I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk

III. TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

INDUSTRI MINYAK GORENG INDONESIA DISERTASI HORAS VERYADY PURBA

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

PELUANG INVESTASI BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA. Makalah. Disusun Oleh : Imam Anggara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Crude palm oil (CPO) berasal dari buah kelapa sawit yang didapatkan dengan

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya hubungan saling ketergantungan (interdependence) antara

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

BAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan

BAB I PENDAHULUAN. Minyak goreng sawit adalah salah satu jenis minyak makan yang berasal dari

JURNAL ILMIAH RANGGAGADING Volume 10 No. 2, Oktober 2010 : ABSTRACT PENDAHULUAN

VIII. SIMPULAN DAN SARAN

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

PENDAHULUAN. untuk bisa menghasilkan kontribusi yang optimal. Indonesia, khususnya pengembangan agroindustri.

Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada saat dahulu, pada umumnya orang melakukan investasi secara tradisional.

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat yang dihasilkan dari produk CPO, diolah menjadi Stearin Oil

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia CPO Turunan CPO Jumlah. Miliar)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tanaman

II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

IV. KERANGKA PEMIKIRAN

Harga Minyak Mentah Dunia 1. PENDAHULUAN

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Tinjauan Pasar Minyak Goreng

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara

DAMPAK KENAIKAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP PERMINTAAN CPO UNTUK BIODIESEL DAN BEBERAPA ASPEK PADA INDUSTRI KELAPA SAWIT INDONESIA

II. GAMBARAN UMUM PAJAK EKSPOR, MINYAK GORENG SAWIT DOMESTIK DAN MINYAK SAWIT DUNIA

I. PENDAHULUAN konstribusi yang besar bagi devisa negara, khususnya karena pergeseran pangsa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keberlangsungan suatu negara dan diyakini merupakan lokomotif penggerak dalam

DAMPAK KENAIKAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP PERMINTAAN CPO UNTUK BIODIESEL DAN BEBERAPA ASPEK PADA INDUSTRI KELAPA SAWIT INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting

BAB I PENDAHULUAN. dalam realita ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

BAB I PENDAHULUAN. krisis tersebut adalah industri agro bisnis dan sampai akhir tahun 2010 industri agrobisnis

Policy Brief Perbaikan Regulasi Lahan Gambut Dalam Mendukung Peran Sektor Industri Kelapa Sawit Indonesia 2017

oleh nilai tukar rupiah terhadap US dollar dan besarnya inflansi.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. digunakan baik untuk konsumsi makanan maupun nonmakanan. Total produksi

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).

PROSPEK TANAMAN PANGAN

PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA

Riskayanto. Lembaga Pengembangan Akunlansi & manajemen Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Analisis kebijakan industri minyak sawit Indonesia: Orientasi ekspor dan domestik Edid Erdiman

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan perusahaan besar adalah kelapa sawit. Industri kelapa sawit telah tumbuh

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. yang prospektif. Komoditas karet alam memiliki berbagai macam kegunaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan tersebut atau lebih dikenal dengan perdagangan internasional.

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003)

I. PENDAHULUAN. kualitas produk melalui usaha diversifikasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT, BAHAN BAKAR DIESEL DAN PRODUK TURUNAN KELAPA SAWIT

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009).

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI OLEH WIDA KUSUMA WARDANI H

JAMBI AGRO INDUSTRIAL PARK

1 UNIVERSITAS INDONESIA Rancangan strategi..., R. Agung Wijono, FT UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kelapa sawit merupakan komoditas perdagangan yang sangat

