem pendidikan di Iran seiring dengan bergantinya rezim kekuasaan dalam pemerintah. Di masa Shah masih berkuasa, sekolahsekolah bilingual banyak didirikan dan pengiriman siswa untuk studi ke Eropa gencar dilakukan. Pada masa Khomeini memerintah, semua sekolah bilingual dan universitas ditutup dengan alasan sistem pendidikan yang tidak sesuai dengan syariah Islam dan akan menciptakan pengikut imperialis baru. Sensitivitas penduduk Iran meningkat dengan adanya rombongan pengungsi perang yang datang dari selatan dan kurangnya bahan pangan, serta menipisnya persediaan bahan bakar menjadi sebab lain dari revolusi dan perang. Masyarakat sipil Iran banyak yang menjadi korban perang dan kehilangan harta benda mereka. Sebagian dari mereka tetap bertahan di Iran sementara sebagian lainnya mencari suaka ke luar negeri. Persepolis tidak hanya memaparkan perubahan yang terjadi di masyarakat sehubungan dengan terjadinya revolusi dan perang. Revolusi dan perang telah 195
membawa dampak dalam konstruksi identitas seorang individu yang direpresentasikan oleh tokoh Marjane. Dominasi rezim penguasa dan penegakan Republik Islam memunculkan perlawanan dari kelompok yang didominasi termasuk Marjane didalamnya. Sebagai agen, resistensi Marjane muncul karena motivasi tak sadar dalam dirinya melalui ingatan masa lalunya akan revolusi dan pamannya yang dieksekusi. Tidak hanya itu, keluarga Marjane yang menunjukkan resistensi mereka baik secara diam-diam di balik tembok rumah dengan diskusi politik maupun dengan mengikuti demonstrasi secara langsung, menumbuhkan kesadaran praktis yang mewujudkan tindakan dari diri Marjane. Sementara itu, sekolah sebagai penggambaran dominasi rezim kepada rakyatnya juga menjadi agen yang mempengaruhi cara berpikir Marjane secara kritis dan berani. Resistensi yang muncul dari diri Marjane menjadi strateginya bertahan hidup di tengah rezim Islam sebagai remaja modern yang tumbuh di tengah keluarga liberal. Karya Satrapi (Persepolis 3) menggambarkan persoalan identitas yang dihadapi Marjane ketika memasuki dan bertemu dengan budaya baru, yaitu budaya Barat di Wina. Dalam proses adaptasinya dengan budaya Barat tersebut Marjane mengalami kendala bahasa dan keterkejutan budaya. Kendala bahasa terjadi pada awal keberadaan Marjane di Wina, namun diceritakan pada akhirnya Marjane tidak mengalami kesulitan berkomunikasi dengan orang di sekelilingnya. Keterkejutan Marjane terhadap budaya Barat yang paling menonjol dalam Persepolis 3 adalah masalah seputar seks bebas. Sebagai individu yang datang dan dibekali dengan budaya Timur, masalah seks merupakan masalah tabu baginya 196
dan tidak dibicarakan dengan sembarang orang. Bukan hanya masalah seks yang menjadi awal keterkejutan Marjane dalam prosesnya beradaptasi. Isu homoseksual yang mengakui orientasinya juga merupakan masalah yang diangkat dalam karya Satrapi ini. Marjane digambarkan sebagai individu yang mampu membuka diri terhadap budaya asing sebagai bentuk negosiasi identitasnya. Namun tidak semua keterbukaan diri tersebut itu menghasilkan konstruksi identitas yang diinginkannya. Di negara Barat, Marjane tetap dianggap sebagai imigran asing yang berusaha mencari keuntungan di negara migran, dipinggirkan, dan sering mengalami perilaku rasis. Akulturasi yang diusahakan Marjane dalam negosiasinya digambarkan tidak selalu berhasil karena dalam usahanya tersebut tetap ada benturan budaya Barat-Timur yang tidak dapat Marjane atasi. Sekembalinya Marjane ke Iran, dia digambarkan harus menghadapi proses adaptasi yang hampir serupa dengan saat di Wina. Pengasingannya selama empat tahun telah memberikan pengaruh kebarat-baratan dalam tindakan dan cara berpikirnya. Marjane kembali merasa tertekan dan melakukan negosiasi dengan identitas masa lalunya selama berada di Iran. Depresi yang dia alami sesudah pengasingannya justru menampilkan kesadaran dari dirinya bahwa hanya dirinya sendiri yang bisa mengatasi pilihan identitasnya. Persepolis memperlihatkan identitas sebagai simbol perlawanan dari seorang individu yang terdominasi tradisi, agama dan rezim pemerintah. Dalam konstruksi identitasnya, individu yang bertemu dengan budaya asing akan berusaha menyerap budaya tersebut dan berusaha menjadikan dirinya sebagai 197
bagian dari budaya tersebut dengan menegosiasikan dengan budaya aslinya. Dengan memfokuskan bahasan pada persoalan identitas individu pada masa revolusi, perang, dan pengasingan, terungkap bahwa Persepolis merepresentasikan perlawanan dan strategi bertahan masyarakat Iran pada masa revolusi dan perang. Bentuk perlawanan tersebut sebagai tindakan aktif bertahan di tengah dominasi kekuasaan rezim. Sementara itu representasi Marjane yang melekat dengan budaya Timur menegaskan konstruksi identitas Timur yang menjadi asumsi bangsa Barat: terbelakang, tidak berpendidikan dan tidak memiliki perilaku yang baik. Penyesalan Marjane dan kesedihannya meninggalkan tanah air menjadi konsekuensi yang harus dihadapi karena keinginannya mendapat keleluasaan dan kebebasan memilih. Identitas Marjane digambarkan tidak berhenti berproses dan tersusun dari perwujudan individualnya, hubungannya dengan orang lain, serta dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan kultural. Dapat dikatakan pula, negosiasi Marjane terwujud ke dalam bentuk novel grafis sebagai simpanan memori untuk melupakan dan mengingat. Melupakan karena pada akhirnya dia memilih memulai hidup yang baru dengan caranya sendiri namun juga mengingat dirinya sebagai seorang Iran yang memiliki latar historis dalam dirinya yang dikarenakan hal tersebut membuatnya tergugah untuk mewujudkan novel grafis ini. 198