2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek Klasifikasi dan morfologi

dokumen-dokumen yang mirip
2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN PEPETEK (Leiognathus equulus Forskal, 1874) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan peperek (Leiognathus spp.) Sumber : dkp.co.id

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

3. METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan kuro (Eleutheronema tetradactylum) Sumber: (a) dokumentasi pribadi; (b)

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

DINAMIKA STOK IKAN PEPEREK (Leiognathus spp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Sardinella sp. merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili

3.3 Pengumpulan Data Primer

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ikan Peperek Klasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut:

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Ikan Lencam

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

3. METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Perikanan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Ikan tembang (S. fimbriata)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis

3. METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. METODOLOGI PENELITIAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

3. METODE PENELITIAN

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

3. METODE PENELITIAN

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus

TINJAUAN PUSTAKA. mudah diperoleh di pasaran (Yulisma dkk., 2012). Klasifikasi Ikan Kembung menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

3. METODE PENELITIAN

Uji Organoleptik Ikan Mujair

MENGAPA PRODUKSI TANGKAPAN IKAN SARDINE DI PERAIRAN SELAT BALI KADANG MELEBIHI KAPASITAS PABRIK YANG TERSEDIA KADANG KURANG Oleh.

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

3. METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. adalah sekitar 220 mil laut dan berakhir pada ujung sebelah selatan yang

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Swanggi Priacanthus tayenus Klasifikasi dan tata nama

II. TINJAUAN PUSTAKA

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Barbichthys laevis (Froese and Pauly, 2012)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III BAHAN DAN METODE

KETERKAITAN LAJU EKSPLOITASI DENGAN KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN PETEK Leiognathus equulus (Forsskal, 1775) FAMILI LEIOGNATHIDAE

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi Berdasarkan Allen (2000) dan www.fishbase.org (2010) Klasifikasi ikan pepetek (Gambar 2) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum :Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Perchomorphi Subordo : Perciformes Famili : Leiognathidae Genus : Leiognathus Spesies : Leiognathus equulus, Forskal, 1874 Nama Indonesia : Peperek topang Nama lokal : Peperek (Jakarta), pepetek (Jakarta), petek Nama FAO/ umum : Common ponyfish Gambar 2. Ikan pepetek (Leiognathus equulus) (Dokumentasi pribadi)

6 Ikan pepetek (Leiognathus equulus) memiliki ukuran panjang maksimal 24 cm. Ikan pepetek biasa hidup di dasar perairan dengan suhu perairan antara 26-29 0 C serta dapat ditemukan juga di daerah estuari. Badan keperak-perakan, batang ekor dengan pelana coklat kecil, sirip dubur kekuningan, sirip punggung transparan, telanjang kepala dengan tulang belakang nuchal serta mulut menunjuk ke bawah (Allen 2000). Fungsi ekonomis ikan pepetek dirasakan tidak lebih penting daripada fungsi ekologisnya. Ikan petek kurang diminati dalam bentuk segar sehingga lebih banyak dipasarkan dalam bentuk asin kering dan rebus. Ikan yang termasuk dalam famili Leiognathidae ini merupakan salah satu jenis ikan hasil tangkap sampingan yang dominan tertangkap. Ikan ini memiliki nilai cukup ekonomis sehingga nelayan cenderung mengeksploitasi ikan ini dalam jumlah besar. Secara alami ikan pepetek memiliki tingkat pertumbuhan dan rekruitmen yang relatif tinggi (Saadah 2000), namun tingkat kematian alami ikan ini cukup tinggi (Pauly 1971 in Saadah 2000). Badrudin et. al. (1998) in Saadah (2000) mengatakan bahwa ikan pepetek memiliki daya tahan sangat rendah terhadap penangkapan. Hal ini disebabkan oleh ruaya yang tidak terlalu jauh dan aktivitas gerak relatif rendah. Mortalitas ikan pepetek akibat penangkapan akan meningkat dua kali lebih besar apabila intensitas penangkapan ditingkatkan dua kali. Berikut ini ciri-ciri ikan pepetek spesies lain: a. Leiognathus elonganthus Leiognathus elonganthus memiliki badan yang ramping dan sedikit pipih, kepala panjang ke depan, tetapi bagian pipi dan dada ditutup sisik-sisik kecil, terdapat munchal spine. Mulut dapat disembulkan ke bawah, warna lebih keperak-perakan bagian belakang dengan warna hitam gelap, sirip punggung memiliki warna kuning membentuk pita mendatar. Ikan jantan memiliki garisgaris biru membujur perut (www.fishbase.org 2011). b. Leiognathus splendens Ikan ini memiliki badan pipih dan agak tinggi, kepala runcing ke depan terdapat munchal spine pada bagian punggung. Ikan memiliki mulut pendek dan dapat disembulkan ke bawah. Warna badan ikan keperak-perakan berawal dari

