1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN AGAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI AGAM,

TATA CARA PEMBERIAN VAKSIN ANTI RABIES DAN SERUM ANTI RABIES

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR : 03 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran

BAB 1 : PENDAHULUAN. Rabies merupakan suatu penyakit zoonosis yaitu penyakit hewan berdarah panas yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Rabies di Indonesia

Hubungan Pengetahuan Masyarakat Pemelihara Anjing Tentang Bahaya Rabies Terhadap Partisipasi Pencegahan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Rabies telah dikenal sejak zaman dahulu dan dinilai sangat penting sehingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN KEGIATAN SURVEILANS PUSKESMAS KOTAPADANG TAHUN 2006

PROGRAM PENGENDALIAN PENYAKIT RABIES. Dinas Kesehatan Provinsi Sumbar

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA SOLOK,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae (Jallet et al., 1999). Virus rabies

WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG

ISSN situasi. diindonesia

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dan bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES

PENYAKIT RABIES DI KALIMANTAN TIMUR

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU

PARTISIPASI PEMILIK HPR TERHADAP PROGRAM PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES DI DESA ABIANSEMAL DAN DESA BONGKASA PERTIWI KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Chikungunya merupakan penyakit re-emerging disease yaitu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. tikus. Manusia dapat terinfeksi oleh patogen ini melalui kontak dengan urin

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PEMASUKAN HEWAN PENULAR RABIES KE WILAYAH PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA,

keyword Wanita 3o th Digigit anjing Rabies Antibiotik profillaksis EBM KLB Vaksinasi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan

BAB I PENDAHULUAN. dan musim hujan. Tata kota yang kurang menunjang mengakibatkan sering

DISTRIBUSI KASUS GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DAN KASUS RABIES DI KABUPATEN NGADA, PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menular pada manusia. Oleh karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit

SKRIPSI. Oleh : ELFIRA MALAHAYATI NIM FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

BAB I PENDAHULUAN. penyebarannya semakin meluas. DBD disebabkan oleh virus Dengue dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN DESA MIAU MERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENERTIBAN HEWAN TERNAK DAN HEWAN PENULAR RABIES YAITU ANJING

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. terkena virus rabies kepada manusia yang disebut dengan zoonosis. Penyakit rabies

BAB I PENDAHULUAN. Rabies yang dikenal juga dengan nama Lyssahydrophobia, rage, tollwut,

LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92. Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMELIHARAAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C.

Modul Komunikasi Informasi dan Edukasi Zoonosis (Rabies) Kata Pengantar

BAB I. dalam kurun waktu yang relatif singkat. Penyakit menular umumnya bersifat akut

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi **Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sam Ratulangi

Sebaran Umur Korban Gigitan Anjing Diduga Berpenyakit Rabies pada Manusia di Bali. (The Distribution of Ages on Victims of Rabies in Bali)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II

BAB 1 PENDAHULUAN. kepercayaan, kita dihadapkan lagi dengan sebuah ancaman penyakit dan kesehatan,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PEMELIHARAAN DAN LALU LINTAS HEWAN PENULAR RABIES DI KABUPATEN BADUNG

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio

BAB I PENDAHULUAN. yang beriklim sedang, kondisi ini disebabkan masa hidup leptospira yang

BAB I PENDAHULUAN. penyakit bermunculan. Selain Demam Berdarah (DB) juga muncul penyakit. bagian persendian (arthralgia) (Arini, 2010).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kematian di seluruh dunia akibat rabies mencapai kisaran jiwa, terbanyak di daerah pedesaan Afrika

BAB I PENDAHULUAN. puncak kejadian leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan

Gejala Penyakit CAMPAK Hari 1-3 : Demam tinggi. Mata merah dan sakit bila kena cahaya. Anak batuk pilek Mungkin dengan muntah atau diare.

