VII DAMPAK PENCAPAIAN KEBIJAKAN GERNAS DAN PENERAPAN BEA EKSPOR KAKAO TERHADAP KINERJA INDUSTRI HILIR DAN PENERIMAAN PETANI

dokumen-dokumen yang mirip
VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Pengembangan Agribisnis Kakao di Indonesia

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Produksi, Produktivitas, dan Luas Areal Ubi Kayu di Indonesia Serta

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

Tahun Harga Kakao Harga Simulasi

BAB 1 PENDAHULUAN. negara dan juga penyerap banyak tenaga kerja. Indonesia yang sempat menempati posisi ke-5

BAB I PENDAHULUAN. Kopi Indonesia merupakan salah satu komoditas perkebunan yang telah di ekspor

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

M.Ikhlas Khasana ( ) Mengetahui berbagai dampak kebijakan persawitan nasional saat ini. Pendahuluan. ekspor. produksi.

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia Tahun

V. GAMBARAN UMUM KOMODITAS KOPI LAMPUNG BARAT

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao I. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sentra bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk tanaman

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

Simulasi Pajak Ekspor Kelapa, Kakao, Jambu Mete dan Tarif Impor Terigu

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang

I PENDAHULUAN. [3 Desember 2009] 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat.

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

VIII. DAYA SAING EKSPOR KARET ALAM. hanya merujuk pada ketidakmampuan individu dalam menghasilkan setiap barang

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan komoditi perkebunan yang masuk dalam kategori komoditi

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang. melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Memasuki era perdagangan bebas, Indonesia harus membuat strategi yang

ANALISIS DAYA SAING INDUSTRI PENGOLAHAN DAN HASIL OLAHAN KAKAO INDONESIA OLEH : RIZA RAHMANU H

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kelapa sawit dan karet dan berperan dalam mendorong pengembangan. wilayah serta pengembangan agroindustry.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Luas Lahan Komoditi Perkebunan di Indonesia (Ribu Ha)

I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. tersebar di 32 provinsi. Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tahun Bawang

BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN. 6.1 Arah Kebijakan dan Proses Perancangan Kebijakan

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS JAGUNG. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

BAB I PENDAHULUAN. untuk kemudian didatangkan ke negara tersebut dengan tujuan untuk memenuhi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk

I. PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi daerah dan nasional. Pertanian yang berkelanjutan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN. tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang

I. PENDAHULUAN. komoditas utama penghasil serat alam untuk bahan baku industri Tekstil dan

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

I. PENDAHULUAN. Indonesia terkenal dengan sebutan negara agraris, yang ditunjukkan oleh luas

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

I. PENDAHULUAN. datang adalah hortikultura. Hortikultura merupakan komoditas pertanian yang

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

OUTLOOK KOMODITI KAKAO

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

3.3. PENGEMBANGAN MODEL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35)

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

Transkripsi:

VII DAMPAK PENCAPAIAN KEBIJAKAN GERNAS DAN PENERAPAN BEA EKSPOR KAKAO TERHADAP KINERJA INDUSTRI HILIR DAN PENERIMAAN PETANI Agribisnis kakao memiliki permasalahan di hulu sampai ke hilir yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Usahatani kakao yang sebagian besar diusahakan oleh perkebunan rakyat memiliki produktivitas dan mutu yang sangat rendah. Rendahnya produktivitas kakao nasional tidak terlepas dari belum diterapkannya teknologi budidaya anjuran, terutama oleh perkebunan rakyat serta belum digunakannya klon unggul. Biji kakao hasil perkebunan rakyat umumnya tidak difermentasi serta banyak mengandung kotoran dan jamur, sehingga industri pengolahan mengalami kekurangan bahan baku biji kakao yang sesuai dengan standar mutu yang diinginkan. Kondisi tersebut merupakan faktor- faktor yang menyebabkan industri pengolahan kakao tidak berkembang. Dalam rangka meningkatkan produktivitas dan mutu usahatani kakao rakyat, pemerintah melalui Kementerian Pertanian melaksanakan gerakan peningkatan produktivitas dan mutu kakao atau yang lebih dikenal dengan istilah Gernas kakao sejak tahun 2009. Gernas kakao dapat dianggap sebagai bentuk kebijakan karena melalui gerakan ini pemerintah melakukan intervensi terhadap pasar input seperti subsidi benih, pupuk dan sarana produksi lainnya. Selain itu, melalui gerakan ini, pemerintah juga melakukan perubahan kelembagaan dalam sistem agribisnis kakao, sehingga sesuai dengan pendapat Brooks (2010), Gernas kakao dapat dipandang sebagai bentuk kebijakan pemerintah. Melalui kebijakan ini diharapkan terjadi peningkatan produktivitas kakao perkebunan rakyat serta menghasilkan biji kakao yang sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan oleh industri pengolahan. Permasalahan kekuarangan bahan baku biji kakao yang diakibatkan oleh kecenderungan pedagang yang lebih memilih untuk mengekspor dibandingkan menjualnya kepada industri pengolahan dalam negeri direspon pemerintah dengan menerapkan kebijakan bea ekspor biji kakao. Melalui instrumen ini, pedagang diharapkan tidak lagi mendapat insentif yang lebih tinggi untuk mengekspor biji kakao dibandingkan dengan menjual kepada industri pengolahan dalam negeri. Selain itu, industri pengolahan dalam negeri jugamemperoleh tingkat harga yang lebih rendah sehingga merangsang industry pengolahan untuk berproduksi lebih tinggi. Dengan demikian, penerapan bea

100 ekspor kakao diharapkan dapat meningkatkan daya saing serta ketersediaan bahan baku biji kakao untuk industri pengolahan dalam negeri. Dari uraian di atas, kebijakan Gernas kakao berdampak pada peningkatan produktivitas dan produksi biji kakao fermentasi perkebunan rakyat di lokasi Gernas. Sedangkan penerapan bea ekspor berdampak pada peningkatan kapasitas terpasang dan tingkat utilisasi industri pengolahan, harga domestik dan luas areal kakao perkebunan rakyat. Asumsi dampak kebijakan Gernas kakao dan penerapan bea ekspor yang digunakan dalam penelitian ini seperti yang telah diuraikan dalam bab IV adalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan Gernas kakao diasumsikan mampu meningkatkan produktivitas perkebunan rakyat di lokasi gerakan dari 660 kg/ha/tahun pada tahun 2008 menjadi 1.500 kg/ha/tahun pada tahun 2013 sesuai dengan target yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan. Target produktivitas pada tahun 2009, 2010, 2011, dan 2012 diasumsikan meningkat dalam besaran yang sama sebesar 168kg/ha/tahun atau sebesar 30 persen/ha/tahun. 2. Peningkatan produksi biji kakao fermentasi melalui Gernas Kakao juga menggunakan target dari Direktorat Jenderal Perkebunan yaitu produksi biji kakao fermentasi di lokasi gerakan sebesar 100 persen dari total produksi pada tahun 2013. Dengan demikian, persentase produksi biji kakao fermentasi pada periode 2009-2012, diasumsikan meningkat ratarata sebesar 18,84 persen per tahun (18,84 persen per tahun) untuk areal perkebunan rakyat yang terlibat dalam Gernas kakao. 3. Penerapan bea ekspor kakao diasumsikan mampu meningkatkan kapasitas terpasang dan utilitas kapasitas terpasang industri pengolahan kakao. Dampak penerapan kebijakan tersebut diasumsikan mampu meningkatkan kapasitas terpasang sebesar 10 persen per tahun dan meningkatkan utilisasi kapasitas terpasang sebesar 20 persen. 4. Penerapan bea ekspor berdampak pada penurunan harga domestik sehingga menurunkan harga yang seharusnya diterima petani sebesar bea ekspor. 5. Penerapan bea ekspor juga diasumsikan akan menurunkan luas areal perkebunan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas Kakao. Besaran penurunan luas areal akibat penerapan bea ekspor adalah 2.5325 persen per tahun. Nilai tersebut diperoleh dengan menghitung

