I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

Inovasi Pertanian Sumatera Selatan Mendukung Swasembada Beras Nasional

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

PENDAHULUAN Latar Belakang

Perilaku Petani dalam Usahatani Padi di Lahan Rawa Lebak

PERTANIAN BERBASIS SUMBERDAYA & KEARIFAN LOKAL. Benyamin Lakitan 2017

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani

BAB I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan banyak memberi

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN PERTANIAN BUKAN SAWAH

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber. penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 STUDI KEBIJAKAN AKSELERASI PERTUMBUHAN PRODUKSI PADI DI LUAR PULAU JAWA

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pola Tanam. yang perlu diperhatikan yaitu jenis tanaman, lahan dan kurun waktu tertentu

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari pulau dengan garis pantai sepanjang km, merupakan

A. Latar Belakang. ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian

MODEL PENGELOLAAN LAHAN RAWA LEBAK BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL UNTUK PENGEMBANGAN USAHATANI BERKELANJUTAN

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu penggerak utama dari roda. perekonomian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya/Papua. Dari 168 juta hektar lahan

Sistem Usahatani Jagung pada Lahan Pasang Surut di Kalimantan Selatan (Kasus di Desa Simpang Jaya Kecamatan Wanaraya Kabupaten Barito kuala)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara yang bergerak dibidang pertanian.

PEDOMAN TEKNIS DESAIN OPTIMASI LAHAN RAWA TA 2018 DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN

I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi di Indonesia yang mulai terjadi sekitar pertengahan 1997

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGENALAN TEKNIK USAHATANI TERPADU DI KAWASAN EKONOMI MASYARAKAT DESA PUDAK

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

RENCANA KINERJA TAHUNAN DINAS PERTANIAN KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2015 KETERANGAN

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

PENDAHULUAN Latar Belakang

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PETANI UNTUK PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PADI DI LAHAN RAWA LEBAK DI KAB. TANAH LAUT ABSTRAK

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: ANTISIPATIF DAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL. Oleh :

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pilihan yang sulit dihindari (Manwan, dkk dan Suryana. 2004). Hal ini

BAB I. PENDAHULUAN. adalah mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan meningkatkan. kemampuan berproduksi. Hal tersebut tertuang dalam RPJMN

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

KACANG TANAH DILAHAN LEBAK KALIMANTAN SELATAN UNTUK PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DI PEDESAAN ABSTRAK

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 kiranya dapat

Oleh: Tim Analisa BPK Biro Analisa APBN & Iman Sugema

MANAJEMEN USAHA TANI PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) merupakan tanaman komoditas pangan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEMITRAAN PEMASARAN BENIH PADI DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH KALIMANTAN SELATAN

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan substansi pokok dalam kehidupan manusia sehingga

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

PARADIGMA EKOLOGI BUDAYA UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN PADI Oleh : Marlyn T. Felix Sitorus

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

commit to user BAB I PENDAHULUAN

Materi 05 Manajemen Produksi Tanaman Pengelolaan Produksi Tanaman Berbasis Agroklimat. Benyamin Lakitan

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

STUDI KEBIJAKAN AKSELERASI PERTUMBUHAN PRODUKSI PADI DI LUAR PULAU JAWA (Tahun ke-2)