7 sirip hingga sirip ekor. berwarna kuning cerah pada sirip dubur (www.fishbase.org 2011). c. Leiognathus daura Ikan Leioghnathus daura umumnya memiliki panjang maksimal 14 cm, tetapi pada umumnya memiliki panjang 9 cm. Ikan pepetek ini memiliki 8 duri punggung, 16 duri lunak punggung, 16 duri anal, dan 14 duri lunak anal. Badan ikan spesies ini bewarna silver, punggung berwarna agak kehijau-hijauan, kepala dengan nuchal, dan mulut dapat disembulkan ke bawah. Ikan ini biasanya ditemukan di perairan dangkal, terutama atas dasar berlumpur. Makanan untuk ikan pepetek ini adalah polychaeta, bivalva, krustacea kecil, dan sponge (www.fishbase.org 2011). d. Leiognathus aureus Ikan pepetek jenis leioghnathus aureus memiliki panjang maksimal 10 cm tetapi banyak ditemukan dengan panjang 6 cm dan hidup pada daerah perairan damersal dengan kedalaman 70-140 m. Ikan pepetek ini memiliki 8 duri punggung, 16 duri lunak punggung, 3 duri anal, dan 14 duri lunak anal, serta 24 tulang belakang. Mulut menonjol keluar tidak dapat disembulkan, garis hitam antara margin anteroventral mata dan artikulasi rendah ketika mulut tertutup, garis rusuk lengkap, dan tubuh agak ramping. Keperakan atas setengah dengan bercak abu-abu - coklat yang tidak teratur. Habitat ikan di sekitar pantai dan biasanya ditangkap menggunakan trawl (www.fishbase.org 2011). e. Leiognathus blochii Leioghnathus blochii banyak ditemukan dengan ukuran panjang 8 cm dan panjang maksimal mencapai 10 cm. Ikan pepetek ini memiliki 8 duri punggung, 16 duri lunak punggung, 3 duri anal, dan 14 duri lunak anal. Spesies ini dibedakan dengan memiliki cirri-ciri seperti dada bersisik, dan bentuk rahang bawah hampir lurus. Makanan ikan ini adalah krustasea kecil dan nematoda dan ditemukan di perairan dangkal dekat bagian bawah. Ikan jenis ini dijual segar dan kering asin di pasar, juga digunakan untuk tepung ikan (www.fishbase.org 2011).

8 f. Leiognathus brevirostis Ikan ini sering ditemukan dengan panjang 11 cm dan memiliki panjang maksimum 13.5 cm. Ikan pepetek ini memiliki 8 duri punggung, 16 duri lunak punggung, 3 duri anal, dan 14 duri lunak anal. Badan keperakan; spesimen hidup atau segar dengan kilatan emas. Kepala dengan nuchal, mulut dapat disembulkan kebawah. Makanannya seperti diatom, copepod, Lucifer, nematode and polychaete (www.fishbase.org 2011). 2.1.2. Distribusi Ikan Pepetek Ikan pepetek (Leiognathus equulus) tinggal di lingkungan benthopelagic (dasar perairan hingga mencapai permukaan), sebagian besar hidup di laut, beberapa di air payau dan air tawar. Ikan pepetek hidup pada kedalaman 10-110 m sampai kedalaman 40-60 m dan biasanya ditemukan dalam gerombolan besar. Daerah penyebaran ikan pepetek (Gambar 3) meliputi, Indo-Pasifik Barat: laut merah, Teluk Gulf Persia dan Afrika Timur serta Utara Australia Afrika Selatan, Teluk Benggala, Sepanjang Pantai Laut Cina Selatan, Philipina, Taiwan, Pantai Utara Australia, ke Barat sampai Pantai Afrika Timur (Comoros, Seychelles, Madagaskar dan Mauritus), Teluk Persia, Fiji, Utara ke Pulau Ryukyu, Selatan Australia (Allen 2000). Gambar 3. Peta sebaran ikan pepetek (Leiognathus equulus) (www.fishbase.org 2011) Sementara itu, di Indonesia distribusi ikan petek tersebar hampir di semua wilayah perairan Indonesia meliputi Nias, Sumatera, Jawa, Bali, Flores, Kalimantan,

