BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penanganan penyembelihan hewan yang memenuhi kaidah kesejahteraan hewan (Animal Welfare) menjadi hal yang sangat penting karena tidak saja mengurangi penderitaan hewan, tetapi juga dapat meningkatkan kualitas nilai daging. Kesejahteraan hewan adalah suatu usaha untuk memberikan kondisi lingkungan yang sesuai bagi hewan sehingga berdampak pada peningkatan sistem psikologi dan fisiologi hewan. Undang-undang No.18 tahun 2009 telah mengatur tentang kesejahteraan hewan, namun pada kenyataannya pelaksanaan penanganan hewan yang memenuhi kesejahteraan hewan masih belum optimal, bahkan 2 tahun yang lalu Australia pernah menghentikan ekspor sapi ke Indonesia terkait perlakuan kasar pada sapi impor dari Australia yang disembelih di Indonesia. Pengabaian kesejahteraan hewan pada hewan akan menimbulkan ketakutan, distress dan rasa sakit. Keadaan ini dapat terjadi selama proses penyembelihan, pengangkutan dan pemasaran karena keterbatasan hewan dalam membangun kelompok sosial juga karena persediaan pakan dan minum yang buruk. Perlakuan kasar pada hewan yang akan disembelih menyebabkan penderitaan pada hewan sehingga dapat meningkatkan tingkat stres (Chambers dan Grandin,2001), oleh karena itu untuk meminimalkan stres, hewan tidak diperlakukan dengan kasar sebelum disembelih. Stres dapat menyebabkan kualitas daging menjadi menurun 1
2 karena terjadi peningkatan pemecahan glikogen otot (Colditx et al., 2006), peningkatan proses glikolisis anaerobik sampai peningkatan pembentukan asam laktat (Mounier et al., 2006), sehingga ph mengalami penurunan yang menyebabkan denaturasi protein retikulum sarkoplasma dan penurunan kapasitas pengikatan air pada jaringan. Proses tersebut menyebabkan daging menjadi nampak pucat, lembek dan eksudatif (Squires, 2003). Menurut Firgorita (2013) penyembelihan hewan ternak di Indonesia dilakukan secara halal tanpa pemingsanaan untuk tujuan keagamaan (Islam). Hewan akan dipotong tanpa pemingsanan dan dibunuh dengan cara disembelih, sehingga restrain yang tepat merupakan hal yang lebih penting dibandingkan dengan penyembelihan dengan pemingsanan terlebih dahulu, untuk itu dibutuhkan alat restrain yang tepat dalam proses penyembelihan. Menurut Caple et al. (2010) restrain dalam proses penyembelihan di Indonesia antara lain menggunakan restraining box mark 1, copy boxes, mark 4 box dan rope casting. Desain restraining box yang dipakai di beberapa RPH di Indonesia dikembangkan oleh Meat Livestock Australia (MLA) merupakan alat bantu yang berfungsi untuk memfiksasi sapi sesaat sebelum penyembelihan, sedangkan rope casting adalah proses penyembelihan menggunakan tali casting tradisional untuk menguasai gerak dan menjatuhkan hewan tersebut pada posisi rebah (Caple et al., 2010). Pada saat ini untuk mengetahui tingkat stres pada sapi yang akan disembelih di RPH, perlu dilakukan pengukuran hormon stres yakni hormon kortisolmenggunakan Radioimmunoassay (RIA) atapun Enzyme Linked
3 Immunosorbent Assay (ELISA), namun penggunaannya masih terbatas, hal ini dikarenakan mahal, kurang praktis, dan membutuhkan tenggang waktu tertentu. Perlu alternatif lain metode pengukuran tingkat stres, maka dikembangkan metode lain dengan menggunakan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR). Perumusan Masalah 1. Proses penyembelihan sapi menggunakan restrain box mark 1, copy boxes, mark 4 box dan rope casting sudah diterapkan, namun apakah terdapat perbedaan diantara proses penyembelihan ditinjau dari tingkat stres. 2. Pada saat ini untuk mengetahui tingkat stres harus dilakukan dengan mengukur kadar kortisol di dalam darah menggunakan Radioimmunoassay (RIA) atapun Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) yang mahal, serta mempunyai tenggang waktu tertentu, maka digunakan metode lain yakni Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR). Keaslian Penelitian Fatimah (2008) melakukan penelitian tentang kualitas daging sapi yang dipotong menggunakan restraining box dan tanpa restraining box menunjukkan bahwa daya ikat air daging dari RPH yang menggunakan restraining box lebihtinggi dibandingkan dengan daging dari RPH yang tidak menggunakan restraining box. Menurut Putri (2008) keempukan daging dan penggunaan restraining box di rumah penyembelihan hewan, nilai rata-rata keempukan
4 `daging yang dipotong dengan menggunakan restraining box nyata lebih tinggi daripada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box, selain itu daging yang dipotong dengan restraining box memiliki ph relatif lebih rendah dibanding tanpa restraining box (Wicaksono, 2010; Hermansyah, 2008). Kanagathara et al. (2011) melakukan penelitian pada serum darah normal manusia dengan menggunakan FTIR Mid Infrared dengan panjang gelombang antara 2960-2873 cm ¹ untuk mengetahui komponen gugus fungsional termasuk metil (=CH3) didalam serum darah. Khaustova et al. (2010) melakukan pemantauan stres fisiologis pada air liur manusia secara noninvasif dengan FTIR pada panjang gelombang 4000 600 cm ¹. Kunitsy dan Panin (2013) melakukan penelitian dengan metode FTIR spektroskopi bahwa aksi adrenalin dan kortisol menyebabkan deformasi eritrosit yang terjadi di dalam sirkulasi darah. Sepanjang penulis ketahui penelitian tentang perbandingan poses penyembelihan sapi yakni rope casting local ( RCL) dan restraining box mark 1 (RBM 1) ditinjau dari tingkat stres dengan metode FTIR belum pernah dilakukan. Adapun penelitian sejenis dari beberapa sumber ilmiah telah banyak mengkaji tentang penggunaan restraining box ditinjau dari kualitas daging sedangkan metode pengukuran FTIR banyak dilakukan dengan menggunakan sampel manusia.
5 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Membandingkan dan mengevaluasi proses penyembelihan RCL dan RBM 1 ditinjau dari tingkat stres menggunakan FTIR. 2. Memberikan rekomendasi dalam menentukan proses penyembelihan yang lebih baik ditinjau dari tingkat stres untuk meningkatkan kesejahteraan hewan. 3. Mendapatkan metode baru pengukuran tingkat stres yang lebih murah praktis, dan cepat dalam penggunaannya. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tingkat stres dengan metode pengukuran yang lebih murah dan pemilihan proses penyembelihan sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) di Indonesia,sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan hewan (animal welfare).