BAB III LANDASAN TEORI. A. Tipikal Tata Letak Dan Panjang Jalur Di Stasiun

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI. A. Tipikal Tata Letak dan Panjang Efektif Jalur Stasiun

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI. A. Kajian Pola Operasi Jalur Kereta Api Ganda

BAB III LANDASAN TEORI

ANALISIS CONFLICT RATE PADA PERHITUNGAN KAPASITAS SISTEM INTERLOCKING YANG MEMPENGARUHI PENYUSUNAN FORMULASI KAPASITAS STASIUN

BAB III LANDASAN TEORI. A. Jenis Jenis dan Bentuk Tata Letak Jalur di Stasiun

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI

NASKAH SEMINAR TUGAS AKHIR STUDI POLA OPERASI JALUR KERETA API GANDA SEMBAWA-BETUNG 1

BAB III LANDASAN TEORI. A. Jenis jenis dan bentuk Tata Letak Jalur pada Stasiun

BAB III LANDASAN TEORI. A. Jenis Jenis dan Bentuk Tata Letak Jalur di Stasiun

REKAYASA JALAN REL. MODUL 11 : Stasiun dan operasional KA PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Perancangan Tata Letak Jalur di Stasiun Betung

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Rancangan Tata Letak Jalur Stasiun Lahat

BAB III METODOLOGI. mendekati kapasitas lintas maksimum untuk nilai headway tertentu. Pada

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III LANDASAN TEORI

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analaisis Tata Letak Jalur pada Stasiun Muara Enim

BAB III LANDASAN TEORI. A. Jenis jenis dan Bentuk Tata Letak Jalur di Stasiun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Peran dan Karakteristik Angkutan Kereta Api Nasional

BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 22 TAHUN 2003 TENTANG PENGOPERASIAN KERETA API. MENTERI PERHUBUNGAN,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API

TUGAS AKHIR STUDI POLA OPERASI JALUR KERETA API GANDA LINTAS LAYANAN BETUNG SUPAT BABAT SUPAT SUMBER AGUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Peran dan Karakteristik Angkutan Kereta Api Nasional

P E N J E L A S A N ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : PM. 35 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA DAN STANDAR PEMBUATAN GRAFIK PERJALANAN KERETA API

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran dan Karakteristik Angkutan Kereta Api Nasional

REKAYASA JALAN REL. MODUL 8 ketentuan umum jalan rel PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Peran Dan Karakteristik Moda Transportasi Kereta Api Nasional

PERENCANAAN JALUR GANDA KERETA API DARI STASIUN PEKALONGAN KE STASIUN TEGAL

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTRAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN...

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. angkutan kereta api batubara meliputi sistem muat (loading system) di lokasi

Naskah Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PD 3 PERATURAN DINAS 3 (PD 3) SEMBOYAN. PT Kereta Api Indonesia (Persero) Disclaimer

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 110 TAHUN 2017 TENTANG

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i ABSTRAK...ii DAFTAR ISI...iii. A. DAOP III Cirebon... II-1

2018, No Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5086), sebagaimana telah diubah dengan Perat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

STUDI POLA OPERASI JALUR GANDA LINTAS LAYANAN PALEMBANG SEMBAWA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

MENDUKUNG OPERASIONAL JALUR KERETA API GANDA MUARA ENIM LAHAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Peran dan Karakteristik Moda Transportasi Kereta Api Nasional

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Peran dan Karakteristik Angkutan Kereta Api Nasional

WESEL (SWITCH) Nursyamsu Hidayat, Ph.D.

