BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan. maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Memaafkan. adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-qur an

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah dengan memaafkan. Memaafkan adalah salah satu cara untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan

BAB III METODE PENELITIAN. A. Metode Penelitian. korelasional. Penelitian ini dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan Pada Remaja Akhir. konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti.

Ummu Rifa atin Mahmudah_ Jurusan Psikologi-Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain.

EFEKTIVITAS BIBLIOKONSELING UNTUK MENINGKATKAN EMPATI REMAJA DI RUMAH PINTAR BUNGA PADI KECAMATAN BALEREJO, KABUPATEN MADIUN

BAB II LANDASAN TEORI PERILAKU ALTRUISTIK. kebaikan orang lain. Akert, dkk (dalam Taufik, 2012) mengatakan bahwa

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Enright (2001), mengatakan bahwa forgiveness sebagai suatu bentuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. suatu konflik/masalah (Nashori, 2008). Sebagian orang mungkin ada yang merasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PERILAKU MEMAAFKAN. semakin menurun motivasi untuk membalas dendam terhadap pelaku

BAB 1 PENDAHULUAN. sebenarnya ada dibalik semua itu, yang jelas hal hal seperti itu. remaja yang sedang berkembang.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengalaman Memaafkan. kebanyakan berfokus pada memaafkan sebagai proses dengan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. inidikarenakanadanyakonsepbahwamanusiamerupakanmakhluksosial.sehi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. tidaknya sebaran skor variable serta linier atau tidaknya hubungan. antara variabel bebas dengan variabel tergantungnya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. luar keluarga seperti teman-teman atau sahabat. Santrock (2007) yang tinggi atas perbuatan yang mereka lakukan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan (Forgiveness) menanggalkan kekeliruan masa lalu yang menyakitkan, tidak lagi mencaricari

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian dapat ditarik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Manusia adalah makhuk sosial. Berkaitan dengan itu, manusia tidak akan

FORGIVENESS PADA DEWASA AWAL PUTRI YANG MENGALAMI KEKERASAN PADA MASA KANAK-KANAK

BAB I PENDAHULUAN. dan suami, ibu dan ayah, anak perempuan dan anak laki-laki, saudara perempuan

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam

PROSES DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU MEMAAFKAN PADA REMAJA BROKEN HOME

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan hidup, individu memiliki harapan untuk dapat terus

BAB II KAJIAN PUSTAKA. oleh Kartini Kartono (1981) mengarikan perilaku (behavior) adalah respon

EMPATI ANAK PRASEKOLAH DI TAMAN KANAK-KANAK ISLAM PERMATA IMAN 3 SUKUN MALANG. Nur Cahyati

BAB I PENDAHULUAN. Mercu Buana, Universitas memberikan banyak wadah kegiatan untuk melengkapi

Komunikasi Antar Pribadi Pada Pasangan Romantis Pasca Perselingkuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 menjelaskan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

PENGANTAR. kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial

BAB II KAJIAN TEORITIS. dengan apa yang dirasakan orang lain (Batso dan Coke dalam Eisenbeng & Trayer, 1987

BAB III METODE PENELITIAN. angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran angka tersebut, serta penampilan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

SHAKINA DEARASSATI PA07

BAB I PENDAHULUAN. solusi yang membuat anak merasa aman, namun pada kenyataannya ada keluarga

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. bencana gempa bumi dan tsunami dengan intensitas yang cukup tinggi.

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perih, mengiris dan melukai hati disebut unforgiveness. Seseorang yang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB III METODE PENELITIAN. objek lainnya (Hatch dalam Sugiono, 2006). Penelitian ini menggunakan

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

BAB I PENDAHULUAN. maupun perempuan (Knoers dkk, 2001: 261). Begitu pula dalam hubungan interaksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: B. Definisi Operasional

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA KARANG TARUNA DESA PAKANG NASKAH PUBLIKASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fisik, tetapi juga perubahan emosional, baik remaja laki-laki maupun perempuan.