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum dan sesudah krisis ekonomi tahun 1998, harga minyak sawit (Crude Palm Oil=CPO) dunia rata-rata berkisar US$ 341 hingga US$ 358 per ton. Namun sejak tahun 2007 harga CPO dunia meningkat dua kali lipat hingga mencapai US$ 719.13 per ton dan mendekati US$ 1.200 per ton pada tahun 2010. Gejolak harga CPO tersebut secara faktual mempengaruhi harga minyak goreng di pasar domestik dari Rp 7.000 per kg menjadi Rp 12.900 per kg. Hal ini dapat dijelaskan karena 80 persen biaya produksi pengolahan minyak goreng sawit merupakan biaya input (bahan baku) CPO. Pada masa krisis tahun 1997-2000, terjadi fluktuasi yang sangat tajam, kemudian sejak tahun 2000 harga riel minyak goreng sawit cenderung mereda setiap tahun. Melonjaknya harga minyak goreng sawit di atas dipengaruhi oleh meningkatnya konsumsi minyak goreng domestik sebesar 12.42 persen per tahun. Tahun 2000 permintaan minyak goreng domestik mencapai 2.84 juta ton dan tahun 2008 meningkat dua kali lipat menjadi 5.71 juta ton. Disamping itu, terdapat perubahan struktur konsumsi minyak goreng dari minyak kelapa (coconut oil) ke minyak goreng sawit (palm oil) di Indonesia (Sinaga dan Ardana, 2004). Industri minyak goreng saat ini didominasi oleh minyak goreng sawit dan tidak dapat dipenuhi dari sumber minyak kelapa. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan ekspor minyak sawit (crude palm oil=cpo) untuk mengamankan ketersediaan bahan baku industri hilir domestik dan menjaga harga minyak goreng sawit berada pada level yang dapat dijangkau masyarakat. Salah satu kebijakan tersebut adalah pengenaan pajak

ekspor). Fakta empiris menunjukkan pengenaan pajak ekspor mampu menurunkan harga minyak goreng domestik sebagaimana disajikan pada Gambar 1. 30,000 25,000 20,000 Rp/kg 15,000 10,000 5,000 - Harga Riel 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 Harga Nominal Harga Nominal Harga Riel Sumber: Kelapa Sawit, Dirjen Perkebunan RI (diolah) Gambar 1. Perkembangan Harga Minyak Goreng Sawit Tahun 1979-2008 Pajak ekspor (PE) merupakan salah satu Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang memiliki dua fungsi utama, yakni sebagai instrumen untuk menghambat laju ekspor dan untuk meningkatkan penerimaan Negara. Kebijakan PE sudah dimulai sejak tahun 1978 melalui SKB Mendagkop, Menteri Pertanian dan Menperindag, yang mengatur alokasi bagi kebutuhan dalam negeri serta menetapkan harga penjualan CPO di dalam negeri. Tahun 1991-1994 pemerintah mencabut SKB tersebut dan membebaskan perdagangan dan ekspor CPO. Tahun 1994-1997 Menteri Keuangan menetapkan pajak ekspor progresif bagi CPO dan produk derivatifnya, dan menetapkan pajak ekspor 40 persen hingga 60 persen. Tahun 1998 (Januari sampai April) pemerintah melakukan larangan ekspor CPO, dan kemudian menerapkan pajak ekspor dari 15 persen hingga 40 persen. Selanjutnya pemerintah menetapkan pajak ekspor progresif berdasarkan harga CPO di pasar dunia yang mengalami perubahan dari watu ke waktu. Tahun 2007

Menteri Keuangan menetapkan tarif pajak ekspor dari 0 persen (hargaa di bawah US$ 550 per ton hingga 10 persen (harga di atas US$ 850 per ton) dengan SK Nomor 61/PMK 011/2007. Tahun 2008, harga CPO dunia cenderung meningkat tajam hampir dua kali lipat dari kisaran US$ 600 per ton menjadi 13000 USD per ton, sehingga Menteri Keuangan menerbitkan SK Nomor 223/PMK.011/2008 yang menetapkan tarif pajak ekspor dari 0 persen hingga 25 persen sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Gambar 2. Tarif Pajak Ekspor CPO Berdasarkan SK Nomor 223/PMK..011/2008 Tujuan pengenaan pajak ekspor CPO antara lain adalah untuk menjamin kebutuhan dalam negeri, antisipasi kenaikan harga di pasar internasional dan menjaga stabilitas hargaa dalam negeri. (Pasal 2 ayat 2 PP No 35 tahun 2005). Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu, pengenaan pajak ekspor dapat menahan laju ekspor CPO untuk melindungi ketersediaan bahan baku CPO pada industri hilir minyak goreng domestik. Hasan, Reed dan Marchant (2001) menunjukkan pengenaan pajak ekspor menurunkan laju ekspor sebesar 44.5 persen pada Oktober 1994 dan 64.4 persen pada Desember 1994.

