VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN

dokumen-dokumen yang mirip
VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PUAP DAN RASKIN TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut

VIII. DAMPAK BIAYA TRANSAKSI, HARGA DAN UPAH TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi

BAB VI. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN. Validasi model merupakan tahap awal yang harus dilakukan melaksanakan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

DAMPAK FAKTOR EKSTERNAL DAN INTERNAL TERHADAP KINERJA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI PLASMA

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

III. KERANGKA PEMIKIRAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS)

I. PENDAHULUAN. sumber pangan utama penduduk Indonesia. Jumlah penduduk yang semakin

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE

I. PENDAHULUAN. Perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. hal

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian antara lain: menyediakan pangan bagi seluruh penduduk,

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil pendugaan harga bayangan menunjukkan bahwa semakin luas lahan yang

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar

VIII. EFEK PERUBAHAN HARGA INPUT DAN HARGA OUTPUT PADA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI. Pada bab sebelumnya telah ditunjukkan hasil pendugaan model ekonomi

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

VII ANALISIS PENDAPATAN

KETERKAITAN JENIS SUMBERDAYA LAHAN DENGAN BESAR DAN JENIS PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN LAMPUNG

POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS)

Losses_kedelai LOSSES_kedelai_1. RAMP_LOSSES surplus. kebutuhan_kedelai. inisial_luas_tanam produski_kedelai Rekomendasi_pupuk

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan peningkatan ketahanan pangan nasional. Hasil Sensus Pertanian 1993

SIMULASI DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA PERTANIAN

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN

BAB I. PENDAHULUAN. adalah mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan meningkatkan. kemampuan berproduksi. Hal tersebut tertuang dalam RPJMN

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

III. KERANGKA PEMIKIRAN

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

ANALISIS EFISIENSI BISNIS TANAMAN PANGAN UNGGULAN DI KABUPATEN BEKASI Oleh : Nana Danapriatna dan Ridwan Lutfiadi BAB 1.

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sektor pertanian dalam tatanan pembangunan nasional memegang peranan

KAJIAN PENURUNAN KUALITAS GABAH-BERAS DILUAR KUALITAS PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

I. PENDAHULUAN. berkaitan dengan sektor-sektor lain karena sektor pertanian merupakan sektor

KAJIAN KEBIJAKAN PERBERASAN

V. EVALUASI MODEL. BAB V membahas hasil pendugaan, pengujian dan validasi model.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Komoditas tanaman pangan yang sangat penting dan strategis kedudukannya

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor Pertanian memegang peranan yang cukup strategis bagi sebuah

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT

VII. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN. rumahtangga petani peternak sapi di Sulawesi Utara dengan menggunakan

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1)

PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

PENDAHULUAN Latar Belakang

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan

Situasi pangan dunia saat ini dihadapkan pada ketidakpastian akibat perubahan iklim

Efektifitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

JUSTIFIKASI DAN RESIKO PENINGKATAN HARGA DASAR GABAH PEMBELIAN PEMERINTAH

VII. ANALISIS KEBIJAKAN

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN UNTUK PENELITIAN LANJUTAN

VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MARKETED SURPLUS PADI

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN USAHA TERHADAP STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

Transkripsi:

VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN 7.1. Hasil Validasi Model Simulasi model dilakukan untuk menganalisis dampak perubahan berbagai faktor ekonomi terhadap ketahanan pangan rumahtangga pertanian. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif analisis lebih difokuskan pada kinerja aspek peningkatan produksi padi, pendapatan rumahtangga, nilai padi yang tidak dijual, pengeluaran pangan disamping aspek kecukupan energi. Simulasi dilakukan dengan cara merubah nilai-nilai peubah harga input (harga pupuk dan upah), harga output, serta peubah keputusan internal (alokasi tenaga kerja, luas garapan dan cadangan pangan). Analisis simulasi juga dilakukan dengan membandingkan antar agroekosistem. Prosedur ini akan memberikan informasi bagaimana perubahan seluruh peubah endogen dalam model perilaku rumahtangga di dua daerah yang berbeda. Sebelum simulasi, terlebih dulu dilakukan validasi model untuk melihat keeratan dan keragaman nilai dugaan dengan nilai aktual peubah endogen (Pyndick dan Rubenfield, 1991). Keandalan suatu model untuk simulasi ditentukan oleh hasil validasi terhadap parameter dugaan dari peubah-peubah endogen dalam model. Pada penelitian ini validasi model perilaku rumahtangga pertanian menggunakan kriteria Root Mean Square Error (RMSPE) dan Statistik U-Theil. Hasil validasi disajikan pada Tabel 24 dan 25. Hasil pendugaan model dianggap layak sebagai basis simulasi apabila nilai RMSPE dan U-Theil semakin kecil. Nilai RMSPE yang mendekati no1 menunjukkan hasil pendugaan model semakin valid untuk simulasi. Demikian pula nilai U yang

mendekati no1 menunjukkan pendugaan model sempurna. Sebaliknya, bila nilai U mendekati satu maka pendugaan model adalah naif. Tabel 24. Hasil Validasi Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah Agroekosistem Sawah Peubah RMSPE Bias (U M) Kesalahan Reg (U R) Dist (U D) U-Theil Alokasi t- kerja keluarga Alokasi t-kerja buruh non pert Pendapatan disposabel konsumsi 128.8182 159.3124 1.0621 7E9 4.96531 E9.. 258.1760 33083143 122.9573 279.3647 78.5000. 61.5898 62.3781 405.1953 60.7287 17.8788 29.6960 108.1011 1.6139E10 17.8939 4.1383ElO 1.6525E10 0.002 0.005 0.002 0.000 0.001 0.002 0.144 0.002 0.046 0.000 0.000 0.003 0.002 0.002 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.000 0.002 0.002 0.000 0.000 0.001 0.001 0.001 0.045 0.010 0.001 0.025 0.029 0.052 0.006 0.009 0.008 0.018 0.000 0.007 0.023 0.002 0.101 0.006 0.002 0.000 0.998 0.995 0.997 0.999 0.998 0.953 0.846 0.997 0.929 0.971 0.948 0.991 0.989 0.989 0.982 1.000 0.993 0.977 0.998 0.897 0.994 0.996 0.998 0.2792 0.2803 0.2897 0.4229 0.3306 0.4342 0.2799 0.4899 0.1820 0.3442 0.1306 0.5143 0.1265 0.1 267 0.3181 0.1853 0.0759 0.1264 0.3484 0.4673 0.0761 0.6274 0.3977 Tabel 24 dan Tabel 25 menunjukkan, beberapa peubah mempunyai nilai RMSPE sangat besar dan tiga lainnya tidak teridentifikasi (missing). Hasil seperti ini diduga terkait dengan masalah variasi dan konsistensi data penelitian PATANAS. Tanda titik (.) muncul karena pada satu atau lebih observasi terdapat nilai aktual yang terlalu kecil, atau bahkan mendekati nol, untuk menghitung persentase kesalahan (percent error). Di daerah agroekosistem sawah, nilai U-Theil relatif besar

pada persamaan pendapatan berburuh dan tabungan. Kecuali pada kedua persamaan tersebut nilai U-Theil berkisar antara 0.0759 sampai 0.4673. Di daerah agroekosistem non sawah kecuali pada persamaan alokasi tenaga kerja berburuh non pertanian dan pendapatan berburuh nilai U-Theil berkisar antara 0.0791 sampai 0.4653. Pada penelitian dengan data kerat lintang (cross section), hasil validasi model seperti itu dianggap masih cukup layak (justified) sebagai dasar dilakukannya simulasi. Tabel 25. Hasil Validasi Model Perilaku Rumahtangga Pertanian di Daerah Agroekosistem Non Sawah Peubah Alokasi t- kerja keluarga Alokasi t-kerja buruh non pert Pendapatan disposabel konsumsi RMSPE 102.4920 139.8555 4.41328E9 3.66727E9. 425.4270 27902782 88.6054 298.3246 100.5477. 100.8803 100.9155 152.7400 59.6178 21.2615 29.1656 90.7375 1.7714E10 22.1522 4.4123E10 1.4697E10 Bias (U M) 0.007 0.004 0.005 0.003 0.002 0.005 0.121 0.003 0.093 0.002 0.002 0.005 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.002 0.002 0.001 0.015 0.01 5 Kesalahan Reg (U R) 0.012 0.018 0.003 0.000 0.015 0.003 0.030 0.001 0.047 0.051 0.01 1 0.006 0.010 0.010 0.064 0.002 0.010 0.006 0.057 0.003 0.097 0.003 0.001 Dist (U D) 0.981 0.978 0.992 0.997 0.983 0.993 0.849 0.996 0.860 0.947 0.986 0.989 0.990 0.990 0.936 0.998 0.990 0.994 0.942 0.995 0.902 0.982 0.984 U-Theil 0.2431 0.271 5 0.3512 0.3989 0.2875 0.4483 0.2698 0.5700 0.2141 0.3057 0.1217 0.5080 0.1 101 0.1102 0.3160 0.1751 0.0791 0.1255 0.2670 0.4280 0.0843 0.4653 0.3159

