Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai

BAB I A. LATAR BELAKANG. morbiditas kronik dan mortalitas di seluruh dunia, sehingga banyak orang yang

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (noncommunicable

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia sekarang sedang menanggung beban ganda dalam kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. di seluruh dunia (Halbert et al., 2006). PPOK terjadi karena adanya kelainan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang

BAB I PENDAHULUAN. American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS)

BAB I PENDAHULUAN. PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut.

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut

BAB I PENDAHULUAN. prevalensi perokok dewasa per hari. Menurut data Global Adult Tobacco Survey

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Penyakit Paru Obstruktif Kronik selanjutnya disebut PPOK atau

BAB 1. Pendahuluan. Faktor perinatal menjadi faktor risiko gangguan respiratorik kronis masa

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan semakin tingginya penjanan faktor resiko, seperti faktor pejamu

BAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan

I. PENDAHULUAN. Rokok adalah gulungan tembakau yang dibalut dengan kertas atau daun. nipah. Menurut Purnama (1998) dalam Alamsyah (2009), rokok

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang besar di dunia luas dengan prevalensi, dan biaya yang tinggi. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani

BAB 1 PENDAHULUAN. polusi udara baik dalam maupun luar ruangan, serta polusi di tempat kerja. 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa

CURRICULUM VITAE. Nama : DR. Dr. Nur Ahmad Tabri, SpPD, K-P, SpP(K) Tempat, tanggal lahir : Ujung Pandang, 12 April 1959 Agama: Islam

Uji Fungsi (lung function test) Peak flow meter

BAB I PENDAHULUAN. Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS) di Indonesia tahun mendapatkan hasil prevalensi nasional untuk penyakit asma pada semua umur

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada era modern saat ini, gaya hidup manusia masa kini tentu sudah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau COPD (Chronic

BAB 1 PENDAHULUAN. yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang irreversibel (Celli & Macnee,

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam meyelesaikan UKDW

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diatasi, dikarakterisir dengan keterbatasan aliran udara yang menetap, yang

BAB I PENDAHULUAN. Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. pada paru-paru terhadap partikel asing maupun gas (GOLD, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perokok pasif atau second hand smoke (SHS) istilah pada orang lain bukan

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. Sering juga penyaki-penyakit ini disebut dengan Cronic Obstruktive Lung

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan perekonomian ke

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa

LAMPIRAN 1 LEMBAR PEMERIKSAAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Batik merupakan kain tradisional dari Indonesia yang telah diakui oleh

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

menunjukkan 19,7% diderita oleh perempuan dewasa perkotaan, 13,1% lakilaki dewasa, dan 9,8% anak-anak. Anemia pada perempuan masih banyak ditemukan

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

HUBUNGAN ANTARA KAPASITAS VITAL PAKSA DENGAN KUALITAS HIDUP PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan perhatian di Indonesia. World Health Organisation (2012)

BAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma.

BAB 1 PENDAHULUAN. menyerang lebih dari 25% populasi dewasa. (Smeltzer & Bare, 2001)

BAB I PENDAHULUAN. berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, berkembangnya kehidupan, terjadi perubahan pola struktur

Pemakaian obat bronkodilator sehari- hari : -Antikolinergik,Beta2 Agonis, Xantin,Kombinasi SABA+Antikolinergik,Kombinasi LABA +Kortikosteroid,,dll

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bahan kimia dan biologis, juga bahaya fisik di tempat kerja (Ikhsan dkk, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini kita telah hidup di zaman yang semakin berkembang, banyaknya inovasi yang telah bermunculan, hal ini

I. PENDAHULUAN. adalah perokok pasif. Bila tidak ditindaklanjuti, angka mortalitas dan morbiditas

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan. penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut.

