BAB II KAJIAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
PENGEMBANGAN MODUL PEMBELAJARAN TEMATIK INTEGRATIF SUBTEMA HUBUNGAN MAKHLUK HIDUP DALAM EKOSISTEM PENDEKATAN SAINTIFIK UNTUK KELAS 5 SD

PENGEMBANGAN MODUL PEMBELAJARAN TEMATIK INTEGRATIF SUBTEMA HUBUNGAN MAKHLUK HIDUP DALAM EKOSISTEM PENDEKATAN SAINTIFIK UNTUK KELAS 5 SD

BAHAN AJAR MODUL. Irnin Agustina D.A., M.Pd.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori perkembangan Kognitif Piaget. dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari

PENGEMBANGAN MODUL PEMBELAJARAN GEOGRAFI BER- BASIS PENDEKATAN SAINTIFIK.

PENGEMBANGAN MODUL IPA BERBASIS EKSPERIMEN MATERI PERISTIWA ALAM DI INDONESIA UNTUK SISWA KELAS V SD ARTIKEL

(Contoh) DESAIN PEMBELAJARAN PENYELENGGARAAN PROGRAM PENDIDIKAN KESETARAAN PAKET C UPT SKB KABUPATEN BANDUNG

Pengertian Bahan Ajar

Ningrum Oktaviawati: Mahasiswa FKIP Universitas jambi Page 1

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2003 Bab I Pasal I Ayat 1 menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha

I. PENDAHULUAN. Pemerintah telah berupaya untuk mengembangkan serta menyempurnakan kurikulum

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Deskripsi Hasil. biologi berbasis STS disertai MM. Bahan Kajian yang dikembangkan adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian merupakan kegiatan pencarian, penyelidikan, dan percobaan secara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu upaya untuk menciptakan manusia- manusia

BAB I PENDAHULUAN. masalah itu sendiri sehingga pembelajaran akan lebih terpusat pada siswa untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatan mutu pendidikan pemerintah. mengeluarkan berbagai kebijakan. Salah satu kebijakannya adalah mengganti

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELARAN MATERI: PENYUSUNAN RPP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai perkembangan aspek/dimensi kebutuhan masyarakat sekitar. Dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran saintifik dari kelas I sampai dengan kelas VI. Pembelajaran tematik

Keberhasilan suatu proses pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa komponen. Dalam prosesnya, siswa dituntut untuk meningkatkan kompetensinya dengan

PENERAPAN LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM KURIKULUM 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ANALISIS MUATAN IPA PADA BUKU TEKS PELAJARAN TEMATIK TERPADU SD KELAS V TEMA 1 SUBTEMA 1 WUJUD BENDA DAN CIRINYA

BAB I PENDAHULUAN. sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik,

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi siswa sehingga mereka akan tahu terhadap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. B. Perumusan Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

Bahan Ajar Interaktif Berbasis Pendekatan Saintifik pada Materi Garis dan Sudut untuk Siswa SMP

BAB I PENDAHULUAN. isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran tematik merupakan kegiatan pembelajaran dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN MODUL PROGRAM KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI UNTUK SISWA KELAS IV SD

BAB I PENDAHULUAN. pemecahan masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan kognitif, antara lahir dan dewasa yaitu tahap sensorimotor, pra

MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN HASIL BELAJAR KELAS VII C SMP NEGERI 1 KUSAN HILIR DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK PADA KONSEP EKOSISTEM

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Sementara itu, Forrest W. Parkay dan Beverly Hardeastle Stanford dalam

I. PENDAHULUAN. sepanjang hayat (long life education). Hal ini sesuai dengan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Pendidikan adalah investasi masa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelajaran IPA terpadu merupakan salah satu model implementasi kurikulum 2013 dimana pembelajaran ini dikemas

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM PEMBELAJARAN KURIKULUM Oleh: M. Lazim

BAB III METODE PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN. langkah pengembangan yaitu menganalisis kurikulum. digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut.

BAB III METODE PENELITIAN. A. Model Pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) BERDASARKAN KURIKULUM 2013 KELAS VIII DI SMP NEGERI 31 PADANG JURNAL EFRIJONI

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan tinggi. Pendidikan di Indonesia selain dilakukan di lembagalembaga

Retno Ningtyas, Tri Nova Hasti Yunianta, Wahyudi. Abstrak

1. PENDAHULUAN. Pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang dilakukan siswa guna mencapai hasil

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu faktor pendukung untuk meningkatkan kemajuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Abstrak PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dibutuhkan untuk kehidupan. (KTSP). Sesuai dengan amanat KTSP, model pembelajaran terpadu

PENGEMBANGAN MODUL BERBASIS PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERMUATAN KARAKTER PADA MATERI JURNAL KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. SD merupakan titik berat dari pembangunan masa kini dan masa mendatang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGEMBANGAN HANDOUT PEMBELAJARAN TEMATIK UNTUK SISWA SEKOLAH DASAR KELAS III

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENGEMBANGAN MODUL PEMBELAJARAN BILANGAN BULAT DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK SISWA KELAS IV SD/MI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Standard Kualifikasi Akademik dan Kompetensi, guru sebagai pendidik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Rafika Warma, Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1

Surakarta, 57126, Indonesia Surakarta, 57126, Indonesia Surakarta, 57126, Indonesia

BAB IV HASIL PENGEMBANGAN DAN PEMBAHASAN. Hasil dari penelitian ini berupa (1) sebuah LKS berbasis creative problem

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BIOLOGI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian Research and Development (R & D). Menurut Sugiyono (2011: 333),

