BAB I PENDAHULUAN. bangsa di dunia. Kemiskinan pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. bentuk upaya pengentasan kemiskinan dalam masyarakat. kesejahteraan di wilayah tersebut. Dengan demikian, kemiskinan menjadi salah

KEADAAN UMUM WILAYAH. Sleman merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Daerah Istimewa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Kemiskinan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atau lebih populer dengan sebutan

BAB I PENDAHULUAN. dikenal sebagai kota pendidikan dan kota pariwisata dengan jumlah penduduk

penduduk yang paling rendah adalah Kabupaten Gunung Kidul, yaitu sebanyak 454 jiwa per kilo meter persegi.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam menentukan nilai ekonomis aset dan potensi harta kekayaan. Di Indonesia,

Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Tahun Anggaran 2011

BAB I PENDAHULUAN. cukup. Sumber daya manusia yang masih di bawah standar juga melatar belakangi. kualitas sumber daya manusia yang ada di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir

BAB II PROFIL DAERAH KABUPATEN SLEMAN & BADAN NARKOTIKA NASIONAL KABUPATEN SLEMAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH. Kabupaten Sleman merupakan kabupaten yang memiliki luas areal sebesar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Dunia bisnis kini berkembang sangat pesat di jaman yang maju dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak,

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN. Berbudaya dan Terintegrasikannya sistem e-government menuju smart. regency (kabupaten cerdas) pada tahun 2021.

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN. 1. Sejarah Berdirinya Kabupaten Sleman. Keberadaan Kabupaten Sleman dapat dilacak pada Rijksblad no.

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110

I. KARAKTERISTIK WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. penanganan yang tepat agar dapat segera teratasi. Indonesia merupakan salah

BAB IV DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. IV.1.1 Kondisi Geografis dan Administratif

commit to user METODE PENELITIAN

PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi pajak yang sangat

KEADAAN UMUM WILAYAH. ke selatan dengan batas paling utara adalah Gunung Merapi.

BAB III TINJAUAN KAWASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kemiskinan merupakan masalah yang dialami secara global dan telah

BAB I PENDAHULUAN. Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Provinsi DIY dan

BAB I PENDAHULUAN. pada sebuah ketidakseimbangan awal dapat menyebabkan perubahan pada sistem

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk

Tabel 7.3 CAPAIAN KINERJA PROGRAM INDIKATOR

Berdasarkan pernyataan Visi yang diinginkan sebagai tersebut diatas selanjutnya misi Polres Sleman adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. Adanya perubahan Undang-Undang Otonomi daerah dari UU

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Tahun Anggaran 2014

BAB IV. A. Pelaksanaan Pasal 24 huruf a, b, dan c Undang-undang Nomor 20 Tahun tentang Rumah Susun Oleh Pemerintah Kabupaten Sleman.

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Kabupaten Wonogiri di bagian tenggara, Kabupaten Klaten di bagian timur laut,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pangan. Beraneka bahan pangan seperti sayuran, buah-buahan, umbi-umbian, dan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan mendayagunakan sumber daya yang. sumber daya yang lain untuk mencapai tujuan organisasi.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan terutama

HUBUNGAN FAKTOR- FAKTOR PENGHAMBAT DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN DALAM MEMBERIKAN KONSELING PADA PELAYANAN KEBIDANAN DI PUSKESMAS WILAYAH SLEMAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TK II SLEMAN

IV. KEDAAN UMUM KABUPATEN SLEMAN. Wilayah Kabupaten Sleman terbentang mulai 110 o sampai dengan

Tabel 3.1. Anggaran, Realisasi, dan Pelaksanaan Urusan Wajib

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang

BAB I PENDAHULUAN. mampu bertahan dan terus berkembang di tengah krisis, karena pada umumnya

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG

PENDAHULUAN. Menurut Peter Hagul dalam Daud Bahransyah (2011:10) penyebab kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGELOLAAN SEKTOR PERIKANAN. 1. Kondisi Geografis dan Batas Wilayah Administrasi

BAB III TINJAUAN KAWASAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.Menurut Suharto (2006)