Dampak yang timbul dari perubahan faktor ekonomi, baik yang bersumber dari kebijakan pemerintah, fluktuasi pasar maupun kondisi internal rumahtangga terhadap peubah endogen model perilaku bersifat positif, negatif atau netral. Sifat dampak tersebut mengikuti hubungan antar peubah hasil pendugaan model sesuai fenomena empiris. Perbedaan lingkungan fisik, sosial dan ekonomi antar wilayah memungkinkan munculnya perbedaan dampak yang terjadi. Oleh sebab itu, analisis simulasi dampak perubahan faktor ekonomi terhadap ketahanan pangan dibedakan menurut agroekosistem. 7.2. Simulasi Perubahan Faktor-faktor Ekonomi 7.2.1. Kenaikan Harga Pupuk Untuk mengurangi beban anggaran pemerintah menetapkan kebijakan penghapusan subsidi pupuk secara gradual sejak beberapa tahun silam. Selama sepuluh tahun sejak tahun 198711988 porsi subsidi pupuk terus berkurang dari 7.98 persen menjadi 0.40 persen pada tahun 199611997. Pada tahun 1998 subsidi pupuk telah dihapus sama sekali. Penghapusan tersebut mengakibatkan kenaikan harga pupuk yang harus dibayar petani. Harga pupuk Urea naik sekitar 147 persen sedangkan pupuk TSP naik sekitar 137 persen (PSE, 2001). Untuk simulasi dalam penelitian ini kenaikan harga pupuk ditetapkan secara arbiter. Kenaikan harga pupuk Urea ditetapkan 30 persen dan TSP 40 persen. Dari Tabel 8 pada bab sebelumnya diketahui rataan harga pupuk Urea di daerah penelitian berkisar antara 938,- sampai 1 048,- per kilogram. Adapun harga pupuk TSP berkisar antara 1 130,- sampai 1 285,- per kilogram. Kenaikan harga kedua jenis pupuk tersebut masih di bawah harga eceran tertinggi baru yang ditetapkan. Hal ini dapat terjadi karena harga kedua jenis pupuk di tingkat

petani yang dicatat adalah harga rataan setahun, dari musim kemarau (MK) 1 1998 sampai musim hujan (MH) 199811999. Kebijakan pemerintah keluar pada awal MH Tabel 26. Dampak Kenaikan Harga Pupuk Urea (30 %) dan TSP (40%) Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah Agroekosistem Sawah Peubah Endogen Satuan Nilai dasar Hasil Simulasi Perubahan Unit % Alokasi t-kerja keluarga Alokasi t-kerja buruh nonpert Pendapatan disposable konsumsi Ha Kg % 0.6856 2521 137328 82394 373.1879 248.3468 621.5347 446.7727 948348 2089800 5325125 772965 71 86536 71 681 33 2174007 2557964 623891 0 87.8202 339603 3781 58 6956671 681 585 1326848 0.6529 2396 166127 135040 365.6301 233.7891 599.41 92 450.1 11 101 2322 1873781 5109106 777504 6975056 6956653 2141307 2541 863 6222808 87.6522 337764 3781 70 6938742 664258 1309521-0.0327-1 25 28799 52646-7.5578-14.5577-22.1 155 3.3383 63974-21601 9-216019 4539-21 1480-21 1480-32700 -16101-16102 -0.168-1 839 12-1 7929-1 7327-1 7327-4.77-4.96 20.97 63.90-2.03-5.86-3.56 0.75 6.75-10.34-4.06 0.59-2.94-2.95-1.50-0.63-0.26-0.19-0.54 0.00-0.26-2.54-1.31 Hasil simulasi menunjukkan kenaikan 30 persen harga pupuk Urea dan 40 persen harga pupuk TSP akan mengakibatkan kenaikan biaya usahatani serta kecenderungan pengurangan luas garapan sawah yang akhirnya berdampak pada penurunan pendapatan usahatani. Pada Tabel 26 dan Tabel 27 dapat disimak, secara relatif peningkatan biaya usahatani di daerah agroekosistem sawah lebih kecil dari peningkatan di daerah non sawah. Peningkatan biaya usahatani yang

dipicu oleh kenaikan harga pupuk di daerah sawah sebesar 6.75 persen, sedangkan di daerah non sawah mencapai 7.67 persen. Akan tetapi, karena kecenderungan pengurangan luas sawah garapan di daerah sawah lebih tinggi dibandingkan daerah non sawah maka penurunan pendapatan usahatani di daerah sawah menjadi lebih besar, mencapai -1 0.34 persen. Tabel 27. Dampak Kenaikan Harga Pupuk Urea (30 %) dan TSP (40%) Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah Agroekosistem Non Sawah Peubah Endogen Satuan Nilai dasar Hasil Simulasi Perubahan Unit % Alokasi t-kerja keluarga Alokasi t-kerja buruh nonpert Pendapatan disposable konsumsi Ha Kg % 0.791 1 2756 101225 521 33 413.9235 250.2896 664.213 315.1598 874500 260201 3 62361 07 706903 81 27966 81 16639 2801630 2790306 581 8445 93.9245 289890 440570 6548905 695222 1 154480 0.7559 2622 131 322 108951 405.7856 234.6102 640.3958 318.7328 941 559 2365426 599951 9 71 1746 7896221 7884894 2765797 2772661 5800800 93.7405 287875 440582 6529257 676234 1 135493-0.0352-1 34 30097 56818-8.1379-1 5.6794-23.8172 3.573 67059-236587 -236588 4843-231 745-231 745-35833 -1 7645-1 7645-0.184-201 5 12-1 9648-1 8988-1 8987-4.45-4.86 29.73 108.99-1.97-6.26-3.59 1.13 7.67-9.09-3.79 0.69-2.85-2.86-1.28-0.63-0.30-0.20-0.70 0.00-0.30-2.73-1.64 Adanya pengurangan luas sawah garapan memungkinkan rumahtangga mengurangi alokasi waktu tenaga kerja untuk usahatani. Kelebihan tenaga kerja tersebut dapat direlokasi untuk kegiatan lain. Hasil simulasi menunjukkan,

pengurangan alokasi waktu tenaga kerja usahatani sebagian dimanfaatkan untuk berburuh non pertanian. Penambahan jam kerja berburuh non pertanian tersebut dilakukan karena bagi rumahtangga kegiatan berburuh non pertanian dipandang sebagai salah satu alternatif usaha menambah pendapatan. Oleh karena kegiatan berburuh masih bersifat "sambilan", tambahan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan tersebut juga relatif kecil. Pada saat ini, tambahan pendapatan dari berburuh belum dapat mengimbangi penurunan pendapatan usahatani yang di daerah sawah mencapai -10.34 persen dan di daerah non sawah sebesar 0.09 persen. Akibatnya, kenaikan harga pupuk akan mengurangi pendapatan rumahtangga sebesar -2.94 persen dan -2.85 persen, masing-masing untuk daerah agroekosistem sawah dan non sawah. Guna memenuhi kebutuhan pengeluaran rumahtangga, petani menjual lebih banyak hasil panen padi mereka. Dengan semakin besar bagian panen padi yang dijual berarti ketersediaan pangan dalam rumahtangga makin berkurang. Pengurangan ketersediaan pangan di daerah sawah lebih tinggi dari daerah non sawah. Pada kondisi ketersediaan pangan (nilai simpanan padi) dan pendapatan rumahtangga yang makin berkurang, petani melakukan penyesuaian (self ajusfmenf) dengan menurunkan pengeluaran pangan. Proporsi penurunan pengeluaran pangan di daerah sawah sama dengan penurunan di daerah non sawah, sebesar 0.17 persen. Penurunan pengeluaran pangan akan diikuti penurunan derajat kecukupan energi. Hal ini karena konsumsi energi (energy intake) terkait erat dengan kuantitas fisik pangan yang dikonsumsi rumahtangga. Meskipun dengan status awal derajat kecukupan berbeda, persentase perubahan derajat kecukupan akibat perubahan

