ANALISIS EKONOMI PEMBESARAN ITIK PETELUR SILANGAN AM & MA DI TINGKAT PETANI STUDI KASUS KECAMATAN PONGGOK, KABUPATEN BLITAR (ECONOMIC ANALYSIS OF AM AND MA CROSSED BREED DUCKS DURING GROWING PERIOD AT FARMERS LEVEL) Broto Wibowo, L. Hardi Prasetyo, E. Juarini dan Sumanto Balai Penelitian Ternak, Ciawi PO BOX, 221 Bogor 16002 ABSTRACT Economic analysis of duck farming was conducted in Blitar Regency, East Java in 1999/2000 involving a number of MAJAM crossbred duck farmers as cooperators. All inputs were provided by farmers excepts day-old ducks (DOD).Growth rate, mortaity and expenses were recorded weekly. Aim of this study was to calculate production cost of mature female ducks. The results showed that feed cost average 78% while DOD cost 16.22% of total production cost of mature female. Average of feed intake was 15.70 kg/bird with average cost Rp 15,748/duck. Production of mature female ducks was profitable with 14.70% revenue average. Economic analysis of growing cross bred of Mojosari and Alabio ducks named MA and AM were conducted in Blitar district, East Java province on year 1999/2000. Farmers as cooperators of this program reared day old ducks (DOD) of MA and AM. All production input were contributed by the farmers except the DOD. The output were given to the farmer. Data were collected every week such as body weight, mortality and feed cost. The aim of this research was to study the total cost of growing MA and AM duck at farmer level during grower period. The results showed that ducks were grown for average 128 days (min. 127 days and max. 132 days). Feed cost contribute 78.5% of total cost, and 16.22% for DOD. Average feed intake was 15.7 kg1head during grower period (min. 1Z9 kg and max. 16 kg). Average total cost was Rp. 15.748,/head (from Rp. 15.080/hea d to Rp 16.438/head). Growing MA and AM duck were profitable. The ratio between profit and cost was 14.7%. The farmers were also satisfied due to good performance of crossed ducks. Keywords : Crossbred duck, prodduction cost, income. ABSTAAK Telah dilakukan penelitian di tingkat lapang di daerah Kabupaten Blitar pada tahun 1999/2000 yang melibatkan beberapa peternak itik sebagai kooperator pemelihara itik silangan MA & AM. Kecuali bibit itik seluruh faktor produksi menjadi tanggungan peternak. Data dikumpulkan secara mingguan yang meliputi pertumbuhan, kematian clan jumlah biaya pakan yang dikeluarkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah biaya yang dikeluarkan dalam pembesaran itik hingga siap bertelur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya produksi terbesar berasal dari sektor pakan yaitu rata-rata 78,5%, sedangkan bibit menempati urutan kedua yaitu sebesar 16,22% dari seluruh biaya produksi. Rata-rata jumlah pakan yang dihabiskan sebanyak 15,70 kg/ekor, dengan biaya rata-rata Rp 15.748,/ekor. Membesarkan itik hingga mulai berproduksi masih menguntungkan dengan pendapatan rata-rata sebesar14,70%. Kata kunci : Itik silangan, biaya pembesaran, pendapatan. Makalah Penunjang (Poster) - 213
PENDAHULUAN Ternak itik merupakan salah satu ternak unggas yang cukup dikenal masyarakat Indonesia, terutama karena produksi telurnya. Sebagaimana ayam buras, ternak itik dijumpai hampir di setiap pelosok Indonesia terutama di daerah dataran rendah yang memiliki irigasi yang baik, di sekitar danau, di daerah ahran sungai, dan beberapa daerah lain yang berawa-rawa. Pada tahun 1999 dilaporkan populasi ternak itik mencapai 30.066.000 (Direktorat Jenderal Peternakan 1999). Namum demikian daerah kantong ternak itik yang terbesar masih terdapat di pulau Jawa dan Sumatera, masing-masing sebanyak 10.469.800 ekor dan 11.269.600 ekor pada tahun 1998. Peneapan teknologi dalam mendukung hasil guna yang maksimal, prinsip-prinsip manajemen modern, baik