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rawa merupakan sebutan bagi semua lahan yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman ataupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Di Indonesia terdapat lahan rawa meliputi areal 33,40 39,40 juta hektar (Subagjo dan Widjaja-Adhi, 1998), sedangkan menurut Ardi et al., (2006) luas lahan ini diperkirakan sekitar 33,40 juta hektar yang terdiri dari rawa pasang surut dan rawa lebak. Rawa pasang surut seluas 24,20 juta hektar dan rawa lebak seluas 13,27 juta hektar, yang umumnya tersebar di Pulau Sumatera 5,70 juta hektar, Kalimantan 3,40 juta hektar, dan Papua 5,20 juta hektar (Balai Penelitian Rawa, 2005). Berdasarkan sistem klasifikasi Ramsar, lahan rawa atau lahan basah terbagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu lahan basah pesisir dan lautan, lahan basah daratan, dan lahan basah buatan (Puspita, 2005). Rawa lebak (swamps land) termasuk ke dalam lahan basah daratan. Provinsi Kalimantan Barat, dengan luas total 14,64 juta hektar memiliki ekosistem lahan basah seluas 3 659 736 hektar (Hikmatullah et al., 2008). Dari luasan tersebut, terdapat sekitar 35 436 hektar adalah rawa lebak. Dan baru sekitar 9 796 hektar atau sekitar 27,6% yang telah dimanfaatkan (Dinas Pertanian Provinsi Kalbar, 2008). Rawa lebak umumnya merupakan daerah yang terdapat di kiri dan kanan sungai besar dan anak sungai, dengan topografi datar, tergenang air pada musim penghujan, dan kering pada musim kemarau. Genangan air merupakan watak bawaan (inherence) dan sebagai ciri hidro-ekologi rawa sehingga dapat menjadi unsur pembeda utama, antara satu daerah dengan lainnya, sekalipun dalam satu kawasan (Noor, 2007). Ekosistem rawa lebak merupakan dataran banjir, dan dibeberapa tempat selain untuk kegiatan pertanian, juga memiliki kontribusi penting bagi masyarakat sekitar untuk kegiatan perikanan, dan dari kegiatan ini rawa lebak dapat dijadikan sebagai salah satu sumber protein hewani, jalur transportasi, kesempatan kerja dan juga sebagai sumber penghasilan alternatif (Sulistiyarto, 2008). Dalam keadaan tergenang, rawa lebak lebih sesuai untuk usaha tanaman padi, oleh sebab itu padi merupakan salah satu komoditi penting dalam sistem usahatani di rawa lebak. Dari total lahan rawa lebak yang telah diusahakan untuk pertanian, hampir 91 persen diusahakan untuk usahatani padi dengan pola

tanam satu kali dalam setahun, sedangkan yang diusahakan dua kali padi setahun baru sekitar 9 persen (Sudana, 2005). Pada kondisi kering rawa lebak banyak diusahakan tanaman palawija (Waluyo, 2000). Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan varietas unggul, produktivitas padi di lahan rawa lebak dapat mencapai 2,0 2,5 ton per hektar (Noor, 2007), dan tanaman kedelai mencapai 1,2 1,9 ton hektar (Waluyo dan Ismail, 1995). Namun demikian, pemanfaatan lahan rawa lebak masih terbatas dan hanya bersifat untuk menopang kehidupan sehari-hari dan masih tertinggal jika dibandingkan dengan agroekosistem lain, seperti lahan kering atau lahan irigasi (Noor, 2007). Rawa lebak merupakan ekosistem yang lebih cepat rusak dan berubah jika dibandingkan dengan ekosistem lain, dan tidak hanya rentan terhadap perubahan langsung seperti konversi menjadi lahan pertanian atau permukiman, tetapi juga rentan terhadap perubahan kualitas air sungai yang mengalirinya (Lewis et al., 2000). Selain itu, kendala non fisik, terutama masalah status kepemilikan lahan yang banyak dikuasai oleh kelompok tertentu yang berprofesi sebagai non petani (Arifin et al., 2006) dan ketidak-jelasan kepemilikan lahan (Irianto, 2006). Dengan kondisi demikian, apabila ekosistem rawa lebak tidak dikelola dan diatur dalam pemanfaatannya, maka hal itu dapat menimbulkan konflik. Konflik menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) dapat terjadi apabila tidak adanya kesepakatan dalam menetapkan aturan main pengelolaan sumberdaya alam yang digunakan sebagai landasan. Muara dari keadaan di atas, pada gilirannya dapat mempercepat proses pengrusakan/degradasi. Kenyataan membuktikan bahwa lahan rawa lebak sampai saat ini belum dapat memberikan produktivitas seperti yang diharapkan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nazemi et al., (2006) menemukan beberapa faktor penyebab lainnya sehingga pengusahaan lahan rawa lebak belum memberikan hasil yang maksimal diantaranya: (1) adanya persepsi dari petani yang keliru bahwa usahatani yang dijalani sekarang telah memberikan hasil yang maksimal, (2) kurangnya modal, (3) akses teknologi yang rendah, (4) sifat subsisten petani dan (5) berusahatani karena kebiasaan. Disisi lain, beberapa faktor yang mendukung dalam pengembangan usahatani seperti padi, terong, labu/waluh di lahan rawa lebak menunjukkan tingkat keuntungan yang cukup baik yang dinyatakan dengan R/C > 1 atau menguntungkan diusahakan, kontribusi usahatani terhadap pendapatan cukup besar dilihat dari pendapatan bersih petani, dan pemasaran hasil yang dapat