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA

BAB I PENDAHULUAN. Amerika dan mengakibatkan kematian jiwa pertahun, peringkat ke-empat

BAB I PENDAHULUAN. ATP (Adenosin Tri Phospat) dan karbon dioksida (CO 2 ) sebagai zat sisa hasil

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG. sedang berkembang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

STATUS PEMERIKSAAN PENELITIAN : UJI LATIHAN PERNAFASAN TERHADAP FAAL PARU, DERAJAT SESAK NAFAS DAN KAPASITAS FUNGSIONAL PENDERITA PPOK STABIL

SUMMARY GAMBARAN KAPASITAS PARU PADA REMAJA PEROKOK DI DESA TULADENGGI KECAMATAN TELAGA BIRU. Dwi Purnamasari Zees

STATUS PEMERIKSAAN PENELITIAN : ANALISIS KUALITAS HIDUP PENDERITA PPOK SETELAH DILAKUKAN PROGRAM REHABILITASI PARU No : RS/No.

BAB V PEMBAHASAN. kelamin pria dipilih karena mayoritas populasi sampel di BBKPM adalah pria dan

BAB I PENDAHULUAN. menerus, maka akan terjadi perubahan pada fungsi paru-paru mereka

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Cronic Obstruktive

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dari penyebab kasus mortalitas dan morbiditas di negara-negara dengan. pendapatan tinggi dan pendapatan rendah.

Transkripsi:

Bab I Pendahuluan Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya reversibel, dan merupakan respon inflamasi yang abnormal akibat partikel atau gas yang beracun terutama akibat asap rokok (GOLD, 2011) Timbulnya eksaserbasi pada PPOK biasanya dicetuskan oleh adanya infeksi atau polusi udara dengan gejala klinis sesak nafas, batuk, peningkatan produksi sputum dan perubahan warna sputum (GOLD, 2011). Eksaserbasi ini menurunkan kualitas hidup dan mengindikasikan prognosis yang lebih buruk. Penelitian retrospektif pasien PPOK di United Kingdom terdapat 14% pasien PPOK dengan eksaserbasi meninggal dalam waktu 3 bulan [National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE), 2004]. Peningkatan angka prevalensi dan morbiditas PPOK terutama didapatkan di negara industri. World Health Organization memperkirakan pada tahun 2020 PPOK akan meningkat dan menempati urutan ke-5 dari 12 penyakit tersering di dunia dan urutan ke 3 dari 6 penyebab kematian yang tersering. Alasan peningkatan yang dramatis dari PPOK sebagai penyebab kematian yang lebih sering dibanding penyakit kardiovaskular di negara industri dan penyakit infeksi di negara berkembang dikarenakan meningkatnya jumlah perokok dan polusi lingkungan (Barnes, 2000). Tahun 2004, sekitar 34,5% penduduk Indonesia merokok dan 28,4% diantaranya merokok tiap hari (Pradoyo et al., 2005). 1

2 Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM dan PL) di lima rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkiale (33%), kanker paru (30%), dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2004). Menurut GOLD (2011), PPOK dapat diklasifikasikan menjadi derajat penyakit ringan; FEV1 80, sedang; FEV1 50-79, berat; FEV1 30-49 dan sangat berat; FEV1 <30, dengan menggunakan spirometri. Forced vital capacity (FVC) yaitu volume maksimal udara yang dapat diekspirasikan secara paksa. Forced expiratory volume in one second (FEV1) yaitu volume udara yang diekspirasikan secara paksa pada detik pertama setelah inspirasi minimal. Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui kecepatan fungsi paru untuk mengekspirasikan udara. Rasio FEV1 terhadap FVC (FEV1/FVC) secara klinis dapat menentukan derajat obstruksi ringan. Sedangkan pengukuran FEV1 saja dapat menentukan derajat obstruksi sedang, berat dan sangat berat (GOLD, 2011; Abiyoso, 2002). Pengkajian pasien PPOK adalah dengan melakukan penetapkan derajat keparahan dari penyakitnya, dampaknya pada status kesehatan pasien dan resiko eksaserbasi di masa datang, dan penentuan kelompok terapi. GOLD merekomendasikan penggunaan kuisioner Modified British Medical Research Council (mmrc) atau COPD Assesment Test (CAT) (GOLD, 2011). CAT didesain untuk mengukur dampak dari PPOK pada kehidupan pasien PPOK, dan bagaimana perubahannya seiring dengan berjalannya waktu. CAT sangat mudah