menyangkut cara pemeliharaan, pengelolaan usaha peternakan, maupun penanganan pasca panen menuntut profesionalisme. Berkembangnya teknologi sarana dan prasarana serta teknik pemeliharaan ternak yang terjadi menuntut penanganan yang tepat dalam manajemen usaha agar efisien, ekonomis dan kompetitif pada era globalisasi nanti, menyebabkan pemehharaan itik secara intensif terkurung mulai mendapat tempat sebagai usaha yang berorientasi komersial. Produktivitas itik yang masih rendah selain disebabkan oleh manajemen pemeliharaan juga adanya kendala terhadap kualitas bibit yang belum memadai. Pada umumnya pemeliharaan itk secara intensif dilakukan pada itik masa produksi, sedangkan untuk itik masa pertumbuhan pemeliharaan secara intensif terkurung belum banyak mendapat perhatian, padahal fase ini sangat berkaitan dengan prestasi produksi di masa mendatang. Konsekuensi dari tindakan ini antara lain tidak teramati tingkat pertumbuhan itik, yang sangat berhubungan dengan prestasi produksi di kemudian hari. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari suatu kelayakan ekonomis yang ditunjukkan oleh tingkat keuntungan dalam pembesaran itik secara intensif, sehingga hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi peternak dalam pengembangan usaha peternakan itik. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di daerah Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, Propinsi Jawa Timur pada tahun 1999/2000. Sebanyak 4 orang peternak digunakan sebagai kooperator. Bibit itik silangan MA/AM umur kurang dari 1 bulan dari Balai Penelitian Ternak, Ciawi diserahkan kepada peternak. Peternak dibekali buku panduan yang berisi tentang teknik pemehharaan itik. Seluruh biaya produksi menjadi tanggungan peternak dan demikian juga dengan hasilnya. 214 - Lokakarya Nasional Unggas Air2001
Pengambilan data ekonomi yang berhubungan dengan harga dilakukan melalui wawancara meliputi input produksi (tenaga, kandang, pakan) maupun out-put (harga produksi), sedangkan data teknis diambil dengan cara pengamatan langsung, yang meliputi pertumbuhan, kematian dan penggunaan pakan. Data diambil secara mingguan mulai bulan Maret sampai dengan Agustus tahun 2000. Data diolah secara diskriptif. Keadaan Umum Daerah Kabupaten Blitar Kabupaten Blitar mempunyai wilayah seluas 1.588,79 Km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 1.090.386 jiwa, yang berarti tingkat kepadatan penduduk mencapai 686 jiwa/km2. Lahan seluas 31.656 ha berupa sawah dan 109.283 ha merupakan lahan kering. Lahan kering yang ada digunakan untuk tanah tegal/ladang 45.215 ha dan tanah pekarangan 32.412 ha. (Blitar dalam angka 1999). Dari angka tersebut dapat diperhitungkan bahwa setiap kepala keluarga memiliki 0.13 ha sawah, 0.22 ha tegalan dan 0.13 ha pekarangan. Pada umumnya lahan tersebut ditanami berbagai tanaman yang meliputi tanaman pangan (padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, kedelai maupun tanaman sayuran), keadaan agroekosistem ini memungkinkan berbagai jenis ternak dapat dibudidayakan, balk ternak ruminansia besar, ruminansia kecil maupun unggas. Pemeliharaan ternak di daerah Kabupaten Blitar sangat beragam, mulai dari ternak ruminansia besar, kecil dan unggas. Khususnya populasi ternak itik dari tahun 1994 dibanding tahun 1998 (87.851 ekor dan 81.851 ekor) hampir tidak mengalami perubahan yang berarti, hal ini disebabkan adanya krisis moneter yang dimulai pada tahun 1997 (Dings Peternakan Kabupaten Blitar,1999). Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kecamatan Ponggok merupakan bagian dari 21 Kecamatan di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Kecamatan ini mempunyai wilayah seluas 103,83 Km2, yang berarti menempati 6,53% dari luas wilayah Kabupaten Blitar. Sebanyak 6.685 ha wilayah Kecamatan Ponggok merupakan lahan kering yang diperuntukkan sebagai lahan sawah (2.092 ha), tanah tegal/ladang (3.029 ha), pekarangan (3.478 ha), dan penggunaan lainnya (1.784 ha). Identitas Peternak Dalam usaha peternakan faktor manusia sebagai pengelola tidak dapat diabaikan, karena keberhasilannya dipengaruhi oleh motivasi maupun dukungan ketrampilan yang dimiliki. Makalah Penunjang (Poster) - 215
