BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Walgito (2001, dalam Sunaryo, 2004).

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP DASAR. serta mengevaluasinya secara akurat (Nasution, 2003). dasarnya mungkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik.

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya

BAB II KONSEP TEORI. Perubahan sensori persepsi, halusinasi adalah suatu keadaan dimana individu

BAB II TINJAUAN TEORI. pengecapan maupun perabaan (Yosep, 2011). Menurut Stuart (2007)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang sebenarnya tidak ada stimulus dari manapun baik stimulus suara,

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORI. (DepKes, 2000 dalam Direja, 2011). Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI (HALUSINASI) Mei Vita Cahya Ningsih. Pengertian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku

BAB II KONSEP DASAR. A. Pengertian. Halusinasi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan

BAB II TINJAUAN TEORI. Adapun definisi lain yang terkait dengan halusinasi adalah hilangnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dirasakan sebagai ancaman (Nurjannah dkk, 2004). keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan ke lingkungan, kedalam

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. D DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI DI RUANG MAESPATI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB II TINJAUAN KONSEP

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari panca indera tanpa adanya

BAB II TINJAUAN TEORI

NASKAH PUBLIKASI ILMIAH

BAB II TUNJAUAN TEORI. orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins, 1993)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. H DENGAN PERUBAHAN PERSEPSI SENSORI HALUSINASI PENDENGARAN DI RUANG SENA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB II TINJAUAN TEORI. sebenarnya tidak ada stimulus dari manapun, baik stimulus suara, bayangan, bau-bauan,

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

BAB II KONSEP DASAR. tanda-tanda positif penyakit tersebut, misalnya waham, halusinasi, dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORI. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan

BAB II KONSEP DASAR. A. Pengertian. Halusinasi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami

Koping individu tidak efektif

BAB II KONSEP DASAR. A. Pengertian. Perubahan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam

LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI

BAB II KONSEP DASAR. Halusinasi merupakan salah satu respon neurobiology yang maladaptive, yang

BAB II KONSEP DASAR. rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan di mana terjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sistem saraf. Gejala psikologis dikelompokan dalam lima katagori utama fungsi

BAB II KONSEP DASAR. datang internal atau eksternal. (Carpenito, 2001) organic fungsional,psikotik ataupun histerik.

BAB II KONSEP DASAR. orang lain maupun lingkungan (Townsend, 1998). orang lain, dan lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1998).

PENGKAJIAN HALUSINASI Jenis halusinasi Data Objektif Data Subjektif Halusinasi Dengar/suara Bicara atau tertawa sendiri Marah-marah tanpa sebab

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi berkepanjangan juga merupakan salah satu pemicu yang. memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan pada

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. Menuju era globalisasi manusia disambut untuk memenuhi kebutuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORI. maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung (isolasi diri).

BAB II TINJAUAN TEORI

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN SENSORI PERSEPSI: HALUSINASI

PROSES TERJADINYA MASALAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tidak muncul sama sekali. Namun jika kondisi lingkungan justru mendukung

BAB II TINJAUAN TEORI. menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam

Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 18. secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 merupakan

BAB II KONSEP DASAR. Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan

BAB IV PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

MERAWAT PASIEN PERUBAHAN PERSEPSI SENSORIK : HALUSINASI

BAB II TINJAUAN TEORI. merasakan sensori palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan

BAB II KONSEP DASAR. A. Pengertian. Perubahan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam

BAB II TINJAUAN TEORI

LAPORAN PENDAHULUAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang. menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang


BAB II TINJAUAN TEORI. Jiwa, 2000). Halusinasi dapat didefinisikan sebagai seseorang yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. stimulus yang sebenarnya tidak ada stimulus dari manapun, baik stimulus

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN ANSIETAS

BAB II KONSEP DASAR A.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan emosi yang merupakan

BAB II TINJAUAN TEORI. Gangguan harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negatif

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II KONSEP DASAR. A. Pengertian. Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang

BAB I PENDAHULUAN. berat sebesar 4,6 permil, artinya ada empat sampai lima penduduk dari 1000