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran epidemiologi..., Lila Kesuma Hairani, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Plasmodium, yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Ada empat spesies

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

BAB I PENDAHULUAN. penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe

DEFINISI KASUS MALARIA

PENDAHULUAN. zoonoses (host to host transmission) karena penularannya hanya memerlukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan snyamuk dari genus Aedes,

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGASAHAN... RIWAYAT HIDUP... ABSTRAK... v. KATA PENGANTAR. vii. DAFTAR ISI. ix. DAFTAR TABEL.

BUPATI SIJUNJUNG PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES

KEPADATAN POPULASI ANJING SEBAGAI PENULAR RABIES DI DKI JAKARTA, BEKASI, DAN KARAWANG, Salma Maroef *) '4B STRACT

BAB I PENDAHULUAN. kejadian luar biasa dengan kematian yang besar. Di Indonesia nyamuk penular

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue, ditularkan

Cakupan Vaksinasi Anti Rabies pada Anjing dan Profil Pemilik Anjing Di Daerah Kecamatan Baturiti, Tabanan

LAMPIRAN KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT AVIAN INFLUENZA

Proses Penularan Penyakit

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

BAB 1 : PENDAHULUAN. tanda-tanda awal berupa salesma disertai konjungtivitis, sedangkan tanda khas

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT AVIAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

Buletin SKDR. Minggu ke: 5 Thn 2017

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi oleh setiap bangsa dan negara. Termasuk kewajiban negara untuk

BULETIN SISTEM KEWASPADAAN DINI DAN RESPONS

PERATURAN DAERAH KOTA PAGAR ALAM NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PEMELIHARAAN HEWAN TERNAK BERKAKI EMPAT DALAM KOTA PAGAR ALAM

BAB 1 PENDAHULUAN. melalui pemberian kekebalan tubuh yang harus dilaksanakan secara terus-menerus

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil)

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai penyakit seperti TBC, difteri, pertusis, hepatitis B, poliomyelitis, dan

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 9 TAHUN 2007 SERI E.5 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2007

Transkripsi:

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rabies 2.1.1 Pengertian Rabies Rabies atau dikenal juga dengan istilah penyakit anjing gila adalah penyakit infeksi akut yang bersifat zoonosis pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies yang masuk ke keluarga Rhabdoviridae dengan genus Lysavirus dan ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies terutama anjing, kucing dan kera (Depkes RI, 2000b). Virus rabies mempunyai 6 (enam) tipe, yaitu : Tipe 1 : Strain challenge virus standard sebagai prototype, Tipe 2 : Strain lagos sebagai prototype, Tipe 3 : Strain mokola sebagai prototype, Tipe 4 : Strain duvenhage, Tipe 5 : European bat lyssavirus, Tipe 6 : Australian bat lyssavirus (Dinkes Provinsi Bali, 2010). Sumber penular penyakit rabies adalah anjing sebagai penular utama, disamping itu dapat juga ditularkan oleh kucing dan kera. Di luar negeri, disamping ketiga hewan di atas, dapat juga ditularkan melalui gigitan binatang seperti : srigala, kelelawar, skunk dan raccoon (Dinkes Provinsi Bali, 2010). Rabies di Indonesia terutama disebabkan oleh gigitan anjing pembawa virus lyssa yang bersifat neurotrop. Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR (Case Fatality Rate) 100%. Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan disebarkan 7

8 melalui luka gigitan atau jilatan (Evalina, 2009). Berdasarkan siklusnya, ada dua bentuk rabies, yakni rabies di lingkungan pemukiman (urban rabies) dan rabies di alam bebas atau hutan (sylvatic rabies) (Dharmojono, 2001). 2.1.2 Sejarah Rabies Rabies merupakan penyakit hewan yang sangat terkenal, bahkan sudah dikenal sejak ribuan tahun sebelum masehi. Prasasti rabies yang berisikan aturan denda bagi pemilik anjing, yang positif rabies menggigit manusia hingga mati telah dibuat pada zaman kekuasaan raja Hamurabi (2300 SM). Rabies pada anjing dan kucing telah digambarkan oleh Democritus (500 SM) dan Aristoteles (322 SM), Celcus (100 tahun sesudah masehi) untuk pertama kalinya memperkenalkan hubungan antara gejala takut air (hidrofobia) pada manusia dengan rabies pada hewan (Atmawinata, 2006). Di Indonesia rabies telah ditemukan sejak 1889, pada seekor kerbau di Bekasi (Dharmojono, 2001). Secara kronologis tahun kejadian penyakit rabies mulai di Jawa Barat (1948), Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1956), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), D.I.Aceh (1970), Jambi dan Yogyakarta (1971), Bengkulu, DKI Jakarta dan Sulawesi Tenggara (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), Kalimantan Tengah (1978), Kalimantan Selatan (1983) dan P. Flores (1997) (Dunia Veteriner, 2003). 2.1.3 Masa Inkubasi dan Patogenesis Masa inkubasi adalah waktu antara penggigitan sampai timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi rabies pada hewan berkisar antara 3 sampai 6 minggu