9 Sulawesi, Buton, Ambon, Ternate, Halmahera, selat Tiworo dan Arafuru. Secara umum dapat dikatakan bahwa distribusi ikan petek di Indonesia tersebar di pesisir Barat Daya Sumatera sampai ke Laut Timor, serta perairan India berada pada kedalaman kurang lebih antara 20-40 dan hidup berkelompok pada kedalaman 40-60 m (Pauly 1977 in Saadah 2000). 2.2. Alat Tangkap Umumnya ikan pepetek ditangkap mengunakan alat tangkap payang, dogol, dan bagan. Penangkapan ikan pepetek di Teluk Jakarta terutama TPI Cilincing menggunakan jaring dogol (Gambar 4). Jaring dogol digunakan untuk menangkap ikan yang berada di bawah perairan atau termasuk ikan damersal. Gambar 4. Alat tangkap dogol untuk menangkap ikan pepetek (Leiognathus equulus) www.citranews.com (2010) Dogol merupakan alat tangkap ikan berkantong tanpa alat pembuka mulut jaring. Pengoperasiannya dengan cara melingkari gerombolan ikan dan menariknya ke kapal yang berhenti dan berlabuh jangkar atau ke darat atau pantai melalui kedua bagian sayap dan tali selambar (BBPPI 2007 in Rachmawati 2008). Menurut Monintja dan Martasuganda (1991), jaring terdiri atas kantong, dua buah sayap, dua tali ris, tali selambar, serta pelampung dan pemberat. Ciri khusus alat ini adalah bibir atas dari mulut jaring lebih menonjol keluar dibandingkan bibir bawah lebih panjang dari tali ris atas. Hal ini untuk mencegah ikan lari kearah vertikal. Kantong merupakan alat paling akhir dari dogol. Hasil tangkapan ikan akan terkumpul pada bagian ini, semakin kecil ukuran mata jaring maka akan semakin kecil peluang ikan meloloskan diri (Khair 2007).

10 2.3. Nisbah Kelamin Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan betina dalam suatu populasi. Perbedaan jenis kelamin dapat ditentukan melalui perbedaan morfologi tubuh atau perbedaan warna tubuh. Kondisi nisbah kelamin yang ideal yaitu ratio 1:1 (Bal & Rao 1984 in Tampubolon 2008). Nisbah kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan. Perbandingan 1:1 ini sering menyimpang, antara lain disebabkan oleh perbedaan pola tingkah laku ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan laju pertumbuhannya (Nasabah 1996 in Ismail 2006). Menurut Effendie (2002), perbandingan rasio di alam tidaklah mutlak. Hal ini dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. Keseimbangan nisbah kelamin dapat berubah menjelang pemijahan. Ikan yang melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina. 2.4. Tingkat Kematangan Gonad Tingkat kematangan gonad adalah tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Pencatatan tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dengan yang tidak. Tahap perkembangan gonad terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan gonad dan tahap pematangan gonad (Affandi et al. 2007). Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti ikan akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Pendugaan puncak pemijahan dapat dilakukan berdasarkan persentase jumlah ikan matang gonad pada suatu waktu (Sulistiono et al. 2001 in Tampubolon 2008). Umumnya semakin tinggi TKG suatu ikan, maka panjang dan bobot tubuh pun semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh lingkungan dimana ikan tersebut hidup (Yustina 2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi saat pertama kali ikan matang