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

EVALUASI KINERJA OPERASIONAL JALUR GANDA KERETA API ANTARA BOJONEGORO SURABAYA PASARTURI

Analisis Display Sinyal Kereta Api di Stasiun Langen

BAB III KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

b. angkutan untuk orang dan barang diberi pelayanan yang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Analisis Display Sinyal Kereta Api di Stasiun Langen

REKAYASA JALAN REL MODUL 6 WESEL DAN PERSILANGAN PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

Kajian Pola Operasi Jalur Ganda Kereta Api Muara Enim-Lahat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN

LAPORAN AKHIR KNKT

REKAYASA JALAN REL. Modul 2 : GERAK DINAMIK JALAN REL PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KINERJA OPERASI KERETA API BARAYA GEULIS RUTE BANDUNG-CICALENGKA

TUGAS AKHIR STUDI POLA OPERASI JALUR KERETA API GANDA SUMBER AGUNG-SUNGAI LILIN

TUMBURAN KA S1 SRIWIJAYA DAN KA BBR4 BABARANJANG

KNKT/KA /

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

KINERJA OPERASI KERETA BARAYA GEULIS RUTE BANDUNG-CICALENGKA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KNKT/KA.04.02/

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1. BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sejalan dengan perkembangan teknologi automotif, metal, elektronik dan

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA

LAPORAN AKHIR KNKT

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah dan pemersatu wilayah.

maupun jauh adalah kualitas jasa pelayanannya. Menurut ( Schumer,1974 ),

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 52 TAHUN 2000 TENTANG JALUR KERETA API MENTERI PERHUBUNGAN,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Tabel Hasil Hitungan Galian Dan Timbunan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

untuk melayani angkutan penumpang dan angkutan barang. Stasiun Sungai

BAB II TINJAUAN OBJEK

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

KAJIAN TARIF KERETA API KALIGUNG JURUSAN TEGAL SEMARANG BERDASARKAN BOK DAN BIAYA KETERLAMBATAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN GEOMETRIK JALUR GANDA DARI KM SAMPAI DENGAN KM ANTARA CIGANEA SUKATANI LINTAS BANDUNG JAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

, No.2007 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tamb

Transkripsi:

BAB III LANDASAN TEORI A. Tipikal Tata Letak Dan Panjang Jalur Di Stasiun 1. Tipikal Tata Letak Jalur Stasiun Tata letak stasiun atau emplasemen adalah konfigurasi jalur untuk suatu tujuan tertentu, yaitu menyusun kereta atau gerbong menjadi rangkaian yang dikehendaki dan menyimpannya pada waktu tidak digunakan. Dalam merancang tata letak jalur kereta api di stasiun harus disesuaikan dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi di lapangan, yaitu: a. Jika stasiun di wilayah relatif datar 1) Jumlah minimal jalur KA Jalur KA di stasiun operasi jalur ganda minimal 3 atau 4 jalur, agar bisa melaksanakan persilangan dan atau penyusulan dalam waktu yang hampir bersamaan. 2) Jalur Simpan Selang satu stasiun operasi, sebaiknya ditambah 1 jalur simpan, yang digunakan untuk menyimpan mesin mesin alat berat perawatan jalan rel, dengan maksud jika ada perawatan tidak perlu mengirim alat-alat berat mesin perawatan dari stasiun yang jauh atau untuk menyimpan sarana yang mengalami gangguan di perjalanan, sehingga harus dilepas dari rangkaian kereta api dan diparkir di jalur simpan. b. Jika stasiun di wilayah turunan 1) Jumlah minimal jalur KA Jalur KA di stasiun operasi jalur ganda minimal 3 atau 4 jalur, agar bisa melaksanakan persilangan dan atau penyusulan dalam waktu yang hampir bersamaan. 2) Jalur Tangkap Stasiun yang berada dikawasan turunan sebaiknya dilengkapi jalur tangkap. Letak jalur tangkap tergantung letak turunan yang menuju stasiun tersebut dan dipasang pada wesel pertama dari arah turunan menuju jalur tangkap. 12