9 setelah gigitan hewan rabies (Depkes RI, 2008). Pada manusia 2 sampai 8 minggu dan paling lama 1 tahun. Masa inkubasi tergantung dari lokasi gigitan (akan semakin pendek jika gigitan semakin dekat dengan kepala), bila gigitan terdapat di banyak tempat, umur, virulensi (banyaknya virus yang masuk melalui gigitan / jilatan), banyaknya saraf pada luka gigitan (C.Bell, Palmer, & M.Payne, 1995; Depkes RI, 2008; Mahendrasari, 2009). Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas pada semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap selsel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak (Depkes RI, 2000b). Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian kearah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan-jaringannya, seperti kelenjar ludah, ginjal, dan sebagainya (Depkes RI, 2000b). 2.1.4 Tanda Tanda Penyakit Rabies pada Hewan dan Manusia Gejala yang terlihat pada umumnya adalah berupa manifestasi peradangan otak (encephalitis) yang akut baik pada hewan maupun manusia. Pada manusia keinginan untuk menyerang orang lain pada umumnya tidak ada (Hiswani, 2003). Tanda klinis pada anjing dikenal dalam tiga bentuk yaitu: a. Bentuk ganas (furious rabies) masa eksitasi panjang, kebanyakan akan mati dalam 2 sampai 5 hari setelah tanda-tanda rabies terlihat.

10 b. Bentuk diam atau dungu (dumb rabies) disini terjadi kelumpuhan (paralisa) sangat cepat menjalar keseluruh anggota tubuh dan masa eksitasi pendek. c. Bentuk asymptomatis disini memperlihatkan kejadian dimana hewan tibatiba mati dengan tidak menunjukan gejala-gejala sakit (Hiswani, 2003). Selain dari ketiga bentuk tanda klinis rabies pada anjing dan kucing bisa dijumpai tanda-tanda lain yang sering terlihat sebagai berikut: a. Pada fase prodromal hewan mencari tempat-tempat yang dingin dan menyendiri, tetapi dapat lebih menjadi agresif dan nervous. Reflek cornea berkurang/hilang, pupil meluas dan cornea kering. b. Pada fase eksitasi hewan akan menyerang siapa saja yang ada disekitarnya dan memakan barang yang aneh-aneh. Dengan berlanjutnya penyakit, mata mejadi keruh dan selalu terbuka. c. Pada fase paralisa cornea kering, mata terbuka dan kotor, semua reflek hilang dan mati (Hiswani, 2003). Tanda klinis pada hewan pemamah biak dapat dilibat seperti gelisah, gugup, liar dan adanya rasa gatal pada seluruh tubuh, kelumpuhan pada kaki belakang dan akhirnya hewan mati. Pada hari pertama atau kedua gejala klinis terlihat biasanya temperatur normal, anorexia, eskpresi wajah berubah dari biasa, sering menguak dan ini merupakan tanda yang spesifik bagi hewan yang menderita rabies (Hiswani, 2003). 2.1.5 Tanda-Tanda Rabies Pada Manusia 1. Stadium Prodromal Gejala-gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri ditenggorokan selama beberapa hari (Depkes RI, 2000b; Hendrawan, 2010).