pengeluaran pangan di kedua wilayah agroekosistem relatif sama. Di kedua wilayah, pengeluaran pangan berkurang sekitar 0.20 persen. Dampak lain dari penurunan pendapatan, rumahtangga akan melakukan penghematan biaya kesehatan dan relokasi tabungan. yang mereka miliki berkurang karena dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan biaya pendidikan anggota rumahtangga. Selanjutnya, oleh karena tabungan merupakan bagian dari modal usaha, adanya peningkatan biaya pendidikan mengurangi nilai pemilikan modal usaha. Tingkat penghematan biaya untuk kesehatan, relokasi tabungan dan penurunan pemilikan modal di daerah sawah lebih rendah dibandingkan daerah non sawah. 7.2.2. Kenaikan Upah Buruhtani Dalam usahatani padi kebutuhan tenaga kerja cenderung bersifat "rigid'. Hal ini karena intensitas kegiatan pada usahatani padi sangat tergantung kondisi iklim (musim). lntensitas kegiatan biasanya terfokus pada masa persiapan tanam dan panen, menyesuaikan ketersediaan air irigasi yang mengairi sawah garapan petani. Pada kedua periode kebutuhan tenaga sangat tinggi sehingga tidak jarang harus melibatkan tenaga buruh tani dari luar keluarga. Secara empiris, petani sering tidak memperhitungkan nilai tenaga kerja dalam keluarga. Akan tetapi dalam perhitungan usahatani, kontribusi tenaga kerja dalam keluarga seharusnya dianggap sebagai kebutuhan yang menimbulkan implikasi biaya. Dampak kenaikan upah terhadap peubah-peubah endogen disajikan pada Tabel 28 dan Tabel 29. Sesuai hasil pendugaan parameter pada bab sebelumnya, peningkatan upah buruhtani akan berdampak pada turunnya permintaan tenaga kerja usahatani, baik dari dalam maupun luar keluarga. Akan tetapi, karena proporsi

penurunan permintaan tenaga kerja lebih rendah dari proporsi peningkatan upah maka biaya usahatani cenderung masih meningkat. Penurunan alokasi tenaga kerja mengakibatkan pengelolaan usahatani kurang intensif sehingga produksi padi cenderung berkurang, terutama di daerah agroekosistem sawah. Tabel 28. Dampak Kenaikan Upah Buruh Tani (20 %) Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah Agroekosistem Sawah Peubah Endogen Satuan Nilai dasar Hasil Simulasi Perubahan Unit % Alokasi t-kerja keluarga Alokasi t-kerja buruh nonpert Pendapatan disposable konsumsi Ha Kg Oh 0.6856 2521 137328 82394 373.1879 248.3468 621.5347 446.7727 948348 2089800 5325125 772965 71 86536 71681 33 2 174007 2557964 623891 0 87.8202 339603 3781 58 6956671 681 585 1326848 0.6845 2509 137149 82293 368.6239 241.9235 610.5474 448.9762 1029431 1993886 5229212 776093 7093751 7075348 21 59660 2550900 6231 846 87.7465 338796 3781 63 6948805 673983 131 9246-0.001 1-1 2-1 79-1 01-4.564-6.4233-10.9873 2.2035 81 083-9591 4-959 13 3128-92785 -92785-1 4347-7064 -7064-0.0737-807 5-7866 -7602-7602 -0.16-0.48-0.13-0.12-1.22-2.59-1.77 0.49 8.55-4.59-1.80 0.40-1.29-1.29-0.66-0.28-0.1 1-0.08-0.24 0.00-0.1 1-1.12-0.57 Pada tingkat harga padi yang relatif tetap, penurunan produksi dan peningkatan biaya usahatani menyebabkan pendapatan usahatani semakin berkurang. Meskipun masih terdapat kontribusi positif dari pendapatan berburuh non pertanian, tetapi proporsi penurunan pendapatan usahatani lebih besar dari

peningkatan pendapatan berburuh sehingga interaksi kedua perubahan berdampak negatif terhadap pendapatan rumahtangga. Proporsi penurunan pendapatan rumahtangga di daerah non sawah lebih tinggi dibandingkan daerah sawah. Tabel 29. Dampak Kenaikan Upah Buruh Tani (20 %) Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah Agroekosistem Non Sawah Peubah Endogen Satuan Nilai dasar Hasil Simulasi Perubahan Unit % Alokasi t-kerja keluarga Alokasi t-kerja buruh nonpert Pendapatan disposable konsumsi Ha Kg % 0.791 1 2756 101225 52133 413.9235 250.2896 664.213 315.1598 874500 260201 3 62361 07 706903 8127966 81 16639 2801630 2790306 5818445 93.9245 289890 440570 6548905 695222 1 154480 0.7899 2743 101 01 9 5201 7 409.0388 243.3985 652.4373 317.4778 967640 2491 907 6126001 710168 8021 124 8009798 27851 10 27821 71 5810310 93.8397 288961 440576 6539847 686468 1 145726-0.0012-1 3-206 -1 16-4.8847-6.891 1-1 1.7757 2.318 93140-1 101 06-1 10106 3265-1 06842-1 06841-1 6520-81 35-81 35-0.0848-929 6-9058 -8754-8754 -0.15-0.47-0.20-0.22-1.18-2.75-1.77 0.74 10.65-4.23-1.77 0.46-1.31-1.32-0.59-0.29-0.14-0.09-0.32 0.00-0.14-1.26-0.76 Alokasi pendapatan untuk pengeluaran pangan cenderung turun dengan berkurangnya pendapatan rumahtangga sehingga derajat kecukupan energi semakin rendah. Penurunan pendapatan juga mengakibatkan penurunan pengeluaran kesehatan, tabungan serta modal usaha. Adanya indikasi peningkatan pengeluaran pendidikan, baik di daerah agroekosistem sawah maupun non sawah,

karena kebutuhan biaya pendidikan masih dapat ditanggulangi dari tabungan yang dimiliki. Secara umum dapat dikatakan bahwa dampak kenaikan upah buruhtani bersifat negatif terhadap keragaan ketahanan pangan rumahtangga. 7.2.3. Kenaikan Cadangan Pangan Memiliki cadangan pangan merupakan salah satu bentuk coping strategy yang biasa dilakukan rumahtangga petani di perdesaan. Cadangan pangan menjadi penting bagi rumahtangga terutama pada masa paceklik. Selain dimaksudkan untuk konsumsi langsung pada saat rumahtangga kekurangan pangan, cadangan tersebut juga dapat dijual untuk mendapatkan cash income. Upaya sosialisasi gerakan penyimpanan cadangan pangan dilakukan pemerintah melalui program pengembangan lumbung desa. Dampak peningkatan cadangan pangan terhadap keragaan ketahanan pangan rumahtangga disajikan pada Tabel 30 dan Tabel 31. Hasil simulasi menunjukkan peningkatan cadangan pangan sebesar 25 persen mendorong akumulasi tabungan dan modal usaha rumahtangga yang dapat digunakan untuk membiayai usahatani. Di daerah sawah nilai tabungan dan modal masing-masing bertambah 41 026 dan 202 341 atau masing masing meningkat 6.02 persen dan 15.25 persen. Di daerah non sawah, pertambahan nilai kedua peubah masing-masing sebesar 29 234 dan 144 049 atau meningkat 4.20 persen dan 12.48 persen. Peningkatan modal menjadi faktor pendorong bagi rumahtangga untuk meningkatkan luas sawah garapan. Akan tetapi, karena kontribusi faktor modal relatif kecil maka proporsi pertambahan luas garapan juga rendah. Selanjutnya, pertambahan luas garapan akan mendorong peningkatan produksi padi dengan jumlah yang proporsional dengan besarnya pertambahan luas garapan. Di daerah