diserap pasar walaupun pasar lokal. Peluang pengembangan usahatani di lahan ini cukup besar, dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mendukung ketahanan pangan di daerah maupun nasional (Zuraida et al., 2006). Selanjutnya, adanya potensi lahan rawa lebak yang tersedia masih cukup luas, yang apabila diasumsikan bahwa 10 persen saja dari luas yang tersedia dapat dikelola/dimanfaatkan untuk padi dengan baik dengan intensitas tanam meningkat dari nol kali menjadi satu kali tanam, maka dapat menghasilkan produksi padi sekitar 2 663 200 ton menjadi 5 326 400 ton dari satu kali tanam menjadi dua kali tanam dengan rata-rata produktivitas 2 ton per hektar. Hasilnya akan terjadi lompatan produksi yang sangat signifikan, apabila produktivitasnya bisa direalisasikan mencapai 3 ton per hektar atau bahkan 4 ton per hektar (Irianto, 2006). Konversi lahan yang terjadi beberapa tahun terakhir terhadap ketahanan pangan nasional merupakan ancaman yang serius, mengingat konversi lahan tersebut sulit dihindari sementara dampak yang ditimbulkan terhadap masalah pangan bersifat permanen, kumulatif dan progresif. Masalah pangan yang ditimbulkan bersifat permanen. Artinya, masalah pangan tersebut tetap akan terasa dalam jangka panjang meskipun konversi lahan sudah tidak terjadi lagi. Masalah pangan yang ditimbulkan bersifat progresif. Artinya, walaupun luas lahan yang dikonversi per tahun selama periode t 0 (pada tahun ke-0) hingga t n (pada tahun ke-n) adalah tetap, namun peluang produksi padi yang hilang akibat konversi lahan tersebut akan semakin besar. Dengan kata lain, masalah pangan yang disebabkan oleh setiap hektar lahan yang dikonversi akan semakin besar dari tahun ke tahun (Irawan, 2005). Lebih lanjut dikatakan bahwa dampak konversi lahan sawah terhadap masalah pangan apabila tidak segera diatasi dapat menyebabkan semakin terbatasnya ketersediaan sumberdaya lahan yang dapat dijadikan lahan persawahan, terutama di daerah Pulau Jawa. Oleh karena itu, usaha pemanfaatan dan pengelolaan rawa lebak untuk mengatasi kondisi di atas, merupakan sesuatu hal yang sangat penting dan strategis. Mengingat laju konversi lahan dan kebutuhan pangan nasional setiap tahun terus mengalami peningkatan. Kebutuhan luas lahan baku untuk sawah menurut Las (2010) mencapai 8,3 juta hektar, sementara lahan kering potensial yang tersedia dan sesuai untuk tanaman semusim hanya tersisa 7,0 juta hektar. Hal ini memaksa untuk memanfaatkan lahan rawa lebak yang ketersediaannya cukup luas. Namun demikian, dalam pemanfaatan rawa lebak untuk usahatani

memerlukan penanganan yang spesifik, hal itu ditunjukkan adanya permasalahan yang cukup kompleks. Penyusunan model usahatani yang bersifat spesifik dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada yang sesuai dengan karakteristik biofisik lahan dan sosial budaya masyarakat setempat dan terpadu sangat diperlukan. Kepentingan produksi atau ekonomi disatu sisi menjadi sesuatu hal yang penting diperhatikan karena dalam hal mempertahankan kelangsungan kehidupan mereka, tidak akan terlepas dari usaha pemenuhan kebutuhan. Dilain pihak, kepentingan ekologi atau lingkungan juga menjadi hal penting dan tidak dapat diabaikan, karena dalam proses produksi selain membutuhan sumberdaya dalam hal ini lahan sebagai modal juga dihasilkan produk dan limbah sebagai hasil sampingan (Daniel, 2004). Untuk itu, dalam upaya mencapai keberlanjutan dan kelestarian sumberdaya, diperlukan suatu strategi dan pendekatan interdisiplin untuk mencari keterpaduan antar komponen melalui pemahaman secara holistik (menyeluruh) dan utuh yang mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan. Dengan pendekatan interdisiplin dimaksud, dan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada diharapkan terjadi perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang ada di kawasan rawa lebak ke arah yang lebih baik. Dan dalam pemanfaatannya dapat menekan dan mengurangi terjadinya kerusakan kawasan rawa lebak sehingga sebagai suatu ekosistem yang spesifik rawa lebak tetap terpelihara dan terjaga kelestariannya. 1.2 Tujuan Penelitian 1.2.1 Tujuan Umum Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah merumuskan model pengelolaan lahan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk usahatani berkelanjutan. 1.2.2 Tujuan Khusus Tujuan umum tersebut diwujudkan melalui tujuan khusus sebagai berikut: 1. Menganalisis karakteristik rawa lebak dan petani yang memanfaatkan rawa lebak 2. Menganalisis kesesuaian lahan beberapa tanaman utama yang diusahakan di rawa lebak 3. Menganalisis kelayakan usahatani saat ini di rawa lebak