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang

BAB I PENDAHULUAN. yang sering juga disertai dengan gejala halusinasi adalah gangguan manic depresif

BAB II KONSEP DASAR. Halusinasi adalah gangguan pencerapan ( persepsi ) panca indera tanpa

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA TN. S DENGAN GANGGUAN MENARIK DIRI DI RUANG ABIMANYU RSJD SURAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. Penderita gangguan skizifrenia di seluruh dunia ada 24 juta jiwa dengan angka

A. Pengertian Defisit Perawatan Diri B. Klasifikasi Defisit Perawatan Diri C. Etiologi Defisit Perawatan Diri

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. dan kestabilan emosional. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan. pekerjaan, & lingkungan masyarakat (Videbeck, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya

BAB III TINJAUAN KASUS. Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr.Aminogondhohutomo Semarang, dengan

BAB II KONSEP DASAR. memelihara kesehatan mereka karena kondisi fisik atau keadan emosi klien

LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organitation (WHO), prevalensi masalah

NASKAH PUBLIKASI ILMIAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. S DENGAN GANGGUAN PERILAKU KEKERASAN DI RUANG SHINTA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

KECEMASAN (ANSIETAS) Niken Andalasari

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering

BAB III RESUME KEPERAWATAN. Pengkajian dilaksanakan pada tanggal 3 Desember Paranoid, No Register

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

BAB II KONSEP DASAR PERILAKU KEKERASAN. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon

LAPORAN KASUS PENGELOLAAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI PENDENGARAN PADA

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satunya adalah masalah tentang kesehatan jiwa yang sering luput dari

PENGARUH KOMUNIKASI TERAPEUTIK TERHADAP FREKUENSI HALUSINASI PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Persepsi adalah Proses penginterpretasian terhadap rangsangan yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang di intergrasikan dalam diri individu Walgito (2001, dalam Sunaryo, 2004). Proses persepsi dimulai dari objek yang menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor, dimana proses ini dinamakan proses kealaman (fisik). Stimulus yang diterima oleh alat indera dilanjutkan oleh saraf sensorik ke otak. Proses ini dinamakan proses fisiologi kemudian terjadi suatu proses di dalam otak sehingga individu dapat menyadari sesuatu yang diterima dengan reseptor itu, sebagai akibat dari stimulus yang diterima. Proses yang terjadi di otak atau pusat kesadaran itulah yang dinamakan proses psikologis. Dengan demikian taraf terakhir dari persepsi adalah individu menyadari tentang sesuatu yang diterima melalui alat indera atau reseptor (Sunaryo, 2004). Gangguan sensori persepsi merupakan gejala umum dari skizofrenia terdapat dua jenis utama masalah perseptual yaitu Halusinasi dan Ilusi yang didefinisikan sebagai pengalaman atau kesan sensori yang salah terhadap stimulasi sensori (Rasmun, 2009).

Halusinasi adalah persepsi salah yang diterima panca indra dan berasal dari stimulus eksternal yang biasanya tidak diinterpretasikan kedalam pengalaman (Brooker, 2008). Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengarkan suara padahal tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati & Hartono, 2010). Menurut Sunaryo (2004) tipe halusinasi ataupun jenis halusinasi meliputi halusinasi penglihatan (halusinasi optik), halusinasi auditif (halusinasi pendengaran), halusinasi penciuman (halusiansi olfaktorik), halusinasi gustatorik (halusinasi pengecap), halusinasi taktil (halusinasi peraba), halusinasi kinestik (halusinasi gerak). Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara atau bunyi yang berkisar dari suara sederhana sampai suara yang berbicara mengenai klien sehingga berespon terhadap suara atau bunyi tersebut (Stuart, 2007). Halusinasi pendengaran adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan dalam jumlah dan pola dari stimulus yang mendekat ( yang diprakarsai secara eksternal dan internal ) disertai dengan suatu pengurangan, berlebih lebihan, distorsi atau kelainan berespons terhadap setiap stimulus (Towsend, 2005).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa halusinasi adalah persepsi klien salah satu terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata, memberi persepsi yang salah atau pendapat tentang sesuatu tanpa ada obyek atau rangsangan yang nyata dan hilangnya kemampuan manusia untuk membedakan rangsangan internal pikiran dan rangsangan eksternal ( dunia luar ). A. Etiologi Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah: a. Faktor Predisposisi 1. Biologis Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut: a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Luka pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik. b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia. c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis,

ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem). 2. Psikologis Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien. 3. Sosial Budaya Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stres. b. Faktor Presipitasi 1. Biologis Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan. 2. Stress Lingkungan Ambang toleransi terhadap stres yang berinteraksi terhadap stresor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.