Tabel 1. Identitas petenlak(responden) Uraian Mahmud Supr Abdg Zaenal Umur (tahun) 42 44 43 39 Pengalaman (tahun) 14 10 12 9 Itik lokal dewasa (ekor) 2000 650 2500 200 Tabel 1 di atas memberikan gambaran bahwa secara keseluruhan responden yang terlibat termasuk dalam kategori usia produktif, sehingga diharapkan dapat merespon secara positif terhadap pembaruan teknologi yang ditawarkan. Dalam hal beternak itik semua responden mempunyai pengalaman yang memadai dimana pengalaman yang paling rendah 9 tahun. Dengan bekal pengalaman ini mereka dapat menguasai aspek teknis yang mendukung keberhasilan usaha. Kepemihkan itik dari masing-masing responden tergantung dari dukungan permodalan yang dimiliki, maupun tujuan usaha, sehingga kepemilikannya sangat beragam pada setiap responden. Pemeliharaan itik yang berkesinambungan dati tahun ketahun merupakan gambaran bahwa beternak itik sudah menjadi usaha yang tidak dapat dilepaskan, bahkan menjadi alternatif sebagai usaha pokok di masa mendatang. Wibowo dkk. (2000) melaporkan bahwa petemak itik di lokasi penelitian ini sudah menjalin kemitraan dengan pengusaha sehingga usaha peternakan itik berjalan sangat kondusif. Teknik Budidaya Bibit dan Peremajaan Itik Pada umumnya petemak itik di daerah penelitian ini mengawali pemeliharaan itik dengan cara membeli itik siap bertelur. Adapun jenis itik yang digunakan adalah itik Mojosari, Tegal. Bibit itik siap telur ini diperoleh dari berbagai daerah dari luar maupun dalam Kabupaten Blitar. Namun demikian salah satu daerah yang telah menjadi langganannya adalah daerah Tulung Agung, sehingga daerah ini lebih dikenal sebagai penyalur itik bibit bagi masyarakat Blitar. Peremajaan itik berdasarkan waktu sudah menjadi pola rutin di daerah lokasi penelitian, dimana waktu tersebut sangat berhubungan dengan pergantian musim, yaitu musim kemarau ke musim hujan, sehingga waktu peremajaan dapat dijadikan kalender bagi masyarakat setempat. Pada bulan September hingga bulan Oktober biasanya petemak sudah mulai melakukan pembelian. Dengan memelihara itik muda pada bulan September maka pada bulan November itik tersebut sudah bertelur bahkan dalam kondisi fisik yang 216 - Lokakarya Nasional Unggas Air 2001
prima, sehingga penurunan produksi tidak banyak terjadi. Pada bulan Nopember banyak turun hujan yang berdampak negatif terhadap tingkat produksi telur. Tabel 2 memperlihatkan bahwa pemeliharaan itik yang dilakukan dengan cara terkurung di tingkat peternak ternyata menunjukkan hasil yang cukup bagus dan dengan tingkat kematian rata-rata hanya mencapai 6,5%. Itik mulai berproduksi pada minggu ke-19 dan dengan rata-rata tingkat pertumbuhan yang cukup baik. Pakan diramu oleh masing-masing peternak sesuai dengan pengalaman mereka, dan berdasarkan perhitungan ekonomis. Tabel 2. Tingkat kematian itik silangan MA/AM Uraian Satuan Mahmd Responden Supr Abdg Zaenl Populasi Awal (ekor) 350 147 158 50 Populasi Akhir (ekor) 340 136 136 47 Kematian (ekor) 10 9 22 3 (%) 2,8 6,1 13 0,06 Umur produksi pertama (hari) 127 128 129 132 Kematian itik yang dipelihara masing-masing peternak memperlihatkan hasil yang tidak seragam, kematian ini banyak terjadi pada waktu itik masih berumur kurang dari satu bulan. Peternak menyediakan bangunan kandang pada umumnya terpisah dari bangunan rumah tinggal, bahkan berjarak cukup jauh sekitar 7 meter, kandang itik ditempatkan pada bagian di sebelah samping