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGEMBANGAN MODUL PENGAYAAN TEMA SELALU BERHEMAT ENERGI BAGI SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR SE GUGUS 2 KECAMATAN NGANTANG

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS. baik dari segi kognitif, psikomotorik maupun afektif.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. yang telah dilakukan, diperoleh hasil penelitian dan pembahasan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hakekat interaksi pembelajaran adalah suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan secara timbal balik antara siswa,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Pembelajara Tematik Terpadu dan Pendekatan Scientific. 1. Pengertian Pembelajaran Tematik Terpadu

PENGEMBANGAN ELECTRONIC MODULE OF CHEMISTRY MATERI IKATAN KIMIA KELAS X SMA/MA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan Classroom Action Research atau yang

BAB IV PROSES PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah dengan melakukan perubahan kurikulum. UU No. 20 Tahun

BAB II KAJIAN TEORI. A. Buku Teks 1. Pengertian Buku Teks

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA Bab ini akan membahas kajian teori yang berisi tentang dua bahasan. Bahasan yang pertama akan dijelaskan secara rinci pengertian modul, fungsi modul, karakteristik modul, unsur-unsur modul, langkah-langkah penyusunan modul, serta mengembangkan modul menjadi bahan ajar. Bahasan yang kedua berisi tentang pembelajaran tematik terpadu, pembelajaran saintifik di SD, serta modul pembelajaran tematik terpadu dalam pendekatan saintifik. Selain kajian teori bab ini berisi kajian hasil penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis pengembangan berkenaan dengan pengembangan bahan ajar modul yang akan peneliti susun. 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Bahan Ajar Modul 2.1.1.1 Pengertian Modul Adanya fasilitas dan sumber belajar yang memadai akan sangat menentukan keberhasilan implementasi Kurikulum 2013. Keaktifan siswa harus didukung dengan sumber belajar yang memadai agar dapat melatih kreativitas secara menyeluruh. Diperlukan pula kreativitas guru untuk berkreasi, berimprovisasi, berinisiatif, serta inovatif untuk mengembangkan sumber belajar yang digunakan dalam proses pembelajaran. Salah satu sumber belajar yang dapat digunakan adalah modul pembelajaran. modul diartikan sebagai sebuah buku yang ditulis dengan tujuan agar siswa dapat belajar secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan guru. Pernyataan ini dijelaskan dalam buku Pedoman Umum Pengembangan Bahan Ajar (2004) yang diterbitkan oleh Diknas (dalam Prastowo (2012:104)). Disebutkan pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa modul adalah kegiatan program belajar mengajar yang dapat dipelajari oleh siswa dengan bantuan yang minim dari guru. Hal serupa dinyatakan oleh Surahman (dalam Prastowo (2012:105-106)) yang menyatakan bahwa modul adalah satuan program pembelajaran terkecil yang dapat dipelajari siswa secara mandiri (self instructional). Lebih lanjut disebutkan Daryanto (2013:9) 9

10 menjelaskan bahwa modul merupakan salah satu bentuk bahan ajar yang dikemas secara utuh dan sistematis, di dalamnya memuat seperangkat pengalaman belajar yang terencana dan didesain untuk membantu siswa menguasai tujuan belajar yang spesifik. Badan Pengembangan Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dikutip dari St. Vembriarto, Pengantar Pengajaran Modul (Yogyakarta: Yayasan Pendidikan Paramita, 1985) (dalam Prastowo (2012:105)) mengemukakan bahwa modul adalah satu unit program kegiatan belajar mengajar terkecil yang secara terperinci menggariskan hal-hal sebagai berikut: 1. Tujuan instruksional umum. 2. Topik yang akan digunakan dalam proses pembelajaran. 3. Tujuan khusus yang akan dicapai oleh siswa. 4. Pokok yang akan dipelajari. 5. Kedudukan dan fungsi satuan (modul). 6. Peranan guru di dalam proses belajar mengajar. 7. Alat-alat dan sumber yang akan dipakai. 8. Kegiatan-kegiatan belajar yang harus dilakukan dan dihayati siswa secara berurutan. 9. Program evaluasi yang akan dilaksanakan selama proses belajar mengajar. Dari pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa modul merupakan bahan ajar yang disusun dan disajikan secara sistematis untuk mencapai tujuan dan kompetensi yang ingin dicapai. Modul dapat dipelajari dengan meminimalisir bimbingan oleh guru. Modul dibuat dengan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa sesuai tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka. Suatu modul harus menggambarkan kompetensi dasar yang akan dicapai oleh siswa, serta disajikan dengan bahasa yang baik, menarik, dan dilengkapi dengan ilustrasi/gambar yang mendukung penguasaan materi. 2.1.1.2 Fungsi Modul Prastowo (2013:107-108) mengemukakan sebagai salah satu bentuk bahan ajar, modul memiliki fungsi sebagai berikut: 1. Bahan ajar yang dapat dipelajari dan digunakan secara mandiri. Hal ini akan mengurangi tingkat ketergantungan siswa kepada guru sebagai pendidik.