11 gonad adalah faktor internal (perbedaan spesies, umur, ukuran, serta sifat-sifat fisiologis dari ikan tersebut) dan faktor eksternal (makanan, suhu, arus, dan adanya individu yang berlainan jenis kelamin yang berbeda dan tempat memijah yang sama) (Tampubolon 2008). Secara alamiah TKG akan berkembang menurut siklusnya sepanjang kondisi makanan dan faktor lingkungan tidak berubah (Handayani 2006). 2.5. Distribusi Frekuensi Panjang Semua metode pendugaan stok pada intinya memerlukan masukan data komposisi umur. Beberapa metode numerik telah dikembangkan yang memungkinkan dilakukannya konversi atas data frekuensi panjang dalam komposisi umur. Oleh karena itu pendugaan stok spesies tropis adalah analisis sejumlah frekuensi panjang. Analisis data frekuensi panjang bertujuan untuk menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu. Analisis tersebut bermanfaat dalam pemisahan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks kedalam sejumlah kelompok umur (Sparre & Venema 1999). Analisis frekuensi panjang memiliki kegunaan untuk menentukan umur dan membandingkan pada metode lain yang menggunakan struktur lebih rumit (Pauly 1984). Menurut Iversen (1996) in Sharif (2009) menyebutkan bahwa terdapat faktor pembatas dalam analisis frekuensi panjang yaitu penentuan umur mempersyaratkan banyak contoh dengan selang waktu yang lebar dan umur pada saat pertama kali tertangkap seharusnya diketahui untuk menditeksi kelompok umur pertama. Menurut Lagler (1977) in Sparre & Venema (1999), perbedaan ukuran ikan antar jenis kelamin kemungkinan disebabkan faktor genetik. 2.6. Pertumbuhan Pertumbuhan adalah perubahan panjang atau bobot selama waktu tertentu atau peningkatan biomassa suatu populasi (Effendie 2002). Menurut King (1995) bahwa sejumlah makanan yang dimakan oleh ikan tertentu sebagian besar energinya digunakan untuk pemeliharaan tubuh, aktivitas dan produksi serta sepertiga bagian digunakan untuk pertumbuhan. Effendie (2002) mengatakan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu faktor luar dan dalam. Faktor dalam

12 diantaranya keturunan, jenis kelamin, penyakit, hormon dan kemampuan memanfaatkan makanan. Sedangkan faktor luar meliputi ketersediaan makanan, kompetisi dalam memanfaatkan ruang dan suhu perairan. 2.6.1. Hubungan Panjang Bobot Analisis mengenai hubungan panjang-bobot yang dapat digunakan untuk mempelajari pola pertumbuhan. Persamaan hubungan panjang-bobot ikan dimanfaatkan untuk bobot ikan melalui panjangnya dan menjelaskan sifat pertumbuhannya. Bobot dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot melalui panjang (Effendie 2002). Hubungan panjang bobot hampir mengikuti hukum kubik, yaitu bobot ikan merupakan hasil pangkat tiga dari panjangnya, nilai pangkat (b) dari analisis tersebut menjelaskan pola pertumbuhan. Nilai b lebih besar dari 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan bersifat allometrik positif, artinya pertumbuhan bobot ikan lebih besar daripada pertumbuhan panjang. Nilai b lebih kecil dari 3 maka menunjukkan bahwa pertumbuhan allometrik negatif, artinya pertumbuhan panjang lebih besar daripada pertumbuhan bobot. Apabila nilai b sama dengan 3 maka pertumbuhan isometrik, artinya pertumbuhan panjang sama dengan pertumbuhan bobot. Perhitungan hubungan panjang dan bobot antara ikan jantan dan ikan betina dipisahkan, karena terdapat perbedaan hasil antara jantan dan betina (Effendie 2002). Pola pertumbuhan yang sama dimiliki ikan pepetek ditemukan juga di perairan Teluk Pelabuhan Ratu (Hazrina 2010). Pola pertumbuhan yang berbeda ditemukan pada ikan pepetek yang hidup di perairan Blanakan dan perairan Labuan dimana memiliki pola pertumbuhan allometrik positif yakni pertumbuhan bobot lebih dominan dibandingkan panjang (Simanjuntak 2010). 2.6.2. Faktor Kondisi Faktor Kondisi menyatakan kemontokan ikan dengan angka. Faktor kondisi ini disebut juga Ponderal s index (Legler 1961 in Effendie 2002). Faktor kondisi