atau di belakang rumah. Kandang itik dirancang sedemikian rupa sehingga dalam lokasi kandang terdapat bagian yang terbuka dan beratap atau disebut atap tipe shade (Bambang Agus Mutidjo, 1995). Bagian yang terbuka dimaksudkan sebagai halaman sehingga mendapat sinar matahari langsung, dan bagian yang beratap berfungsi sebagai tempat berteduh pada siang maupun malam hari. Kandang dibangun dalam satu deretan membujur yang terdiri dari beberapa petak yang antara petak terdapat pembatas yang jelas (berupa dinding). Setiap petak mempunyai luas 24 mz- yang diisi sebanyak 30 ekor, dengan ukuran panjang 6 m dan lebar 4 m, 2,5 meter pada sisi panjang ini merupakan bagian yang beratap. Di dalam kandang dibuat 2 selokan searah lebar kandang sebagai tempat penampungan air untuk minum maupun mandi bagi itik yang ada di dalamnya, dengan ukuran lebar ± 30 cm dengan kedalaman 25 cm. Air minum berasal dari air sumur yang diangkut dengan Makalah Penunjang (Poster) - 21 7
bantuan tenaga mesin disel. Pengisian air dilakukan setiap hari (pagi ± jam 7) sehingga air bersih sebagai air minum clan mandi tersedia dengan sehat. Pemeliharaan itik terkurung memerlukan tenaga kerja untuk pengelolaan dalam kesehariannya, baik berasal dari tenaga keluarga atau tenaga di luar keluarga. Aktivitas utamanya adalah penyiapan pakan, mengangkut pakan dari gudang ke kandang itik, menyediakan air minum. Kegiatan utama yang perlu diperhatikan adalah pemberian pakan ke kandang yang harus diselesaikan dalam waktu cepat, agar ternak itik tidak mengalaini stress sehingga menimbulkan suasana gaduh di dalam kandang. Pemehharaan ternak secara intensif dengan skala 3000 ekor cukup diperlukan 2 orang tenaga, bahkan masih banyak waktu yang digunakan di luar kegiatan produksi. Setiap daerah mempunyai tarif harga tenaga kerja upahan yang berbeda. Khusus di kecamatan Ponggok maka tenaga kerja dibayar sebesar 200.000 rupiah per orang per bulan. Pemeliharaan itik secara intensif terkurung mengandung konsekuensi bahwa peternak harus menyediakan segala kebutuhan yang diperlukan untuk kelangsungan hidup itik, termasuk kebutuhan pakan, karena ternak itik dibatasi ruang geraknya. Kualitas clan kuantitas pakan yang dikonsumsi sangat tergantung dari kemampuan peternak dalam usaha pengadaannya. Pada umumnya peternak dalam menyediakan pakan masih mengacu pada pertimbangan ekonomi yang dicerminkan dalam harga pakan persatuan unit dari pada pertimbangan teknis kebutuhan gizi yang dibutuhkan ternak. Jenis pakan yang diberikan setiap peternak agak berbeda, hal ini tergantung dari ketersediaan bahan yang diperlukan maupun keadaan perekonomian peternak. Namun demikian bahan pakan yang umum diguna kan oleh semua peternak adalah konsentrat buatan pabrik, kebi (bekatul putih), dedak padi clan mineral (buatan pabrik). Jumlah pakan yang diberikan setiap peternak dalam pemeliharaan itik dari umur kui'ang 1 bulan hingga pada umur berproduksi memperoleh angka yang tidak sama (Tabel 3). Tabel 3. Jumlah pakan yang diberikan peternak (kg) Umur Responden Mahmd Supr Abdg Zaenl 0-8 mg 2.039 866,7 795.3 353 >8-produksi 2.380 1.128,8 1.332,9 401,3 0-produksi 4.419 1.979,5 2.128,2 754,3 Jika jumlah ternak itik yang hidup dihitung maka pakan dibutuhkan sebanyak 14,80 kg/ekor, sampai mulai bertelur terendah 12,9 kg, clan tertinggi 218 - Lokakarya Nasional Unggas Air 2001