101 rata-rata penurunan luas areal di 4 propinsi sentra utama produsen kakao akibat penerapan bea ekspor hasil penelitian Arsyad (2007). Model sistem agroindustri kakao dengan menggunakan kebijakan Gernas kakao dan bea ekspor disajikan pada Lampiran 3, sedangkan persamaan matematisnya disajikan pada Lampiran 4. Skenario yang digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan tersebut di atas dibagi menjadi 3, yaitu: 1. Skenario 1 (skenario pesimis), jika pencapaian dampak dari kebijakan sebesar 40 persen dari target. 2. Skenario 2 (skenario moderat), jika pencapaiann dampak dari kebijakan sebesar 60 persen dari target. 3. Skenario 3 (skenario optimis), jika pencapaian dampak dari kebijakan sebesar 80 persen dari target. 7.1 Skenario 1: Pencapaian Target Dampak Kebijakan sebesar 40 Persen Skenario 1 adalah skenario dimana pencapaian target dampak kebijakan Gernas dan bea ekspor kakao hanya mencapai 40 persen. Hal ini berarti target produktivitas perkebunan kakao rakyat, produksi biji kakao fermentasi, peningkatan kapasitas terpasang dan utilisasinya diasumsikan hanya tercapai sebesar 40 persen. Dampak dari penerapan skenario 1 tersebut dibandingkan dengan hasil simulas model awal yang diasumsikan sebagai kondisi aktual. Gambar 39 Daya serap biji kakao oleh industri pada kondisi aktual dan skenario 1, Tahun 2008-2025.

102 Hasil simulasi menunjukkan bahwa dengan skenario 1 terjadi perubahan dinamika daya serap biji kakao olah industri (Gambar 39). Sebelum tahun 2014, daya serap biji kakao oleh industri pengolahan dalam negeri lebih rendah dibandingkan dengan kondisi aktual. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan produksi biji kakao yang lebih tinggi dibandingkan peningkatan kapasitas industri pengolahan, sehingga rasio permintaan biji kakao dengan total produksi biji kakao menjadi lebih rendah. Sedangkan setelah tahun 2014, daya serap biji kakao dengan skenario 1 lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi aktual, dimana skenario 1 menunjukkan kecenderungan meningkat, sedangkan kondisi aktual tetap mengalami penurunan. Pada akhir periode analisis, daya serap biji kakao oleh industri dengan skenario 1 lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi aktual, dimana dengan skenario 1, sebanyak 55,10 persen produksi biji kakao dapat diserap industri pengolahan, sedangkan pada kondisi aktual hanya sebesar 30,42 persen. Daya serap industri tersebut juga mampu melampaui kondisi awal periode analisis. 75 65 55 45 35 25 15 Aktual: Pangsa Nilai Kakao Olahan Aktual: Pangsa Volume Kakao Olahan Skenario 2: Pangsa Nilai Kakao Olahan Skenario 2: Pangsa Volume Kakao Olahan Gambar 40 Pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan pada kondisi aktual dan skenario 1, tahun 2008-2025. Dinamika perubahan daya serap biji kakao oleh industri memiliki pola yang hampir sama dengan pangsa ekspor baik volume maupun nilai kakao olahan (Gambar 40). Pangsa nilai dan volume ekspor kakao olahan lebih tinggi pada