13 Dalam penggambaran skema emplasemen, jalan rel ditunjukkan dengan garis tunggal. Emplasemen dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut. a. Emplasemen Stasiun Penumpang Emplasemen penumpang digunakan untuk memberi kesempatan kepada penumpang untuk membeli tiket, menunggu datangnya kereta api sampai naik ke kereta api melalui peron serta sebagai tempat turun dari kereta api. Emplasemen stasiun digolongkan menjadi 3 yaitu emplasemen stasiun kecil, emplasemen stasiun sedang, dan emplasemen stasiun besar. Gambar 3. 1 Contoh skema emplasemen stasiun kecil (Sumber : Utomo,2009) Gambar 3. 2 Contoh skema emplasemen stasiun sedang (Sumber : Utomo,2009)

14 Gambar 3. 3 Contoh skema emplasemen stasiun besar (Sumber : Utomo,2009) b. Emplasemen Stasiun Barang Emplasemen barang dibuat khusus untuk melayani pengiriman dan penerimaan barang. Sesuai dengan fungsinya, maka emplasemen ini biasanya terletak di dekat daerah industri, perdagangan, dan pergudangan. c. Emplasemen Langsir Gambar 3. 4 Contoh skema emplasemen barang (Sumber : Utomo,2009) Emplasemen langsir ditujukan sebagai fasilitas untuk menyusun kereta/gerbong (dan lokomotifnya). Pada suatu kebutuhan angkutan tertentu (misal kereta barang) gerbong harus disusun sedemikian rupa sehingga sesuai dengan tempat tujuannya. Penyusunan ini jangan sampai mengganggu operasi kereta api lainnya, sehingga diperlukan fasilitas tersendiri untuk keperluan tersebut, yaitu emplasemen langsir. Untuk kegiatan langsir seperti di atas, pada umumnya susunan emplasemen langsir ialah terdiri atas: a) susunan jalur

15 kedatangan, b) susunan jalur untuk pemilihan jurusan, c) susunan jalur untuk pemilihan menurut stasiun, dan d) susunan jalur keberangkatan. Gambar 3. 5 Contoh skema emplasemen langsir (Sumber : Utomo,2009) Perencanaan jalur di emplasemen stasiun direncanakan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, prakiraan peningkatan volume angkutan penumpang dan barang, serta sistem pengamanan dan lain lain. Penentuan tata letak jalur kereta api di stasiun didasarkan pada kondisi perjalananan kereta api pada waktu masih dengan sistem jalur tunggal, sebagai berikut: a. Jika pada saat digunakannya sistem jalur tunggal sering terjadi persilangan, maka bentuk emplasemen dengan jalur kereta api ganda sebagai berikut.

16 Gambar 3. 6 Emplasemen stasiun dominan bersilang penghubung di dua sisi (Sumber : Surakim, 2014) Gambar 3.7 Emplasemen stasiun dominan bersilang penghubung di satu sisi (Sumber : Surakim, 2014) b. Jika pada saat digunakannya sistem jalur tunggal sering terjadi penyusulan, sehingga pada suatu saat dapat terjadi dua kereta api yan bersilang dan satu kereta api yang disusul, maka bentuk emplasemen dengan jalur kereta api ganda sebagai berikut. Gambar 3.8 Emplasemen stasiun dominan menyusul (Sumber : Surakim, 2014)

17 c. Jika pada saat digunakan sistem jalur tunggal sering terjadi persilangan dan penyusulan, sehingga pada suatu saat terjadi dua kereta api yang bersilang dan dua kereta api lainnya atau dua kereta api yang menyusul dua kereta api lainnya, maka bentuk emplasemen dengan jalur kereta api ganda sebagai berikut. Gambar 3. 9 Emplasemen stasiun dominan bersilang dan menyusul (Sumber : Surakim, 2014) Pola operasi kereta api di emplasemen sistem jalur ganda sama sekali berbeda dengan pola operasi kerata api di sistem jalur tunggal. Pada sistem jalur tunggal, tata letak jalur stasiun gerak operasi kereta api yang saling berlawanan arah digambarkan boleh saling mengganggu (interference) yang dapat dilihat pada Gambar 3.10 sebagai berikut. Gambar 3. 10 Sistem jalur kereta api tunggal saling menganggu (Sumber : Surakim, 2014) Sebaliknya pada sistem jalur kereta api ganda, tata letak jalur gerak operasi kereta api saling berlawanan arah digambarkan tidak boleh saling mengganggu (nointerference), kecuali jika ada keadaan teknik yang tidak memungkinkannya, sebagai berikut.