16 kg atau biaya pakan rata-rata mencapai Rp 15.748,-/ekor, yang terendah Rp15.080 dan yang tertinggi Rp16.438. Penyediaan pakan dilakukan 2 kali sehari, pada pagi hari (± jam 6.30) dan sore hari (± jam 15.00). Peternak melakukan evaluasi terhadap kualitas pakan maupun kuantitasnya dari kebutuhan itik dengan cara pengamatan terhadap jumlah sisa pakan yang diberikan pada esok hari terhadap pakan yang diberikan sore hari sebelumnya. Cara ini bermanfaat untuk mengetahui kesehatan itik sekaligus sebagai langkah penghematan pakan. Aspek Ekonomi Biaya dan pendapatan pembesaran itik MA/AM dapat dihitung dengan mengetahui harga input dan output. Harga input pembesaran itik adalah sebagai berikut: Harga bibit itik betina /ekor Rp 3.000,- Harga itik siap bertelur/ekor Rp 23.000,- Kandang itik/35 ekor/th Rp 40.000,- Biaya tenaga kerja/ekor/bulan Rp 66,5 Pada Tabel 4 diperlihatkan bahwa komponen biaya produksi yang sangat menonjol adalah berasal dari pakan. Dari keempat responden dapat dihitung bahwa rata-rata biaya pakan mencapai 78,51% dari seluruh biaya produksi, dengan biaya paling rendah 77,15% dan yang paling tinggi 79,52%. Aminudin (1994) dalam penelitian lapang pada pembesaran itik jantan mendapatkan komponen pakan mencapai 65% dari biaya total. Penelitian pada itik jantan ini memerlukan waktu yang lebih singkat dari pada pembesaran itik betina. Besar kecilnya biaya yang dikeluarkan dari pakan tergantung dari jenis bahan pakan yang diberikan dan jumlah pemberiannya. Pemilihan jenis bahan pakan dan jumlah pemberian pakan sangat tergantung dari ketelitian peternak maupun keterampilan peternak tentang keperluan yang harus dipenuhi oleh itiknya. Biaya bibit yang dikeluarkan untuk itik menempati urutan kedua setelah biaya pakan, namun bila dibandingkan dengan porsi biaya pakan maka biaya untuk bibit hampir seperlima (20%) dari biaya pakan. Rata-rata biaya bibit mencapai 16,22% dari biaya produksi, paling tinggi mencapai 17,52% dan paling rendah mencapai 15,46%. Tabel 4 memperlihatkan bahwa semua peternak memperoleh penerimaan yang lebih tinggi dari pengeluarannya yang berati bahwa usaha pembesaran itik betina hingga bertelur masih mempunyai potensi keuntungan. Besar kecilnya keuntungan yang diperoleh masing-masing peternak berbeda satu dengan yang lain, sepintas bahwa keuntungan yang diperoleh mengikuti jumlah itik yang dipehhara. Presentase keuntungan Makalah Penunjang (Poster) - 219
terhadap biaya rata-rata mencapai 14,73%, dimana yang paling besar adalah 19,1% dan paling kecil 10,92%. Tabel 4. Biaya dan pendapatan pembesaran itik silang MA/AM Uraian Mahmd Supr Abdg Zaenl Jumlah ternak (ekor) 350 147 158 50 Biaya(Rp 000) DOD 1.050,0 441,0 474,0 150,0 Pakan 5.400,9 2.235,6 2.120,2 708,8 Kandang 166,6 69,9 75,2 23,8 Tenaga 116,3 48,8 52,5 16,6 Lain-lain 58,3 28,1 28,3 8,3 Jumlah =A 6.792,2 2.819,9 2.748,2 907,5 Penerimaan =B (Rp000) Itik dws 7.820,0 3.128,0 3.128,0 1.081,0 Pendapatan (Rp000) B - A 1.027,7 308,0 379,7 173,4 KESIMPULAN Nisbah yang merupakan perbandingan antara pendapatan dengan biaya rata-rata mencapai 14,73%, paling tinggi 19,1% dan terendah 10,92%. DAFTAR PUSTAKA Aminudin, A., 1994. Analisis Biaya Produksi Pada Usaha Pemeliharaa Itik Jantan di Desa Sepatan Kecamatan Sepatan, Kabupaten Dati II Tangerang, Jawa Barat. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor. Bandung. Badan Pusat Statistik. 1998. Kabupaten Blitar Dalam Angka. Jawa Timur. Direktorat Jenderal Peternakan,1999. Buku Statistik Peternakan. Jakarta. Dinas Peternakan Kabupaten Blitar. 1999. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Blitar. Jawa Timur Murtidjo,B.A.,1995. Mengelola Itik. Penerbit Kanisius Yogyakarta. Subiharta, T. Prasetyo, S. Prawirodigdo dan Iskandar., 1999. Keragaan awal Produksi Telur Itik Tegal di Daerah Pantai Utara Secara Intensif. Balai 22 0 - Lokakarya Nasional Unggas Air 2001
Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran, Fakultas Peternakan Universitas Semarang, Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro. Semarang. Wibowo. B., L. Hardi Prasetyo, E. Juarini dan Sumanto. 2000. Model Kemitraan Usaha Itik Petelur Di Kabupaten Blitar. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran. Makalah Penunjang (Poster) - 221