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Wikipedia (2013) forgiveness (memaafkan) adalah proses menghentikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORI

FORGIVENESS PADA WANITA YANG MEMPUNYAI ANAK DILUAR NIKAH

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

Wife s Forgiveness For Husband s Affair s (Qualitative Study of Woman as Victims of Husband s Affairs in Maumere)

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI

PERKEMBANGAN MORAL PADA MASA REMAJA

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN RUHANI DAN TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL PADA SANTRI

3. Emosi subyek ketika menjawab pertanyaan interview. 4. Bagaimana kebudayaan etnis Cina dalam keluarga subyek?

BAB I PENDAHULUAN. Semua ini membuat masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesehatan dan

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN INTENSI ALTRUISME PADA SISWA SMA N 1 TAHUNAN JEPARA

FORGIVENESS PADA ANAK YANG MENGALAMI KDRT OLEH AYAH TIRINYA. Nama : Noveria Yamita Eka Putri Npm :

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. antara satu dengan yang lainnya. Manusia bertinteraksi sosial untuk dapat saling

BAB I PENDAHULUAN. dengan lingkungan lainnya. Dalam kehidupan rumah tangga, dibutuhkan komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SMK BINA PATRIA 2 SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

Bab 2. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan

c. Pengalaman dan suasana hati.

4 Temperamen Manusia

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Rangkuman Subjek Penelitian. Kemampuan empati siswa SMA Kolese Loyola tidak dapat

Transkripsi:

11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemaafan 1. Definisi Pemaafan Secara terminologis, kata dasar pemaafan adalah maaf dan kata maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al- Qur an terulang sebanyak tiga puluh empat kali. Kata ini pada mulanya berarti berlebihan, kemudian berkembang maknanya menjadi keterhapusan (Nashori, 2008). Pemaafan berarti menghapus luka atau bekas luka dalam hati (Shihab dalam Nashori, 2008). Pemaafan adalah salah satu aspek prilaku prososial yang terjadi apabila seseorang yang terluka membebaskan orang yang melukai dari beban kemungkinan untuk memperoleh hukuman (Santrock, 2007). McCullough (1997) mendefinisikan pemaafan sebagai perubahan serangkaian motivasional dimana terjadi menurunnya motivasi untuk membalas dendam terhadap pelaku, motivasi untuk mempertahankan kerenggangan hubungan dengan pelaku dan meningkatnya motivasi ataupun keinginan untuk berdamai dan berbuat baik dengan pelaku. Enright dan Human Development Study Group (1991) mendefinisikan pemaafan sebagai kesediaan untuk menanggalkan kemarahan, penghakiman yang negatif, dan tidak menghindari orang yang menyakiti, mengembangkan rasa kasihan dan bahkan merubahnya menjadi

12 cinta. Menurut Hill (2007) pemaafan adalah kesediaan untuk mengurangi pikiran, perasaan, perilaku yang negatif dan meningkatkan pikiran, perasaan dan perilaku yang positif terhadap pelanggar. Hal yang senada juga disampaikan oleh Worthington (1997) yang menyatakan bahwa memaafkan merupakan upaya untuk membawa perasaan negatif dan menggantinya dengan pikiran, perasaan, dan tindakan positif. Selanjutnya, Worthington menyatakan bahwa memaafkan adalah mengurangi atau membatasi kebencian serta dendam yang mengarah pada pembalasan (Gani, 2011). Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa pemaafan adalah kesediaan seseorang untuk menanggalkan kemarahan dan menurunkan motivasi untuk balas dendam, tidak menghindari orang yang menyakiti serta meningkatkan motivasi untuk berdamai dengan orang yang telah menyakiti. 2. Aspek Pemaafan McCullough (1997) mengartikan pemaafan kedalam beberapa aspek, yaitu: a. Motivasi Menghindar (Avoidance Motivation). Secara Psikologis pemaafan ditunjukkan dengan menurunnya motivasi untuk menghindari pelaku yaitu ditandai dengan membuang keinginan untuk menjaga jarak dengan orang yang telah menyakitinya dan individu menarik diri dari pelaku pelanggaran.

13 b. Motivasi Membalas Dendam (Revenge Motivations). Secara psikologis pemaafan ditunjukkan dengan membuang keinginan untuk balas dendam terhadap orang yang telah menyakiti. c. Motivasi Melakukan Niat Baik (Benevolence Motivations). Secara psikologis pemaafan ditunjukkan dengan meningkatkan motivasi melakukan niat baik dan berdamai dengan pelaku yang telah menyakiti meskipun pelanggarannya tindakan berbahaya. 3. Proses Pemaafan Menurut Smedes (1991) tindakan memberikan maaf berlangsung melalui empat tahap, diantaranya: a. Merasa disakiti, yaitu bila seseorang menyakiti hati orang lain dan sulit untuk melupakan, maka dalam diri seseorang tersebut terjadi tahap pertama krisis pemberian maaf. b. Merasa benci, yaitu ketika ingatan individu bahwa telah disakiti selalu muncul amat jelas dan tidak pernah lagi mengharapkan hal yang baik bagi orang yang telah menyakiti. Individu berharap agar orang yang telah menyakiti mengalami kepahitan dan kesengsaraan hidup seperti yang telah dialami individu yang merasa disakiti. c. Penyembuhan, yaitu ketika individu dapat memandang orang yang telah menyakiti dengan cara pandang yang baru. d. Tercapainya damai dan rujuk kembali, yaitu ketika individu mampu menerima kembali orang yang telah menyakiti kedalam hidupnya lagi.