11 2. Pengganti fungsi guru/pendidik. Modul sebagai bahan ajar harus mampu menjelaskan materi pembelajaran dengan baik dan mudah dipahami oleh siswa sesuai tingkat pengetahuan dan pemahaman siswa. 3. Sebagai alat evaluasi mandiri. Di dalam modul disediakan berbagai latihan soal agar dapat mengukur dan menilai sendiri tingkat penguasaannya terhadap materi yang telah dipelajari. 2.1.1.3 Karakteristik Modul Setiap bahan ajar pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik tertentu yang membedakannya dengan bentuk bahan ajar lain. Begitu pula untuk modul, bahan ajar ini memiliki beberapa karakteristik, antara lain dirancang untuk sistem pembelajaran mandiri; merupakan program pembelajaran yang utuh dan sistematis; mengandung tujuan, bahan atau kegiatan, dan evaluasi; disajikan secara komunikatif (dua arah); diupayakan agar dapat mengganti beberapa peran pengajar; cakupan bahasan terfokus dan terukur; serta mementingkan aktivitas belajar pemakai (karakteristik modul ini dikemukakan oleh Nur Mohammad dalam tulisannya berjudul Pengambangan Bahan Ajar, dari website docstoc.com, diakses pada tanggal 27 Juli 2010). Sementara itu menurut Vembriarto (dalam Prastowo (2013:110)) terdapat lima karakteristik modul pembelajaran. Pertama, modul merupakan unit pengajaran terkecil dan lengkap. Kedua, modul memuat rangkaian kegiatan belajar yang direncanakan sistematis. Ketiga, modul memuat tujuan belajar yang ingin dicapai oleh siswa. Keempat, modul memungkinkan siswa belajar secara mandiri (independent) karena modul memuat bahan yang bersifat selfinstructional. Kelima, modul adalah realisasi pengakuan perbedaan individual, yaitu salah satu perwujudan pengajaran individual. Lebih lanjut Daryanto (2013:9-11) mengemukakan bahwa pengembangan modul harus memperhatikan karakteristik sebagai berikut: 1. Self Instruction Self Instruction artinya modul dapat membantu siswa belajar secara mandiri dan meminimalisir bantuan dan keterlibatan pihak lain. Agar memenuhi karakter self instruction modul harus memuat tujuan pembelajaran yang ingin

12 dicapai, materi pembelajaran dikemas dalam unit kegiatan yang spesifik, terdapat contoh dan ilustrasi, memuat soal latihan yang dapat mengukur tingkat penguasaan siswa, kontekstual, menggunakan bahasa sesuai dengan tingkat pemahaman dan pengetahuan siswa, terdapat rangkuman materi, instrumen penilaian, umpan balik, serta terdapat informasi tentang rujukan/pengayaan yang mendukung materi pembelajaran. 2. Self Contained Self Contained artinya seluruh materi yang diperlukan dalam proses belajar mengajar termuat dalam modul agar siswa dapat mempelajari materi secara tuntas. 3. Stand Alone (Berdiri Sendiri) Stand Alone artinya penggunaan modul tidak bergantung pada bahan ajar maupun media lainnya. 4. Adaptif Modul yang dibuat diharapkan memiliki daya adaptasi terhadap perkembangan ilmu dan teknologi, serta fleksibel digunakan di berbagai perangkat keras (hardware). 5. User Friendly (Bersahabat/Akrab) User friendly berkaitan dengan penggunaan bahasa yang digunakan dalam modul. Bahasa yang digunakan harus sesuai dengan pemahaman siswa. Setiap instruksi dan paparan informasi harus dijelaskan secara baik. Hal serupa dinyatakan Pedoman Penulisan Modul yang dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2003 (dalam Chomsin & Jasmadi (2008:50-52)) dimana karakteristik modul yaitu self instructional, self contained, stand alone, adaptif, serta user friendly. Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dipaparkan disimpulkan bahwa karakteristik modul yang baik harus memenuhi beberapa kriteria yaitu mampu digunakan secara mandiri oleh siswa atau dengan kata lain mengurangi ketergantungan siswa terhadap guru/pendidik, self contained atau memuat secara lengkap dan rinci materi pembelajaran yang disampaikan, dapat digunakan dan

13 dikembangkan tanpa tergantung bahan ajar lain, bersifat adaptif, serta menggunakan bahasa dan instruksi yang mampu dikuasai oleh siswa. 2.1.1.4 Struktur Modul 2.1.1.4.1 Struktur Modul menurut Surahman Menurut Surahman (2010:2) (dalam Prastowo (2013:113-114)) menyatakan modul dapat disusun dalam struktur sebagai berikut : 1. Judul modul Bagian ini memuat nama modul dari tema atau subtema tertentu. 2. Petunjuk umum Bagian ini memuat penjelasan tentang langkah-langkah yang akan ditempuh dalam pembelajaran, meliputi : a. Kompetensi dasar b. Pokok bahasan c. Indikator pencapaian d. Referensi (diisi petunjuk guru tentang buku-buku referensi yang digunakan) e. Strategi pembelajaran (menjelaskan pendekatan, metode, langkah yang dipergunakan dalam pembelajaran) f. Lembar kegiatan pembelajaran g. Petunjuk bagi siswa untuk memahami langkah-langkah dan materi pembelajaran h. Evaluasi 3. Materi modul Bagian ini berisi penjelasan secara rinci tentang materi yang akan dipelajari. 4. Evaluasi Evaluasi ini terdapat pada akhir kegiatan pembelajaran untuk mengukur ketercapaian kompetensi siswa yang diharapkan. 2.1.1.4.2 Struktur Modul menurut Vembriarto Menurut pandangan Vembriarto dikutip dari St. Vembriarto, Pengantar Pengajaran Modul (Yogyakarta: Yayasan Pendidikan Paramita, 1985 hlm. 37-38) (dalam Prastowo (2013:114-115), unsur-unsur modul yang sedang dikembangkan di Indonesia meliputi tujuh unsur sebagai berikut :