Pengenaan pajak ekspor tidak terlepas dari fenomena perkembangan ekspor CPO domestik. Pertumbuhan ekspor CPO Indonesia dipengaruhi oleh tiga faktor: (1) faktor permintaan CPO di pasar dunia, (2) perkembangan produksi dan pasar CPO domestik dan (3) pengaruh daya saing (competetiveness) CPO Indonesia (Obado, Syaukat dan Siregar, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa CPO terkait erat dengan sub sistem hulu (areal dan produksi CPO), perdagangan dan ekspor hingga industri hilir. Dalam keseimbangan supply-demand minyak sawit Indonesia terdapat kecenderungan orientasi ekspor yang semakin tinggi dengan laju 15.44 persen per tahun, dan hal ini terlihat nyata sejak era reformasi tahun 1998. Sebelumnya pada tahun 1979-1997 proporsi ekspor CPO domestik adalah 40 persen dari total produksi sedangkan pasca reformasi (1998 hingga kini) proporsi ekspor telah mencapai 63 persen dari total penawaran CPO domestik. Peningkatan ekspor CPO domestik tersebut tidak terlepas dari meningkatnya permintaan CPO di pasar internasional karena CPO memiliki peran yang semakin besar di pasar internasional untuk memenuhi permintaan oil and fat dunia (Basiron, 2002); dan Pasquali (1993) memproyeksikan tingkat pertumbuhan CPO lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Proyeksi Pasquali tersebut ternyata terbukti, dimana pada tahun 2010 proporsi konsumsi minyak sawit telah mengungguli minyak kedele di pasar dunia (Lampiran 1) dengan pangsa masing-masing 28.01 persen dan 23.77 persen (Oil World, 2010). Laju konsumsi minyak sawit relatif lebih tinggi (70 persen) dibandingkan dengan minyak kedele (54 persen) dalam kurun 1995-2002, dan pada tahun 2020 konsumsi minyak sawit dunia diperkirakan akan mencapai 67 juta ton pada tahun 2020 atau dengan pangsa 45 persen dari total edible oil dunia (Oil World, 2010).

Peningkatan konsumsi tersebut antara lain dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan per kapita, serta permintaan minyak sawit dunia untuk bahan baku industri di Uni Eropa, dan juga meningkatnya permintaan impor CPO oleh negara India dan RRC. Permintaan CPO di pasar dunia diperkirakan terus meningkat di masa depan. Hal itu antara lain disebabkan oleh meningkatnya permintaan negara-negara di dunia yang mulai menggunakan komoditas tersebut untuk biodiesel. Produk energi itu relatif ramah lingkungan dan bisa menggantikan bahan bakar konvensional. Tingginya permintaan CPO itu mengakibatkan harga di pasar dunia meningkat tajam. Uraian di atas menunjukkan keterkaitan satu sama lain, baik CPO di pasar domestik maupun CPO di pasar internasional. Domestic excess demand mendorong kenaikan harga CPO di pasar domestik rata-rata 2.26 persen per tahun, dan harga sebagai signal pasar mendorong pertumbuhan luas areal kelapa sawit Indonesia, terutama oleh petani rakyat (independent farmer) serta perkebunan swasta. Nurochmat (2010) menyebutkan backward linkage CPO ke industri hulu adalah 1, artinya terdapat keterkaitan pengembangan CPO yang cukup kuat terhadap perluasan areal dan pengembangan industri hulu kelapa sawit Indonesia. Kelebihan permintaan CPO di pasar dunia (global excess demand) mengakibatkan harga CPO dunia meningkat rata-rata 1.96 persen per tahun dan daya tarik harga ini merupakan faktor yang mendorong peningkatan ekspor CPO Indonesia. Hal ini berdampak pada berkurangnya ketersediaan CPO untuk industri minyak goreng di pasar domestik. Dari uraian di atas, maka diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui dampak pajak ekspor terhadap industri minyak sawit Indonesia, khususnya industri minyak goreng domestik. Kebijakan pajak ekspor tersebut masih mengandung kontroversi dan mengundang banyak kritik. Antara lain, penetapan