18 Gambar 3. 11 Sistem jalur kereta api ganda tidak saling mengganggu (Sumber : Surakim, 2014) Jika masih dibutuhkannya tambahan jalur kereta api namun lahan terbatas, dapat ditambahkan jalur kereta api yang saling ganggu seperti pada Gambar 3.12 sebagai berikut. Gambar 3. 12 Emplasemen stasiun saling mengganggu tambahan (Sumber : Surakim, 2014) 2. Panjang Jalur Efektif di Stasiun Panjang jalur efektif menurut Peraturan Dinas No. 10 Tahun 1986 adalah panjang jalur aman untuk penempatan rangkaian sarana kereta api dari kemungkinan terkena senggolan dari pergerakan kereta api atau langsiran yang berasal dari jalur sisi sebelah menyebelahnya. Panjang jalur efektif dibatasi oleh sinyal, patok bebas wesel, ataupun rambu batas berhenti kereta api, seperti yang terlihat pada Gambar 3.13. Patok bebas wesel adalah suatu patok tanda atau batas meletakkan sarana kereta api pada daerah yang aman dari kemungkinan tersenggol oleh langsiran atau kereta lain yang sedang datang atau berangkat di jalur bersebalahan dengannya. Panjang efektif tiap-tiap emplasemen harus dicantumkan pada daftar penggunaan jalur kereta api dan dalam Reglemen Pengaman Setempat

19 (RPS). Hal ini untuk memperhitungkan panjang rangkaian suatu kereta api yang akan menyilang atau menyusul dalam keadaan aman. Panjang jalur ideal ditentukan dari daya tarik lok, untuk lok KA barang dan penumpang sebesar 480 ton. Adapun berat KA barang sebesar 45 ton terdiri dari 30 ton berat muatan dan 15 ton berat sendiri. Sedangkan KA penumpang sebesar 40 ton sudah termasuk penumpang. Jika diasumsikan sebuah rangkaian terdiri dari satu lokomotif dengan panjang 16 meter dengan menarik KA penumpang dengan panjang 20 meter, maka perhitungan panjang efektif jalur minimum sebagai berikut. - Panjang rangkaian KA = (480 ton : 40 ton 20 m) + (1 16 m) = 256 m - Panjang efektif jalur minimum = 256 + 20 m = 276 m Gambar 3.13 Panjang jalur efektif (Sumber : Peraturan Dinas No. 10 Tahun 1986) B. Pengaturan Lalu Lintas Kereta Api Di Stasiun Menurut Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api, pengaturan perjalanan kereta api terdiri atas wilayah pengaturan: 1. Setempat 2. Daerah 3. Terpusat.

20 Pengaturan perjalanan kereta api dilakukan oleh petugas pengatur perjalanan kereta api sesuai Gapeka. Petugas bertanggung jawab terhadap keselamatan urusan perjalanan kereta api di wilayah pengaturannya. Pengaturan perjalanan kereta api dilakukan dengan semboyan berupa : 1. Isyarat dari petugas pengatur perjalanan kereta api. 2. Sinyal Sinyal yang terdiri atas : a. Sinyal utama Sinyal utama terdiri dari : (i) Sinyal masuk (ii) Sinyal keluar (iii) Sinyal blok (iv) Sinyal darurat (v) Sinyal langsir b. Sinyal pembantu Sinyal pembantu terdiri dari : (i) Sinyal muka (ii) Sinyal pendahulu (iii) Sinyal pengulang c. Sinyal pelengkap. Sinyal pelengkap terdiri dari : (i) Sinyal penunjuk arah (ii) Sinyal pembatas kecepatan (iii) Sinyal berjalan jalur tunggal sementara 3. Tanda Tanda berfungsi untuk memberi peringatan atau petunjuk yang harus dipatuhi oleh masinis. 4. Marka Marka berfungsi sebagai peringatan, petunjuk, batas, atau pembeda kepada masinis mengenai kondisi tertentu pada suatu tempat tertentu yang terkait dengan perjalanan kereta api.