3 digunakan, dan menolong klinisi untuk membuat pasiennya lebih baik (http://www.catestonline.org, 2012). CAT direkomendasikan untuk menilai gejala, skor 10 menunjukkan gangguan status kesehatan yang signifikan (GOLD, 2011). Terapi pada PPOK antara lain bronkodilator yaitu golongan β 2 agonis, antikolinergik dan methilxantin. Pemilihan golongan bronkodilator tersebut tergantung dari kemampuan obat yang disesuaikan dengan respon pasien. Bronkodilator ini dapat meningkatkan kapasitas exercise dan memperbaiki fungsi paru, tetapi tanpa disertai adanya peningkatan FEV1 yang signifikan. Terapi glukokortikosteroid inhalasi jangka panjang tidak dapat meningkatkan FEV1, tetapi pada PPOK derajat berat dan sangat berat dengan FEV1 kurang dari 50% dapat memperbaiki keluhan klinis, demikian juga pada kondisi eksaserbasi. Pemberian terapi mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) seperti ambroxol, erdosteine, carbocysteine, iodinated glycerol juga dapat diberikan pada pasien PPOK stabil maupun dengan eksaserbasi. Terapi antibiotik diberikan pada PPOK eksaserbasi dengan gejala yang infeksius (GOLD, 2011). Erdosteine merupakan agen mukolitik yang digunakan sebagai ekspektoran pada terapi simptomatik pada keadaan stabil atau eksaserbasi akut pada bronkitis kronik. Obat ini dimetabolisme di hepar menjadi bentuk aktif dan memiliki aktivitas menghambat pembentukan glycoprotein disulphide bridges sehingga menurunkan viskositas sputum dan menghambat adhesi bakteri pada sel epitel bukal serta memiliki efek sebagai antioksidan (Dechant et al., 1996).

4 Berbagai macam derajat inflamasi pada PPOK dapat terjadi pada saluran nafas kecil dan besar sampai ke alveoli, menyebabkan hipersekresi mukus, penyempitan saluran nafas dan destruksi alveolar. Kondisi ini memberat pada eksaserbasi (Noguera, 2001). Pemberian erdosteine dapat memperbaiki keadaan ini oleh karena efeknya sebagai mukolitik, antibakteri, antioksidan dan antiinflamasi (Moretti, et al., 2007). Pertanyaan Penelitian Apakah pemberian erdosteine 2 x 300 mg selama 10 hari pada pasien PPOK stabil dapat memperbaiki derajat obstruksi yaitu meningkatkan FEV1 lebih besar daripada plasebo? Apakah pemberian erdosteine 2 x 300 mg selama 10 hari pada pasien PPOK stabil dapat memperbaiki derajat obstruksi yaitu menurunkan skor CAT lebih besar daripada plasebo? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian erdosteine 300 mg 2 kali sehari selama 10 hari terhadap perbaikan derajat obstruksi dengan melihat peningkatan FEV1 dan penurunan skor CAT pada pasien PPOK stabil dibanding dengan plasebo. Manfaat Penelitian Bagi peneliti dapat mengetahui perbedaan pengobatan dengan penambahan erdosteine pada terapi standar pada PPOK stabil, yang memiliki aktivitas mukolitik, antibakteri, antioksidan dan antiinflamasi dibandingkan

5 dengan hanya terapi standar saja yaitu pemberian bronkodilator dan kortikosteroid. Bagi pasien dapat memperoleh perbaikan karena penyakit PPOK berupa perbaikan derajat obstruksi dengan melihat peningkatan FEV1 dan penurunan skor CAT. Bagi ilmu pengetahuan dapat menambah bukti manfaat pengobatan erdosteine yang dapat memperbaiki derajat obstruksi dengan meningkatkan FEV1 dan penurunan skor CAT pada PPOK stabil. Keaslian Penelitian Dal Negro et al., (2007) meneliti pengaruh pemberian erdosteine dan acetylcysteine pada pasien PPOK derajat ringan dan sedang yang mendapat salbutamol terhadap FEV1, kadar reactive oxygen species (ROS) dan 8- isoprostane. Penelitian dilakukan secara double blind, randomized, pada 30 subyek penderita PPOK derajat ringan dan sedang. Selama 10 hari pengobatan didapatkan peningkatan FEV1 pada kelompok yang mendapat erdosteine dan salbutamol (1,694±0,017 menjadi 1,925±0,158 L, p<0.05) dan pada kelompok yang mendapat acetylcysteine dan salbutamol tidak mengalami perubahan FEV1 (1,312±0,021 menjadi 1,200±0,058 L, p<0,05). Penurunan kadar 8-isoprostane signifikan pada kelompok erdosteine dibanding kelompok acetylcysteine setelah 10 hari terapi (p<0,001). Cazzola et al., (2009) meneliti efikasi erdosteine pada pasien PPOK stabil dan eksaserbasi dalam suatu studi meta analisis yang melibatkan 15 randomized controlled trial (RCT) dengan 1046 data individu. Peneliti menilai skor gejala

