BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi primer terjadi pada awal masa anak-anak dan umumnya asimptomatik. Di negara maju, infeksi primer umumnya tertunda hingga remaja, dan pada 25% kasus hadir sebagai mononukleosis infeksiosa (MI) (Crawford, et al. 2006; Evans, 1972). Selain mononukleosis infeksiosa, EBV juga berhubungan dengan malignansi limfoid dan epitel, termasuk limfoma Burkitt, limfoma nonhodgkin sel B pada pasien imunokompromis, 40-90% kasus penyakit Hodgkin, limfoma sel T/natural killer (NK), 10% adenokarsinoma gaster dan karsinoma nasofaring (KNF) (Rickinson, et al., 2006). Karsinoma nasofaring merupakan tumor yang berasal dari sel epitel yang melapisi permukaan nasofaring. Kanker ini paling sering tumbuh pada resesus nasofaring atau fossa Rosenmüller dan secara konsisten berkaitan dengan EBV khususnya KNF tipe III yang ditunjukkan dengan profil antibodi abnormal, 1
peningkatan level DNA EBV dalam sirkulasi dan ekspresi gen EBV pada sel tumor (Sham, et al. 1990; Brooks, et al., 1992; Brink, et al., 1998; Chan, et al., 2002; Fachiroh, et al., 2004). Tingginya titer antibodi IgG dan IgA terhadap EBV viral capsid antigen (VCA) dan early antigen (EA) pada orang sehat merupakan petanda KNF (Henle, et al., 1976). Di Indonesia, KNF merupakan keganasan kepala dan leher yang paling sering ditemukan dan kanker keempat dan keenam paling umum secara keseluruhan pada pria dan wanita, masing-masing dengan perkiraan insidensi 6,2 pada pria dan 4,6/100.000/tahun pada wanita (Soeripto, 1998; Kurniawan, et al., 2002). Secara histopatologis KNF terbagi menjadi tiga tipe berdasarkan derajat diferensiasi yaitu karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi (WHO tipe I), karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (WHO tipe II), dan karsinoma tanpa diferensiasi (WHO tipe III) (Shanmugaratnam & Sobin, 1993). Prognosis tipe II dan III lebih baik dibanding tipe I. Tipe III paling banyak ditemukan di populasi dengan prevalensi KNF tinggi, sementara tipe I umum dijumpai pada wilayah dengan prevalensi KNF rendah (Pearson, et al., 1983; Prathap, 1983; Weiland, 1983). 2
KNF memiliki gejala klinis yang tidak khas, yang menyerupai rinitis atau sinusitis sehingga sering diabaikan. Secara klinis diagnosis KNF sulit dilakukan karena letaknya yang tersembunyi, lesi keganasannya kecil, berwarna serupa dengan mukosa di sekitarnya, tumbuh secara endofitik, dan tidak dapat dilihat sehingga hasil biopsi sering negatif meskipun telah dilakukan berulang kali pada daerah yang dicurigai (Purba, 1997). Prognosis pasien KNF sangat dipengaruhi oleh stadium tumor saat terdiagnosis dengan 80 90% kelangsungan hidup lima tahun pada stadium I-II dan 50-70% pada stadium III-IV (Lee et al., 2005). Sebagian besar pasien datang ke rumah sakit pada stadium III dan IV ketika telah terjadi metastasis pada limfonodi servikal yang memerlukan kombinasi kemoradioterapi, sementara KNF stadium awal dapat mencapai remisi sempurna hanya dengan radioterapi (Lin et al., 2003). Sayangnya pasien KNF sering datang pada stadium yang sudah lanjut. Salah satu penyebab pasien sering datang pada stadium lanjut adalah perjalanan KNF yang sangat cepat. Lesi ganas dapat segera berkembang menjadi stadium lanjut bahkan tanoa disertai gejala yang jelas (Purba, 3