21 C. Rute Rute Perjalanan Kereta Api Di Stasiun Pola dan jumlah pergerakan kereta yang mungkin dapat dilakukan di suatu stasiun akan sangat mempengaruhi kapasitas sistem interlocking, kebutuhan akan emplasemen, dan kapasitas stasiun. Beberapa kajian pustaka mencatat bahwa perhitungan kapasitas stasiun tidak dapat dilepaskan dari perhitungan headway stasiun yang merupakan fungsi dari: sistem interlocking (tata letak jalur, jumlah jalur, fungsi jalur, sistem persinyalan, saling mengganggu antar jalur/rute, saling memotong rute perjalanan searah, saling memotong rute perjalanan berlawanan arah, gerakan kereta api dan atau langsiran), kecepatan kereta api dan atau langsiran, percepatan dan perlambatan, pola operasi, titik kilometer, kecepatan maksimum dan panjang rangkaian. Pembahasan kapasitas sistem interlocking tidak dapat dipisahkan dari pemahaman terkait dengan adanya konflik antara rute-rute yang dapat dibentuk oleh sistem interlocking tersebut. Analisis konflik dari pembentukan rute ini dinamakan Conflict Rate (CR). Nilai kapasitas sistem interlocking merupakan hasil dari pengurangan antara 100% dengan nilai persentase CR yang diperoleh. Kapasitas sistem interlocking dapat diinvestigasi dengan metode analitik atau dengan metode simulasi. Pada penelitian kapasitas sistem interlocking secara analitik, tata-letak dari sistem interlocking suatu stasiun dibagi menjadi bagianbagian tata-letak yang lebih kecil dan bisa dianggap sebagai kelompok wesel (element) yang berurutan dan saling terkait. Dalam satu kelompok wesel tersebut tidak boleh mengandung beberapa tersebut tidak boleh mengandung beberapa kemungkinan terjadinya rute-rute paralel. Hal ini berarti bahwa rute kereta api yang berjalan melalui suatu kelompok wesel akan berkonflik dengan rute kereta api lain yang melalui kelompok wesel yang sama (Gambar 3.14).

22 Gambar 3.14 Pembagian sistem interlocking menjadi beberapa kelompok wesel (Sumber : Pachl, 2004) Ketika 2 (dua) kereta api berjalan berurutan melalui kelompok wesel yang sama, maka headway minimum rata-rata dan tingkat pemanfaatan untuk setiap sepur KA di stasiun tersebut dapat ditentukan. Jadi, keunggulan dari penelitian kapasitas sistem interlocking dengan metode analitik dengan fokus pada kelompok weselini adalah mendapatkan informasi tentang bagian-bagian terpenting dari tatalatak sepur KA dalam sistem interlocking yang kompleks. Akan tetapi, permasalahannya adalah belum dipertimbangkannya saling ketergantungan diantara kelompok wesel di dalam kesatuan tata-letak emplasemen stasiun tersebut. Ketika dua rute mengalami konflik pada satu kelompok wesel yang sama, bisa jadi kedua rute tersebut juga mengalami konflik dengan rute ketiga yang berjalan pada kelompok wesel lainnya. Gambar 3.15 menunjukkan contoh tersebut. Rute 1 (yang berjalan melaluikelompok wesel A kemudian B) berkonflik dengan rute 2 (yang berjalan melaluikelompok wesel C kemudian A) pada kelompok wesel A. Kedua rute juga berkonflik dengan rute 3 yang berjalan melalui kelompok wesel B dan C di luar kelompok wesel A. Sehingga, penentuan headway minimum diantara kereta api rute 1 dan rute 2 yang berjalan melalui kelompok wesel A akan dipengaruhi olehkereta api rute 3. Akibatnya, akan terjadi slot-slot waktu pada rute 1 dan rute 2 meskipun kelompok wesel A tidak dipakai. Hal ini