14 1. Rumusan tujuan pengajaran yang eksplisit dan spesifik Tujuan pengajaran ini dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa yang diharapkan muncul setelah selesai mempelajari suatu modul. 2. Petunjuk untuk guru Bagian ini berisi penjelasan tentang berbagai macam kegiatan yang harus dilakukan saat mempelajari modul, waktu yang disediakan untuk menyelesaikan setiap kegiatan, alat-alat pelajaran dan sumber yang harus dipergunakan, prosedur evaluasi, serta jenis alat evaluasi yang digunakan. 3. Lembar kegiatan siswa Lembaran ini memuat materi pelajaran yang harus dikuasai siswa. Dalam lembaran kegiatan ini disertakan pula berbagai kegiatan untuk menunjang ketercapaian kompetensi. Kegiatan tersebut diantaranya pengamatan, percobaan, dan sebagainya. 4. Lembar kerja bagi siswa Materi pelajaran dalam lembar kegiatan disusun sedemikian rupa, sehingga siswa dapat secara aktif mengikuti proses belajar. 5. Kunci lembar kerja Materi pada modul tidak saja disusun agar siswa senantiasa aktif memecahkan masalah tetapi diharapkan agar siswa dapat mengevaluasi hasil belajar mereka sendiri. Oleh karena itu, pada tiap modul biasanya disertakan kunci lembar kerja. 6. Lembar evaluasi Lembar evaluasi disajikan dalam bentuk tes tertulis. Ketercapaian tujuan yang dirumuskan pada modul ditentukan oleh hasil tes akhir yang terdapat pada lembar evaluasi. 7. Kunci lembar evaluasi Item-item tes tertulis disusun dan dijabarkan dari rumusan tujuan. Hasil jawaban siswa terhadap tes yang telah dilakukan dapat digunakan untuk mengetahui ketercapaian tujuan yang dirumuskan. Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa dalam membuat modul pembelajaran tidak terjadi perbedaan yang berarti. Hal ini berdasarkan pendapat

15 para ahli yang hampir sama dimana struktur modul pembelajaran terdiri dari judul modul, petunjuk umum, materi yang akan dipelajari, petunjuk kegiatan yang dilakukan atau petunjuk kerja, serta evaluasi. Selanjutnya dirumuskan format pengembangan modul terdiri atas judul, pengantar, pendahuluan, pemetaan kompetensi dasar dan indikator, kegiatan belajar/materi pembelajaran, rangkuman materi, latihan soal, umpan balik dan tindak lanjut, serta daftar pustaka. 2.1.1.5 Langkah-Langkah Penyusunan Modul Dalam menyusun sebuah modul ada empat tahapan yang harus dilalui yaitu analisis kurikulum, penentuan judul, pemberian kode, dan penulisan modul dikutip dari Diknas, Pedoman Umum Pemilihan dan Pemanfaatan Bahan Ajar (Jakarta: Ditjen Dikdasmenum, 2004) dalam Prastowo (2013:118-131) yaitu: 1. Analisis kurikulum Tahap pertama ini bertujuan untuk menentukan materi-materi manakah yang memerlukan bahan ajar. Dalam menentukan materi, analisis dilakukan dengan cara melihat inti materi yang diajarkan serta kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai oleh siswa. 2. Menentukan judul modul Penentukan judul modul hendaknya mengacu pada kompetensi-kompetensi dasar atau materi pokok yang ada di dalam kurikulum. 3. Pemberian kode modul Pemberian kode modul dilakukan untuk mempermudah pengelolaan modul. 4. Penulisan modul Ada lima hal penting yang dijadikan acuan dalam proses penulisan modul sebagaimana yang akan dijelaskan berikut ini: a. Perumusan kompetensi dasar Rumusan kompetensi dasar pada suatu modul adalah spesifikasi kualitas yang semestinya telah dimiliki oleh siswa setelah berhasil mempelajari modul.

16 b. Penentuan alat evaluasi atau penilaian Evaluasi melibatkan sejumlah pertanyaan atau tes yang digunakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam menguasasi kompetensi dasar yang ingin dicapai. c. Penyusunan materi Penyusunan materi dibuat berdasarkan kompetensi dasar yang akan dicapai. Instruksi dan kegiatan pembelajaran harus ditulis secara jelas agar tidak membingungkan siswa. Kalimat yang disajikan harus singkat, jelas, dan efektif. Gambar-gambar yang dapat mendukung dan memperjelas isi materi juga sangat dibutuhkan. d. Urutan pengajaran Dalam kaitannya dengan urutan pengajaran, maka urutan pengajaran dapat diberikan dalam petunjuk penggunaan modul. e. Struktur modul Struktur modul dapat dibuat bervariasi tergantung pada karakter materi, ketersediaan sumber daya, dan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan. Langkah penyusunan modul juga disebutkan Daryanto (2013:16-24) yang terdiri atas: 1. Analisis kebutuhan modul, yang dilakukan dengan langkah: a) menetapkan satuan program yang dijadikan batas kegiatan; b) memeriksa program atau rambu operasional untuk pelaksanaan program; c) mengidentifikasi dan menganalisis kompetensi yang akan dipelajari; d) menyusun unit bahan yang dapat mewadahi materi; e) mengidentifikasi bahan yang belum terdapat di sekolah, dan; f) lakukan penyusunan berdasarkan prioritas kebutuhan. 2. Desain modul Untuk mendesain sebuah modul langkah yang harus ditempuh sebagai berikut: a) menetapkan kerangka bahan yang akan disusun; b) menetapkan kompetensi yang harus dikuasai siswa; c) menetapkan kemampuan spesifik yang menunjang tujuan akhir; d) menetapkan sistem evaluasi; e) menetapkan garis besar atau substansi materi; f) menetapkan materi berupa konsep atau fakta yang mendukung ketercapaian kompetensi; g) berisi tugas, soal, atau latihan; h)