Tabel 3.1. Anggaran, Realisasi, dan Pelaksanaan Urusan Wajib

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III PUSAT STUDI PENGEMBANGAN BELUT DI SLEMAN

BAB I PENDAHULUAN. Tabel Tinjauan pencapaian MDG s Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tidak hanya sekedar masalah ekonomi-keuangan yang berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan. Perkembangan pembangunan secara tidak langsung merubah struktur

BAB III. TINJAUAN KHUSUS WISMA UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA Kondisi Wilayah Kaliurang Sleman Yogyakarta Gambaran Umum Wilayah Sleman

TINJAUAN PUSTAKA. fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sehingga menjadi suatu fokus perhatian bagi pemerintah Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. dari laut pesisir, laut lepas, teluk dan selat. Dari luas laut sebesar itu di dalamnya

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Kemiskinan di Indonesa

TINGKAT KERUSAKAN LINGKUNGAN FISIK AKIBAT PENAMBANGAN PASIR DAN BATU DI KECAMATAN TURI DAN PAKEM KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta. Keadaan geografis suatu wilayah

BAB I PENDAHULUAN. a. Letak Wilayah Kabupaten Sleman secara geografis terletak diantara dan

BAB I PENDAHULUAN. Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) merupakan suatu isu yang

BUPATI SLEMAN PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENGEMBANGAN PERUMAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 12/PJ/2010 TENTANG : NOMOR OBJEK PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN TATA CARA PEMBERIAN NOP

BAB I PENDAHULUAN. dihindari. Untuk dapat bertahan hidup, sebuah organisasi harus mampu dengan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. satu pilar kekuatan perekonomian suatu daerah. Hal ini disebabkan karena

Lampiran I.34 PENETAPAN DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014

h. Kecamatan Prambanan

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- 12 /PJ/2010 TENTANG NOMOR OBJEK PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN TATA CARA PEMBERIAN NOP

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan, BPS (2007). Kemiskinan dipengaruhi oleh berbagai fakor antara lain,

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

LP3A SEKOLAH TINGGI TEKNIK ARSITEKTUR DI YOGYAKARTA BAB III TINJAUAN LOKASI

Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Kabupaten Sleman Tahun 2010 BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. a. Letak Wilayah Kabupaten Sleman secara geografis terletak diantara dan

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PRIORITAS DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. miskin mulai dari awal peradaban hingga sekarang ini. Kemiskinan

TENTANG KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNGAPI MERAPI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN,

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dibahas adalah masalah kemiskinan. Baik di negara maju atau negara

BAB I PENDAHULUAN. terutama sejak terjadinya krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dihadapi hampir semua bangsa di dunia. Kemiskinan pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas kerja, pendapatan, kesehatan, gizi serta kesejahteraan penduduk. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki dan yang dimanfaatkan terutama dari tingkat pendidikan formal maupun non formal (Supriatna, 2000). Defenisi kemiskinan itu sendiri menurut beberapa lembaga yaitu, Badan Pusat Statistik, adalah Kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2100 kalori per kapita per hari (Tibyan, 2010). Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (2003), adalah tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, seluruh anggota keluarga: tidak mampu makan dua kali sehari, seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian, bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah, tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan dan Bank Dunia adalah Kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan USD 2,00 per hari( 1US$ = Rp. 10.000,00) (Yulianto, 2005). Negara Indonesia merupakan sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan kekayaan alamnya melimpah, namun sebagian besar rakyatnya 1

