I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terluas di dunia, dengan 17.504 buah pulau dan garis pantai mencapai 104.000 km. Total luas laut Indonesia adalah sekita 3,544 juta km 2 atau setara dengan 70% wilayah Indonesia. Oleh karena itu, seharusnya industri perikanan menjadi sektor riil yang potensial di Indonesia. Potensi ekonomi sektor perikanan di Indonesia diperkirakan mencapai 82 US dolar pertahun, meliputi perikanan tangkap, budidaya laut, perairan umum, budidaya tambak, budidaya air tawar, dan bioteknologi kelautan (Anonim, 2011). Tingkat konsumsi rata-rata penduduk Indonesia pada tahun 1998 sebesar 17 kg/orang/tahun, dan pada tahun 2003 mencapai 23 kg/orang/tahun. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan konsumsi ikan nasional naik sebesar 10 persen atau sebesar 34,4 kg per tahun.apabila dibandingkan dengan tingkat konsumsi ikan rata-rata per kapita per tahun di Hongkong, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, Amerika Serikat dan Malaysia berturut-turut adalah 80, 70, 65, 60, 35, 30 kg dan Jepang rata-rata 110 kg/orang/tahun, sehingga Jepang merupakan bangsa dengan kualitas kesehatan serta kecerdasan tertinggi di dunia, namun demikian, hingga saat ini mengonsumsi ikan belum menjadi gaya hidup keluarga di tanah air. Hingga tahun 2006, tingkat konsumsi ikan penduduk Indonesia baru mencapai 25,03 kg/tahun atau meningkat sebesar 4,51% dari tahun 2005 sebesar 23,95/kg/kapita/tahun (Hutagalung, 2007). 1
Berdasarkan data Kantor Statistik dan Dinas Perikanan dan Kelautan DIY tahun 2008, konsumsi ikan di provinsi DIY sebesar 17,03 kg/kapita/tahun. Namunberdasarkan data tersebut, DIY masih dikatakan defisit dalam produksi ikan. Adapun ikan air tawar yang sudah secara intensif di budidayakan adalah nila, gurame, dan lele, yang sudah cukup dikenal oleh semua lapisan masyarakat (Anonim, 2012). Selain beberapa jenis ikan air tawar yang sudah intensif dibudidayakan tersebut, terdapat salah satu jenis ikan air tawar yang potensial secara ekonomi namun masih jarang dibudidayakan, yaitu ikan wader. Salah satu jenis ikan wader yang terdapat di Yogyakarta adalah ikan wader pari (Sentosa & Djumanto, 2010). Ikan wader pari (Rasbora lateristriata Bleeker) merupakan ikan air tawar yang sering ditemukan hidup berkelompok di dasar sungai-sungai kecil berbatu yang berarus sedang dengan kisaran suhu antara 22-24 C dan ph perairan antara 6,0 6,5. Ikan tersebut memiliki sebaran yang cukup luas di daerah tropis, terutama di kawasan Asia Tenggara (Nelson, 2006). Kottelat et al. (1993) menunjukkan bahwa R. lateristriata di Indonesia tersebar di wilayah Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, dan Lombok. Di wilayah DIY, ikan wader pari merupakan salah satu jenis ikan yang ditemukan di sungai Ngrancah yang mengalir dari lereng Gunung Turgo menuju Waduk Sermo. Sungai tersebut membentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Ngrancah yang merupakan daerah tangkapan hujan (catchment area) bagi Waduk Sermo yang meliputi areal seluas 19,3106 km 2 di kabupaten Kulonprogo (Suharno, 1999). Ikan wader pari merupakan alternatif sumber protein yang penting bagi masyarakat sekitar sebagai ikan konsumsi dengan cita rasa daging 2
yang lezat (Djumanto et al., 2008). Ikan wader pari merupakan ikan ekonomis penting di wilayah DAS Ngrancah sehingga masyarakat setempat menjadikannya sebagai target tangkapan yang utama.saat ini permintaan terhadap ikan wader juga meningkat seiring dengan meningkatnya industri kuliner ikan wader di daerah Yogyakarta. Hal ini sudah terjadi pada populasi ikan wader pari di sungai Ngrancah, Kulonprogo, yang berdampak pada penurunan populasi ikan wader pari di sungai tersebut (Sentosa & Djumanto, 2010). Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan mengenai aspek biologis ikan wader pari terutama aspek reproduksi, yang diharapkan dapat digunakan untuk pengelolaan budidaya ikan wader pari. Salah satu upaya awal yang dapat dilakukan untuk budidaya ikan wader adalah dengan mempelajari perbedaan sifat antara individu jantan dan betina sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas saat pemijahan. Sifat tersebut adalah ukuran (sexual size dimorphism) dan bentuk tubuh (sexual shape dimorphism).perbedaan sifat yang dimiliki oleh individu jantan dan betina dalam satu spesies disebut seksual dimorfisme. Seksual dimorfisme adalah salah satu pola dan mekanisme yang digunakan untuk menjelaskan keanekaragaman hayati, yang saat ini sedang menjadi perhatian dalam kajian evolusi dan ekologi (Berns, 2013). Contoh pola seksual dimorfisme pada ikan adalah sirip anal pada ikan Poecilia reticulata (ikan gupy)jantan dewasa yang terletak lebih anterior daripada letak sirip anal individu betina dewasa (Arisaka & Hamai, 1975). Ikan Gasterosteus aculeatus jantan dewasa memiliki kepala yang lebih besar dan mulut yang lebih lebar daripada individu betina dewasa. Sedangkan secara umum, ukuran individu betina memiliki ukuran tubuh lebih panjang daripada jantan 3
(Kitano et al., 2007). Namun, sampai saat ini belum ada penelitian mengenai struktur anatomis tulang yang membedakan antara individu jantan dan betina pada ikan. Oleh karena itu, kajian seksual dimorfisme yang dikaji melalui struktur anatomis tulang penting untuk dilakukan. Salah satu cara untuk menganalisis seksual dimorfisme (sexual size dimorphism) adalah dengan mengukur tubuh individu jantan dan betina menggunakan Landmark Geometri-Morfometri, sehingga ukuran tubuh organisme dapat divisualisasikan dan terlihat perbedaan bentuk tubuh antara jantan dan betina (Sherwin et al., 2012). Sedangkan untuk mengkaji perbedaan bentuk tubuh ikan pada individu jantan dan betina (sexual shape dimorphism) dapat dilakukan dengan mengkaji struktur anatomis tulang. Hutchins (1992) telah melakukan penelitian mengenai struktur anatomis tulang ikan anggota famili Monacanthidae. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kesamaan postur tubuh pada ikan juvenil dan ikan betina, sedangkan keduanya memiliki perbedaan dengan ikan jantan. Bentuk tubuh pada ikan jantan lebih ramping (streamline). Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan struktur secara osteologis pada saat pertumbuhan (terutama pada ikan jantan), seperti reduksi ukuran panjang pada spina neural predorsal, pergeseran basal pterygiopore pada sirip dorsal dan sirip anal menuju ke anterior, pelvis yang lebih lurus, serta perubahan bentuk tulang kepala yang mendukung bentuk tubuh ikan jantan menjadi lebih memanjang.berdasarkan kedua data tersebut, diharapkan dapat memudahkan dalam membedakan ikan wader pari jantan dan betina, sehingga nantinya dapat digunakan sebagai acuan budidaya ikan wader pari, sehingga mendukung upaya konservasi. 4
B. Rumusan Masalah Ikan wader selama ini banyak dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi dan dieksploitasi secara berlebihan dari habitat alamiahnya. Sampai saat ini budidaya ikan wader belum dapat dilakukan dengan baik. Hal ini salah satunya disebabkan karena belum banyak diketahuinya aspek-aspek biologis ikan wader tersebut, salah satunya seksual dimorfisme. Ikan wader jantan dan betina diduga memiliki karakteristik yang berbeda. Bentuk dan ukuran tubuh ikan wader dapat digambarkan melalui morfologis dan struktur anatomistulang. Kajian morfologis meliputi morfometri, morfologi, dan meristik. Berdasarkan permasalahan tersebut maka dapat dirumuskan suatu pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah terdapat perbedaan morfologis antara ikan wader pari (Rasbora lateristriata) jantan dan betina? 2. Apakah terdapat perbedaan struktur tulang antara ikan wader pari (Rasbora lateristriata) jantan dan betina? C. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perbedaan morfologis dan struktur anatomis tulang antara ikan wader pari (Rasbora lateristriata) jantan dan betina. 5
D. Manfaat Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai aspek-aspek biologis ikan wader dari spesies Rasbora lateristriata. Terutama aspek mengenai morfologis (morfometri, morfologi, dan meristik) dan struktur anatomis tulang pada ikan wader pari jantan dan betina.aspek tersebut nantinya digunakan sebagai acuan dalam upaya budidaya dan pelestarian ikan wader pari (Rasbora lateristriata). 6