17 berisi penilaian yang berfungsi untuk mengukur tingkat penguasaan siswa; i) berisi kunci jawaban. 3. Implementasi Implementasi modul dalam proses pembelajaran dilaksanakan sesuai alur yang terdapat pada modul. 4. Penilaian Penilaian yang dimaksud adalah penilaian hasil belajar untuk menguasai tingkat penguasaan siswa setelah mempelajari seluruh materi dalam modul. 5. Evaluasi dan validasi Evaluasi dilakukan untuk mengukur kesesuaian antara implementasi pembelajaran dengan desain pengembangan modul. Validasi merupakan pengujian kesesuaian modul dengan kompetensi yang diharapkan. Langkah penyusunan modul yang hampir serupa dikemukakan pula oleh Chomsin & Jasmadi (2008:43-49) yang terdiri atas a) penentuan standar kompetensi dan rencana kegiatan belajar mengajar; b) analisis kebutuhan modul; c) penyusunan draft; d) uji coba; e) validasi; f) revisi dan produksi. Berdasarkan penjelasan beberapa sumber yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah untuk membuat dan mengembangkan sebuah modul dimulai dari menganalisis kebutuhan modul, menganalisis dan mengidentifikasi kompetensi inti serta kompetensi dasar, menyusun draft modul, uji pakar serta validasi, uji coba modul, revisi, hingga menghasilkan produk berupa modul sebagai bahan ajar yang layak digunakan siswa dalam proses pembelajaran. 2.1.1.6 Mengembangkan Modul Menjadi Bahan Ajar Modul diharapkan dapat menarik dan memotivasi siswa dalam belajar. Untuk dapat mencapai harapan tersebut ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam mengembangkan modul agar menjadi bahan ajar yang hebat. Sembilan aspek yang harus diperhatikan pada saat mengembangkan modul sebagaimana dijelaskan oleh Rowntree dalam Prastowo (2013:132) yaitu: a) membantu siswa untuk menemukan cara mempelajari modul; b) menjelaskan halhal yang perlu dipersiapkan sebelum mempelajari modul; c) menjelaskan hal-hal

18 yang diharapkan dari siswa setelah selesai mempelajari modul; d) memberi pengantar tentang cara siswa dalam mempelajari modul; e) menyajikan materi sejelas mungkin; f) memberi dukungan kepada siswa agar berani mencoba segala langkah yang dibutuhkan untuk memahami materi modul; g) melibatkan siswa dalam latihan serta kegiatan yang akan membuat mereka berinteraksi dengan materi yang dipelajari; h) memberikan umpan balik (feedback) pada latihan dan kegiatan yang dilakukan siswa; i) membantu siswa untuk meringkas dan merefleksikan materi yang telah dipelajari. Lebih lanjut Rowntree mengungkapkan empat tahapan dalam pengembangan modul yang dijelaskan lebih terperinci sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi tujuan pembelajaran Tujuan dituliskan dalam kalimat yang mengandung aspek ABCD (Audience, Behaviour, Condition, dan Degree). Audience merujuk pada siswa. Behaviour menjelaskan tentang kompetensi yang diharapkan akan dikuasai setelah mempelajari modul. Condition merujuk pada situasi di mana tujuan diharapkan akan dicapai. Degree adalah tingkat kemampuan yang diinginkan dapat dikuasai oleh siswa. Contoh identifikasi tujuan pembelajaran dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Identifikasi Tujuan Pembelajaran Audience Behaviour Condition Degree Siswa Mampu mengenal keragaman kenampakan alam di Indonesia Dengan menggunakan globe atau media lain Secara baik dan benar 2. Memformulasikan garis besar materi Menurut Andriani dalam Prastowo (2013:136) ada dua hal penting yang harus diperhatikan dalam memformulasikan materi. Pertama, jangan mengembangkan materi yang terlalu tinggi bagi siswa, karena modul yang dikembangkan justru akan sulit dimengerti. Kedua, akomodasikan materi dengan tingkat pemahaman siswa.

19 3. Menuliskan materi Pada tahap menulis materi, ada empat hal penting yang harus diperhatikan yaitu a) menentukan materi yang akan ditulis; b) menentukan gaya penulisan; c) menentukan banyak kata yang digunakan, dan; d) Menentukan format dan tata letak (layout). 4. Menentukan format dan tata letak Dalam menentukan format dan tata letak terdapat tiga variabel yang mempengaruhi yaitu a) ukuran halaman dan format modul; b) kolom dan margin; c) penempatan tabel, gambar, dan diagram. Untuk mengembangkan modul menjadi bahan ajar yang baik Paulina dan Purwanto dalam Chomsin & Jasmadi (2008:54-57) menyatakan ada tiga cara yang ditempuh yaitu: 1. Starting from scratch, artinya pengembang menyusun sendiri modul yang akan dibuat. Pengembang dirasa mempunyai kepakaran dalam ilmu terkait serta memahami kebutuhan siswa. 2. Text transformation, artinya pengembang menyusun modul berdasarkan referensi atau informasi lain yang telah dikumpulkan dan dipilih sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan. 3. Compilation, artinya pembuatan modul menggabungkan penataan informasi yang disusun sendiri dengan referensi ataupun informasi lain yang sesuai. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa untuk mengembangkan modul menjadi bahan ajar yang baik dapat dilakukan secara mandiri dengan menganalisis kebutuhan dan materi yang sesuai dengan siswa. Dapat juga dengan mencari referensi ataupun informasi lain yang relevan dengan materi yang akan dibuat. Dapat juga menggabungkan atau mengkombinasikan keduanya. Dalam mengembangkan modul juga harus memperhatikan beberapa hal diantaranya tujuan pembelajaran yang akan dicapai, memformulasikan garis besar materi, menuliskan materi, serta menentukan format dan tata letak. 2.1.2 Pembelajaran Tematik Terpadu Implementasi kurikulum 2013 menggunakan pendekatan pembelajaran tematik. Pembelajaran tematik merupakan salah satu model pembelajaran terpadu