pajak ekspor yang tinggi justru memperlemah daya saing ekspor Indonesia dan kehilangan kesempatan memperoleh devisa, dan kebijakan ini tidak memberikan rangsangan ke sektor hulu (on farm) dan perlu dikaji apakah meningkatkan kesejahteraan petani. 1.2. Perumusan Masalah Tingginya permintaan minyak sawit di pasar dunia menyebabkan harga CPO di pasar internasional meningkat tajam. Melonjaknya harga CPO di pasar internasional merupakan salah satu faktor yang diduga berpengaruh terhadap gejolak harga di dalam negeri dan mengganggu industri minyak goreng dalam negeri. Terdapat kecenderungan para eksportir domestik mengekspor CPO dalam jumlah yang sangat besar. Hal tersebut berdampak negatif terhadap ketersediaan pasokan CPO untuk bahan baku industri minyak goreng di Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah memberlakukan kebijakan pajak ekspor (bea keluar). Dari sisi perdagangan dunia, ekspor minyak sawit Indonesia bersifat fluktuatif. Pada tahun 80-an, tujuan ekspor minyak sawit Indonesia sangat didominasi negara-negara Eropa seperti Belanda (27.51 persen), Jerman (6.98 persen), Italy (5.86 persen), Inggris (2.48 persen). Sejak tahun 1990-an terdapat pergeseran tujuan ekspor minyak sawit Indonesia. Tujuan ekspor terbesar adalah negara-negara di Asia (64.4 persen), sedangkan pangsa tujuan ekspor ke Eropa adalah 22.5 persen dari total ekspor CPO Indonesia. Beberapa negara-negara penting diantaranya adalah RRC, rata-rata meningkat 17.54 persen per tahun, diikuti India 15.15 persen per tahun dan negara-negara Uni Eropa 9.44 persen per tahun. Oleh sebab itu, negara-negara tersebut dipilih secara purposive sebagai negara yang turut mempengaruhi penawaran ekspor minyak sawit Indonesia.

Pasar internasional CPO terintegrasi dengan pasar CPO domestik, sehingga perubahan harga CPO di pasar internasional akan mempengaruhi industri minyak sawit dan minyak goreng di pasar domestik. Permasalahan yang ingin dilihat adalah kajian perdagangan internasional CPO Indonesia yang meliputi ekspor negara Indonesia dan Malaysia, serta impor oleh negara Cina, India dan Uni Eropa. Komoditas CPO merupakan salah satu sumber penting konsumsi minyak dunia. Karena itu, perubahan yang terjadi di sisi eksternal dan internal akan mempengaruhi industri kelapa sawit Indonesia. Situasi eksternal yang paling dominan adalah meningkatnya permintaan impor CPO dunia dan perubahan harga minyak kedele, sedangkan situasi internal yang cukup penting adalah peubah yang berpengaruh terhadap kebijakan perluasan areal, ekspor dan konsumsi minyak goreng domestik. Untuk memahami respon industri kelapa sawit Indonesia terhadap perubahan yang terjadi di pasar global maupun domestik maka permasalahan yang ingin dilihat adalah menganalisis dampak perubahan sejumlah peubah eksogen yang berhubungan dengan industri kelapa sawit Indonesia. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan masalah yang dikemukakan di atas, maka secara umum tujuan penelitian adalah untuk menganalisis industri kelapa sawit Indonesia, serta dampak pajak ekspor terhadap industri minyak goreng domestik, serta menganalisis pasar CPO di pasar domestik dan pasar global. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis dampak pajak ekspor terhadap industri minyak goreng domestik, 2. Menganalisis keragaan Pasar CPO di pasar domestik dan pasar global.