103 kondisi aktual sebelum tahun 2015 dibandingkan dengan skenario 1. Kondisi tersebut menunjukkan pangsa ekspor biji kakao lebih tinggi pada skenario 1 sebagai akibat pertumbuhan produksi biji kakao yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kakao olahan. Sedangkan setelah periode 2015, pertumbuhan ekspor kakao olahan lebih tinggi dibandingkan dengan biji kakao sehingga pangsa pada skenario 1 menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi aktual. Jika dilihat pangsa ekspor kakao olahan rata-rata per tahun, kondisi aktual lebih baik dibandingkan dengan skenario 1. Pada kondisi aktual, pangsa volume dan nilai ekspor pada akhir periode analisis adalah 22,54 persen dan 29,90 persen. Sedangkan dengan skenario 1, pangsa rata-rata per tahun masingmasing sebesar 39,00 persen dan 48,38 persen. Namun, jika dilihat dari tren selama periode analisis, pada kondisi aktual menunjukkan tren yang terus menurun, sedangkan dengan skenario 1 mengalami penurunan yang sangat tajam pada periode awal analisis, tetapi setelah itu menunjukkan tren yang terus meningkat. Walaupun menunjukkan tren meningkat sejak tahun 2013, pangsa ekspor dengan skenario 1 tidak mampu melampaui pangsa ekspor pada tahun awal analisis. Kebijakan pemerintah melalui skenario 1 juga berdampak pada penerimaan petani (Gambar 41). Petani yang terlibat dalam program Gernas kakao mengalami peningkatan penerimaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi aktual. Peningkatan penerimaan tersebut terjadi akibat adanya peningkatan produktivitas dan mutu kakao. Peningkatan mutu ditandai dengan peningkatan produksi biji kakao fermentasi oleh petani sehingga memperoleh harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan biji non fermentasi. Sedangkan petani yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao justru mengalami penurunan penerimaan dibandingkan kondisi aktual. Penurunan penerimaan tersebut disebabkan penerapan bea ekspor kakao menyebabkan terjadinya penurunan harga kakao domestik yang berdampak pada penurunan harga di tingkat petani. Sedangkan petani yang mengikuti Gernas kakao, penurunan harga akibat penerapan bea ekspor mampu diimbangi oleh peningkatan produktivitas dan mutu sehingga tidak mengalami penurunan penerimaan. Perbedaan respon petani yang terlibat dan tidak dalam program Gernas terhadap penerapan bea ekspor kakao menyebabkan terjadinya kesenjangan penerimaan yang sangat besar. Pada akhir periode analisis (tahun 2025),

104 penerimaan petani Gernas mencapai Rp. 12,03 juta per ha, sedangkan penerimaan petani yang tidak terlibat dalam program Gernas hanya Rp. 3,97 juta per ha. Penerimaan petani yang tidak terlibat dalam program Gernas juga masih di bawah kondisi aktual dengan tingkat penerimaan sebesar Rp. 4,18 juta per ha. Hal ini menjadi sangat ironis mengingat petani yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan petani yang terlibat. ( Rp.0 0 0,- ) 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 - Aktual: Penerimaan petani Skenario 1: Penerimaan petani Gernas Skenario 1: Penerimaan petani Non-Gernas Gambar 41 Penerimaan petani pada kondisi aktual dan skenario 1, Tahun 2008-2025. Rendahnya penerimaan petani yang tidak mengikuti program Gernas kakao dikhawatirkan membuat mereka beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari terjadinya penurunan luas areal perkebunan rakyat menjadi 3,84 juta ha pada tahun 2025 dibandingkan dengan kondisi aktual yang mencapai 4,39 juta ha. Penurunan luas areal yang cukup signifikan tersebut tidak berdampak pada produksi biji kakao karena terjadi peningkatan produktivitas untuk perkebunan rakyat yang terlibat dalam program Gernas. Pada kondisi aktual, produksi biji kakao pada tahun 2025 mencapai 1,61 juta ton, sedangkan pada skenario 1, produksi biji mencapai 1,72 juta ton. Namun demikian, penerapan kebijakan dengan skenario 1 mampu meningkatkan produksi biji kakao fermentasi secara signifikan, sehingga sudah mampu memenuhi kebutuhan industri pengolahan dalam negeri pada tahun 2010.