13 menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan melakukan reproduksi (Effendie 2002). Satuan Faktor kondisi sendiri tidak berarti apapun, namun kegunaannya akan terlihat jika dibandingkan dengan individu lain atau satu kelompok dengan kelompok lain. Perhitungan faktor kondisi berdasarkan pada panjang dan bobot ikan. Faktor kondisi juga akan berbeda tergantung jenis kelamin ikan, musim atau lokasi penangkapan serta faktor kondisi juga dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad dan kelimpahan makanan (King 1995). Variasi nilai kondisi tergantung pada makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad (Effendie 2002). Faktor kondisi tinggi pada ikan betina dan jantan menunjukkan ikan dalam perkembangan gonad, sedangkan faktor kondisi rendah menunjukkan ikan kurang mendapat asupan makanan (Effendie 2002). 2.6.3. Parameter Pertumbuhan Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy merupakan persamaan yang umumnya digunakan dalam studi pertumbuhan suatu populasi. Menurut Beverton & Holt (1957) mengatakan bahwa persamaan Von Bertalanffy menunjukan representasi pertumbuhan populasi ikan yang memuaskan. Hal ini dikarenakan persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy berdasarkan konsep fisiologis sehingga bisa digunakan untuk mengetahui beberapa masalah seperti variasi pertumbuhan karena ketersediaan makanan. Model Ford Walford merupakan model sederhana untuk menduga parameter pertumbuhan L dan K dari persamaan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (Sparre & Venema 1999). Metode ini memerlukan masukan panjang rata-rata ikan dari beberapa kelompok ukuran. Kelompok ukuran dipisahkan menggunakan metode Battacharya (Sparre & Venema 1999). Parameter-parameter yang digunakan untuk menduga pertumbuhan populasi yaitu panjang Infinitif (L ) merupakan panjang maksimum secara teoritis dan koefisien pertumbuhan (K), dan t 0 merupakan umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol (Sparre & Venema 1999). Menurut Dina (2008) parameter pertumbuhan memiliki peran yang penting dalam pengkajian stok ikan. Salah satu aplikasi yang sederhana adalah untuk mengetahui panjang ikan pada saat umur tertentu atau dengan menggunakan inverse persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dapat

14 diketahui umur ikan pada saat panjang tertentu. Dengan demikian, penyusunan perencanaan pengelolaan akan lebih mudah. 2.7. Mortalitas dan Laju Eksploitasi Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (King 1995). Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Beverton & Holt (1957) menduga bahwa predasi merupakan faktor eksternal yang umum sebagai penyebab mortalitas alami. Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan Von Bertalanffy yaitu koefisien pertumbuhan (K) dan panjang secara teoritis (L ). Ikan mengalami pertumbuhan cepat (nilai K tinggi) mempunyai nilai mortalitas (M) tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Menurut Pauly (1984) faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum secara teoritis (L ) dan laju pertumbuhan (K). Mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre & Venema 1999). Menurut Pauly (1984), laju eksploitasi adalah jumlah ikan ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik alami maupun penangkapannya. Laju eksploitasi dapat didefinisikan sebagai bagian suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebur hidup. Menurut King (1995), penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan. Semakin tinggi tingkat eksploitasi ikan di suatu daerah maka mortalitas penangkapan tinggi (Sparee &Venema). Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa jika stok ikan yang dieksploitasi optimum maka laju mortalitas penangkapan (F) akan sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) adalah 0.5. 2.8. Ketidakpastian Hasil Tangkapan Perikanan merupakan suatu sistem yang sangat kompleks dan saling terkait. Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan mendefinisikan perikanan