agroekosistem sawah, luas sawah garapan dan produksi padi meningkat sekitar 4.00 persen, sedangkan di daerah non sawah kedua peubah meningkat sekitar 2.50 persen. Tabel 30. Dampak Kenaikan Cadangan Pangan (25 %) Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah Agroekosistem Sawah Peubah Endogen Satuan Nilai dasar Hasil Simulasi Perubahan Unit % Alokasi t-kerja keluarga Alolcssi t-kerja luar keluarga Alokasi t-kerja buruh nonpert Pendapatan disposable konsumsi Ha Kg % 0.6856 252 1 137328 82394 373.1879 248.3468 621.5347 446.7727 948348 2089800 5325125 772965 71 86536 71681 33 21 74007 2557964 623891 0 87.8202 339603 3781 58 6956671 681 585 1326848 0.7131 261 8 142079 85078 379.2814 260.6814 639.9628 447.201 9 970499 21 80450 541 5776 780616 7284838 7266435 21 92244 2566168 62471 14 87.9058 341 389 371 309 6959812 72261 1 15291 89 0.0275 97 4751 2684 6.0935 12.3346 18.4281 0.4292 22151 90650 90651 765 1 98302 98302 18237 8204 8204 0.0856 1786-6849 3141 41 026 202341 4.01 3.85 3.46 3.26 1.63 4.97 2.96 0.10 2.34 4.34 1.70 0.99 1.37 1.37 0.84 0.32 0.13 0.10 0.53-1.81 0.05 6.02 15.25 Sesuai perilaku rasional rumahtangga, perluasan sawah garapan akan diikuti peningkatan penggunaan sarana produksi seperti pupuk dan tenaga kerja sehingga nilai penggunaan pupuk dan alokasi waktu tenaga kerja untuk kegiatan usahatani semakin tinggi. Tabel 30 dan Tabel 31 menunjukkan proporsi peningkatan nilai penggunaan pupuk Urea cenderung lebih tinggi di daerah sawah. Sebaliknya, proporsi peningkatan nilai penggunaan pupuk TSP lebih tinggi di daerah non sawah.

Proporsi peningkatan alokasi waktu tenaga kerja dalam keluarga maupun luar keluarga cenderung lebih tinggi di daerah sawah. Tabel 31. Dampak Kenaikan Cadangan Pangan (25 %) Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah Agroekosistem Non Sawah Peubah Endogen Satuan Nilai dasar Hasil Simulasi Peru bahan Unit % Alokasi t-kerja keluarga Alokasi t-kerja buruh nonpert Pendapatan disposable konsumsi Ha Kg % 0.791 1 2756 101225 521 33 413.9235 250.2896 664.213 31 5.1598 874500 260201 3 62361 07 706903 8127966 81 16639 2801630 2790306 581 8445 93.9245 289890 440570 6548905 695222 1154480 0.8107 2825 104608 54044 418.2614 259.0707 677.3321 31 5.4671 890496 2666951 6301 045 712353 8198354 81 87027 2814675 27961 77 582431 6 93.9858 291 165 435695 6551 176 724456 1298529 0.0196 69 3383 1911 4.3379 8.781 1 13.1 191 0.3073 15996 64938 64938 5450 70388 70388 13045 5871 5871 0.0613 1275-4875 2271 29234 144049 2.48 2.50 3.34 3.67 1.05 3.51 1.98 0.10 1.83 2.50 1.04 0.77 0.87 0.87 0.47 0.21 0.10 0.07 0.44-1.I 1 0.03 4.20 12.48 Peningkatan produksi padi masih memberikan tambahan penerimaan usahatani bagi rumahtangga. Hal ini karena proporsi kenaikan biaya usahatani lebih kecil dibandingkan tambahan nilai produksi yang diperoleh. Sementara itu, peningkatan modal mendorong peningkatan pendapatan berburuh. Selanjutnya, dengan pendapatan yang meningkat akan menarik minat rumahtangga menambah alokasi tenaga kerja pada kegiatan berburuh non pertanian.

Adanya peningkatan pendapatan rumahtangga yang berasal dari peningkatan pendapatan usahatani dan pendapatan berburuh non pertanian memberikan kesempatan rumahtangga untuk menunda penjualan padi sehingga tingkat ketersediaan pangan dalam rumahtangga semakin tinggi. Nilai padi yang tidak dijual meningkat 0.84 persen di daerah sawah dan 0.47 persen di daerah non sawah. Semakin tingginya tingkat pendapatan juga memungkinkan rumahtangga menambah berbagai jenis pengeluaran, termasuk pangan. Selanjutnya peningkatan pengeluaran pangan akan berpengaruh terhadap peningkatan kecukupan energi. Pada kedua tabel dapat disimak proporsi pengeluaran pangan di daerah sawah cenderung lebih tinggi dibanding di daerah non sawah. Di daerah sawah peningkatan tersebut sebesar 0.32 persen sedangkan di daerah non sawah hanya 0.21 persen. Seiring dengan peningkatan pengeluaran pangan terjadi peningkatan kecukupan energi di kedua daerah relatif sama. Di daerah sawah kecukupan energi meningkat 0.10 persen, sedangkan di daerah non sawah meningkat 0.07 persen. Pada Tabel 30 dan Tabel 31 juga dapat disimak, meskipun derajat kecukupan pangan telah meningkat tetapi tidak diikuti dengan penurunan pengeluaran kesehatan. Sebaliknya, pengeluaran kesehatan cenderung meningkat. Hal ini terjadi karena peningkatan cadangan pangan mendorong penambahan nilai tabungan rumahtangga. Penambahan nilai tabungan berdampak negatif terhadap pengeluaran pendidikan sehingga nilai pengeluaran tersebut mengalami penurunan. Adanya faktor kendala anggaran mengakibatkan pengeluaran pendidikan juga berpengaruh negatif terhadap pengeluaran kesehatan. Hal itu berarti bila terjadi penurunan pengeluaran pendidikan maka pengeluaran kesehatan justru akan meningkat. Dalam simulasi ini pengaruh peningkatan derajat kecukupan energi

tampaknya jauh lebih kecil dibanding pengaruh pengeluaran pendidikan, sehingga peningkatan derajat kecukupan energi tidak diikuti dengan penurunan pengeluaran kesehatan. 7.2.4. Kenaikan Alokasi Waktu Berburuh Salah satu manfaat pembangunan, khususnya di perdesaan, yang senantiasa dijadikan target adalah semakin terbukanya kesempatan kerja. Peningkatan kesempatan kerja diharapkan tidak hanya menambah jumlah tenaga kerja yang dapat terserap masing-masing aktifitas pembangunan tetapi juga menambah lama waktu (durasi) kerja.pada penelitian ini, untuk mengetahui dampak penambahan lama waktu kerja maka peubah alokasi waktu tenaga kerja untuk berburuh dalam simulasi diperlakukan sebagai faktor eksogen. Salah satu dampak langsung peningkatan alokasi waktu berburuh adalah bertambahnya pendapatan rumahtangga dari kegiatan berburuh. Oleh karena pendapatan berburuh mempunyai kontribusi relatif kecil terhadap struktur pendapatan rumahtangga maka dampak peningkatan alokasi waktu berburuh terhadap pendapatan rumahtangga juga relatif kecil. Di daerah agroekosistem sawah peningkatan pendapatan berburuh 9.18 persen hanya mengakibatkan perubahan pendapatan rumahtangga 1.03 persen. Di daerah non sawah, peningkatan hampir 22.80 persen pendapatan berburuh mendorong pendapatan rumahtangga meningkat 2.06 persen. Peningkatan pendapatan sebagian dialokasikan untuk menambah nilai tabungan yang berpotensi menjadi modal usaha. Selanjutnya, pertambahan modal usaha akan menjadi pertimbangan rumahtangga dalam menambah luas areal sawah garapan. Perluasan sawah garapan menuntut peningkatan kebutuhan sarana