105 7.2 Skenario 2: Pencapaian Target Dampak Kebijakan sebesar 60 Persen Skenario 2 merupakan skenario moderat dimana pencapaian target dampak kebijakan Gernas dan bea ekspor kakao mencapai 60 persen. Hal ini berarti target produktivitas perkebunan kakao rakyat, produksi biji kakao fermentasi, peningkatan kapasitas terpasang dan utilisasi kapasitas terpakai diasumsikan hanya tercapai sebesar 60 persen. Dampak dari penerapan skenario 2 tersebut dibandingkan dengan hasil simulasi model awal yang diasumsikan sebagai kondisi aktual. 100 90 80 70 60 50 40 30 Aktual: Daya serap biji oleh industri Skenario 2: Daya serap biji oleh industri Gambar 42 Daya serap biji kakao oleh industri pada kondisi aktual dan skenario 2, Tahun 2008-2025. Hasil simulasi skenario 2 menunjukkan bahwa agroindustri kakao menjadi lebih berkembang. Hal tersebut diindikasikan oleh terjadinya peningkatan persentase biji kakao yang dapat diolah oleh industri pengolahan domestik yang sangat signifikan, terutama sejak 2012 (Gambar 42). Daya serap biji kakao oleh industri pengolahan melampaui kondisi aktual sejak tahun 2014. Pada akhir periode analisis, industri pengolahan bahkan mampu menyerap 74,32 persen produksi biji kakao. Jika dibandingkan dengan skenario 1, industri pengolahan pada tahun 2025 hanya mampu menyerap 55,10 persen produksi biji kakao dalam negeri. Kondisi tersebut terjadi tidak terlepas dari tingginya peningkatan produksi kakao olahan yang tidak diimbangi oleh peningkatan produksi biji kakao.

106 Gambar 43 Pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan pada kondisi aktual dan skenario 2, Tahun 2008-2025. Gambar 44 Penerimaan petani pada kondisi aktual dan skenario 2, Tahun 2008-2025. Pangsa nilai dan volume ekspor kakao olahan dengan skenario 2 baru dapat melampaui kondisi aktual setelah tahun 2015 (Gambar 43). Kebijakan pemerintah dengan skenario 2 menunjukkan tren peningkatan pangsa ekspor kakao olahan (volume dan nilai) yang cukup signifikan. Pada tahun 2025, pangsa ekspor volume dan nilai kakao olahan bahkan mencapai 56,32 persen dan 65,40 persen, jauh di atas kondisi aktual dan skenario 1. Hal ini menunjukkan bahwa

107 penerapan skenario 2 mampu mendorong perkembangan industri pengolahan kakao lebih baik dibandingkan skenario 1. Jika dilihat dari sisi penerimaan petani, skenario 2 menyebabkan peningkatan penerimaan petani yang terlibat dalam Gernas kakao, sedangkan untuk petani yang tidak mengikuti Gernas, tidak terjadi perubahan penerimaan dibandingkan dengan skenario 1 (Gambar 44). Jika dibandingkan dengan kondisi aktual, petani yang mengikuti Gernas kakao memperoleh peningkatan penerimaan yang sangat tinggi. Pada akhir periode simulasi, penerimaan petani Gernas hampir 3 kali lipat penerimaan petani pada kondisi aktual. Sedangkan penerimaan petani yang tidak mengikuti Gernas kakao, penerimaannya lebih rendah dari kondisi aktual. 7.3 Skenario 3: Pencapaian Target Dampak Kebijakan sebesar 80 Persen Skenario 3 merupakan skenario optimis dimana pencapaiann target dampak kebijakan Gernas dan bea ekspor kakao mencapai 80 persen. Hal ini berarti target produktivitas perkebunan kakao rakyat, produksi biji kakao fermentasi, peningkatan kapasitas terpasang dan utilisasi kapasitas terpakai diasumsikan hanya tercapai sebesar 80 persen. Dampak dari penerapan skenario 3 tersebut dibandingkan dengan hasil simulasi model awal yang diasumsikan sebagai kondisi aktual. Gambar 45 Daya serap biji kakao oleh industri pada kondisi aktual dan skenario 3, Tahun 2008-2025.