2 tergolong masyarakat miskin. Menurut Zulyanto (2005) di Indonesia masalah kemiskinan selalu menjadi isu sentral yang mencakup segenap aspek kehidupan dalam masyarakat, yang tercermin pada rendahnya tingkat pendapatan, yang memberi dampak pada daya beli, rendahnya tingkat pendidikan sampai pada kualitas kesehatan yang memberikan pengaruh pada kualitas kehidupan secara keseluruhan. Puncak krisis ekonomi pada tahun 1998 1999, penduduk miskin di Indonesia mencapai sekitar 24% dari jumlah penduduk atau hampir 40 juta orang. Pada tahun 2002 angka tersebut sudah turun menjadi 18% dan menjadi 14% pada tahun 2004. Situasi terbaik terjadi antara tahun 1987-1996 ketika angka rata - rata kemiskinan berada di bawah 20%, dan yang paling baik adalah pada tahun 1996 ketika angka kemiskinan hanya mencapai 11,3%. Perkembangan kemiskinan yang terjadi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel. 1.1 berikut ini (www.bps.go.id). Tabel. 1.1 Perkembangan Kemiskinan di Indonesia tahun 2006 2011 Tahun Jumlah Penduduk miskin (dalam juta orang) Presentase penduduk miskin (dalam persen) Kota Desa Kota Desa 2004 11,40 24,80 12,13 20,11 2005 12,40 22,70 11,68 19,81 2006 14,49 24,81 13,47 21,81 2007 13,56 23,61 12,52 20,37 2008 12,77 22,19 11,65 18,93 2009 11,91 20,62 10,72 17,35 2010 11,10 19,93 9,87 16,56 2011 11,05 18,87 9,23 15,72 Sumber: BPS, Statistik Indonesia; diolah Berdasarkan Tabel. 1.1 terlihat bahwa perbandingan penduduk desa dan kota yang miskin dari tahun 2006 sampai dengan 2011 terus mengalami

3 penurunan, tetapi meskipun mengalami penurunan presentase penduduk miskin masih di atas 10%. Alfian, Tan dan Soemardjan (1980) mengatakan ada dua kategori pengukuran tingkat kemiskinan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut merupakan suatu kondisi dimana tingkat pendapatan seseorang tidak cukup memenuhi kebutuhan pokok, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Sedangkan kemiskinan relatif adalah perhitungan kemiskinan berdasarkan proporsi distribusi pendapatan dalam suatu daerah. Tingkat kemiskinan propinsi DIY relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional maupun propinsi lainnya di Pulau Jawa, yaitu antara 15-19%. Namun bila dibandingkan dengan data kemiskinan 2010, di mana tingkat kemiskinan propinsi DIY pada tahun tersebut sebesar 16,83%, maka terjadi penurunan jumlah penduduk miskin antara periode 2009-2010. Namun apabila dikomparasikan dengan rata-rata tingkat kemiskinan Indonesia sebesar 13,33%, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat kemiskinan propinsi DIY masih di atas rata-rata garis kemiskinan Indonesia (Anonim, 2011). Kuncoro (2004) menjelaskan bahwa rata-rata tingkat kemiskinan untuk Propinsi DIY tahun 2003 adalah 19,14%, dengan urutan yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi yaitu: kabupaten Gunung Kidul (25,19%), kabupaten Kulon Progo (25,11%), kabupaten Bantul (18,55%), kabupaten Sleman (15,53%), dan kota Yogyakarta (12,77%). Presentase penduduk miskin di Propinsi Yogyakarta dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2009 secara umum mengalami penurunan (Anonim, 2010).

4 Sumber: BPS, Statistik Indonesia; diolah Gambar 1.1 Presentase Penduduk Miskin di Provinsi D.I. Yogyakarta 2006 2011 Kabupaten Sleman sendiri yang merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, termasuk kabupaten yang mempunyai persentase penduduk miskin yang cukup tinggi yaitu 57.979 kepala keluarga atau 195.600 jiwa (Tribun Jogja 24 Februari 2011). Jumlah penduduk miskin Kabupaten Sleman dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten sekitarnya di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta cukup menonjol. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 1.3 berikut. Tabel 1.3 Jumlah penduduk miskin menurut Kabupaten/Kota D.I. Yogyakarta 2006 2011 (dalam ribu orang) Kabupaten/Kota 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Juml % Juml % Juml % Juml % Juml % Juml % Bantul 178,2 20,25 169,3 19,43 164,33 18,54 159,23 18,54 152,23 17,22 146,48 17,20 Gunung Kidul 194,4 28,45 192,1 28,50 173,52 25,96 170,02 25,96 167,99 24,62 163,23 24,01 Kulonprogo 108,1 28,39 103,8 28,61 97,92 26,85 96,92 26,85 87,92 25,33 86,92 25,00 Sleman 128,1 12,70 125,4 12,56 125,05 12,34 124,05 12,34 122,05 12,01 119,15 11,94 Yogyakarta 45,2 10,22 42,9 9,78 48,11 10,81 47,11 10,81 47,11 10,71 45,11 10,02 D.I. Yogyakarta 648,7 19,15 633,5 18,99 608,93 18,02 597,33 17,23 577,30 16,83 560,89 16,08 Sumber: BPS, Statistik Indonesia; diolah