15 sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Sumber perikanan merupakan komoditas yang memiliki karakteristik yang berbeda dan rumit bila dibandingkan dengan komoditas lainnya. Karakteristik yang berbeda tersebut menghasilkan berbagai macam ketidakpastian serta menimbulkan resiko yang dapat mengganggu sektor perikanan tersebut. Sumberdaya perikanan tidak hanya dibutuhkan saat ini saja akan tetapi generasi yang akan datang memerlukan sumberdaya perikanan untuk berbagai kepentingan. Sumberdaya perikanan ini memerlukan pengolahan yang tepat dan cermat oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan sumberdaya perikanan secara lestari dan berkelanjutan (sustainable resource exploitation) dan di dukung dengan kebijakan pengelolaan yang baik pada semua lapisan (Charles 2001). Sumber ketidakpastian muncul dalam sistem perikanan baik secara alamiah maupun dari sisi manusia dan manajemen yang dapat dilihat pada Tabel 1. Dampak ketidakpastian akan menimbulkan resiko dalam sistem perikanan apabila tidak diatasi akan mengancam sistem perikanan (Charles 2001). Tabel 1. Sumber-sumber ketidakpastian dalam perikanan Sumber yang bersifat dari manusia Sumber yang bersifat alami dan manajemen Ukuran stok dan struktur umur ikan Harga ikan dan struktur pasar Mortalitas alami Biaya operasional dan biaya Predator-prey Perubahan tekhnologi Heterogenitas ruang Sasaran pengelolaan Migrasi Sasaran nelayan Parameter "stock-assessment" Respon nelayan terhadap peraturan Hubungan "stock-recuitment" Perbedaan persepsi terhadap stok ikan Interaksi multispesies Perilaku konsumen Interksi ikan dengan lingkungan Discount rate Sumber : Charles (2001) Sektor perikanan merupakan kegiatan ekonomi berbeda dengan kegiatan perekonomian lainnya, tidak ada satu orang pun dapat memastikan berapa banyak sumberdaya setiap tahunnya, berapa banyak produksi yang harus dihasilkan setiap

16 tahun, atau berakibat terhadap produksi dimasa yang akan datang ketersediaan ikan (Charles 2001). Berikut ini beberapa tipologi ketidakpastian yang dijelaskan oleh Charles (2001) yaitu: 1. Randomness/ Process Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang menyangkut dengan proses dalam sistem perikanan yang bersifat random (acak). 2. Parameter and State Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian dalam konteks ketidakakuratan yang dibagi menjadi tiga macam: a. Observation Uncertainty, ketidakpastian perikanan karena keterbatasan observasi (ketidakpastian variable perikanan yang dapat mengakibatkan terjadinya miss-management. b. Model Uncertainty, ketidakpastian dalam memprediksi model sistem perikanan. c. Estimation Uncertainty, ketidakpastian sebagai akibat dari ketidakakuratan estimasi. 3. Structural Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang muncul akibat dari proses struktural dalam pengelolaan perikanan. a. Implementation Uncertainty, ketidakpastian implementasi yang muncul akibat dari proses structural dalam pengelolaan perikanan. b. Instutional Uncertainty, ketidakpastian dalam pengelolaan perikanan sebagai sebuah institusi atau ketidakpastian value system dalam perikanan. Fluktuasi pada dasarnya merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan dalam perikanan, baik dari segi produksi, harga, maupun jumlah populasi ikan yang ada). Jika dalam model prediksi, nilai dari parameter tidak diketahui, maka keputusan yang dihasilkan bagi pengelolaan dapat menjadi suatu kesalahan yang dapat menimbulkan resiko sebagai akibat dari ketidakpastian tersebut. Pemahaman mengenai resiko dalam suatu sistem perikanan sangat dibutuhkan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi dalam jangka pendek ataupun panjang serta sebagai suatu upaya untuk mengurangi dan mengatasi resiko yang telah terjadi. Secara umum terdapat dua metodologi dalam menganalisis resiko (Surya 2004), yaitu :