108 Hasil simulasi terhadap skenario 3 menunjukkan bahwa daya serap biji kakao oleh industri pengolahan dalam negeri meningkat tajam sejak tahun 2012, walaupun sebelum tahun 2014, daya serapnya masih lebih rendah dibandingkan dengan kondisi aktual (Gambar 45). Pada tahun 2025, industri pengolahan kakao diperkirakan mampu menyerap seluruh produksi biji kakao. Tingginya penyerapan biji kakao oleh industri pengolahan disebabkan oleh tingginya pertumbuhan permintaan biji kakao oleh industri pengolahan, sedangkan pertumbuhan produksi biji kakao relatif lebih lambat akibat terjadinya penurunan luas areal. 95 85 75 65 55 45 35 25 15 Aktual: Pangsa Nilai Kakao Olahan Aktual: Pangsa Volume Kakao Olahan Skenario 3: Pangsa Nilai Kakao Olahan Skenario 3: Pangsa Volume Kakao Olahan Gambar 46 Pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan pada kondisi aktual dan skenario 3, tahun 2008-2025. Tingginya pertumbuhan produksi kakao olahan berdampak langsung pada volume dan nilai ekspor kakao olahan dan biji kakao. Peningkatan produksi kakao olahan menyebabkan ekspor kakao olahan juga meningkat, namun ekspor biji kakao mengalami penurunan karena lebih banyak diserap oleh industri pengolahan dalam negeri. Kondisi tersebut menyebabkan pangsa ekspor kakao olahan, baik dari sisi volume maupun nilai juga meningkat tajam. Dari Gambar 46 dapat dilihat bahwa pangsa ekspor kakao olahan mengalami peningkatan yang cukup signifikan sejak tahun 2014, dan mampu melampaui kondisi aktual sejak

109 tahun 2015. Pada akhir periode analisis, pangsa volume ekspor kakao olahan diperkirakan mencapai 88,87 persen, sedangkan pangsa nilai ekspor mencapai 92,13 persen. ( Rp.0 0 0,- ) 20,000 18,000 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 - Aktual: Penerimaan petani Skenario 3: Penerimaan petani Gernas Skenario 3: Penerimaan petani Non-Gernas Gambar 47 Penerimaan petani pada kondisi aktual dan skenario 3, Tahun 2008-2025 Simulasi terhadap penerimaan petani dengan menggunakan skenario 3, juga berdampak pada tingkat penerimaan petani Gernas dan non Gernas (Gambar 47). Kebijakan dengan skenario 3 mampu meningkatkan penerimaan petani Gernas karena ada peningkatan produktivitas dan produksi biji kakao fermentasi yang harganya lebih tinggi dibandingkan dengan biji kakao nonfermentasi. Pada akhir periode analisis, penerimaan petani Gernas mencapai Rp. 16,54 juta per ha, lebih tinggi dibandingkan kondisi aktual, skenario 1 dan skenario 2 yang masing-masing sebesar Rp. 4,18 juta, Rp. 12,03 juta dan Rp. 14,26 juta per ha. 7.4 Perbandingan Antara Kondisi Aktual dengan Skenario 1, 2 dan 3 Hasil simulasi dari berbagai skenario 1, 2 dan 3 dapat dibandingkan satu sama lain untuk mengetahui dampak dari berbagai skenario tersebut terhdadap kinerja industri hilir kakao dan penerimaan petani. Perbandingan tersebut juga sangat penting untuk dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi pengambil kebijakan jika dampak kebijakan yang diterapkan disimulasikan seperti skenario yang telah