3. Sumber Koping Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stresor. Menurut Rawlins dan Hancokck (1993, dalam Yosep, 2010 ) penyebab halusianasi dapat dilihat dari lima dimensi berikut : 1) Dimensi Fisik Halusinasi ditimbukan oleh beberapa kondisi fisik, seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama. 2) Dimensi Emosional Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar masalah yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menetang perintah tesebut, sehingga klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut. 3) Dimensi Intelektual Bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan mengontrol semua

perilaku klien. 4) Dimensi Sosial Klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan comforting. Klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam nyata sangat membahayakan. Klien asik dengan halusinasinya seolah olah merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, control diri dan harga diri yang tidak dapat dalam dunia nyata. 5) Dimensi Spiritual Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. B. Tanda dan Gejala Menurut Towsend (2005) karakteristik perilaku yang dapat ditunjukan klien dan kondisi halusinasi berupa : Data Subyektif : Klien mendengar suara atau bunyi tanpa stimulus nyata, melihat gambaran tanpa stimulus yang nyata, mencium nyata stimulus yang nyata, merasa makan sesuatu, merasa ada sesuatu pada kulitnya, takut terhadap suara atau bunyi yang didengarnya, ingin memukul dan melempar barang. Data Obyektif : Klien berbicara, senyum dan tertawa sendiri, pembicaraan kacau dan

terkadang tidak masuk akal, tidak dapat membedakan hal yang nyata dan yang tidak nyata, menarik diri dan menghindar dari orang lain, disorientasi, tidak dapat memusatkan perhatian atau konsentrasi menurun, perasaan curiga, takut, gelisah, bingung, ekspresi waajah tegang, muka merah dan pucat, tidak mampu melakukan aktifitas mandiri dan kurang bisa mengontrol diri, menunjukan perilaku, merusak diri dan lingkungan. C. Proses Terjadinya Masalah Menurut Stuart (2007) halusinasi berkembang melalui empat fase, yaitu sebagai berikut : a) Fase Pertama Disebut juga dengan fase comforting yaitu fase menyenangkan. Pada tahap ini masuk dalam golongan nonpsikotik. Karakteristik : klien mengalami stress, cemas, perasaan perpisahan, atau bersalah, kesepian yang memuncak dan tidak dapat diselesaikan. Klien mulai melamun dan memikirkan hal hal yang menyenangkan, cara ini menolong sementara. Perilaku klien : tersenyum atau tertawa tidak sesuai, menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang asik dengan halusinasinya dan suka menyendiri. b) Fase Kedua Disebut dengan fase condemming yaitu halusinasi menjadi menjijikan. Termasuk dalam psikotik ringan.

Karakteristik : pengalaman sensori yang menjijikan dan menakutkan kecemasan meningkat, melamun dan berpikir sendiri jadi dominan. Mulai ada bisikan yang tidak jelas. Klien tidak ingin orang lain tahu dan dapat mengontrolnya. Perilaku klien : tanda tanda system saraf otonom seperti peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Klien asik dengan halusinasinya dan tidak bisa membedakan realitas. c) Fase Ketiga Adalah fase controlling yaitu pengalaman sensori menjadi kuasa. Termasuk dalam gangguan psikotik. Karakteristik : bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya. Perilaku klien : kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian lainnya beberapa menit dan detik. Tanda tanda fisik berupa klien berkeringat, tremor, dan tidak mampu mematuhi perintah. d) Fase Keempat Adalah fase Conquering atau panik yaitu klien kabur dengan halusinasinya. Termasuk dalam psikotik berat. Karakteristik : halusinya berubah menjadi mengancam, memerintah dan memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak berdaya, hilang kontrol, dan tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain di lingkungan.