11 2. Stadium Sensoris Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka, kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensorik (Depkes RI, 2000b; Hendrawan, 2010). 3. Stadium Eksitasi Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi dan pupil dilatasi. Bersamaan dengan stadium eksitasi ini penyakit mencapai puncaknya, yang sangat khas pada stadium ini ialah adanya macam-macam fobi, yang sangat terkenal diantaranya ialah hidrofobi. Pada stadium tindak-tanduk penderita tidak rasional kadang-kadang maniakal disertai dengan saat-saat responsif. Gejalagejala eksitasi ini dapat terus berlangsung sampai penderita meninggal, tetapi pada saat dekat kematian justru lebih sering terjadi otot-otot melemah, hingga terjadi paresis flaksid otot-otot (Depkes RI, 2000b; Hendrawan, 2010). 4. Stadium Paralis Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadangkadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang, yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan (Depkes RI, 2000b; Hendrawan, 2010). 2.1.6 Pencegahan Rabies Kasus zoonosis yaitu penyakit menular dari hewan ke manusia, cara penanganannya dan pencegahannya ditujukan pada hewan penularnya. Pada

12 manusia, vaksin rutin diberikan kepada orang-orang yang pekerja dengan resiko tinggi, seperti dokter hewan, pawang binatang, peneliti khusus hewan dan lainnya. Selain itu pencegahan rabies pada hewan dapat dilakukan dengan cara : 1. Memelihara anjing dan hewan lainnya dengan baik dan benar. Jika tidak dipelihara dengan baik dapat diserahkan ke Dinas Peternakan atau para pecinta hewan. 2. Mendaftarkan anjing ke Kantor Kelurahan/Desa atau Petugas Dinas Peternakan setempat. 3. Pada hewan virus rabies dapat ditangkal dengan vaksinasi secara rutin 1-2 kali setahun tergantung vaksin yang digunakan, ke Dinas Peternakan, Pos Kesehatan Hewan atau Dokter Hewan Praktek. 4. Semua anjing/kucing yang potensial terkena, divaksin setelah umur 12 minggu, lalu 12 bulan setelahnya, dilanjutkan dengan tiap 3 tahun dengan vaksin untuk 3 tahun, untuk kucing harus vaksin inaktif. 5. Penangkapan/eliminasi anjing, kucing, dan hewan lain yang berkeliaran di tempat umum dan dianggap membahayakan manusia. 6. Pengamanan dan pelaporan terhadap kasus gigitan anjing, kucing, dan hewan yang dicurigai menderita rabies. 7. Penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit rabies. 8. Menempatkan hewan didalam kandang, memperhatikan serta menjaga kebersihan dan kesehatan hewan. 9. Setiap hewan yang berisiko rabies harus diikat/dikandangkan dan tidak membiarkan anjing bebas berkeliaran. 10. Menggunakan rantai pada leher anjing dengan panjang tidak lebih dari 2 meter bila tidak dikandang atau saat diajak keluar halaman rumah.

13 11. Tidak menyentuh atau memberi makan hewan yang ditemui di jalan 12. Daerah yang sudah bebas rabies, harus mencegah masuknya anjing, kucing atau hewan sejenisnya dari daerah yang tertular rabies. 13. Pada area terkontaminasi dilakukan desinfeksi dari pemutih pakaian untuk menginaktifkan virus dengan cepat (Mahendrasari, 2009). 2.1.7 Cara Penanganan Setiap ada kasus gigitan hewan menular rabies harus ditangani dengan cepat dan sesegera mungkin. Untuk mengurangi/mematikan virus rabies yang masuk pada luka gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air (sebaiknya air mengalir) dan sabun atau detergent selama 10-15 menit, kemudian diberi antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat merah dan lain-lain). Lalu korban secepatnya dibawa ke Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat untuk mendapat perawatan lebih lanjut (Depkes RI, 2000b). 2.2 Vaksinasi Rabies dan Manfaatnya Terhadap Anjing, Kucing dan Kera Vaksin rabies telah dikenal sejak tahun 1879 dibuat pertama kali oleh Victor Galtier. Manfaat dari vaksin rabies adalah untuk mengendalikan penyakit rabies, mengusahakan agar hewan yang peka terhadap rabies kebal terhadap serangan virus rabies. Untuk mencapai hal tersebut, sebagian besar populasi hewan harus dikebalkan melalui vaksinasi Untuk mencapai keberhasilan vaksinasi dibutuhkan vaksin yang berkualitas baik, tersedia dalam jumlah cukup dan tepat waktu pendistribusiannya (Hiswani, 2003). Vaksin yang digunakan diprioritaskan memiliki daya proteksi lama yaitu 2-3 tahun (Soedarmono, 2009).

