BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, dimana negara memerlukan pemasukan untuk membiayai pembangunan negara. Salah satu pemasukan negara yaitu berasal dari pajak. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1 pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak selanjutnya digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara yang nantinya bermanfaat bagi masyarakat. Fungsi pajak dibedakan menjadi dua yaitu fungsi budgetair (sumber keuangan negara) dan fungsi regularend (pengatur). Fungsi budgetair artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan dan fungsi regularend artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan (Resmi, 2011:3). Kenyataannya realisasi penerimaan pajak yang diperoleh negara belum memperoleh hasil yang maksimal. Hal tersebut dapat dilihat dari realisasi penerimaan pajak yang berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) Non Migas tahun 2011-2014 dalam Tabel 1.1 berikut. 1
Tabel 1.1 Realisasi Penerimaan PPh Non Migas Tahun 2011-2014 (dalam Triliun Rupiah) No. Tahun Target Realisasi % Realisasi Penerimaan Pajak Penerimaan Pajak Penerimaan Pajak 1 2011 366,74 358.02 97,62% 2 2012 445.73 381.29 85,54% 3 2013 459.98 416.14 90,4% 4 2014 485.97 362.6 74,6% Sumber: Data Kementrian Keuangan Republik Indonesia, 2015 Berdasarkan pada Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa realisasi penerimaan pajak belum mencapai target yang ditetapkan. Persentase realisasi penerimaan pajak dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi. Persentase realisasi penerimaan pajak dari tahun 2011 ke tahun 2012 mengalami penurunan sebesar 12,08%. Kemudian dari tahun 2012 ke tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar 4,86%. Selanjutnya dari tahun 2013 ke tahun 2014 kembali mengalami penurunan sebesar 15,8%. Target penerimaan pajak yang belum tercapai secara maksimal dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalnya proses pemungutan pajak belum berjalan maksimal atau wajib pajak yang melakukan tindakan penghindaran pajak. Pada umumnya wajib pajak menginginkan agar dapat meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar atau sebisa mungkin menghindarinya (Rahman, 2013). Banyak cara yang dilakukan wajib pajak untuk mencapai keinginannya tersebut baik dengan cara yang legal maupun ilegal. Menurut Mardiasmo (2013) ada dua cara untuk meminimalkan pajak, yang pertama dengan penghindaran pajak (tax avoidance) yaitu cara meminimalkan pajak tanpa melakukan pelanggaran undang-undang dan yang kedua dengan penggelapan pajak (tax 2
evasion) yaitu cara meminimalkan pajak dengan melakukan pelanggaran undangundang. Sampai saat ini sudah banyak kasus penggelapan pajak yang pernah terjadi di Indonesia. Kasus penggelapan pajak seringkali dilakukan oleh pegawai pajak maupun oleh wajib pajak dengan berbagai modus dan akibat dari perilaku penggelapan pajak tersebut negara mengalami kerugian. Beberapa contoh kasus penggelapan pajak dapat dilihat pada Tabel 1.2 berikut. Tabel 1.2 Contoh Kasus Penggelapan Pajak yang Pernah Terjadi di Indonesia No Tahun Kasus Penulis Berita 1 2013 Penyidik Kantor Wilayah Direktorat Fiki Ariyanti Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Riau dan Kepulauan Riau menjemput paksa tersangka kasus penggelapan pajak berinisial AP. Tindak pidana yang dilakukan AP menyangkut bidang perdagangan alat-alat elektronik dengan melaporkan omzet yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya untuk tahun pajak 2005-2008. Negara diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp 5 miliar. 2 2013 Terjadi kasus suap pajak terkait kasus pembayaran restitusi pajak PT. Surabaya Agung Industri Pulp & Kertas Tbk (PT. SAIP) sebesar Rp 21 miliar. Kasus ini melibatkan dua pegawai pajak Denok Tavi Edward Panggabean Periana dan Totok Hendrianto yang menerima uang dari komisaris PT. SAIP yang bernama Berty sebesar Rp 1,6 miliar. Pada tanggal 1 November 2013 polisi telah menetapkan Denok, Totok, dan Berty sebagai tersangka. 3 2014 Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak (PPNS Ditjen Pajak) berhasil mengungkap sindikat kasus penggelapan pajak yang melibatkan delapan orang dimana dua diantaranya merupakan PNS Ahmad Romadoni 3