1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini mencakup dua hal pokok, yakni (1) manfaat akademis dan (2) manfaat operasional. Dari sisi akademis, penelitian ini memberikan informasi empiris tentang dampak pajak ekspor terhadap industri minyak goreng domestik dan juga memberikan informasi ekonomi industri kelapa sawit Indonesia, yang meliputi industri hulu, hingga hilir (minyak goreng) dan analisis integrasi harga dan perdagangan internasional CPO. Manfaat operasional adalah menyajikan informasi dan masukan bagi pemerintah dalam pengenaan pajak ekspor untuk pengembangan agribisnis kelapa sawit nasional pada masa mendatang. Disamping itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk penelitian lanjutan, khususnya peran kelapa sawit untuk memenuhi permintaan energi. 1.5. Novelty Kajian mengenai pajak ekspor dan kelapa sawit telah banyak dilakukan yang sebagian besar dalam kajian perdagangan internasional. Susila dan Setiawan (2001), Hasan, Reed dan Marchant, (2001) dan Obado et al., (2009) mengkaji dampak penerapan pajak ekspor CPO terhadap industri CPO Indonesia, dan menyimpulkan bahwa pengenaan pajak ekspor menurunkan daya saing (competetiveness) ekspor CPO Indonesia, dan juga berdampak pada penurunan areal dan produksi CPO Indonesia. Munadi (2007) dengan model dinamis ECM (error correction model) melakukan pengujian sebaliknya, yakni pengurangan pajak ekspor akan meningkatkan daya saing CPO Indonesia ke India. Novelty atau kebaruan dari penelitian ini menghasilkan sebuah temuan yakni pengenaan pajak ekspor mampu menahan laju ekspor untuk mengamankan kebutuhan bahan baku CPO pada industri hilir minyak goreng di Indonesia, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa pengenaan pajak ekspor tidak

berdampak positif kepada industri hulu, yang sebagian besar dikelola oleh petani sawit rakyat (independent farmer). Salah satu solusi dimasa mendatang adalah perbaikan produktivitas (yield) kelapa sawit Indonesia dan pengalokasian penerimaan negara dari pajak ekspor untuk meningkatkan produktivitas industri hulu kelapa sawit Indonesia. 1.6. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan (limitasi) dalam penelitian ini antara lain adalah: 1. Pembahasan dalam studi ini tidak mencakup inti kelapa sawit (palm kernel oil) karena terbatasnya data. Namun demikian CPO cukup representatif karena CPO mencakup 80 persen dari seluruh produk kelapa sawit. 2. Sejak tahun 2000, terdapat korelasi yang positif dan kuat antara harga bahan bakar minyak (BBM) dengan harga CPO di pasar dunia dengan koefisien korelasi 0.83 (Purba dan Hartoyo, 2010). Jika harga BBM naik maka harga CPO juga cenderung naik. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan CPO pada saat ini telah berkembang untuk memenuhi permintaan bahan baku industri biodiesel. Limitasi dalam penelitian ini, tidak membahas permintaan CPO untuk biodiesel. 3. Kebijakan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah pengenaan pajak ekspor, sementara kebijakan (1) alokasi bahan baku untuk pasar domestik dan (2) operasi pasar tidak dibahas dalam penelitian ini.