14 2.3 Manfaat Vaksin Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR) serta Efek samping dari pemberian SAR pada Manusia Vaksin anti rabies merupakan vaksinasi untuk memberikan perlindungan kekebalan terhadap virus rabies. Untuk memperoleh kualitas vaksin yang efektif dan efisien, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, baik vaksin yang digunakan bagi hewan maupun bagi manusia, yakni : Vaksin harus dijamin aman dalam pemakaian, vaksin harus memiliki potensi daya lindung yang tinggi, vaksin harus mampu memberikan perlindungan kekebalan yang lama, vaksin arus mudah dalam cara aplikasinya, vaksin harus stabil dan menghasilkan waktu kadaluwarsa yang lama, dan vaksin harus selalu tersedia dan mudah didapat sewaktu-waktu dibutuhkan (Depkes RI, 2000b). Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) disertai Serum Anti Rabies (SAR) harus didasarkan atas tindakan tajam. Terhadap luka resiko rendah diberi VAR saja. Yang termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka, garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan dan kaki (Depkes RI, 2000b). Terhadap luka resiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Yang termasuk luka berbahaya adalah jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka, kepala, leher), luka pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang lebar/dalam dan luka yang banyak (multipel). Pada pemberian suntikan VAR biasanya akan timbul reaksi lokal yang tidak berarti seperti kemerahan, gatal-gatal dan pembengkakan. Efek samping dari pemberian SAR yaitu terjadi serum sickness dengan gejala panas dan urtica dan terjadi syok anafilatik (Depkes RI, 2000b).

15 2.4 Upaya Pencegahan Rabies Partisipasi masyarakat merupakan peran serta masyarakat dalam pencegahan penyakit rabies. Partisipasi masyarakat dalam hal ini partisipasi pemilik hewan penular rabies menunjukkan bukti bahwa pemilik hewan penular rabies merasa terlibat dan merasa menjadi bagian dari pembangunan. Hal ini akan sangat berdampak positif terhadap keberhasilan pelaksanaan suatu program pembangunan (Depkes RI, 2003). Partisipasi masyarakat atau sering disebut peran serta masyarakat, diartikan sebagai adanya motivasi dan keterlibatan masyarakat secara aktif dan terorganinsasi dalam seluruh tahap pembangunan, mulai dari persiapan, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi serta pengembangan (Depkes RI, 2001). Tahap-tahap partisipasi masyarakat dikelompokkan menjadi 4 yaitu partisipasi dalam tahap pengenalan dan penentuan prioritas masalah, partisipasi dalam tahap penentuan cara pemecahan masalah, partisipasi dalam tahap pelaksanaan termasuk penyediaan sumber daya, partisipasi dalam dalam tahap penilaian dan pemantapan (Depkes RI, 2001). Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN), bentuk partisipasi masyarakat terdiri dari partisipasi perorangan dan keluarga, partisipasi masyarakat umum, partisipasi masyarakat penyelenggara, serta partisipasi masyarakat profesi kesehatan. Sejalan dengan itu masyarakat mempunyai kewajiban untuk melakukan upaya pemeliharaan kesehatannya sendiri, keluarga maupun lingkungan. Bahkan diharapkan ikut berperan secara aktif dalam pembangunan kesehatan (Depkes RI, 2007). Menurut Notoatmodjo, partisipasi masyarakat adalah ikut sertanya seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan permasalahan-permasalahan masyarakat tersebut. Partisipasi masyarakat di bidang kesehatan berarti keikutsertaan seluruh