20 yang memiliki peran penting dalam meningkatkan perhatian, aktivitas belajar, dan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari. Ibnu (2013:21) menyatakan bahwa tematik terpadu memuat konsep pembelajaran yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada siswa. Penjelasan serupa dinyatakan Depdiknas, 2006:5 (dalam Trianto (2011:147)) yang menyatakan bahwa istilah pembelajaran tematik pada dasarnya adalah model pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada siswa. Penjelasan tersebut dipertegas oleh Mulyasa (2013:170) yang menyatakan pembelajaran berbasis tematik terpadu yang diterapkan pada tingkatan pendidikan dasar menyuguhkan proses belajar berdasarkan tema untuk kemudian dikombinasikan dengan mata pelajaran lainnya. Pembelajaran terpadu adalah suatu pendekatan untuk mengembangkan pengetahuan siswa berdasarkan pada interaksi dengan lingkungan dan pengalaman kehidupan siswa. Sri Anitah (2003) (dalam Trianto (2011:150)) menyatakan pembelajaran terpadu sebagai suatu konsep yang menggunakan pendekatan pembelajaran yang melibatkan konsep-konsep secara terkoneksi baik secara inter maupun antar-mata pelajaran. Lebih lanjut Hadi Subroto (2000:9) (dalam Trianto (2011:151)) menegaskan bahwa: Pembelajaran terpadu adalah pembelajaran yang diawali dengan suatu pokok bahasan atau tema tertentu yang dikaitkan dengan pokok bahasan lain, konsep tertentu dikaitkan dengan konsep lain, yang dilakukan secara spontan atau direncanakan, baik dalam satu bidang studi atau lebih, dan dengan beragam pengalaman belajar siswa, maka pembelajaran menjadi lebih bermakna. Maka pada umumnya pembelajaran tematik/terpadu adalah pembelajaran yang menggunakan tema tertentu untuk mengaitkan antara beberapa isi mata pelajaran dan pengalaman kehidupan nyata sehari-hari siswa sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna bagi siswa. Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa implementasi tematik terpadu bertujuan untuk melatih pemahaman siswa terhadap materi pelajaran agar pengetahuan yang didapat tidak parsial (sepotong-potong). Dengan melakukan proses pembelajaran menggunakan tema siswa mampu memahami materi dan

21 konsep secara utuh. Pemahaman secara utuh berdampak pada perkembangan kepribadian, kedewasaan, serta pengetahuan siswa. Bila diterapkan secara berkelanjutan akan menjadi modal penting untuk memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. 2.1.2.1 Karakteristik Tematik Terpadu Karakteristik yang harus dimunculkan dalam tematik terpadu menurut Ibnu (2013:44-55) diantaranya adalah: 1. Berpusat pada siswa (student centered) Dalam proses pembelajaran berbasis tematik terpadu siswa dipandang sebagai subjek belajar yang secara aktif terlibat dalam proses belajar mengajar dan bukan dipandang hanya sebagai objek semata. Paradigma siswa belajar dengan cara DDCT (Duduk Dengar Catat dan Hafalkan) secara perlahan harus diubah. Guru hanya berperan sebagai fasilitator dimana guru memberi ruang yang luas agar siswa dapat berekspresi sesuai dengan tema yang diajarkan. 2. Memberikan pengalaman langsung (direct experience) Siswa dihadapkan pada pembelajaran yang konkret, bukan hanya sekedar mendengarkan penjelasan dari guru ataupun membaca dari buku teks pelajaran yang ada. Siswa dapat mengamati, meraba, merasakan, serta membayangkan secara nyata objek yang dipelajari. Akan sangat membantu apabila objek yang dipelajari berkaitan langsung dengan kehidupan siswa sehari-hari. 3. Tidak terjadi pemisahan materi pelajaran secara jelas Penggabungan beberapa mata pelajaran menjadi sebuah tema bukan berarti menghilangkan esensi mata pelajaran sehingga mengaburkan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Hal ini dimaksudkan agar siswa memahami suatu substansi materi secara utuh. 4. Bersifat fleksibel Dalam proses belajar mengajar guru harus dapat bersikap luwes (fleksibel). Dalam implementasinya guru harus dapat mengaitkan satu materi pelajaran dengan materi pelajaran lainnya, bahkan guru harus mampu mengaitkan dengan nilai yang berlaku di lingkungan sehari-hari siswa seperti nilai agama, kesopanan, dan lain sebagainya.