produksi, baik pupuk maupun tenaga kerja. Akan tetapi karena tarikan dari kegiatan berburuh relatif lebih besar alokasi tenaga kerja keluarga dalam usahatani padi menjadi berkurang. Pengurangan alokasi tenaga kerja keluarga untuk usahatani tidak diikuti oleh substitusi penggunaan tenaga kerja buruh tani secara sempurna. Akibatnya, meskipun terdapat penambahan penggunaan tenaga buruh tani tetapi total alokasi tenaga kerja untuk usahatani masih turun. Tabel 32. Dampak Kenaikan Alokasi Tenaga Kerja Berburuh Tani (1 0%) dan Berburuh Non Pertanian (1 5%) Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah Agroekosistem Sawah Peubah Endogen Satuan Nilai dasar Hasil Simulasi Perubahan Unit % Alokasi t-kerja keluarga Alokasi t-kerja buruh nonpert Pendapatan disposable konsumsi Ha Kg YO 0.6856 2521 137328 82394 373.1879 248.3468 62 1.5347 446.7727 948348 2089800 53251 25 772965 71 86536 7168133 21 74007 2557964 623891 0 87.8202 339603 3781 58 6956671 681 585 1326848 0.6864 2522 137470 82474 370.1713 249.4587 619.63 491.4500 946361 2092827 53281 53 843940 7260539 7242136 21 85450 2563598 6244544 87.879 340246 378154 6962945 687649 133291 1 0.0008 1 142 80-3.0166 1.1119-1.go47 44.6773-1 987 3027 3028 70975 74003 74003 1 1443 5634 5634 0.0588 643-4 6274 6064 6063 0.12 0.04 0.10 0.10-0.81 0.45-0.31 10.00-0.21 0.14 0.06 9.18 1.03 1.03 0.53 0.22 0.09 0.07 0.19 0.00 0.09 0.89 0.46 Relatif tingginya kontribusi tenaga kerja dalam struktur biaya usahatani menyebabkan pengurangan alokasi waktu tenaga kerja akan diikuti oleh penurunan

biaya usahatani. Penurunan intensitas penggunaan kerja tampaknya belum dapat terkompensasi oleh penambahan nilai penggunaan pupuk dalam pencapaian tingkat produksi sehingga interaksi perubahan kedua peubah hanya menghasilkan tambahan produksi sangat kecil (0.07%). Bahkan di daerah sawah produksi padi hampir mengalami stagnasi. Tabel 33. Dampak Kenaikan Alokasi Tenaga Kerja Berburuh Tani (1 0%) dan Berburuh Non Pertanian (15%) Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah Agroekosistem Non Sawah Peubah Endogen Satuan Nilai dasar Hasil Simulasi Perubahan Unit % Alokasi t-kerja keluarga Alokasi t-kerja buruh nonpert Pendapatan disposable konsumsi Ha Kg Oh 0.791 1 2756 101225 52 133 413.9235 250.2896 664.213 315.1598 874500 260201 3 62361 07 706903 8127966 8116639 2801630 2790306 5818445 93.9245 289890 440570 6548905 695222 1 154480 0.7930 2758 101 548 52316 406.5732 252.9289 659.5021 346.67578 869973 2608667 6242761 868016 8295732 8284406 2827571 2803079 5831218 94.0578 291 349 440561 65631 28 708967 1 168226 0.0019 2 323 183-7.3503 2.6393-4.7109 31.51598-4527 6654 6654 161113 167766 167767 25941 12773 12773 0.1333 1459-9 14223 13745 13746 0.24 0.07 0.32 0.35-1.78 1.05-0.71 10.00-0.52 0.26 0.1 1 22.79 2.06 2.07 0.93 0.46 0.22 0.14 0.50 0.00 0.22 1.98 1.19 Pada sisi lain, kecenderungan rumahtangga untuk meningkatkan nilai tabungan akan mengurangi alokasi pengeluaran pendidikan. Hasil simulasi menunjukkan, secara nominal nilai pengurangan pengeluaran pendidikan di kedua

daerah agroekosistem sangat kecil. Sesuai model yang digunakan, pengurangan pengeluaran pendidikan tersebut akan meningkatkan pengeluaran kesehatan. Dari sisi konsumsi, adanya peningkatan pendapatan akan diikuti peningkatan jumlah padi yang dijual meskipun dalam proporsi relatif kecil (masingmasing 0.53 % dan 0.93 % untuk daerah sawah dan non sawah). Peningkatan pendapatan juga mendorong pengeluaran pangan menjadi lebih besar sehingga derajat kecukupan energi juga meningkat. Peningkatan pengeluaran pangan di daerah non sawah dua kali lebih tinggi dibanding daerah sawah. Sejalan dengan perubahan tersebut peningkatan kecukupan energi di daerah sawah juga lebih rendah dibandingkan daerah non sawah. Terlepas dari besaran perubahan, hasil simulasi di atas menunjukkan peningkatan alokasi waktu untuk berburuh juga berdampak positif terhadap ketersediaan pangan dan kecukupan energi di tingkat rumahtangga. 7.2.5. Kenaikan Harga Padi Dalam proses produksi, peubah harga merupakan faktor insentif yang menjadi sinyal positif (push factor) untuk meningkatkan skala usaha. Pada usahatani padi, petani juga menggunakan indikator harga sebagai salah satu pembangkit motivasi bekerja. Mengingat usahatani padi dalam skala nasional memiliki peran sangat strategis dan cakupan dimensi yang luas, pemerintah selama ini melakukan intervensi dalam bentuk kebijakan penentuan harga dasar gabah. Kebijakan harga dasar gabah menjadi referensi transaksi pelaku tataniaga padi (beras), terutama menyangkut pembelian gabah dari petani. Kenyataan selama ini menunjukkan implementasi kebijakan harga dasar sering tidak efektif "melindungi" petani dari keterpurukan harga jual padi mereka,

terutama pada musim panen raya. Selain keterbatasan kemampuan menghasilkan gabah sesuai kriteria yang ditetapkan dalam aturan harga dasar gabah (menyangkut: kadar air, proporsi gabah pecah, kotoran, dan lain-lain), rendahnya harga jual padi yang diterima petani juga terkait dengan kemampuan pasar menampung kelebihan produksi. Pada saat ini harga dasar gabah yang berlaku ditetapkan sebesar 1 519 /kg gabah kering giling (GKG). Penetapan harga dasar tersebut tertuang dalam lnstruksi Presiden (Inpres) nomor 9 tahun 2001. Oleh karena lnpres tersebut adalah kelanjutan dari kebijakan harga dasar gabah tahun sebelumnya yang ditetapkan melalui lnpres nomor 8 tahun 2000, pemerintah berinisiatif merencanakan kenaikan harga dasar pembelian gabah dari petani pada tahun 2003. Untuk mengetahui dampak kenaikan harga padi terhadap ketahanan pangan rumahtangga petani maka dalam simulasi pada penelitian ini harga padi diasumsikan meningkat 15 persen. Hasil simulasi dapat disimak pada Tabel 34 dan Tabel 35. Apabila terjadi peningkatan harga padi rumahtangga terdorong melakukan ekspansi usahatani dengan cara menambah luas sawah garapan. Peningkatan luas garapan membangkitkan permintaan turunan kebutuhan sarana produksi pupuk dan tenaga kerja. Peningkatan luas garapan akan diikuti dengan penggunaan sarana produksi pupuk maupun tenaga kerja yang lebih besar sehingga nilai penggunaan pupuk Urea maupun TSP meningkat. Demikian pula alokasi waktu tenaga kerja dalam keluarga maupun luar keluarga akan meningkat. Kecenderungan petani untuk lebih intensif bekerja di lahan usahatani akan mengesampingkan kegiatan berburuh non pertanian sehingga alokasi waktu tenaga kerja pada kegiatan berburuh non tersebut berkurang.