5 Proporsi penduduk miskin di kabupaten Sleman dari 17 kecamatan, terdapat empat kecamatan yang mempunyai proporsi penduduk miskin di atas 34% yaitu kecamatan Prambanan, Tempel, Sleman, dan Sayegan. Menurut kriteria keluarga miskin berdasarkan BKKBN, penduduk miskin dibagi menjadi 3 yaitu: pertama, proporsi penduduk miskin di atas 34%; kedua, proporsi penduduk miskin di antara 15-34%; ketiga, proporsi penduduk miskin di bawah 15%. Khusus untuk kecamatan Prambanan, rata-rata proporsi penduduk miskin tiap desa (mencakup desa Sumberharjo, Wukirharjo, Gayamharjo, Sambirejo, Madurejo, dan Bokoharjo) adalah sebesar 49%. Ini merupakan rata-rata proporsi penduduk miskin tertinggi dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya. Terdapat sepuluh kecamatan yang mempunyai proporsi penduduk miskin sebesar 15%-34% yaitu Minggir, Moyudan, Godean, Mlati, Turi, Pakem, Cangkringan, Ngemplak, Kalasan, dan Berbah. Sedangkan kecamatan yang memiliki proporsi penduduk kemiskinan di bawah 15% adalah kecamatan Gamping, Depok, dan Ngaglik. Kemiskinan juga merupakan salah satu ukuran terpenting untuk mengetahui tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga dan wilayah sehingga menyebabkan kemiskinan menjadi salah satu tema utama pembangunan nasional. Keberhasilan dan kegagalan pembangunan acapkali diukur berdasarkan perubahan pada tingkat kemiskinan (Suryahadi dan Sumarto, 2001). Tentu hal ini mendorong pemerintah meluncurkan program-program pengentasan kemiskinan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin khususnya di daerah pedesaan. Program-program ini diharapakan dapat menciptakan perubahan

6 sosial yang melibatkan antara pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini pemberdayaan fakir miskin merupakan upaya untuk memberikan kekuatan, kemampuan dan otoritas kepada orang-orang yang masuk kategori miskin agar mampu mengubah status sosial ekonominya di dalam masyarakat. Upaya-upaya dalam rangka menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia telah dimulai awal tahun 1970-an diantaranya melalui program Bimbingan Masyarakat (Bimas) dan Bantuan Desa (Bandes). Pada dekade 1990-an pemerintah memunculkan kembali program pengentasan kemiskinan, diantaranya Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT), Tabungan Kesejahteraan Keluarga (Takesra) dan Kredit Keluarga Sejahtera (Kukesra). Tahun 2000-an pemerintah melalui Departemen Sosial melaksanakan program pengembangan Usaha Sosial Ekonomi Produktif (USEP), program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS) melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) bagi fakir miskin (Remi dan Tjiptoherijanto, 2002). Program-program pengentasan kemiskinan tersebut di atas yang saat sekarang masih dijalankan yakni Usaha Sosial Ekonomi Produktif (USEP), program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS) melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) (Sumodiningrat, 2009). Program ini berguna untuk menutupi penurunan daya beli mayoritas penduduk. Aktivitasaktivitas dari program tersebut meliputi : 1) Program keamanan pangan dalam bentuk penyediaan beras murah untuk keluarga miskin