aktif. Cara yang dilakukan sindikat ini yaitu dengan memanipulasi faktur pajak pembelian barang dimana didalamnya tertera pembelian barang yang sebenarnya tidak pernah dilakukan oleh perusahaan. Perusahaan hanya membayar beberapa persen dari pajak yang seharusnya dikeluarkan seolah mereka yang telah membayar pajak kepada negara, padahal uang yang dibayarkan langsung masuk ke kantong para tersangka. Negara mengalami kerugian tak kurang dari Rp 4 miliar akibat perbuatan sindikat tersebut. Sumber: www.liputan6.com, 2015 Contoh kasus penggelapan pajak pada Tabel 1.2 merupakan beberapa contoh dari banyaknya kasus penggelapan pajak yang pernah terjadi di Indonesia. Banyaknya kasus penggelapan pajak yang terjadi mengakibatkan masyarakat menjadi enggan untuk melakukan kewajiban perpajakannya. Fuad Rahmany (2011) dalam Rahman (2013) pernah mengemukakan bahwa masyarakat Indonesia masih banyak yang enggan membayar pajak salah satunya dilatarbelakangi oleh kasus penggelapan dana pajak. Adanya kasus penggelapan pajak menyebabkan masyarakat kehilangan rasa kepercayaan kepada oknum perpajakan maupun kepada negara karena khawatir pajak yang mereka setor akan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Pada akhirnya timbulah persepsi di benak wajib pajak mengenai perilaku penggelapan pajak. Persepsi merupakan proses di mana seseorang memilih, berusaha, dan menginterprestasikan rangsangan ke dalam suatu gambaran yang terpadu dan penuh arti (Lubis, 2011:97). Menurut Gibson (2001) persepsi merupakan respons dari penerimaan kesan melalui penglihatan, sentuhan atau melalui indera lainnya, 4
yang kemudian dipahami dan ditafsirkan berdasarkan pengalaman yang berbeda dari tiap individu dan faktor lingkungan, sehingga akan menghasilkan perilaku yang berbeda pula. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi individu terhadap perilaku penggelapan pajak adalah proses individu dalam menerima, menanggapi, dan menafsirkan perilaku penggelapan pajak yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang melingkupi individu tersebut. Banyak faktor yang memengaruhi persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak. Menurut Suminarsasi dan Supriyadi (2011) persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak dipengaruhi oleh keadilan, sistem perpajakan, dan diskriminasi. Permatasari dan Laksito (2013) melakukan penelitian yang mengemukakan bahwa persepsi mengenai penggelapan pajak dipengaruhi oleh tarif pajak, teknologi dan informasi perpajakan, keadilan, sistem perpajakan, dan ketepatan pengeluaran pemerintah. Ahmad (2014) meneliti bahwa pajak progresif, tarif pajak tinggi, korupsi pemerintah, dan sistem perpajakan memengaruhi perbedaan persepsi dosen dan mahasiswa di Departemen Ilmu Manajemen Universitas Islamia Bahawalpur, Pakistan. Penelitian lain mengungkapkan bahwa perbedaan usia, jenis kelamin, dan pendidikan memengaruhi perbedaan persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak (Ridwan, 2014). Rachmadi (2014) melihat faktor pemahaman perpajakan, pelayanan aparat pajak, dan sanksi perpajakan dapat memengaruhi persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak. Berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya, maka peneliti memilih tiga faktor yang 5
kemungkinan dapat memengaruhi persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak, yaitu sistem perpajakan, keadilan, dan teknologi perpajakan. Alasan peneliti memilih sistem perpajakan, keadilan, dan teknologi perpajakan sebagai faktor-faktor yang kemungkinan dapat memengaruhi persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak karena menurut asumsi peneliti ketiga faktor tersebut memiliki kaitan satu sama lain. Pelaksanaan sistem perpajakan yang sudah baik akan berdampak pada keadilan yang diperoleh wajib pajak dan hal tersebut dapat didukung dengan adanya teknologi perpajakan. Penelitian ini merupakan penelitian replikasi, alasan lain peneliti memilih tema penelitian ini karena penelitian ini belum pernah dilakukan di Bali dan peneliti ingin menguji kembali bagaimana pengaruh dari masing-masing faktor pada persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak di Bali khususnya wajib pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Badung Utara. Faktor pertama yaitu sistem perpajakan. Pada dasarnya sistem perpajakan suatu negara merupakan refleksi dari kehidupan sosial, ekonomi, dan kebijakan publik (public policy) yang telah ditetapkan pemerintah, yang pada umumnya dalam bentuk perundang-undangan yang menentukan course of action yang harus dilaksanakan yang tercermin dalam berbagai keputusan yang diterbitkan oleh instansi yang bersangkutan (Zain, 2007:24). Kaitan antara persepsi wajib pajak dengan sistem perpajakan yaitu bagaimana persepsi wajib pajak tentang tinggi rendahnya tarif pajak dan pertanggungjawaban iuran pajak (Suminarsasi dan Supriyadi, 2011). 6