110 disusun. Perbandingan simulasi dilakukan terkait dengan output model sistem agroindustri kakao yaitu daya serap industri pengolahan, pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan serta penerimaan petani disajikan pada Gambar 48, 49 dan 50 serta Lampiran 5, 6, 7, 8 dan 9. Sedangkan perbandingan simulasi yang terkait dengan output submodel pengolahan kakao, penyediaan bahan baku, konsumsi dan perdagangan disajikan pada Lampiran 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16 dan 17. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1/1/2008 1/1/2009 1/1/2010 1/1/2011 1/1/2012 1/1/2013 1/1/2014 1/1/2015 1/1/2016 1/1/2017 1/1/2018 1/1/2019 1/1/2020 1/1/2021 1/1/2022 1/1/2023 1/1/2024 1/1/2025 Aktual Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Gambar 48 Perbandingan daya serap industri pengolahan kakao pada kondisi aktual, skenario 1, 2, dan 3, Tahun 2008-2025. Dari Gambar 48, dapat dilihat bahwa kebijakan Gernas dan bea ekspor kakao mampu meningkatkan pertumbuhan daya serap industri pengolahan kakao secara signifikan dan menunjukkan pola pertumbuhan exponential growth sejak tahun 2011, baik pada skenario 1, 2 dan 3. Namun pertumbuhan tertinggi diperoleh melalui skenario 3 karena pencapaian dampak kebijakannya lebih tinggi dibandingkan skenario lainnya. Daya serap industri pengolahan masingmasing skenario pada akhir periode analisis adalah 30,42 persen pada kondisi aktual, skenario 1 sebesar 55,1 persen, skenario 2 sebesar 74,33 persen dan skenario 3 sebesar 100 persen.

111 Gambar 49 Perbandingan pangsa volume ekspor kakao olahan pada kondisi aktual, skenario 1, 2 dan 3, Tahun 2008-2025. Gambar 50 Perbandingan pangsa nilai ekspor kakao olahan pada kondisi aktual, skenario 1, 2 dan 3, Tahun 2008-2025. Perbandingan pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan dengan skenario 1, 2 dan 3 memiliki pola yang mirip dengan dayaa serap industri pengolahan kakao (Gambar 49 dan 50) yaitu exponential growth sejak tahun 2015, dimana pertumbuhan tertinggi dicapai melalui skenario 3. Pangsa volume ekspor masing-masing skenario pada akhir periode analisis adalah 22,54 persen pada kondisi aktual, skenario 1 sebesar 39 persen, skenario 2 sebesar 56,32 persen dan skenario 3 sebesar 88,87 persen. Sedangkan pangsa nilai ekspor masing-masing skenario pada akhir periode analisis adalah 29,9 persen pada

112 kondisi aktual, skenario 1 sebesar 48,38 persen, skenario 2 sebesar 65,4 persen dan skenario 3 sebesar 92,,13 persen. Gambar 51 Perbandingan penerimaan petani pada kondisi aktual, skenario 1, 2 dan 3, Tahun 2008-2025. Jika dilihat dari sisi penerimaan petani, skenario 1, 2 dan 3, mampu meningkatkan penerimaann petani yang terlibat dalam program Gernas kakao, sedangkan petani yang tidak terlibat mengalami penurunan penerimaan dibandingkan dengan kondisi aktual. Pertumbuhan penerimaan petani Gernas tertinggi dicapai pada skenario 3, diikuti skenario 2, skenario 1 dan kondisi aktual (Gambar 51). Pada akhir periode analisis, penerimaan petani Gernas mencapai Rp. 16,54 juta per ha, lebih tinggi dibandingkan kondisi aktual, skenario 1 dan skenario 2 yang masing-masing sebesar Rp. 4,18 juta, Rp. 12,03 juta dan Rp. 14,26 juta per ha. Perbedaan penerimaan petani Gernas disebabkan oleh adanya perbedaan produktivitas dan mutu kakao padaa skenario- rendah skenario tersebut. Sedangkan tingkat harga yang diterima lebih dibandingkan kondisi aktual sebagai dampak penerapan bea eskpor. Di sisi lain, penerimaan petani yang tidak terlibat program Gernas kakao memiliki tingkat dan pertumbuhan yang sama. Pada akhir periode analisis, penerimaan petani non Gernas pada skenario 1, 2 dan 3 yaitu sebesar Rp. 3,97 juta per ha, lebih rendah dibandingkan kondisi aktual sebesar Rp. 4,18 juta. Penurunan penerimaan tersebut terjadi akibat harga yang diterima petani lebih rendah dibanding kondisi aktual, namun produktivitas dan mutu kakao tidak mengalami perubahan.