7 2) Pembinaan USEP (Usaha Sosial Ekonomi Produktif) dan KUBE (Kelompok Usaha Bersama). 3) Program padat karya untuk mempertahankan daya beli rumah tangga miskin. Berdasarkan program-program di atas, salah satu bentuk usaha yang sering dijalankan adalah program USEP (Usaha sosial ekonomi produktif) melalui KUBE (Kelompok Usaha Bersama). Program ini dijalankan secara berkelompok dengan beranggotakan 20 sampai 30 orang per kelompok. Usaha Sosial Ekonomi Produktif (USEP) ini biasanya disesuaikan dengan potensi lingkungan dan keterampilan yang dimiliki oleh pengurus atau anggotanya. Wilayah yang memiliki potensi pertanian seperti Jawa dan Sumatera dikembangkan melalui budidaya tanaman pangan atau palawija, budidaya tanaman hias dan lain-lain, sedangkan wilayah perkotaan yang menunjukkan kecenderungan usaha di bidang jasa ditingkatkan dengan pelatihan-pelatiahan dan modal usaha dalam bentuk jasa seperti perbengkelan, salon dan lain-lain dan untuk daerah dengan hasil alam spesifik seperti rotan di Kalimantan didorong untuk menekuni usaha kerajinan rotan. Sejak peluncuran program USEP dalam bentuk KUBE (Kelompok Usaha Bersama) yang dilakukan pemerintah pada tahun 2004 terus mengalami peningkatan. Hingga kini, telah terdapat kurang lebih 3.960 KUBE yang semula berjumlah 900 KUBE. Indikator dari keberhasilan KUBE adalah mereka mampu untuk mengembangkan usaha dan dapat menambah jumlah anggotanya. Keberhasilan program ini juga ditandai dengan pelaksaan pertemuan antara Sekretaris Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dengan perwakilan UNICEF

8 pada tanggal 11 Januari 2011 dalam rangka studi banding mengenai kebijakan global di dalam sistem evolusi perlindungan masyarakat khususnya di negara berkembang dengan tujuan untuk mendokumentasikan mengenai perkembangan dan ciri khas dari sistem perlindungan masyarakat kemudian pendanaannya (www.depsos.go.id). Menurut BPS, salah satu kecamatan dari sepuluh kecamatan yang mempunyai proporsi penduduk miskin di Sleman adalah Kecamatan Turi, dan salah satu desa yang menjadi perhatian dari pemerintah yang melaksanakan pemberdayaan fakir miskin adalah Desa Donokerto. Desa Donokerto adalah suatu desa yang mengalami kerusakan yang hebat pada peristiwa bencana Merapi dari hal tersebut, maka banyak program pengentasan kemiskinan yang dilakukan di desa tersebut. Salah satu program pengentasan kemiskinan tersebut adalah progam USEP yang dilakukan melalui KUBE. Menurut Perbud No.12 Tahun 2008 tersebut, orang yang layak menerima bantuan tersebut diutamakan bagi yang merintis lapangan kerja baru/mandiri bagi Korban Bencana Merapi, Keluarga Miskin, Tenaga pengangguran usia produktif, Korban PHK dan Kelompok penyandang difabel. Dana pemberdayaan tidak diperuntukan bagi kelompok usaha penerima dana pemberdayaan tahun 2006 2010, ataupun sedang/akan menerima bantuan/pinjaman penguatan modal dari program sejenis pada Tahun 2011, kecuali bagi kelompok usaha penerima dana yang telah kehilangan sebagian besar aset yang dimiliki akibat bencana Merapi.

9 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas maka penulis merumuskan masalah yaitu Apakah ada perbedaan pendapatan keluarga miskin sebelum dan sesudah program USEP 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, yaitu mengetahui perbedaan pendapatan keluarga miskin sebelum dan sesudah program USEP di Desa Donokerto. 1.4. Manfaat Penelitian Tercapainya tujuan dan sasaran penelitian diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam bidang akademis maupun dalam bidang pemerintahan dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan. Dalam bidang akademis diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan terhadap program USEP dalam membantu pengentasan kemiskinan yang dijalankan pemerintah, sedangkan dalam bidang pemerintahan hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu masukan dalam melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program USEP. 1.5. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian yakni Ada perbedaan pendapatan keluarga miskin sebelum dan sesudah program USEP.

10 1.6. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Isi dari pendahuluan mencangkup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, hipotesis dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Gagasan dalam landasan teori mencangkup tentang tinjauan pustaka yang membahas teori tentang analisis pendapatan, distribusi pendapatan dan studi terkait. BAB III METODE PENELITIAN Bab ini menjelaskan mengenai metode dasar, jenis dan sumber data, cara pengumpulan data, metode penelitian responden, definisi operasional dan metode analisis data. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Menguraikan tentang pengelolaan data yang dilakukan dengan menggunakan teori - teori yang telah di temukan ilmuwan sebelumnya. BAB V PENUTUP Menguraikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan, sekaligus memberikan saran, masukan bagi intansi - intansi terkait dalam penelitian guna memberikan kemajuan dari daerah yang diteliti.