16 anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri. Di dalam hal ini, masyarakat sendirilah yang aktif memikirkan, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasikan program-program kesehatan masyarakatnya. Institusi kesehatan hanya sekadar memotivasi dan membimbingnya (Notoatmodjo, 2007) Menurut Notoatmodjo dalam Malahayati (2009) menyatakan bahwa syaratsyarat tumbuhnya partisipasi dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu adanya kesempatan untuk membangun dalam pembangunan, adanya kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan dan adanya kemampuan untuk berpartisipasi. Untuk meningkatkan partisipasi, maka kesempatan, kemampuan dan kemauan berpartisipasi dalam pembangunan perlu ditingkatkan. Partisipasi Pemilik Hewan Penular Rabies dalam program pencegahan penyakit rabies antara lain memberikan vaksinasi pada anjing peliharaan, mengikat anjing dengan rantai yang panjangnya tidak lebih dari 2 meter, ketika dibawa keluar rumah anjing diikat dengan rantai yang panjangnya tidak lebih dari 2 meter serta membrangus moncongnya dan melaporkan anggota keluarga ke pelayanan kesehatan terdekat bila terjadi kasus gigitan hewan penular rabies (Malahayati, 2009). Adapun sistem pemeliharaan anjing yang benar yaitu 1. Anjing sebaiknya dirantai jangan berkeliaran di luar rumah. Anjing dirantai ± 2 meter jika rumah tidak berpagar dan anjing diberangus / dibrongsong jika dibawa keluar rumah. 2. Anjing yang dipelihara untuk tujuan tertentu hendaknya dimasukkan dalam kandang atau di pekarangan rumah yang berpagar agar tidak mengganggu orang / pejalan kaki.

17 3. Anjing harus diberi makanan dan perawatan kesehatan yang baik supaya tidak menyebabkan penyakit yang berbahaya seperti rabies. 4. Anjing divaksin secara teratur satu tahun sekali (hubungi petugas peternakan setempat atau petugas Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten). 5. Anjing liar yang tidak ada pemiliknya sebaiknya dibunuh / dimusnahkan (Dikantara, 2011). Suatu program dapat dikatakan tidak berhasil jika tidak melibatkan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, penting sekali dipertimbangkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam setiap program pembangunan khususnya pemilik hewan penular rabies dalam program pencegahan penyakit rabies (Depkes RI, 2003). Peran serta masyarakat dan kerjasama yang sinergis antar instansi pemerintah sangat diharapkan. Ini semua untuk mewujudkan Indonesia menuju bebas rabies tahun 2015 (Karyono,2010). 2.4.1 Pokok Kegiatan yang Dilaksanakan oleh Direktorat Kesehatan Hewan Departemen Pertanian dalam Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Rabies Adapun kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Peternakan yaitu 1. Hindari kejadian penggigitan a. Anjing dipelihara diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih dari 2 meter b. Anjing peliharaan diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih dari 2 meter dan moncongnya diberangus ketika hendak dibawa keluar rumah.

18 c. Anjing peliharaan tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran. 2. Vaksinasi rabies pada anjing, kucing, kera/monyet peliharaan secara teratur setiap tahun 3. Memberantas, memusnahkan atau mengeliminasi anjing liar atau yang berkeliaran dengan menggunakan umpan yang diberi racun 4. Dilakukan penangkapan anjing liar di tempat umum selanjutnya dilakukan pembunuhan (Deptan, 2006). 2.4.2 Pokok-pokok kegiatan yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal PPM & PL Departemen Kesehatan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Rabies Adapun kegitan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan yaitu 1. Vaksinasi Anti Rabies (VAR) pada kasus gigitan hewan tersangka rabies melalui pemberian Vaksisinasi Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR) di Puskesmas dan Rumah Sakit. 2. Pencucian luka gigitan hewan-hewan tersangka rabies dengan sabun atau detergen lain untuk mengurangi masuknya kuman ke dalam tubuh. 3. Melaksanakan follow up pengobatan melalui kunjungan petugas Puskesmas ke tempat penderita (Depkes RI, 2000a). 4. Melakukan pelacakan kasus gigitan tambahan melalui Penyelidikan Epidemiologi (Pe). 5. Melakukan rujukan penderita rabies ke Rumah Sakit guna perawatan intensif (Depkes RI, 2000a).