1997). Untuk mengurangi insidensi temuan kasus pada stadium lanjut perlu dilakukan deteksi awal KNF. Upaya deteksi awal sangatlah efektif bila difokuskan pada individu dengan resiko tinggi terhadap perkembangan KNF. Serologi EBV abnormal umumnya digunakan untuk mendukung dan menyediakan pendekatan yang terjangkau untuk deteksi awal pada populasi dalam upaya mengidentifikasi individu dengan resiko tinggi KNF (Ng, et al., 2006). Pasien KNF secara khusus memiliki titer IgA anti EBV-antibodi yang meningkat, menunjukkan asal tumor dalam mukosa nasofaring (Deng, et al., 1995). Antibodi IgA diproduksi secara lokal dan berperan dalam imunologi mukosa. Sel plasma di sekitar jalinan sel epitel diperkirakan berfungsi sebagai sumber antibodi IgA (Purba, 1997). Peningkatan titer tersebut dapat digunakan sebagai penanda spesifik KNF (Henle dan Henle, 1976). Oleh karena itu metode ini sering digunakan untuk deteksi awal KNF. Studi yang dilakukan oleh Zeng, et al. (1985) menunjukkan subyek dengan titer IgA-VCA (viral capsid antigen; komponen litik EBV) tinggi memiliki rerata insidensi KNF 31.7 kali lebih tinggi dibanding subyek dengan titer IgA-VCA rendah. Ji, et al. (2007) dalam 4
studi prospektif selama 15 tahun, mengamati insidensi KNF kumulatif 5.8 kali lebih tinggi pada kelompok yang titer antibodi IgA anti EBVnya tinggi dibanding dengan kelompok yang titer antibodi IgA anti EBVnya rendah. Kedua studi ini juga mengamati adanya gejala-gejala yang tidak khas pada area kepala dan leher sebagai gejala awal klinis KNF. Keluhan di area kepala dan leher dapat berhubungan dengan reaktivasi EBV, yang ditandai dengan tingginya titer IgA-EBV. Reaktivasi tersebut dapat bersifat menetap atau berhubungan dengan menurunnya respon imun (aktivasi hormon stres) (Schuster, et al., 1991). I.2. Perumusan Masalah Tingginya titer IgA terhadap EBV merupakan petanda KNF. Namun demikian pada orang sehat juga sering dijumpai individu dengan titer IgA-EBV yang tinggi. Perlu dilihat faktor-faktor yang berkorelasi dengan tingginya titer tersebut. Maka, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian: apakah keluhan-keluhan tidak khas pada area kepala dan leher berhubungan dengan reaktivasi EBV, yang ditandai dengan tingginya titer IgA-EBV? 5
I.3. Hipotesis Keluhan pada area kepala dan leher berhubungan dengan reaktivasi EBV yang ditandai dengan peningkatan titer IgA-EBV. I.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk: 1. Mengamati sebaran titer IgA-EBV di antara orang sehat yang hidup di Yogyakarta. 2. Mengetahui hubungan antara keluhan tidak khas pada area kepala dan leher dengan titer IgA-EBV pada orang sehat sebagai langkah awal pemanfaatan IgA EBV sebagai metode skrining KNF di Indonesia. I.5. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang pernah dilakukan dan sesuai dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hutajulu et al., (2011) melakukan studi yang bertujuan mengamati pola serologi EBV pada pasien poliklinik telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dengan keluhan kronik pada area kepala dan leher yang tidak responsif terhadap terapi standar (antibiotik, anti-alergi) dan sugestif terhadap perkembangan KNF dengan 6
menggunakan ELISA IgA EBV sebagai metode utama kemudian dikonfirmasi dengan imunoblot IgG dan kuantifikasi muatan DNA EBV pada sikatan nasofaring non invasif. Analisa serologi IgA EBV menunjukkan seroprevalensi 34,6%. Namun, tidak ada keluhan khusus yang berhubungan dengan seroreaktivitas IgA EBV (p=0,380). 2. Zou et al., (2000) dalam studi kasus kontrol di Yangjiang, Cina melaporkan bahwa rinitis kronik merupakan faktor risiko independen untuk KNF (OR=3,6 dan 95% CI=1,2-11,8). 3. Ekburanawat et al., (2010) dalam studi kasus kontrol yang melibatkan 327 pasien KNF dan 327 kontrol, melaporkan bahwa pasien KNF menunjukkan kecenderungan memiliki riwayat keluhan kronik pada telinga atau hidung dibandingkan subyek kontrol (OR=2,71 dan 95% CI=1,45-5,06). I.6. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mengetahui hubungan keluhan pada area kepala dan leher dengan titer IgA-EBV pada individu sehat di Yogyakarta sehingga dapat menjadi awalan untuk menggunakan metode 7
deteksi IgA-EBV sebagai alat skrining KNF di masyarakat. 8