4. Menganalisis indeks dan status keberlanjutan usahatani di rawa lebak 5. Menganalisis variabel-variabel dominan model pengelolaan rawa lebak berkelanjutan berdasarkan lima dimensi keberlanjutan 1.3 Kerangka Pemikiran Pemanfaatan rawa lebak oleh masyarakat dilatari oleh potensinya sebagai sumberdaya, desakan kebutuhan akan lahan, dan pangan serta kemampuan indegeneus knowledge dari petani dalam memanfaatkan lahan rawa lebak. Tetapi pada kenyataannya pemanfaatan lahan rawa lebak untuk usahatani, belum dapat memberikan hasil secara optimal. Hal tersebut dapat dipahami, karena rawa lebak disamping mempunyai fungsi ekologis dan fungsi produksi juga sebagai salah satu ekosistem yang mempunyai karakteristik yang fragil dan labil. Keterbatasan ketrampilan, teknologi, modal dan sarana pendukung yang ada mengakibatkan pengelolaan lahan rawa lebak masih sangat terbatas dan belum diperolah hasil yang maksimal sehingga belum mampu memberikan perbaikan kesejahteraan bagi masyarakat tani yang memanfaatkan rawa lebak sebagai sumber pendapatan keluarga. Menyadari akan kondisi tersebut, maka diperlukan suatu strategi pengelolaan lahan rawa lebak, diantaranya pemilihan jenis tanaman yang sesuai dengan ekosistem rawa lebak, melakukan pendekatan sosial kemasyarakatan, pendekatan ekonomi, teknologi dan kelembagaan serta memanfaatkan sumberdaya lokal yang ada. Dari pendekatan tersebut diharapkan terjadi peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan produktivitas lahan dan peningkatan pendapatan. Dengan adanya perbaikan faktor-faktor di atas, maka ekosistem rawa lebak yang dimanfaatkan sebagai lahan usahatani dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, diharapkan juga dapat berdampak terhadap perbaikan kondisi sosial masyarakat, dan akhirnya ekosistem rawa lebak tetap terpelihara dan lestari sebagai salah satu kekayaan ekosistem yang spesifik. Banyaknya faktor yang berperan dan rumit serta kompleksnya masalah yang dihadapi, maka pengembangan sistem usahatani lahan rawa lebak perlu dilakukan secara terpadu yang diformulasikan dalam suatu model pengelolaan lahan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk pengembangan usahatani berkelanjutan. Hasil dari penelitian ini adalah tersusunnya model pengelolaan lahan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk pengembangan usahatani