14 Pemberian maaf yang ada dalam diri seseorang terjadi melalui serangkaian proses. Enright (Nashori, 2008) mengungkapkan adanya empat fase untuk pemberian maaf, yaitu: a. Fase pengungkapan (uncovering phase), yaitu ketika seseorang merasa sakit hati dan dendam. Pada fase ini mencoba membangun kesadaran bahwa semua orang memiliki kemarahan saat disakiti, namun pilihannya apakah ia akan membuangnya atau mempertahankan rasa marahnya tersebut. b. Fase keputusan ( decision phase), yaitu individu mulai berpikir rasional dan memikirkan kemungkinan untuk memaafkan. Pada fase ini individu mempunyai perubahan pikiran dan memilih untuk memaafkan. Individu bekerja keras untuk memaafkan dari waktu kewaktu. c. Fase tindakan (work phase), yaitu adanya tingkat pemikiran baru untuk secara aktif memberikan maaf kepada orang yang telah melukai hati. Pada fase ini memerlukan empati dan niat baik untuk memaafkan. d. Fase pendalaman ( outcome/ deepening phase), yaitu internalisasi kebermaknaan dari proses memaafkan. Disini orang memahami bahwa dengan memaafkan, ia akan memberi manfaat bagi dirinya sendiri, lingkungan dan juga semua orang.

15 Menurut Enright dan Human Development Group (Inak, 2010), terdapat 4 model proses pemaafan interpersonal yang terdiri dari 20 unit yang akan diuraikan pada tabel dibawah ini: Tabel 2.1 Model Proses Pemaafan FASE PEMAAFAN Fase pengungkapan (uncovering phase) Fase keputusan (decision phase) Fase tindakan (work phase) UNIT a. Pemeriksaan mekanisme pertahanan psikologis b. Mengkonfrontasikan kemarahan bukan menyembunyikan kemarahan c. Mengakui adanya rasa malu d. Korban menyadari tentang banyaknya energi yang dikeluarkan akibat dari peristiwa menyakitkan itu e. Menyadari adanya pemikiran yang berulang-ulang terhadap kejadian yang menyakitkan f. Muncul pemikiran bahwa korban dapat membandingkan dirinya dengan pelaku g. Merealisasikan bahwa korban mengalami perubahan yang menetap oleh karena kejadian yang menyakitkan h. Korban menyadari bahwa pandangannya tentang keadilan telah berubah a. Perubahan hati, pemahaman baru bahwa strategi solusi lama tidak dapat membawa hasil yang diharapkan b. Keinginan mempertimbangkan memaafkan sebagai suatu pilihan c. Komitmen untuk memaafkan pelaku a. Penyusunan kembali, pemaknaan kembali terhadap peristiwa menyakitkan yang dialami melalui pengambilan peran pelaku dengan memandang konteksnya b. Empati terhadap pelaku c. Kesadaran bahwa memaafkan membutuhkan penerimaan terhadap luka yang dialami d. Pemaafan diberikan sebagai suatu hadiah moral bagi pelaku