17 1. Secara kuantitatif, dimana analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi resiko kemungkinan kerusakan atau kegagalan sistem informasi dan memprediksi besarnya kerugian berdasarkan formula-formula matematis yang dihubungkan dengan nilai-nilai finansial. 2. Secara kualitatif, dimana merupakan suatu analisis yang menentukan resiko tantangan organisasi. Penilaian dilakukan berdasarkan instuisi, tingkat keahlian dalam menilai jumlah resiko yang mungkin terjadi dan potensi kerusakannya. Dalam pengelolaan perikanan sendiri, pemahaman mengenai resiko dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Risk Assessment (penaksiran resiko) digunakan untuk menganalisis ketidakpastian, mengukur resiko, memprediksi hasil perikanan, serta dapat memberikan skenario pengelolaan. Tujuan dari Risk Assessment ada dua, yaitu: a. Menentukan besarnya resiko ketidakpastian yang timbul dari adanya fluktuasi acak, pendugaan pengukuran parameter yang tidak tepat dan ketidakpastian yang berkenaan dengan keadaan alam. Hal ini dapat dicapai melalui analisis statistik dengan menggunakan time-series data. b. Memprediksi resiko secara kuantitatif dari hal-hal pasti yang akan terjadi akan tetapi kejadian tersebut tidak diinginkan. Hal ini dapat dianalisis dengan pendekatan simulasi stok untuk mengestimasi implikasi jangka panjang (risks) dari sebuah skenario pengelolaan. 2. Risk Management (pengelolaan resiko) merupakan upaya untuk mengatur, mengurangi atau mengatasi resiko dalam sistem perikanan, melalui beberapa teknik analisis dengan merancang rencana pengelolaan yang optimal dalam kondisi ketidakpastian. Hal ini dapat dicapai dengan prinsip adaptive management. Adapun ide dasar dari prinsip adaptive management adalah menghitung resiko dengan memanfaatkan bukan mencari informasi. Adaptive management terdiri dari tiga model, yaitu: a. Non-adaptive models; pengukuran ketidakpastian yang terlalu berlebihan. b. Passive adaptive models; memperbaharui pengukuran tanpa mempedulikan perubahan-perubahan yang terjadi di masa yang akan datang c. Active adaptive models; nilai-nilai informasi yang terdapat di masa yang akan datang dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan.

18 2.9. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Menurut FAO (1997) menyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang ikan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sekunder dan penyamapaian tujuan perikanan lain. Pengelolaan sumberdaya periakanan dikarenakan semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan. Secara umum tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan terbagi kedalam empat kelompok yaitu biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial (politik dan budaya). Tujuan utama pengelolaan sumberdaya perikanan adalah menjamin bahwa mortalitas penangkapan tidak melampaui kemampuan populasi untuk bertahan dan tidak mengancam untuk merusak kelestarian dan produktivitas dari populasi ikan yang dikelola (Widodo & Suwardi 2008). Menurut Boer & Aziz (2007) bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan demi tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasilan devisa serta mengetahui porsi optimum pemanafaatan oleh aramada penangkapan ikan. Pengelolaan perikanan memilki tugas untuk menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan struktural atau analitik yaitu pendekatan dengan menjelaskan sistem sumberdaya perikanan melalui komponen-komponen yang membentuk sistem tersebut. Konsep tersebut adalah penamabahan, pertumbuhan dan mortalitas. Pendekatan struktural merupakan pendekatan yang termahal dan cukup ideal saat ini serta membutuhkan waktu yang sangat lama, dalam memahami setiap komponen diperlukan penelitian khusus yang beragam, mulai dari aspek biologi hingga aplikasi model-model kuantitatif sebagai alat bantu studi. Pendekatan selanjutnya adalah pendekatan secara global yang menjelaskan sistem sumberdaya ikan tangkapan mengetahui komponen membentuknya, yakni dari data maupun informasi yang mudah dikumpulkan, sepeti data tangkapan, upaya tangkap, produksi dan nilai produksi (Boer & Aziz 2007).