berkelanjutan di lokasi studi. Kerangka berpikir dalam bentuk diagram disajikan pada Gambar 1. Fungsi Ekologis Lahan Rawa Lebak Fungsi Produksi Karateristik fisik, kimia dan biologi Produktivitas Rendah Sistem Usahatani Sosial Ekonomi Sarana prasarana Ekologi Sosial Ekonomi Teknologi Kelembagaan Sumberdaya Lokal Rekomendasi Model Pengembangan UT Lahan Rawa Lebak Berkelanjutan Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 1.4 Perumusan Masalah Potensi lahan rawa lebak yang sesuai untuk usaha pertanian masih cukup luas, di pihak lain, pemanfaatan lahan rawa lebak masih terbatas, dan walaupun sudah dimanfaatkan hasil yang diperoleh belum seperti yang diharapkan. Padahal peluang untuk meningkatkan peran lahan ini ke depan masih cukup besar sebagai modal dalam pembangunan pertanian dalam arti luas. Namun diperlukan kehati-hatian dalam pengelolaannya, karena karakeristik khas yang dimiliki oleh rawa lebak. Budidaya pertanian di lahan rawa lebak, sebagai lahan marginal yang rapuh menghadapi berbagai kendala diantaranya adalah kendala biofisik lahan, sosial ekonomi, dan kelembagaan (Qomariah et al., 2006). Beberapa kendala fisik diantaranya; adanya genangan air, ph tanah yang rendah, adanya kandungan zat racun (aluminium, besi, hidrogen sulfida, natrium), tanah miskin hara baik makro dan mikro, serta adanya serangan hama/penyakit dan gulma. Sedangkan kendala sosial ekonomi diantaranya; keterbatasan modal dan sebagian petani masih mencari pekerjaan di luar usahataninya. Kendala

kelembagaan diantaranya adalah lemahnya peran kelompok tani (KT), dikarenakan kelembagaan pertanian kurang menempatkan petani sebagai pengambil keputusan dalam usahataninya, karena dominasi pengaruh intervensi para pihak luar terhadap kelompok tani (Slamet, 2003), rendahnya peran koperasi unit desa (KUD), dan petugas penyuluh lapang (PPL). Hasil penelitian Anantanyu (2009) di tiga kabupaten di Jawa Tengah menunjukkan bahwa dukungan penyuluhan pertanian pada umumnya masih berada pada kategori sedang, dan lemahnya dukungan lembaga keuangan (LK), kurangnya permodalan dan kurang tersedianya kelembagaan permodalan perdesaan yang mampu memberikan kredit usahatani yang cukup dengan bunga rendah (Fadjry et al., 2006). Berbagai kendala di atas dapat diatasi, dengan menggunakan berbagai pendekatan diantaranya adalah (1) pengembangan bertahap berdasar atas pemanfaatan sumberdaya (resource base) dan sistem usahatani terpadu (integrated farming system); (2) pemilihan komoditas yang sesuai, didukung penerapan teknologi spesifik lokasi (tipologi lahan dan genangan air); (3) kesesuaian komoditas dengan dinamika pasar; (4) konsep tata air sesuai kondisi lahan dan kebutuhan pertanian; (5) efisiensi sistem kelembagaan agribisnis; (6) peningkatan sarana dan prasarana penunjang; dan (7) pengembangan kemandirian dan partisipasi serta kesejahteraan masyarakat (petani dan swasta). Kemandirian petani dianggap sebagai tujuan akhir dari suatu usaha pembangunan pertanian. Sedangkan partisipasi petani adalah derajat keseluruhan peran-serta petani dalam kegiatan kelembagaan dimana petani menjadi bagian/anggota (Anantanyu, 2009). Hal lain yang juga memerlukan perhatian ekstra adalah penyediaan sumberdaya manusia yang terampil (penyuluh). Keberadaan sumberdaya manusia (SDM) pertanian diharapkan dapat berperan aktif dari mulai pembukaan lahan, pelaksanaan budidaya, pasca panen, dan pemasaran hasil. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Dapat digunakan dalam penetapan arah dan strategi kebijakan dalam pemanfaatan dan pengembangan lahan rawa lebak secara berkelanjutan

2. Model pengelolaan lahan rawa secara berkelanjutan yang dirumuskan dari hasil penelitian ini, dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan untuk pemanfaatan lahan rawa lebak di tempat lain 3. Manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan referensi, pengkajian dan penelitian lebih lanjut 1.6 Kebaruan (Novelty) Kebaruan dari penelitian ini terletak pada pengintegrasian berbagai komponen usahatani dan dimensi keberlanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya lokal yang digunakan untuk penyusunan model pengelolaan lahan rawa lebak yang berbasis pada pola tanam dan integrated farming dalam rangka peningkatan pendapatan petani di rawa lebak. Komponen usahatani dimaksud adalah sumberdaya lahan, air, modal, sarana produksi, tenaga kerja. Dimensi keberlanjutan dimaksud adalah ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan. Sumberdaya lokal yang dimaksud adalah sumberdaya manusia, sumberdaya alam, dan sumberdaya teknologi yang ada di lokasi penelitian.