22 5. Hasil pembelajaran disesuaikan dengan minat dan kebutuhan siswa Salah satu penyempurnaan pola pikir perumusan kurikulum diketahui bahwa standar kompetensi lulusan (SKL) kurikulum 2013 diturunkan dari kebutuhan siswa. Dengan kata lain materi pelajaran yang dikuasai oleh siswa merupakan hal yang nantinya sangat berguna, dibutuhkan, serta dapat memberikan pengaruh bagi perkembangan intelektual dan kehidupan siswa. 6. Menggunakan prinsip belajar sambil bermain dengan suasana yang menyenangkan (joyfull learning) 7. Mengembangkan komunikasi siswa Pembelajaran tematik menekankan adanya interaksi dengan siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru. Kemampuan berinteraksi merupakan salah satu indikator untuk mengukur keaktifan siswa. Kemampuan berinteraksi ini perlu dilatih karena tuntutan dunia kerja saat ini mengharuskan seseorang mempunyai kemampuan interaksi yang baik dengan orang lain agar dapat membangun team work yang berkompeten, bukan hanya mengandalkan kemampuan akademis semata. 8. Menekankan proses daripada hasil 2.1.3 Pembelajaran Saintifik di SD Di dalam kurikulum 2013 proses pembelajaran diimplementasikan dengan menggunakan pendekatan saintifik. Kurikulum 2013 menganut pandangan bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari guru kepada siswa. Siswa adalah subjek yang memiliki kemampuan untuk aktif mencari, mengolah, mengkonstruksi, dan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Mulyasa (2014:99) yang menyatakan bahwa pendekatan yang dilatihkan dan diunggulkan adalah pendekatan saintifik (saintific approach). Pembelajaran dengan pendekatan saintifik menekankan keterlibatan siswa dalam berbagai kegiatan yang memungkinkan siswa aktif dalam proses mangamati, menanya, mencoba, menalar, mengomunikasikan, dan membangun jejaring. Empat kemampuan yang disebutkan pertama dibutuhkan dalam rangka pembentukan kemampuan personal, sedangkan membangun jejaring merupakan kemampuan interpersonal. Pendekatan saintifik juga berguna untuk melatih

23 kemampuan soft skill dan hard skill. Hal ini sesuai dengan pendapat Imas & Berlin (2014:26) yang menyatakan bahwa proses pembelajaran Kurikulum 2013 khususnya di tingkat Sekolah Dasar dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan saintifik yang menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan dan menyeimbangkan antara soft skill dan hard skill. Dalam pedoman pembelajaran tematik terpadu (Permendikbud No 57 Tahun 2014) dinyatakan bahwa dalam implementasi kurikulum 2013 pendekatan yang digunakan adalah pendekatan saintifik. Di dalam pembelajaran siswa difasilitasi untuk terlibat secara aktif mengembangkan potensi yang dimiliki untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. Keaktifan siswa ini terlampir dalam lampiran I Permendikbud No 57 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa pembelajaran siswa aktif mencari semakin diperkuat dengan pendekatan pembelajaran saintifik. Lebih lanjut Hosnan (2014:34) menyatakan implementasi kurikulum 2013 dalam pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar siswa secara aktif mengonstruk konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan mengamati, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengomunikasikan konsep. Dalam pelaksanaan proses pembelajaran terdapat langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan saintifik. Hosnan (2014: 37) mengemukakan 6 langkah yang digunakan dalam saintifik yaitu a) mengamati (observing); b) menanya (questioning); c) mengumpulkan informasi; d) mengasosiasi/mengolah informasi/menalar (associating); e) mengomunikasikan; dan f) membentuk jejaring (networking). Langkah pembelajaran saintifik juga dikemukakan oleh Imas & Berlin (2014:26) yang menyatakan bahwa terdapat 5 langkah dalam mengimplementasikan saintifik yaitu a) mengamati (observing); b) menanya (questioning); c) menalar (associating); d) mencoba (experimenting); dan e) membentuk jejaring atau mengomunikasikan (networking). Langkah serupa dijelaskan dalam Permendikbud Nomor 81A tentang Implementasi Kurikulum dimana terdapat 5 langkah dalam mengimplementasikan saintifik yaitu a)

24 mengamati; b) menanya; c) mengumpulkan informasi/eksperimen; d) mengasosiasikan/mengolah informasi; dan e) mengomunikasikan. Dari beberapa pendapat di atas dapat diketahui bahwa penerapan pendekatan saintifik menuntut keterlibatan aktif siswa karena pada dasarnya mereka adalah pusat dari tujuan dan pembentukan kompetensi yang ingin dicapai. Dalam pendekatan saintifik setiap materi pembelajaran yang baru harus dikaitkan dengan pengetahuan dan pengalaman siswa yang sudah ada sebelumnya. Pendekatan ini diharapkan mampu meningkatkan tingkat berpikir kritis dan kreativitas siswa. Dalam mengimplementasikan pendekatan saintifik dalam proses pembelajaran terdapat 5 langkah/tahapan yang harus dilakukan yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi/menalar, dan mengomunikasikan. 2.1.4 Modul Pembelajaran Tematik Terpadu dalam Pendekatan Saintifik Berdasarkan uraian mengenai bahan ajar modul, model pembelajaran tematik terpadu, dan pendekatan saintifik dapat diketahui bahwa modul yang akan dikembangkan merupakan bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan menggabungkan beberapa materi pelajaran menjadi satu kesatuan tema yang utuh dengan menggunakan pendekatan saintifik. Fakta di lapangan yang mengungkapkan bahwa masih terdapat permasalahan terkait dengan materi pelajaran pada buku siswa masih berdiri sendiri serta masih kurang sesuainya silabus, KD, serta substansi materi pada buku pegangan siswa, maka dapat diidentifikasi karakter bahan ajar modul yang akan peneliti susun adalah sebagai berikut: 1. Dikemas sesuai dengan karakteristik siswa 2. Menggunakan bahasa yang komunikatif sesuai dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman siswa 3. Menggunakan pendekatan saintifik 4. Modul dibuat dalam lingkup satu subtema yang terdiri dari enam pembelajaran 5. Memadukan aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik serta mengedepankan nilai religi yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