16 Fase pendalaman (outcome/ deepening phase) a. Menemukan makna bagi diri sendiri dan orang lain dalam penderitaan dan selama proses pemaafan b. Menyatakan bahwa diri sendiri membutuhkan pemaafan dari orang lain pada masa lalu c. Muncul pemikiran bahwa korban merasa dirinya tidak sendirian (universal dan dukungan) d. Memperoleh tujuan baru dalam hidup dikarenakan oleh penderitaannya e. Kesadaran bahwa perasaan negatif yang dimiliki digantikan dengan perasaan positif, perasaan positif tersebut membebaskan, menguntungkan bagi korban. 4. Faktor Yang Mempengaruhi Pemaafan Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemaafan, diantaranya yaitu: a. Empati Empati adalah kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan, dan mengambil perspektif orang lain (Baron & Byrne, 2005). Kemampuan untuk empati ini erat kaitannya dengan pengambilalihan peran. Melalui empati terhadap pihak yang menyakiti, seseorang dapat memahami perasaan pihak yang menyakitinya, motivasi, kebutuhan dan alasan kenapa pihak yang menyakiti melakukan hal tersebut. Empati juga menjelaskan variabel sosial psikologis yang mempengaruhi pemberian maaf yaitu permintaan maaf (apologies) dari pihak yang menyakiti. Ketika pelaku meminta maaf kepada pihak yang disakiti maka hal itu bisa membuat korban lebih

17 berempati dan kemudian termotivasi untuk memaafkannya. Hal ini sesuai dengan yang ungkapkan oleh McCullough (2000) yang mengatakan bahwa empati akan mempengaruhi atau memotivasi seseorang untuk memberikan maaf terhadap orang lain. Artinya, semakin baik seseorang memiliki rasa untuk berempati, maka akan semakin baik pula dalam memberikan pemaafan terhadap orang yang menyakitinya. Jika individu mampu menempatkan diri pada sudut pandang pihak yang menyakiti, maka ia akan dapat memahami motivasi dan alasan kenapa orang yang menyakitinya melakukan hal tersebut. b. Atribusi terhadap pelaku dan kesalahannya Penilaian akan mempengaruhi setiap perilaku individu. Artinya, bahwa setiap perilaku itu ada penyebabnya dan penilaian dapat mengubah perilaku individu (termasuk pemaafan) di masa mendatang. Dibandingkan dengan orang yang tidak bisa memaafkan pelaku, orang yang memaafkan cenderung menilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat dan jujur (Al-mabuk, dalam Whardati & Faturochman, 2006). Pemaaf pada umumnya menyimpulkan bahwa pelaku telah merasa bersalah dan tidak bermaksud menyakiti sehingga ia mencari penyebab lain dari peristiwa yang menyakitkan itu. Perubahan penilaian terhadap peristiwa yang menyakitkan ini memberikan reaksi emosi positif yang kemudian akan memunculkan pemberian maaf terhadap pelaku (Takaku, dalam Whardati & Faturochman, 2006).

18 c. Tingkat kelukaan Persepsi terhadap tingkat keparahan luka dari peristiwa yang menyakitkan akan mempengaruhi pemaafan individu. Semakin parah rasa sakit hati semakin lama pula waktu yang diperlukan untuk memaafkan. Selain itu semakin parah peristiwa menyakitkan yang dialami, maka semakin sulit individu untuk memaafkan (McCullough, 2000). d. Karakteristik kepribadian Sikap untuk pemaafan merupakan trait yang ada dalam diri seseorang. Oleh karena itu, sikap pemaafan pada tiap individu dipengaruhi oleh tipe kepribadian. Ciri kepribadian tertentu seperti ekstrovert seringkali dihubungkan dengan tipe yang lebih mudah memaafkan. Kecenderungan ekstrovert menggambarkan beberapa karakter seperti bersifat sosial, keterbukaan ekspresi, dan asertif. Karakter ekstrovert diasosiasikan dengan sikap yang hangat, kooperatif, tidak mementingkan diri sendiri, menyenangkan, jujur dan fleksibel juga cenderung menjadi empatik dan bersahabat. Sebaliknya kepribadian introvert menggambarkan kepribadian orang yang pendiam dan kurang terbuka sehingga lebih sulit untuk memaafkan (McCulloough dalam Wardhati & Faturochman, 2006). e. Kualitas Hubungan Seseorang yang memaafkan kesalahan pihak lain dapat dilandasi oleh komitmen yang tinggi pada relasi mereka. Ada empat alasan mengapa kualitas hubungan berpengaruh terhadap perilaku memaafkan dalam hubungan interpersonal. Pertama, pasangan yang mau memaafkan pada