Tabel 34. Dampak Kenaikan Harga Padi (15%) Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah Agroekosistem Sawah Peubah Endogen Satuan Nilai dasar Hasil Simulasi Perubahan Unit Oh Alokasi t-kerja keluarga Alokasi t-kerja buruh nonpert Pendapatan disposable konsumsi Ha Kg O/O 0.6856 2521 137328 82394 373.1879 248.3468 621.5347 446.7727 948348 2089800 5325125 772965 71 86536 7168133 21 74007 2557964 623891 0 87.8202 339603 3781 58 6956671 681 585 1326848 0.7684 2820 154243 92052 392.0618 285.3309 677.3927 441.7249 1018194 2895172 6130498 767460 7986404 7968001 2473140 266041 9 6341 365 88.8889 345874 3781 16 7065354 747121 1392383 0.0828 299 16915 9658 18.8739 36.9841 55.858-5.0478 69846 805372 805373-5505 799868 799868 2991 33 102455 102455 1.0687 6271-42 108683 65536 65535 12.08 11.86 12.32 11.72 5.06 14.89 8.99-1.13 7.37 38.54 15.12-0.71 11.13 11.16 13.76 4.01 1.64 1.22 1.85-0.01 1.56 9.62 4.94 Pertambahan luas garapan dan penggunaan sarana produksi berdampak pada peningkatan produksi padi yang pada gilirannya meningkatan pendapatan usahatani dan pendapatan rumahtangga. Di daerah agroekosistem sawah peningkatan produksi padi mencapai 11.86 persen, sedangkan di daerah non sawah sebesar 11.25 persen. Peningkatan pendapatan usahatani padi di kedua daerah masing-masing sebesar 38.54 persen dan 34.58 persen. Secara agregat peningkatan pendapatan usahatani mendorong kenaikan pendapatan rumahtangga di masing-masing daerah sebesar 11.I 3 persen dan 11.O1 persen. Selain mendorong peningkatan pendapatan, peningkatan harga padi juga memotivasi rumahtangga yang berperilaku sebagai penghindar resiko (risk averse)

Tabel 35. Dampak Kenaikan Harga Padi (15%) Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah Agroekosistem Non Sawah Peubah Endogen Satuan Nilai dasar Hasil Simulasi Perubahan Unit % Alokasi t-kerja keluarga Alokasi t-kerja buruh nonpert Pendapatan disposable konsumsi Ha Kg % 0.791 1 2756 101225 52133 41 3.9235 250.2896 664.213 315.1598 874500 260201 3 62361 07 706903 8127966 8116639 2801630 2790306 581 8445 93.9245 289890 440570 6548905 695222 1 154480 0.8770 3066 11 8751 62140 433.4783 288.673 722.1513 310.2704 950727 3501 906 71 36000 701912 9022867 9011541 3120346 2901 154 5929292 95.0808 296969 440522 6666783 768544 1227802 0.0859 31 0 17526 10007 19.5548 38.3834 57.9383-4.8894 76227 899893 899893-4991 894901 894902 318716 1 10848 1 10847 1.1563 7079-4 8 117878 73322 73322 10.86 11.25 17.31 19.20 4.72 15.34 8.72-1.55 8.72 34.58 14.43-0.71 11.O1 11.03 11.38 3.97 1.91 1.23 2.44-0.01 1.80 10.55 6.35 untuk cenderung menahan penjualan hasil panen padi mereka. Hal ini menyebabkan ketersediaan pangan rumahtangga menjadi lebih tinggi. Tabel 34 dan Tabel 35 menunjukkan peningkatan nilai padi yang tidak dijual berkisar antara 11.38 persen (di daerah non sawah) hingga 13.76 persen (di daerah sawah). Selanjutnya, peningkatan ini akan mendorong peningkatan pengeluaran pangan rumahtangga. Alokasi yang lebih besar untuk pengeluaran pangan seiring dengan peningkatan pendapatan rumahtangga karena dipicu oleh kenaikan harga padi berdampak positif terhadap derajat kecukupan energi rumahtangga. Kecukupan energi meningkat, tetapi peningkatan antara kedua daerah agroekosistem tidak

berbeda nyata. Di daerah sawah kecukupan energi meningkat 1.22 persen sedangkan di daerah non sawah peningkatan tersebut sebesar 1.23 persen. Peningkatan pendapatan rumahtangga juga berdampak positif terhadap pengeluaran kesehatan, tabungan maupun modal usaha baik di daerah agroekosistem sawah maupun non sawah. Sebagaimana pada simulasi lain, preferensi menabung yang tinggi berdampak negatif terhadap pengeluaran pendidikan. Akan tetapi, dengan proporsi perubahan pengeluaran pendidikan yang relatif kecil maka dampak negatif tersebut belum menjadi masalah serius dalam rumahtangga. 7.2.6. Kenaikan Luas Sawah Garapan Keterbatasan lahan garapan adalah salah satu faktor yang diyakini sebagai akar masalah dalam pengembangan usahatani dan kesejahteraan rumahtangga pertanian dipedesaan. Rataan luas lahan yang relatif sempit menjadi kendala pencapaian skala ekonomi (economic of scale) usahatani. Pada usahatani padi, keterbatasan lahan garapan tidak hanya terkait dengan faktor ekskalasi tekanan populasi, polarisasi lahan, permintaan penggunaan lahan untuk tujuan non pertanian tetapi juga terkait dengan penurunan investasi di bidang irigasi yang mempengaruhi intensitas tanam. Simulasi kenaikan luas garapan sawah dilakukan dengan mengubah status peubah tersebut sebagai peubah eksogen dalam model. Sebagai basis usahatani padi, perluasan garapan berdampak langsung pada perubahan penggunaan seluruh sarana produksi, pupuk dan tenaga kerja, yang makin meningkat. Dapat disimak pada Tabel 36 dan Tabel 37 nilai penggunaan pupuk Urea dan TSP meningkat masing-masing 25.62 persen dan 23.55 persen di daerah sawah. Di daerah non

sawah peningkatan nilai penggunaan Urea lebih tinggi dibanding TSP, masingmasing dengan persentase kenaikan 29.21 persen dan 26.63 persen. Sebagai usahatani berbasis lahan, perubahan nilai penggunaan pupuk pada usahatani padi cenderung mengikuti perubahan luas garapan secara linear. Peningkatan luas garapan juga mendorong peningkatan kebutuhan tenaga kerja. Akan tetapi, tidak seperti penggunaan pupuk, peningkatan alokasi total tenaga kerja untuk usahatani cenderung lebih rendah dari peningkatan luas garapan. Alokasi penggunaan tenaga kerja untuk usahatani meningkat sebesar 21.72 persen di daerah sawah dan 15.95 di daerah non sawah. Apabila dibedakan menurut asal Tabel 36. Dampak Kenaikan Luas Garapan (25%) Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah Agroekosistem Sawah Peubah Endogen Satuan Nilai dasar Hasil Simulasi Perubahan Unit % Alokasi t-kerja keluarga Alokasi t-kerja buruh nonpert Pendapatan disposable konsumsi Ha Kg % 0.6856 2521 137328 82394 373.1879 248.3468 621.5347 446.7727 948348 2089800 5325125 772965 71 86536 71681 33 2174007 2557964 623891 0 87.8202 339603 3781 58 6956671 681 585 1326848 0.8570 3223 171687 101 801 419.5448 337.0059 756.5508 422.989 1 1 17289 2805946 6041271 738291 7868008 7849605 2279380 2609850 6290796 88.3614 345529 3781 22 7014446 737421 1382683 0.1714 702 34359 19407 46.3569 88.6591 135.0161-23.7837 168941 716146 716146-34674 681472 681472 105373 51886 51 886 0.5412 5926-36 57775 55836 55835 25.00 27.85 25.02 23.55 12.42 35.70 21.72-5.32 17.81 34.27 13.45-4.49 9.48 9.51 4.85 2.03 0.83 0.62 1.74-0.01 0.83 8.19 4.21