Sistem perpajakan juga berkaitan dengan prosedur yang memudahkan wajib pajak dalam menyetorkan pajaknya dan sosialisasi atau penyuluhan yang baik dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengenai akses penyetoran pajak (Suminarsasi dan Supiyadi, 2011). Menurut Zain (2007:23) perlu adanya perbaikan sistem perpajakan saat ini. Kewajiban untuk memperbaiki sistem perpajakan merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan secara terus-menerus dan sistem tersebut hendaknya selalu disesuaikan dengan keadaan yang mutakhir (up to date) yang sejalan dengan perubahan-perubahan aktivitas dan struktur perdagangan, perubahan dalam pola hidup keluarga dan pemilikan kekayaan serta perubahan-perubahan dalam tujuan ekonomi dan sosial masyarakat. Faktor kedua yaitu keadilan. Menurut Adam Smith dalam Waluyo (2014:13) salah satu asas pemungutan pajak yaitu equality. Artinya pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta. Wajib pajak selalu memastikan agar diperlakukan dengan adil oleh negara, jika tidak maka wajib pajak akan cenderung melakukan tindakan perlawanan pajak dan hal tersebut tentunya akan merugikan negara. Menurut Nickerson et al. (2009) pemerintah dapat dikatakan adil dalam memperlakukan masyarakatnya apabila uang pajak yang dibayarkan oleh masyarakat digunakan sebagaimana mestinya, yaitu untuk pengeluaran umum 7
negara, tidak untuk kepentingan pribadi pemerintah. Pemerintah juga dapat dikatakan adil apabila pengenaan dan pemungutan pajak terhadap masyarakat diperlakukan dengan sama. Kondisi ini akan terlihat dari undang-undang pajak yang telah disusun dan dilaksanakan (Suminarsasi dan Supriyadi, 2011). Menurut Ciupitu dan Niculae (2013) penggelapan pajak tidak dapat sepenuhnya dihilangkan, tetapi dapat dikurangi dengan penyusunan dan pelaksanaan undangundang dengan lebih baik. Faktor ketiga yaitu teknologi perpajakan. Perkembangan teknologi dan informasi dalam era globalisasi saat ini dapat dirasakan pada seluruh aspek kehidupan. Perkembangan perpajakan di Indonesia juga tidak dapat terlepas dari pengaruh perkembangan teknologi dan informasi. E-system merupakan salah satu bentuk modernisasi perpajakan dengan menggunakan teknologi informasi. E- system perpajakan terdiri dari e-registration, e-filling, e-spt, e-njop, e-npwp e- billing, dan e-faktur. Tujuan adanya E-system perpajakan yaitu untuk mempermudah wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dan meningkatkan pelayanan terhadap wajib pajak, baik dari segi kualitas maupun waktu sehingga lebih efektif. Pemerintah Indonesia saat ini sedang gencarnya melakukan sosialisasi perpajakan kepada wajib pajak untuk mensosialisasikan e-system kepada masyarakat luas. Menurut Okoye dan Ezejiofor (2014) pemerintah harus mendukung pembentukan administrasi E-system perpajakan agar dapat mulai memperoleh manfaat dari tingginya tingkat kepatuhan wajib pajak dan E-system perpajakan harus dilaksanakan untuk mengurangi penyalahgunaan uang pajak. 8
Namun sayangnya penggunaan teknologi dalam pencarian informasi maupun pembayaran pajak oleh orang pribadi masih sangat rendah. Sebagian besar wajib pajak masih menggunakan sistem pembayaran manual dan jarang membuka website Direktorat Jenderal Pajak (DJP) (Ayu dan Hastuti, 2009). Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Badung Utara merupakan salah satu dari delapan KPP yang ada di Provinsi Bali. Alasan peneliti menjadikan wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Badung Utara sebagai responden karena tingkat kepatuhan wajib pajak yang semakin meningkat setiap tahunnya. Tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Badung Utara dapat dilihat pada Tabel 1.3 berikut. Tabel 1.3 Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama Badung Utara Tahun 2010-2014 No Tahun WPOP WPOP WPOP yang % terdaftar efektif menyampaikan SPT kepatuhan 1 2010 37.019 29.611 15.732 53,13% 2 2011 40.052 34.576 18.767 54,28% 3 2012 42.298 36.432 21.709 59,59% 4 2013 47.009 37.869 22.819 60,26% 5 2014 50.384 36.956 25.468 68,91% Sumber: Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Badung Utara, 2015 Berdasarkan pada Tabel 1.3 dapat dilihat bahwa jumlah wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Badung Utara terus meningkat setiap tahunnya. Peningkatan jumlah wajib pajak orang pribadi yang terdaftar diikuti dengan meningkatnya jumlah wajib pajak orang pribadi yang menyampaikan SPT, sehingga persentase kepatuhan wajib pajak orang pribadi juga meningkat setiap tahunnya. Peningkatan persentase kepatuhan wajib pajak dimanfaatkan 9