Perilaku klien : perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, atau katatonik, tidak mampu merespon terhadap perintah kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang. D. Psikopatologi Menurut Stuart (2007) pada model stres dan adaptasi dalam keperawatan jiwa terjadi halusinasi disebabkan oleh faktor berikut ini antara lain faktor predisposisi, stresor presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber koping, mekanisme koping, dan rentang respon.

Faktor Predisposisi Bio Psiko Sosiokultular Stressor Presipitasi Sifat Asal Waktu Jumlah Penilaian terhadap sressor Kognitif Afektif Fisiologis Perilaku Sosial Sumber sumber Koping Kemampuan dukungan personal Aset materi Mekanisme Koping Regresi Proyeksi Menarik diri Rentang Respon Respon Adaptif Respon Maladatif Gambar II.1 Patopsikologis Gangguan sensori perspesi : halusinasi pendengaran. Sumber : Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 5 Stuart (2007). E. Rentang respons neurobiologis

Respon prilaku klien dapat di identifikasi sepanjang rentang respons yang berhubungan dengan fungsi neurologi. Perilaku yang dapat diamati dan mungkin menunjukan adanya halusinasi disajikan didalam tabel : Respon Adaptif Respon Maladatif Pikiran Logis Distorsi Pikiran Waham Persepsi Akurat Ilusi Halusinasi Emosi Konsisten Menarik diri Sulit Berespon Perilaku sesuai Reaksi emosi >/< Perilaku disorganisasi Hubungan sosial Perilaku tidak biasa Isolasi sosial Sumber : Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 5 Stuart (2007). F. Penatalaksanaan medis Terapi dalam jiwa bukan meliputi pengobatan dan farmakologi, tetapi juga pemberian psikoterapi, serta terapi modalitas yang sesuai dengan gejala atau penyakit klien yang akan mendukung penyembuhan klien jiwa. Pada terapi tersebut juga harus dengan dukungan keluarga dan sosial akan memberikan peningkatan penyembuhan karena klien akan merasa berguna dalam masyarakat dan tidak merasa diasingkan dengan penyakit yang dialaminya (Kusumawati & Hartono, 2010). Menurut Stuart (2007) Terapi di Bidang Psikiatri meliputi :

1. Psikofarmakologis Farmakoterapi adalah pemberian terapi dengan menggunakan obat. Obat yang digunakan untuk gangguan jiwa disebut dengan psikofarmaka atau psikotropika atau phrenotropika. Terapi gangguan jiwa dengan menggunakan obat obatan disebut dengan psikofarmakoterapi atau medikasi psikotropika yaitu obat yang mempunyai efek terapeutik langsung pada proses mental penderita karena kerjanya pada otak / sistem saraf pusat. 2. Terapi Somatis Terapi somatis adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladatif menjadi perilaku adaptif dengan melakukan tindakan yang ditunjukan pada kondisi fisik klien. Walaupun yang diberi perlakuan adalah fisik klien, tetapi target terapi adalah perilaku klien. Jenis terapi somatic adalah meliputi pengikatan, ECT, isolasi, dan fototerapi. a. Pengikatan Pengikatan adalah terapi menggunakan alat mekanik atau manual untuk membatasi mobilitas fisik klien yang bertujuan untuk melindungi cedera fisik pada klien sendiri atau orang lain. b. Terapi Kejang Listrik/ Elektro Convulsive Therapy ( ECT ) Adalah bentuk terapi pada klien dengan menimbulkan kejang (Grandmal) dengan mengalirkan arus listrik kekuatan rendah ( 2 3 joule ) melalui elektroda yang ditempelkan beberapa detik