19 2.5 Hasil Penelitian yang Relevan Dari hasil penelitian mengenai hubungan pengetahuan dan sikap masyarakat tentang rabies dengan tindakan pencegahan penyakit rabies di Kelurahan Lubuk Buaya Kecamatan Kota Tangah menyatakan bahwa masyarakat telah memiliki pengetahuan baik, sikap yang positif terhadap rabies dan telah melakukan tindakan pencegahan rabies dengan baik (Yunita, 2009). Penelitian tentang status vaksinasi rabies pada anjing di Kota Makassar menyatakan bahwa cakupan vaksinasi masih sangat rendah dan rendahnya cakupan vaksinasi berasosiasi dengan cara pemeliharaan (OR= 4,3) dan pengetahuan pemilik tentang rabies (OR=3) (Utami, Sumiarto, & Susetya, 2008). Penelitian yang dilakukan di Provinsi Bali tentang kepemilikan anjing, status vaksinasi, serta pencarian pengobatan pada penderita rabies menyatakan bahwa sebagian besar penderita rabies tidak memelihara anjing (anjing) 65,6%. Penderita yang memelihara anjing sebagian besar tidak memberikan VAR (63,6%), tidak dikandangkan dilepas keluar masuk rumah dibiarkan berkeliaran bebas (Kardiwinata, 2011). Penelitian serupa yang dilakukan di Kecamatan Kuta Kabupaten Badung menyatakan bahwa 60% sistem pemeliharaan anjing dilepas keluar masuk halaman rumah dan 53,3% responden tidak memberikan VAR (Sutini, 2011). Selain itu dari hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Tanah Datar mengenai perilaku masyarakat pemilik anjing terhadap pemberian vaksin menyebutkan bahwa masih rendahnya perilaku masyarakat dalam pemberian vaksin anti rabies bagi anjingnya (Mustamar, 2001). Selain itu penelitian yang dilakukan Oleh Malahayati (2009) anjing yang tidak dipelihara dengan baik atau anjing liar/diliarkan merupakan suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah menjadi daerah endemis rabies. Pada

20 Penelitian yang dilakukan di Sumatera Barat mengenai kasus kontrol rabies pada anjing di Kabupaten Agam Sumatera Barat menyatakan bahwa sistem pemeliharaan anjing yang dilepas keluar masuk halaman rumah akan memberikan peluang yang lebih besar terjangkit rabies dibandingkan anjing yang diikat, dalam penelitian ini dinyatakan bahwa sistem pemeliharaan yang selalu dilepas berkeliaran sepanjang waktu akan memberikan peluang kontak yang lebih besar dengan anjing liar penderita rabies. (Kamil, dkk, 2003). 2.6 Pembagian Status Daerah dan Kriterianya 1. Daerah tertular kriterianya yaitu daerah yang dalam 2 tahun terakhir pernah ada kasus rabies pada hewan dan manusia (baik secara berurutan atau tunggal) secara klinis, epidemilogis dan dikonfirmasi secara laboratoris. Khusus untuk manusia kasusnya berasal dari daerah tersebut (bukan kasus import)(depkes RI, 2000a). 2. Daerah bebas kriterianya yaitu daerah yang secara historis tidak pernah ditemukan penyakit rabies, daerah yang tertular rabies tapi dalam 2 tahun terakhir tidak ada kasus secara klinis dan epidemiologis serta sudah dikonfirmasi secara laboratories (Depkes RI, 2000a). 3. Daerah Tersangka kriterianya yaitu daerah yang dalam 2 tahun terakhir ada kasus rabies secara klinis dan epidemiologis tapi belum dibuktikan secara laboratories dan daerah yang berbatasan langsung dalam satu daratan dengan daerah tertular (Depkes RI, 2000a).