23 berarti, kereta api rute 3 bisa menghasilkan beberapa pemakaian tidak langsung pada kelompok wesel A. Gambar 3.15 Contoh hubungan saling keterkaitan diantara 3 rute (Sumber : Pachl, 2004) Masalah ini hanya dapat dipecahkan dengan baik melalui metode simulasi. Akan tetapi, dalam susunan interlocking yang sangat kompleks, seringkali tidak mudah untuk memilih strategi simulasi yang sederhana, murah, dan dapat mengidentifikasi secara jelas bagianbagian penting dari kapasitas sistem interlockingtersebut. Pada umumnya penelitiantentang kapasitas sistem interlocking yang kompleks memerlukan biaya yang besar, tingkat pengalaman yang tinggi dalam operasi KA serta pengetahuan terperinci tentang berbagai kemungkinan dan batas-batas dari model-model komputer yang digunakan. Salah satu metode sederhana yang dapat digunakanuntuk membantu membandingkan desain-desain yang berbeda dari sisteminterlocking yang kompleks ialah dengan menggunakan Tabel Konflik Pembentukan Rute KA di Stasiun. Dalam tabel konflik rute tersebut, semua rute direpresentasikan dengan baris dan kolom seperti yang dicontohkan pada Gambar 3.16 Sementara Gambar 3.17 menunjukkan notasi asal tujuan rute berdasarkan interpretasi pada Gambar 3.16

24 Gambar 3.16 Tabel rute konflik (Sumber : Pachl, 2004) Gambar 3.17 Notasi asal dan tujuan rute pada tata-letak emplasemen kondisi awal (Sumber : Pachl, 2004)

25 Untuk sederhananya, dalam contoh ini setiap rute diberi label dengan huruf tunggal pada jalan masuk dan jalan keluar. Semua unsur tabel yang merepresentasikan rute-rute yang berkonflik ditandai dengan singkatan untuk menandai jenis konflik (berurutan, S = Self Correlation, bersilang, X = Crossing; bercabang, D = Divergen; atau bertemu, C = Convergen. Dengan bantuan dari tabel konflik rute tersebut, persentase terjadinya konflik (Conflict Rate) dapat ditentukan sebagai perbandingan antara jumlah dari kombinasi rute berkonflik dengan jumlah total dari kombinasi rute yang dapat terbentuk. Self correlation (S) = adalah hubungan antara 2 KA yang bergerak pada rute yang sama atau tumpang-tindih (asal yang sama dan tujuan yang sama). Convergen (C) = adalah hubungan antara 2 KA yang bergerak dari asal yang berbeda, tetapi tujuan yang sama, bisa diselingi dengan/tanpa persilangan terlebih dahulu (2 rute yang bergabung), contoh sketsa gambar rute convergen dapat dilihat pada Gambar 3.18. Divergen (D) = adalah hubungan antara 2 KA yang bergerak dari asal yang sama, tetapi tujuan yang berbeda (2 rute yang bercabang), contoh sketsa gambar rute divergen dapat dilihat pada Gambar 3.19. Crossing (X) = adalah hubungan antara 2 KA yang bergerak dari asal yang berbeda, dan juga tujuan yang berbeda (rute saling bersilang), contoh sketsa gambar rute crossing dapat dilihat pada Gambar 3.20. CRr = (Cij). r 2.(3.1) Dimana : CR = Persentase rute yang mengalami konflik Cij = Pembentukan kombinasi rute ij Conflict = Cij =1 ; No conflict = Cij =0 r = total rute

26 Gambar 3.18 Rute Convergen A-E Gambar 3.19 Rute Divergen A-B Gambar 3.20 Rute Crossing B-C