pada pelipis kiri / kanan (Lobus Frontalis) klien. c. Isolasi Isolasi adalah bentuk terapi dengan menetapkan klien sendiri diruangan tersendiri untuk mengendalikan perilakunya dan melindungi klien, orang lain, dan lingkungan dari bahaya potensial yang mungkin terjadi. Akan tetapi tidak dianjurkan pada klien dengan risiko bunuh diri, klien dengan agitasi yang disertai dengan gangguan pengaturan suhu tubuh akibat obat, serta perilaku yang menyimpang. d. Fototerapi Fototerapi adalah terapi yang diberikan dengan memaparkan klien pada sinar terang 5-20x lebih terang daripada sinar ruangan dengan posisi klien duduk, mata terbuka, pada jarak 1,5 meter didepan klien diletakan lampu setinggi mata. Terapi ini bermanfaat dan menimbulkan efek positif, serta 75% dapat menurunkan gejala depresi dengan efek samping ketegangan pada mata, sakit kepala, cepat terangsang, insomnia, kelelahan, mual, mata menjadi kering, serta keluar sekresi dari hidung dan sinus. 3. Terapi Modalitas Terapi Modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Tetapi diberikan dalam upaya mengubah perilaku klien dan perilaku yang maladatif menjadi perilaku adaptif. Jenis terapi modalitas meliputi Psikoanalisis Psikoterapi, Terapi Modifikasi Perilaku, Terapi

Kelompok, Terapi Keluarga, Terapi Rehabilitasi, Terapi Psikodrama, Terapi Lingkungan. G. Pohon Masalah Masalah keperawatan untuk kasus gangguan sensori persepsi : halusinasi pendengaran dapat digambarkan dalam pohon masalah berikut : Akibat Risiko perilaku mencederai diri Gangguan sensori persepsi : Halusinasi pendengaran Penyebab Isolasi sosial : menarik diri Gangguan konsep diri : Harga diri rendah Gambar II.2 Pohon masalah gangguan sensori persepsi : halusinasi pendengaran Sumber : Keperawatan Kesehatan Jiwa Keliat (2005) H. Diagnosa Keperawatan Menurut Keliat (2005) adalah 1. Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi Pendengaran 2. Risiko perilaku mencederai diri 3. Isolasi sosial 4. Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah

I. Perencanaan Keperawatan 1. Diagnosa Keperawatan I : Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi Pendengaran TUM : Klien dapat mengontrol halusinasinya TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya 24 jam diharapkan : - Ekspresi wajah bersahabat, menunjukan rasa senang, klien mau menyebutkan nama, ada kontak mata, klien mau duduk berdampingan dengan perawat dan memperkenalkan diri dengan sopan. - Bina hubungan saling percaya - Sapa klien dengan ramah - Tanyakan nama klien dan nama panggilan kesukaan - Jelaskan tujuan pertemuan - Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya - Beri perhatian pada klien dan penuhi kebutuhan klien TUK II : Klien dapat mengenal halusinasinya

- Klien dapat menyebutkan waktu, isi, dan frekuensi timbulnya halusinasi - Klien dapat mengungkapkan perasaan terhadap halusinasi - Kaji pengetahuan klien tentang perilaku halusinasi dan tandatandanya - Adakan kontak singkat dan sering secara bertahap - Observasi perilaku verbal dan non verbal yang berhubungan dengan halusinasinya - Terima halusinasi sebagai hal nyata bagi klien dan tidak nyata bagi perawat - Identifikasi bersama klien tentang waktu, munculnya halusinasi, isi halusinasi dan frekuensi timbulnya halusinasi - Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya ketika halusinasi muncul - Diskusikan dengan klien mengenai perasaannya saat terjadi halusinasi - Berikan pujian terhadap kemampuan klien dalam mengungkapkan perasaannya. TUK III : Klien dapat mengontrol halusinasinya

- Klien dapat menyebutkan tindakan yang biasanya dilakukan untuk mengendalikan halusinasinya - Klien dapat menyebutkan cara baru untuk mengontrol halusinasi - Klien dapat memilih cara mengatasi halusinasinya - Klien dapat memilih cara mengendalikan halusinasinya - Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi. - Diskusikan manfaat yang dilakukan klien dan beri pujian kepada klien. - Diskusikan cara lain untuk memutus atau mengontrol timbulnya halusinasi. - Bantu klien melatih cara memutus halusinasi. - Beri kesempatan untuk melakukan cara yang dilatih, evaluasi hasil dan beri pujian jika berhasil. - Anjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok. - Anjurkan klien untuk memberitahukan keluarga jika mengalami halusinasi. TUK IV : Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik

- Klien dapat menyebutkan manfaat, dosis dan efek samping - Klien dapat mendemonstrasikan penggunaan obat dengan baik - Klien mendapat informasi tentang manfaat, efek samping obat dan akibat berhenti minum obat - Klien dapat menyebutkan prinsip lima benar penggunaan obat. - Diskusikan dengan klien tentang dosis, frekuensi serta manfaat minum obat - Anjurkan klien minta sendiri obat pada perawat dan merasakan manfaatnya - Anjurkan klien bicara dengan perawat tentang manfaat dan efek samping - Diskusikan akibat berhenti minum obat - Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip lima benar - Berikan pujian positif. TUK V : Klien dapat mendapat dukungan keluarga atau memanfaatkan sistem pendukung untuk mengendalikan halusinasinya.

- Keluarga dapat saling percaya dengan perawat - Keluarga dapat menjelaskan perasaannya - Keluarga dapat menjelaskan cara merawat klien halusinasi - Keluarga dapat mendemonstrasikan cara perawatan klien halusianasi dirumah - Keluarga dapat berpartisipasi dalam perawatan klien halusinasi - Bina hubungan saling percaya dengan keluarga - Diskusikan dengan anggota keluarga tentang : 1) Akibat yang akan terjadi apabila perilaku halusinasi tidak ditanggapi 2) Cara keluarga merawat klien halusinasi 3) Dorong anggota keluarga untuk memberikan dukungan kepada klien untuk mengontrol halusinasinya - Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk klien minimal satu minggu sekali - Berikan reinforcement positif atau pujian atas hal-hal yang telah dicapai keluarga. 2. Diagnosa keperawatan II : Risiko perilaku kekerasan TUM : Klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan. TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya.

24 jam diharapkan : - Klien dapat menunjukkan ekspresi wajah bersahabat - Ada kontak mata - Klien dapat menerima kehadiran perawat - Klien mau berjabat tangan - Klien mau menjawab salam - Klien mau menyebutkan nama - Klien mau berdampingan dengan perawat - Klien mau mengutarakan masalah yang dihadapi - Bina hubungan saling percaya - Sapa klien dengan ramah - Tanyakan nama klien dan nama panggilan kesukaan - Jelaskan tujuan pertemuan - Tunjukkan sikap empati dan menerima klen apa adanya - Beri perhatian pada klien dan penuhi kebutuhan klien. TUK II : Klien dapat mengidentifikasi penyebab kekerasan

- Klien mengungkapkan perasaannya - Klien dapat mengungkapkan penyebab marahnya. - Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya - Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab marah - Anjurkan klien mengungkapkan apa yang dialami dan dirasakan saat marah. TUK III : Klien dapat mengidentifikasi tanda perilaku kekerasan - Klien dapat mengungkapakan tanda-tanda marah - Klien dapat menyimpulkan tanda-tanda marah - Anjurkan klien mengungkapakan yang dialami soal marah - Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien - Simpulkan bersama klien tanda-tanda marah TUK IV : Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.

- Klien dapat mengungkapkan periliaku kekerasan yang biasa dilakukan klien - Klien dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan yang bisa dilakukan - Klien menegetahui cara yang dapat menyelesaikan masalah. - Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan klien - Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan - Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya selesai TUK V : Klien dapat mengidentifikasi akibat kekerasan - Klien dapat menjelaskan akibat dari cara yang digunakan klien - Bicarakan akibat/ kerugian dari cara yang telah dilakukan - Bersama klien simpulkan akibat cara yang digunakan oleh klien - Tanyakan pada klien apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat.