(sumber) tenaga kerja, peningkatan penggunaan tenaga kerja buruh tani lebih tinggi dari tenaga kerja keluarga. Oleh karena ketersediaan tenaga kerja keluarga relatif terbatas, keputusan peningkatan alokasi waktu untuk usahatani diikuti dengan keputusan mengurangi alokasi waktu untuk berburuh non pertanian. Secara implisit kondisi demikian menunjukkan bahwa kenaikan luas garapan berpotensi menggeser titik keseimbangan pasar tenaga kerja pertanian di perdesaan, khususnya di daerah sawah dimana tingkat penggunaan tenaga kerja lebih intensif. Sejalan dengan ekskalasi penggunaan sarana produksi pupuk dan tenaga kerja, kenaikan luas garapan juga mendorong peningkatan produksi padi. Di daerah agroekosistem sawah, produksi padi meningkat hampir 28.0 persen, sedangkan di daerah non sawah peningkatan produksi hanya sekitar 20 persen. Memperhatikan kisaran perubahan produksi tersebut yang tidak jauh terlalu berbeda dari perubahan luas garapan (25 %), terkesan indikasi pola "return to scale" yang kuat pada usahatani komoditas tersebut. Peningkatan nilai penggunaan pupuk dan alokasi tenaga kerja mengakibatkan biaya usahatani meningkat. Namun demikian, tambahan penerimaan yang disebabkan oleh kenaikan produksi padi ternyata masih lebih besar dibanding peningkatan biaya usahatani. Secara keseluruhan kenaikan luas garapan juga meningkatkan pendapatan usahatani sekitar 35.0 persen dan 20.0 persen masingmasing untuk daerah sawah dan non sawah yang berdampak pada kenaikan pendapatan rumahtangga sebesar 9.5 persen dan 5.8 persen di masing-masing daerah. Seiring dengan peningkatan penggunaan tenaga kerja keluarga untuk usahatani, alokasi tenaga kerja keluarga untuk berburuh non pertanian berkurang sehingga berakibat pada turunnya pendapatan berburuh. Akan tetapi oleh karena

kontribusi pendapatan berburuh dalam struktur pendapatan rumahtangga relatif kecil dibanding penerimaan hasil usahatani, penurunan pendapatan berburuh tersebut masih dapat terkompensasi oleh tambahan penerimaan usahatani karena kenaikan volume produksi. Pada Tabel 36 dan Tabel 37 dapat diamati tambahan penerimaan akibat kenaikan volume produksi bahkan masih memberikan surplus terhadap pendapatan rumahtangga antara 5.80 persen (di daerah non sawah) sampai 9.5 persen (di daerah sawah). Tabel 37. Dampak Kenaikan Luas Garapan (25%) Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah Agroekosistem Non Sawah Peubah Endogen Satuan Nilai dasar Hasil Simulasi Peru bahan Unit % Alokasi t-kerja keluarga Alokasi t-kerja buruh nonpert Pendapatan disposable konsumsi Ha Kg % 0.791 1 2756 101225 521 33 413.9235 250.2896 664.21 3 31 5.1 598 874500 2602013 62361 07 706903 8127966 81 16639 2801 630 2790306 581 8445 93.9245 289890 440570 6548905 695222 1 154480 0.9889 3307 128181 67360 450.3235 31 9.8398 770.1633 296.1405 991 863 3100989 6735082 678966 8599004 8587678 2874464 2826169 5854308 94.2986 293986 440545 6588839 73381 5 1 193074 0.1978 55 1 26956 15227 36.4000 69.5502 105.9503-1 9.01 93 1 17363 498976 498975-27937 471 038 471 039 72834 35863 35863 0.3741 4096-25 39934 38593 38594 25.00 19.99 26.63 29.21 8.79 27.79 15.95-6.03 13.42 19.18 8.00-3.95 5.80 5.80 2.60 1.29 0.62 0.40 1.41-0.01 0.61 5.55 3.34

Peningkatan pendapatan akan memberikan kesempatan kepada rumahtangga untuk meningkatkan ketersediaan pangan dengan jalan menunda penjualan padi. Peningkatan ketersediaan pangan berkisar antara 2.60 persen di daerah non sawah sampai 4.85 persen di daerah sawah. Di sisi lain, peningkatan pendapatan juga memungkinkan rumahtangga untuk menambah berbagai jenis pengeluaran, termasuk pangan. rumahtangga meningkat seiring dengan peningkatan pengeluaran pangan rumahtangga. Di daerah sawah, peningkatan pengeluaran pangan sebesar 2.03 persen di daerah sawah akan mendorong kenaikan kecukupan energi sebesar 0.62 persen. Sementara itu di daerah non sawah, peningkatan pengeluaran pangan 1.29 persen menghasilkan kenaikan kecukupan energi 0.40 persen. Peningkatan pendapatan yang disebabkan oleh pertambahan luas garapan berdampak pada peningkatan preferensi rumahtangga untuk menabung. Oleh karena alokasi pendapatan untuk tabungan bertentangan dengan pengeluaran rumahtangga untuk pendidikan maka, seiring dengan pertambahan luas garapan pengeluaran pendidikan cenderung berkurang. Adanya kendala anggaran dalam rumahtangga, pengurangan pengeluaran pendidikan akan berpengaruh negatif terhadap pengeluaran kesehatan. Semakin kecil pengeluaran untuk pendidikan akan memungkinkan rumahtangga menambah alokasi pengeluaran untuk kesehatan. 7.2.7. Kombinasi Kenaikan Harga Pupuk dan Harga Padi Simulasi kombinasi perubahan faktor ekonomi dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana akumulasi dampak interaksi perubahan beberapa faktor ekonomi terhadap keragaan ketahanan pangan rumahtangga. Hal ini dilandasi

pemikiran bahwa pada kondisi nyata rumahtangga pertanian seringkali dihadapkan pada tekanan faktor ekonomi yang terjadi secara simultan. Salah satu pertimbangan dalam penetapan kenaikkan harga dasar pembelian gabah adalah untuk menyesuaikan profitabilitas usahatani padi dengan kenaikan laju inflasi dan indeks-indeks harga umum yang terkait dengan proses produksi. Hasil simulasi menunjukkan kombinasi simulasi kenaikan harga pupuk dengan kenaikan harga padi ternyata masih dapat mendorong peningkatan ketahanan pangan rumahtangga. Kombinasi simulasi tersebut berdampak pada peningkatan produksi padi 6.78 persen, pendapatan rumahtangga 7.82 persen, nilai padi yang tidak dijual 12.07 persen dan kecukupan energi 1.00 persen di daerah sawah. Adapun di daerah non sawah kenaikan kedua faktor ekonomi tersebut berdampak pada peningkatan produksi padi 6.28 persen, pendapatan rumahtangga 7.80, nilai padi yang tidak dijual 9.93 persen dan kecukupan energi 1.01 persen. Secara lengkap hasil simulasi ini disajikan pada Tabel 38 dan Tabel 39. Apabila dikaitkan dengan hasil simulasi tunggal kenaikan harga pupuk yang telah dibahas sebelumnya (Tabel 26 dan Tabel 27), angka-angka hasil simulasi kombinasi kenaikan harga pupuk dengan kenaikan harga padi pada Tabel 38 dan Tabel 39 menunjukkan bahwa dampak negatif penghapusan subsidi pupuk terhadap ketahanan pangan rumahtangga dapat "ditekan" apabila kebijakan penghapusan subsidi pupuk diikuti dengan kenaikan harga padi (gabah). Hasil simulasi pada Tabel 38 dan Tabel 39, terutama pada lima peubah penting yang mencerminkan ketahanan pangan rumahtangga, yaitu: produksi padi, pendapatan rumahtangga, nilai padi yang tidak dijual (ketersediaan pangan), pengeluaran pangan dan kecukupan energi menunjukkan "dampak bersih" dari

terjadinya kenaikan harga padi sebagai suatu bentuk "kompensasi" kepada petani yang menanggung dampak negatif dihapuskannya subsidi harga pupuk. Tabel 38. Dampak Kenaikan Harga Pupuk Urea (30 %), TSP (40%) dan Harga Padi (15%) Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah Agroekosistem Sawah Peubah Endogen Satuan Nilai dasar Hasil Simulasi Perubahan Unit Oh Alokasi t-kerja keluarga Alokasi t-kerja buruh nonpert Pendapatan disposable konsumsi Ha Kg % 0.6856 2521 137328 82394 373.1879 248.3468 621.5347 446.7727 948348 2089800 5325125 772965 7186536 7168133 2174007 2557964 623891 0 87.8202 339603 3781 58 6956671 681 585 1326848 0.7354 2692 182991 144670 384.4476 270.6389 655.0865 444.9544 1081 938 2652924 5888249 771 757 7748453 7730050 2436347 2642302 6323248 88.6999 343805 3781 28 70451 81 727625 1372887 0.0498 171 45663 62276 1 1.2597 22.2921 33.551 8-1.81 83 133590 563124 563124-1 208 561917 561917 262340 84338 84338 0.8797 4202-30 8851 0 46040 46039 7.26 6.78 33.25 75.58 3.02 8.98 5.40-0.41 14.09 26.95 10.57-0.16 7.82 7.84 12.07 3.30 1.35 1.OO 1.24-0.01 1.27 6.75 3.47 Pada sisi produksi, "potensi kerugian" bila kebijakan kenaikan harga pupuk tidak diikuti oleh kenaikan harga gabah cenderung akan lebih berat dirasakan oleh rumahtangga di daerah sawah. Hal ini karena tingkat penggunaan pupuk di daerah sawah relatif lebih intensif dibanding daerah non sawah. Sebaliknya, pada sisi konsumsi, "potensi kerugian" relatif akan lebih dirasakan oleh rumahtangga di daerah non sawah oleh karena dengan daya dukung lingkungan fisik lebih rendah,