peneliti untuk mempermudah dalam memperoleh responden karena banyak wajib pajak yang melaporkan pajaknya. Asumsi peneliti lainnya yaitu semakin meningkatnya tingkat kepatuhan wajib pajak, maka semakin banyak wajib pajak yang akan menjawab tidak setuju dengan perilaku penggelapan pajak. Berdasarkan uraian diatas maka penulis ingin mengetahui bagaimana pengaruh dari faktor-faktor seperti sistem perpajakan, keadilan, dan teknologi perpajakan pada persepsi wajib pajak di KPP Pratama Badung Utara mengenai penggelapan pajak. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: 1) Apakah sistem perpajakan berpengaruh negatif pada persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak? 2) Apakah keadilan berpengaruh negatif pada persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak? 3) Apakah teknologi perpajakan berpengaruh negatif pada persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian diatas, maka tujuan penelitian ini yaitu: 1) Untuk memperoleh bukti empiris apakah sistem perpajakan berpengaruh negatif pada persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak. 10
2) Untuk memperoleh bukti empiris apakah keadilan berpengaruh negatif pada persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak. 3) Untuk memperoleh bukti empiris apakah teknologi perpajakan berpengaruh negatif pada persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak. 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi semua pihak antara lain: 1) Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan, informasi, dan referensi bagi mahasiswa berupa tambahan bukti empiris mengenai pengaruh sistem perpajakan, keadilan, dan teknologi perpajakan pada persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak. 2) Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan saran dan pemikiran serta bahan pertimbangan mengenai persepsi wajib pajak orang pribadi berkaitan dengan penggelapan pajak agar di masa mendatang sistem perpajakan yang sudah diterapkan dapat diawasi dengan lebih baik, keadilan dapat ditingkatkan, dan dapat memanfaatkan teknologi perpajakan yang sedang berkembang untuk kemudahan dalam melakukan kewajiban perpajakan. 11
1.5 Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri dari beberapa bab untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dan terperinci mengenai masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini sebagai berikut. BAB I PENDAHULUAN Bab I berisi pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN Bab II berisi kajian pustaka dan hipotesis penelitian yang menguraikan tentang teori yang relevan dengan penelitian yaitu teori persepsi, teori atribusi, tinjauan umum tentang pajak (pengertian pajak, fungsi pajak, jenis pajak, stelsel pajak, asas pemungutan pajak, sistem pemungutan pajak, dan tarif pajak), wajib pajak, penggelapan pajak, sistem perpajakan, keadilan, dan teknologi perpajakan. Selain itu, dalam bab ini juga menguraikan hipotesis penelitian. BAB III METODE PENELITIAN Bab III berisi metodologi penelitian yang menguraikan tentang metodemetode yang digunakan dalam memecahkan masalah penelitian seperti desain penelitian, lokasi atau ruang lingkup wilayah penelitian, obyek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, populasi, sampel, dan metode penentuan sampel, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data. 12
BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Bab IV berisi data dan pembahasan hasil penelitian yang menguraikan tentang gambaran umum daerah atau wilayah penelitian dan pembahasan hasil penelitian. BAB V SIMPULAN DAN SARAN Bab V berisi simpulan dan saran yang menguraikan simpulan yang diperoleh dari hasil pembahasan berdasarkan analisis yang telah dilakukan dan akan diajukan saran-saran yang dipandang perlu atas simpulan yang diberikan. 13