19 dasarnya mempunyai motivasi yang tinggi untuk menjaga hubungan. Kedua, dalam hubungan yang erat ada orientasi jangka panjang dalam menilai hubungan di antara mereka. Ketiga, dalam kualitas hubungan yang tinggi kepentingan satu orang dan kepentingan pasangannya menyatu. Keempat, kualitas hubungan mempunyai orientasi kolektivitas yang menginginkan pihak-pihak yang terlibat untuk berperilaku yang memberikan keuntungan di antara mereka (McCullough dkk, 1998). f. Kecerdasan emosional Salah satu kunci dari bagian proses pemaafan itu sendiri adalah pelepasan emosi negatif. Sesuai dengan hal tersebut, maka kecenderungan pemaafan sendiri berkaitan erat dengan emosi. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk mengatur emosi memiliki peranan penting dalam proses pemaafan. Kemampuan tersebut sering kali dikenal dengan kecerdasan emosional yang berarti kemampuan yang dimiliki individu untuk mengenali, memahami dan mengatur emosi dalam diri. Orang yang terampil mengelola emosi akan memperhatikan pengalaman emosional yang akan membuat mereka jelas terhadap emosi yang dialami. Pada akhirnya, pengelola emosi yang terampil akan dapat meregulasi dan menyelesaikan emosinya, ketimbang dikuasai oleh emosi tersebut. Sehingga hal ini akan mempengaruhi seseorang dalam memaafkan. Apabila individu mampu mengelola emosinya maka akan lebih mudah dalam memaafkan orang yang telah menyakitinya (Mayer, Salovey & Caruso dalam Hapsari, 2011).

20 B. Empati 1. Definisi Empati Empati adalah kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan, dan mengambil perspektif orang lain (Baron & Byrne, 2005). Menurut Davis (1983) empati adalah kemampuan seseorang untuk mengenal dan memahami emosi, pikiran serta sikap orang lain. Menurut Hoffman (dalam Taufik, 2012) empati adalah keterlibatan proses psikologis yang membuat seseorang memiliki feelings yang lebih kongruen dengan situasi orang lain daripada dengan situasi sendiri. Empati menurut Kartini Kartono & Dali Gulo ( dalam Taufik, 2012) dapat diartikan sebagai pemahaman pikiranpikiran dan perasaan-perasaan orang lain dengan cara menempatkan diri ke dalam kerangka pedoman psikologis orang tersebut. Menurut Alport (dalam Taufik, 2012) empati sebagai perubahan imajinasi seseorang kedalam pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain. Dengan berempati kepada oranglain kita akan menyelami pikiran-pikiran dan perasaan oranglain (Nashori, 2008). Empati berarti bereaksi terhadap perasaan orang lain yang disertai dengan respons emosional yang serupa dengan perasaan orang lain. Selanjutnya, menurut Davis empati bersifat multidimensional. Menurut Davis (Taufik, 2012) menguraikan empat konstruk yang terlihat seperti dalam satu episode yaitu: antecedents, process, intrapersonal dan

21 interpersonal. Keempat konstruk tersebut akan lebih dijelaskan pada proses empati. Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa empati adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memahami pikiran, perasaan, perilaku dan kondisi yang dialami oleh oranglain berdasarkan sudut pandang orang lain tersebut. 2. Aspek-Aspek Empati Davis (1983) menjelaskan ada empat aspek empati yaitu diantaranya: a. Perspective taking, yaitu kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut pandang orang lain secara spontan. Davis menekankan pentingnya kemampuan dalam perspektif taking untuk perilaku non egosentrik yaitu kemampuan yang tidak berorientasi pada kepentingan sendiri, tetapi pada kepentingan orang lain. b. Fantasy, yaitu kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajinatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal dalam buku, film, sandiwara yang dibaca atau ditontonnya. c. Emphatic concern, yaitu perasaan simpati yang berorientasi kepada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan yang dialami orang lain. d. Personal distress, yaitu kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri serta kegelisahan dalam mengahadapi setting interpersonal yang tidak menyenangkan.

22 3. Proses Empati Davis (dalam Taufik, 2012) menggolongkan proses empati ke dalam empat tahapan, yaitu: a. Antecedents. Antecedents yaitu kondisi-kondisi yang mendahului sebelum terjadinya proses empati. Meliputi karakteristik personal, target atau situasi yang terjadi saat itu. Empati sangat dipengaruhi oleh kapasitas pribadi personal. Ada individu-individu yang memiliki kapasitas berempati tinggi adapula yang rendah. Kemampuan empati yang tinggi, salah satunya dipengaruhi oleh kapasitas intelektual untuk memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh oranglain, atau kemampuan untuk memahami apa yang terjadi pada oranglain. b. Processes Terdapat tiga jenis proses empati, yaitu non-cognitive processes, simple cognitive processes, dan advance cognitive processes. Pertama, noncognitive processes yaitu pada proses ini terjadinya empati disebabkan oleh proses-proses non kognitif, artinya tanpa memerlukan pemahaman terhadap situasi yang terjadi. Kedua, simple cognitive processes yaitu hanya membutuhkan sedikit proses kognitif. Ketiga, advance cognitive processes. Pada proses ini individu dituntut untuk mengerahkan kemampuan kemampuan kognitifnya.