penurunan volume produksi padi di daerah tersebut menjadi lebih tinggi. Selanjutnya, penurunan volume produksi padi berdampak pada penurunan ketersediaan dan pengeluaran pangan serta kecukupan energi di daerah non sawah yang lebih tinggi pula. Tabel 39. Dampak Kenaikan Harga Pupuk Urea (30 %), TSP (40%), dan Harga Padi (1 5%) Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah Agroekosistem Non Sawah Peubah Endogen Satuan Nilai dasar Hasil Simulasi Perubahan Unit % Alokasi t-kerja keluarga Alokasi t-kerja buruh nonpert Pendapatan disposable konsumsi Ha Kg % 0.791 1 2756 101225 521 33 41 3.9235 250.2896 664.213 315.1598 874500 260201 3 62361 07 706903 8127966 8116639 2801630 2790306 581 8445 93.9245 289890 440570 6548905 695222 1 154480 0.8415 2929 148792 1 18925 425.2776 272.8445 698.1221 313.7225 1017516 32361 68 6870261 706485 8761 702 8750375 3079963 2881269 5909408 94.8734 294698 440536 6644642 747 1 46 1206404 0.0504 173 47567 66792 1 1.3541 22.5549 33.9091-1.4373 143016 6341 55 6341 54-41 8 633736 633736 278333 90963 90963 0.9489 4808-34 95737 51 924 51 924 6.37 6.28 46.99 128.12 2.74 9.01 5.1 1-0.46 16.35 24.37 10.17-0.06 7.80 7.81 9.93 3.26 1.56 1.01 1.66-0.01 1.46 7.47 4.50 7.2.8. Kombinasi Kenaikan Upah Buruhtani dan Harga Padi Pada simulasi tunggal sebelumnya diketahui bahwa kenaikan harga padi akan berdampak positif terhadap keragaan ketahanan pangan rumahtangga yang tercermin dari indikasi peningkatan produksi padi, pendapatan rumahtangga,

peningkatan ketersediaan pangan, pengeluaran pangan dan kecukupan energi. Sebaliknya, kenaikan upah buruh tani cenderung berdampak negatif terhadap keragaan ketahanan pangan rumahtangga. Hasil simulasi menunjukkan apabila terjadi secara simultan, dampak negatif dari kenaikan upah buruhtani terhadap keragaan ketahanan pangan rumahtangga ternyata dapat terkompensasi oleh dampak positif kenaikan harga padi. Dalam model, tanda negatif hanya terdapat pada peubah endogen alokasi tenaga kerja buruh non pertanian, pendapatan berburuh dan pengeluaran pendidikan. Dampak kombinasi kenaikan kedua peubah dapat disimak pada Tabel 40 dan Tabel 41. Tabel 40. Dampak Kenaikan Upah Buruh Tani (20%) dan Harga Padi (15%) Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah Agroekosistem Sawah Peubah Endogen Satuan Nilai dasar Hasil Simulasi Perubahan Unit % Alokasi t-kerja keluarga Alokasi t-kerja buruh nonpert Pendapatan disposable konsumsi Ha Kg % 0.6856 2521 137328 82394 373.1879 248.3468 621.5347 446.7727 948348 2089800 5325125 772965 71 86536 7168133 2174007 2557964 623891 0 87.8202 339603 3781 58 6956671 681 585 1326848 0.7672 2807 154042 91 939 387.4734 278.8493 666.3227 443.8812 1 107800 2787880 6023205 770484 78821 35 7863732 2457018 2652480 6333426 88.8061 344968 378121 705651 5 738578 1383840 0.0816 286 16714 9545 14.2855 30.5025 44.788-2.8915 159452 698080 698080-2481 695599 695599 283011 94516 94516 0.9859 5365-37 99844 56993 56992 11.90 11.34 12.17 11.58 3.83 12.28 7.21-0.65 16.81 33.40 13.11-0.32 9.68 9.70 13.02 3.69 1.51 1.12 1.58-0.01 1.44 8.36 4.30

Kombinasi kenaikan harga padi dan upah buruh tani berdampak pada peningkatan luas garapan petani sehingga produksi padi yang diperoleh juga meningkat. Seiring dengan peningkatan produksi padi terjadi peningkatan pendapatan rumahtangga karena tambahan penerimaan usahatani masih lebih besar dari tambahan biaya usahatani akibat penggunaan sarana produksi yang makin intensif. Oleh karena pertambahan luas garapan dan produksi di daerah sawah lebih tinggi maka peningkatan pendapatan rumahtangga di daerah tersebut menjadi lebih besar dibandingkan peningkatan pendapatan di daerah non sawah. Tabel 41. Dampak Kenaikan Upah Buruh Tani (20%) dan Harga Padi (15%) Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah Agroekosistem NonSawah Peubah Endogen Satuan Nilai dasar Hasil Simulasi Perubahan Unit % Alokasi t-kerja keluarga Alokasi t-kerja buruh nonpert Pendapatan disposable konsumsi Ha Kg % 0.791 1 2756 101225 521 33 413.9235 250.2896 664.213 315.1598 874500 260201 3 62361 07 706903 8127966 8116639 2801630 2790306 5818445 93.9245 289890 440570 6548905 695222 1154480 0.8757 3052 118521 6201 0 428.5659 281.716 710.2819 312.5349 1053452 337891 0 701 3003 705057 8903016 8891690 3101 814 2892028 5920167 94.9856 295927 440528 6656622 758724 1217982 0.0846 296 17296 9877 14.6424 31.4264 46.0689-2.6249 178952 776897 776896-1 846 775050 775051 3001 84 101 722 101722 1.061 1 6037-42 10771 7 63502 63502 10.69 10.74 17.09 18.95 3.54 12.56 6.94-0.83 20.46 29.86 12.46-0.26 9.54 9.55 10.71 3.65 1.75 1.13 2.08-0.01 1.64 9.13 5.50

Peningkatan pendapatan rumahtangga berdampak pada peningkatan ketersediaan pangan dalam rumahtangga, pengeluaran pangan dan kecukupan energi. Dari simulasi diketahui peningkatan ketersediaan pangan di daerah sawah relatif lebih tinggi dibanding daerah non sawah. Namun demikian perubahan proporsi pengeluaran pangan dan derajat kecukupan energi antara kedua daerah tidak berbeda nyata. Peningkatan pendapatan juga mendorong peningkatan investasi rumahtangga. Sebagian tambahan pendapatan disimpan sebagai tabungan dan cadangan modal usaha sehingga nilai kedua peubah bertambah. Peningkatan tabungan dan modal usaha cenderung lebih tinggi di daerah non sawah karenasecara nominal tingkat pendapatan rumahtangga di daerah ini lebih tinggi dibanding rumahtangga di daerah sawah. 7.2.9. Kombinasi Kenaikan Harga Pupuk, Padi dan Upah Buruhtani Pada kenyataan sehari-hari, kenaikan harga output biasanya akan diikuti oleh kenaikan harga input. Atau sebaliknya, kenaikan harga input tidak diikuti secara sebanding oleh kenaikan harga output. Akibatnya, tidak jarang petani merasa kenaikan harga output sebagai bentuk insentif tidak banyak memberi manfaat. Simulasi yang lebih kompleks dilakukan dengan mengkombinasikan kenaikan harga pupuk Urea dan TSP dengan upah buruh tani serta kenaikan harga padi. Dampak simulasi kombinasi tersebut terhadap keragaan ketahanan pangan rumahtangga disajikan pada Tabel 42 dan Tabel 43. Sebagaimana hasil simulasi kombinasi harga padi dengan salah satu harga input (pupuk atau upah tenaga kerja), kombinasi kenaikan harga pupuk dan buruh tani dengan harga padi masih berdampak positif terhadap ketahanan pangan