TUK VI : Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap kemarahan. - Klien dapat melakukan cara berespon terhadap kemarahan secara konstruktif. - Tanyakan pada klien apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat. - Berikan pujian bila klien mengetahui cara lain yang sehat. TUK VII : Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan. - Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan. 1) Fisik : tarik nafas dalam, olahraga, menyiram tanaman. 2) Verbal : mengatakan langsung dengan tidak menyakiti. 3) Spiritual : sholat, berdoa dan ibadah lainnya.

- Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien - Bantu klien mengidentifikasi manfaat cara yang dipilih - Bantu klien menstimulus cara tersebut - Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulus cara tersebut. - Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat marah. TUK VIII : Klien dapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan. - Keluarga klien dapat : 1) Menyebutkan cara merawat klien yang berperilaku kekerasan. 2) Mengungkapkan rasa puas dalam merawat klien. - Identifikasi kemampuan keluarga klien dari sikap apa yang telah dilakukan keluarga terhadap klien selama ini. - Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien. - Jelaskan cara-cara merawat klien - Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien

- Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan demonstrasi. TUK IX : Klien dapat menggunakan obat dengan benar. - Klien dapat menyebutkan obat-obatan yang diminum dan kegunaannya. - Klien dapat minum obat sesuai program terapi. - Jelaskan jeins-jenis obat yang diminum klien - Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian jika berhenti minum obat tanpa seijin dokter. - Jelaskan prinsip lima benar minum obat - Berikan pujian pada klien bila minum obat dengan benar. 3. Diagnosa keperawatan III : Isolasi Sosial TUM : Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal. TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya. 24 jam diharapkan :

- Wajah klien cerah, tersenyum, klien mau berkenalan, ada kontak mata, klien bersedia menceritakan perasaannya. - Bina hubungan saling percaya - Sapa klien dengan ramah - Tanyakan nama klien dan nama panggilan kesukaan - Jelaskan tujuan pertemuan - Tunjukkan sikap empati dan menerima klen apa adanya - Beri perhatian pada klien dan penuhi kebutuhan klien. TUK II : Klien dapat menyebutkan penyebab isolasi sosial. - Klien dapat menyebutkan isolasi sosial : menarik diri berasal dari diri sendiri, orang lain dan lingkungan. - Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri. - Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan menarik diri. - Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda tanda serta penyebab yang muncul.

- Beri pujian terhadap kemampuan klien dalam mengungkapkan perasaannya. TUK III : Klien dapat menyebutkan manfaat hubungan dengan orang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain. - Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain. - Kaji pengetahuan klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain. - Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaan tentang manfaat berhubungan dengan orang lain. - Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain. - Berikan reinforcement positif tentang kemampuan mengungkapkan perasaan tentang manfaat berhubungan dengan orang lain. - Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.

4. Diagnosa keperawatan IV : Gangguan konsep diri : Harga diri rendah TUM : Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal dan mampu meningkatkan harga dirinya. TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya. 24 jam diharapkan : - Klien mau tersenyum. - Klien mau berjabatan tangan. - Klien dapat mengungkapkan perasaannya. - Bina hubungan saling percaya - Sapa klien dengan ramah - Tanyakan nama klien dan nama panggilan kesukaan - Jelaskan tujuan pertemuan - Tunjukkan sikap empati dan menerima klen apa adanya - Beri perhatian pada klien dan penuhi kebutuhan klien. TUK II : Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek yang dimiliki.

- Klien mampu mengidentifikasi kemampuan dan aspek yang positif keluarga, lingkungan yang disekitar klien. - Diskusikan kemampuan dan aspek positif dengan klien. - Setiap bertemu klien dihindarkan dari penilaian negatif. - Utamakan member pujian yang realistik. TUK III : Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan. - Klien mampu menilai kemampuan yang digunakan. - Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan selama sakit. TUK IV : Klien dapat merencanakan kegiatan yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan klien dapat melakukan kegiatan sesuai dengan kondisi sakit. 24 jam diharapkan : - Klien dapat membuat rencana kegiatan sehari hari. - Klien melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit

- Rencana bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan. - Tingkatkan kegiatan yang sesuai kondisi klien. - Beri contoh pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan. - Beri kesempatan untuk mencoba kegiatan. - Beri pujian atas keberhasilan klien.