23 c. Intrapersonal Outcomes Intrapersonal Outcomes terdiri dari dua macam, yaitu: affective outcomes (reaksi-reaksi emosional yang dialami oleh observer dalam merespon pengalaman-pengalaman target) dan non affective outcomes. Affective outcomes dibagi lagi kedalam dua bentuk, yaitu paralleloutcomes dan reactive outcomes. Menurut Davis, parallel outcomes dapat terjadi dari pengalaman-pengalaman primitif atau pengalaman-pengalaman sebelumnya, sedangkan reactive outcomes individu melakukan diskusi untuk mencerna kondisi oranglain. d. Interpersonal Outcomes Salah satu bentuk dari interpersonal outcomes adalah munculnya perilaku menolong. Interpersonal Outcomes tidak sekedar mendiskusikan apa yang dialami oleh oranglain, tetapi dapat menimbulkan perilaku menolong. C. Kerangka Berpikir Manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia dalam menjalani kehidupan pasti berinteraksi dengan orang lain. Dalam proses berinteraksi dengan orang lain tidak menutup kemungkinan akan terjadi konflik. Bila individu disakiti oleh orang lain, individu memendam amarah dalam dirinya dan amarah yang dipendam itu akan tampak dalam perilaku agresif, yaitu perilaku yang didasari oleh maksud menyakiti terutama membalas orang yang telah menyakiti ( Dollard & Miller dalam Nashori, 2008). Hal inilah yang membuat hubungan antar individu

24 menjadi bermasalah dan membutuhkan pemaafan untuk mengembalikan hubungan yang baik lagi seperti semula. Sebagian besar individu jika merasa telah tersakiti maka akan cenderung sulit untuk memaafkan. Bahkan pemaafan pun sulit dilakukan oleh seorang peneliti yang telah meneliti tentang pemaafan itu sendiri. Memaafkan membutuhkan sebuah perjuangan dan proses. Philpot (dalam Gani, 2011) menyatakan memaafkan sebagai proses yang meliputi perubahan perasaan dan sikap terhadap pelaku. Perubahan yang dimaksud yaitu menurunkan motivasi untuk menghindari orang yang menyakiti, menurunkan motivasi untuk balas dendam dan meningkatkan motivasi untuk berdamai dengan orang yang menyakiti. Pemaafan dapat terjadi ketika individu mampu secara suka rela menerima permintaan maaf dari orang yang telah menyakiti. Pemaafan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu empati. Empati adalah kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan, dan mengambil perspektif orang lain (Baron & Byrne, 2005). Saat individu memaafkan orang yang telah menyakitinya tidak terlepas dari empati. Empati berpengaruh dalam pemaafan karena didalam empati terdapat perspektif taking yaitu kecenderungan individu untuk mengambil sudut pandang orang lain, dalam hal ini sudut pandang orang yang telah menyakitinya. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh McCullough (2000) yaitu ketika individu akan memberikan maaf, individu

25 tersebut pasti mengingat kembali rasa sakit yang diterima dari orang yang menyakiti dan membutuhkan empati yang baik. Melalui kemampuan pemahaman dan pengambilan sudut pandang dari orang yang menyakiti, individu bisa menempatkan dirinya pada orang yang telah menyakitinya dan mengetahui motivasi apa yang bisa menyebabkan pelaku melakukan hal tersebut hingga akhirnya individu dapat memaafkan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan yang mengaitkan hubungan antara empati dengan memaafkan yaitu Sulistyorini Tri Hapsari pada tahun 2011 di Semarang dan Ni Made Taganing Kurniati pada tahun 2009. Hasil dari kedua penelitian ini menunjukkan hasil yang sama, yaitu ada hubungan yang positif antara empati dengan memaafkan. Artinya, semakin tinggi tingkat empati seseorang maka akan semakin tinggi juga tingkat pemaafannya. D. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini yaitu: Terdapat hubungan positif antara empati dengan pemaafan pada mahasiswa Fakultas Psikologi UIN SUSKA Riau.