6 (frekuensi batuk dan intensitas, viskositas sputum dan purulensi, kesulitan untuk mengeluarkan dahak, ronki yang terdengar saat auskultasi, sesak), yang dinilai dengan Global Efficacy Index (GEI) dan overall physician efficacy assessment (OA). Erdosteine secara signifikan menurunkan GEI dibanding dengan pembanding (plasebo atau mukolitik lain) (-1.02; 95% CI: dari - 1.60 sampai - 0.44; p = 0.0006). Yunus et al., (2007) meneliti peran erdosteine dalam mengurangi kebutuhan akan bronkodilator selama episode eksaserbasi akut pada pasien PPOK. Uji klinik dilakukan dengan desain acak, tersamar ganda dan terkontrol dengan plasebo. Parameter efikasi primer yang digunakan adalah frekuensi penggunaan bronkodilator per hari, yang dievaluasi pada hari ke-8 pengobatan. Parameter efikasi sekunder yang diukur adalah perbaikan gejala klinis (termasuk viskositas dan purulensi sputum) dan GEI. Kelompok erdosteine secara bermakna membutuhkan lebih sedikit bronkodilator dibandingkan dengan kelompok plasebo, p<0,001. Kelompok erdosteine menunjukkan perbaikan klinis yang lebih tinggi (61,9%) pada akhir studi dibandingkan dengan kelompok plasebo (46,7%), dengan perbaikan purulensi dan viskositas sputum yang sedikit lebih baik pada kelompok erdosteine. Namun demikian, perbaikan parameter sekunder tersebut belum menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik antara kedua kelompok. Sepengetahuan penulis penelitian mengenai hasil guna erdosteine dibandingkan plasebo dalam memperbaiki derajat obstruksi dengan melihat

7 peningkatan FEV1 dan penurunan skor CAT pasien PPOK stabil belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian yang kami lakukan berbeda dengan penelitian penelitian sebelumnya yaitu dilakukan pada populasi PPOK stabil dan untuk melihat pengaruh pemberian erdosteine ditambah terapi standar terhadap terapi standar saja dalam perbaikan derajat obstruksi dengan melihat peningkatan FEV1 dan penurunan skor CAT. Tabel 1. Tabel Keaslian Penelitian Peneliti Judul Metodologi Hasil Dal Negro et al., (2007) Cazzola et al., (2009) pemberian erdosteine dan acetylcysteine pada pasien PPOK derajat ringan dan sedang yang mendapat salbutamol terhadap FEV1, kadar reactive oxygen species (ROS) dan 8-isoprostane efikasi erdosteine pada pasien PPOK stabil dan eksaserbasi dengan Global Efficacy Index (GEI) dan overall physician efficacy assessment (OA) double blind, randomized, pada 30 subyek penderita PPOK derajat ringan dan sedang, selama 10 hari pengobatan meta analisis yang melibatkan 15 randomized controlled trial (RCT) dengan 1046 data individu. peningkatan FEV1 pada kelompok erdosteine dan salbutamol (1,694±0,017 1,925±0,158 L, p<0.05) dan pada kelompok acetylcysteine dan salbutamol tidak mengalami perubahan FEV1 (1,312±0,021 1,200±0,058 L, p<0,05). Erdosteine secara signifikan menurunkan GEI dibanding dengan pembanding (placebo atau mukolitik lain) (- 1.02; 95% CI: dari - 1.60 sampai - 0.44; p = 0.0006).