25 2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Hasil penelitian yang relevan atau hampir sama dengan penelitian ini yaitu: Pengembangan Modul Pembelajaran Sains Berbasis Integrasi Islam-Sains untuk Peserta Didik Difabel Netra MI/SD Kelas 5 Semester 2 Materi Pokok Bumi dan Alam Semesta oleh F. Yuliawati, M.A. Rokhimawan, J. Suprihatiningrum pada tahun 2013. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti diperoleh kesimpulan bahwa modul yang dikembangkan layak digunakan karena memiliki kualitas Baik (B) dengan persentase keidealan sebesar 74,31%, berdasarkan penilaian dari 1 ahli media (pendidik SLB), dan reviewer (2 pendidik SD inklusi dan 1 pendidik SLB). Penelitian sejenis dilakukan oleh Izzati, dkk (2013) dengan judul Pengembangan Modul Tematik dan Inovatif Berkarakter pada Tema Pencemaran Lingkungan untuk Siswa Kelas VII SMP. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa modul yang dikembangkan efektif untuk meningkatkan keaktifan, hasil belajar, dan karakter siswa. Peningkatan keaktifan siswa dapat dilihat dari kegiatan praktikum dan diskusi yang dilakukan. Keaktifan siswa pada saat praktikum mencapai 75% dan pada saat diskusi mencapai 80,5%. Dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan keaktifan sebesar 5,5%. Peningkatan hasil belajar diketahui dari ketercapaian KKM IPA secara klasikal sebesar 100% dari KKM yang ditentukan sebesar 75. Peningkatan karakter siswa dianalisis menggunakan uji gain yang menunjukkan bahwa peningkatan karakter siswa secara menyeluruh berada pada kategori sedang dengan perolehan faktor-g sebesar 0,35. Perolehan peningkatan karakter dalam kategori sedang bukan berarti pengembangan modul tidak memberikan hasil yang maksimal. Hal ini dikarenakan jangka waktu penelitian yang terbatas. I Gusti Ayu Rusmiati, dkk (2003) melakukan penelitian dengan judul Pengembangan Modul IPA dengan Pendekatan Kontekstual untuk Kelas V SD Negeri 2 Semarapura Tengah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata hasil belajar sebelum dan sesudah menggunakan modul IPA kontekstual. Nilai rata-rata pretest sebesar 52,33 dan nilai rata-rata posttest siswa yakni 81,67 berada pada kualifikasi baik dan berada

26 di atas KKM mata pelajaran IPA sebesar 70. Melihat rata-rata nilai posttest lebih besar dari rata-rata nilai pretest dapat disimpulkan bahwa penggunaan modul IPA dengan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Nasrul Fauzi (2015) melakukan penelitian Pengembangan Modul Pembelajaran IPA Berbasis Nilai-Nilai Humanis John P. Miller untuk Meningkatkan Kepekaan Sosial Peserta Didik MI/SD Kelas IV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk yang dikembangkan layak digunakan sebagai media pembelajaran. Hal ini didasarkan pada skor penilaian yang diperoleh melalui tahap uji coba yang mencapai kategori baik. Observasi nilai-nilai humanis (kepekaan sosial) pada uji coba skala kecil mencapai 87,01% dan pada uji coba skala besar sebelum penggunaan modul mencapai 46,5% menjadi 83% setelah menggunakan modul yang berarti kepekaan sosial siswa meningkat secara signifikan. Berdasarkan beberapa penelitian relevan diatas peneliti akan melakukan penelitian serupa dengan pengembangan bahan ajar modul pembelajaran tematik integratif subtema Hubungan Makhluk Hidup dalam Ekosistem pendekatan saintifik untuk kelas 5 SD. 2.3 Kerangka Berpikir Dalam kegiatan proses belajar mengajar diperlukan bahan ajar yang mendukung ketercapaian kompetensi siswa yang diharapkan. Bahan ajar dapat berupa modul pembelajaran yang disusun secara sistematis untuk mempermudah siswa dalam memahami materi. Berdasarkan penjelasan dalam kajian teori sebelumnya bahwa untuk membuat modul pembelajaran yang baik harus memperhatikan beberapa hal. Penggunaan modul pembelajaran yang dilakukan oleh penelitian sebelumnya terbukti efektif dalam menunjang proses pembelajaran serta dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Melihat permasalahan yang terjadi dalam mengimplementasikan kurikulum 2013 yang berkenaan dengan buku pegangan siswa yang masih dipandang sebagai sumber belajar utama peneliti akan mengembangkan modul pembelajaran dengan subtema Hubungan Makhluk Hidup dalam Ekosistem. Modul yang dikembangkan diharapkan dapat membantu siswa dalam memahami

27 materi dan melatih kemandirian siswa dalam proses belajar mengajar. Modul disusun berdasarkan karakteristik siswa dan berisi substansi yang bersifat kontekstual sesuai dengan kehidupan sehari-hari siswa. Materi yang disajikan dalam modul dikemas berbasis tema agar muatan dalam modul tidak lagi terpisahpisah. Selain itu materi yang ada pada modul diajarkan melalui pendekatan saintifik untuk melatih tingkat berpikir siswa serta metih daya kreativitas. Dengan mengembangkan modul pembelajaran tematik integratif dengan pendekatan saintifik diharapkan efektivitas pembelajaran dapat tercapai dan tentunya meningkatkan hasil belajar siswa. 2.4 Hipotesis Pengembangan Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis pengembangan sebagai berikut: 1. Modul pembelajaran berdasarkan pendekatan saintifik untuk siswa kelas 5 SD dapat dikembangkan dengan model desain pembelajaran ADDIE dengan langkah analysis, design, development, implementation, dan evaluation. 2. Modul pembelajaran berdasarkan pendekatan saintifik untuk siswa kelas 5 SD pembelajaran tematik integratif valid. 3. Modul pembelajaran berdasarkan pendekatan saintifik untuk siswa kelas 5 SD pembelajaran tematik integratif efektif.