BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindrom neurokutaneus merupakan sekelompok besar kelainan kongenital

dokumen-dokumen yang mirip
BUKU AJAR SISTEM NEUROPSIKIATRI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper &

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang

BAB I PENDAHULUAN. suram, pesimistis, ragu-ragu, gangguan memori, dan konsentrasi buruk. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Neurofibromatosis tipe 1 (NF1, MIM ) merupakan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. neuron dopaminergik ganglia basalis terutama pada substansia nigra pars kompakta

BAB I PENDAHULUAN. Kejang merupakan masalah neurologi yang paling sering kita jumpai pada

BAB I dekade berada pada peringkat ke-3 (Minino et al., 2011). Menurut American

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. mendadak, didahului gejala prodromal, terjadi waktu istirahat atau bangun pagi

BAB I PENDAHULUAN. insulin, atau kedua-duanya. Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. darah menuju otak, baik total maupun parsial (sebagian) (Čengić et al., 2011).

BAB I PENDAHULUAN. otak, biasanya akibat pecahnya pembuluh darah atau adanya sumbatan oleh

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian observasional belah lintang (cross sectional)

BAB I PENDAHULUAN. kandungan. Kelainan penyerta yang timbul pada bayi baru lahir akan menghambat

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

PERVASIVE DEVELOPMENTAL DISORDER (lanjutan) Dr. Ika Widyawati, SpKJ(K)

BAB 1 PENDAHULUAN. (American Academy of Pediatrics, 2008). Penyebab demam pada pasien

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. traumatik merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan

BAB 1 PENDAHULUAN. fungsi otak, medulla spinalis, saraf perifer dan otot.

BAB 1. PENDAHULUAN. Nyeri kepala mungkin merupakan bagian terbesar dari penderitaan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. terdiagnosis pada masa kanak-kanak dengan bangkitan awal sebelum 18

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem saraf juga bertanggung jawab sebagai sietem persepsi, perilaku dan daya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi

BAB 1 PENDAHULUAN. 60 bulan disertai suhu tubuh 38 C (100,4 F) atau lebih yang tidak. (SFSs) merupakan serangan kejang yang bersifat tonic-clonic di

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan dan bentuk tubuh, yang

LAPORAN PENDAHULUAN RETARDASI MENTAL. Disusun Oleh : Hadi Ari Yanto

manusia mengalami banyak perubahan dari segi fisik dan mental. Penuaan adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. didalamnya dimana kerusakan disebabkan gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. dari sistem saraf pusat (SSP) oleh penyebab vaskular, termasuk infark

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke adalah sindroma yang bercirikan defisit neurologis onset akut yang

I. PENDAHULUAN. otak (Dipiro et.al, 2005). Epilepsi dapat dialami oleh setiap orang baik laki-laki

BAB I PENDAHULUAN. makin meningkat. Peningkatan jumlah lansia yang meningkat ini akan

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

GANGGUAN ELIMINASI. Dr. Noorhana, SpKJ(K)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan manusia merupakan perubahan. yang bersifat progresif dan berlangsung secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada ketidakmampuan untuk mengendalikan fungsi motorik, postur/ sikap dan

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh sebab vaskular (WHO, 2004). Insiden stroke di Amerika Serikat

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Does Dimenhydrinate Suppress Skin Prick Test (SPT) Response? A. Preliminary Study of Histamine Skin Test

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Stroke telah menjadi penyebab utama kedua terhadap kejadian disabilitas

BAB I PENDAHULUAN. tubuh, kemampuan, dan kepribadiannya. Lebih lanjut, seorang anak adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN UKDW. penyakit yang sering dijumpai dalam praktek kedokteran. Data epidemiologis

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Stroke adalah salah satu penyakit epidemik global. yang mengancam kehidupan, kesehatan, dan kualitas hidup

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

REFERAT SINDROM MILLARD GUBLER

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis adalah salah satu penyebab akut abdomen paling banyak pada

BAB I PENDAHULUAN. Insiden epilepsi di dunia berkisar antara tiap penduduk tiap

BAB I PENDAHULUAN. Stroke adalah sindroma neurologis yang terjadi. tiba-tiba karena cerebrovascular disease (CVD).

Pedologi. Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD) Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dijumpai di masyarakat, baik anak-anak, remaja, dewasa. maupun lanjut usia. Cedera kepala dapat dikaitkan

Gangguan Neuromuskular

BAB I PENDAHULUAN. Stroke didefinisikan sebagai defisit neurologis yang terjadi tiba-tiba

KELAINAN METABOLISME KARBOHIDRAT (PENYAKIT ANDERSEN / GLIKOGEN STORAGE DISEASE TYPE IV) Ma rufah

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG. Diabetes adalah penyakit kronis yang ditandai dengan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang utama. Hipertensi

BAB 1 PENDAHULUAN. juga perlu, seperti halnya di Negara berkembang seperti Indonesia banyak orang yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada. gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang berdenyut dan

BAB I adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (WHO, 1988). bergantung sepenuhnya kepada orang lain (WHO, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyebab kematian nomor 2 di dunia. pada populasi dewasa dan penyebab utama kecacatan (Ikram

BAB I PENDAHULUAN. prevalensi tertinggi menyerang wanita (Hoy, et al., 2007). Di Indonesia,

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Post Concussion Syndrome ( PCS ) merupakan suatu sequele dari cedera kepala ringan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit tromboemboli vena (TEV) termasuk didalamnya trombosis vena dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang sifatnya primer ataupun yang merupakan metastasis dari tumor pada organ

EMG digunakan untuk memastikan diagnosis dan untuk menduga beratnya sindroma kubital. Juga berguna menilai (8,12) :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau membawa

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Stroke adalah sindroma yang ditandai oleh onset. akut defisit neurologis/ gangguan fungsi otak yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Cedera atau trauma adalah permasalahan yang berkembang

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena

Brain Development in Infant Born with Small for Gestational Age

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke, yang juga dikenal dengan istilah cerebrovascular

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. dengan hiperglikemia kronis akibat gangguan metabolisme karbohidrat, lemak

Seri penyuluhan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyebab kematian terbesar kedua. setelah penyakit jantung, menyumbang 11,13% dari total

BAB I PENDAHULUAN Definisi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia

PENGANTAR EPIDEMIOLOGI KLINIK

BAB I PENDAHULUAN. Glaukoma adalah sekumpulan gejala dengan tanda karakteristik berupa

BAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat

Nyeri. dr. Samuel Sembiring 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

UNIVERSITAS AIRLANGGA DIREKTORAT PENDIDIKAN Tim Pengembangan Jurnal Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Flaviviridae dan ditularkan melalui vektor nyamuk. Penyakit ini termasuk nomor dua

BAB I PENDAHULUAN. Meningioma adalah tumor jinak pada CNS yang. berasal dari selubung meninges pada otak dan korda

BAB I PENDAHULUAN. Tumor kolorektal merupakan neoplasma pada usus besar yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi anak yang menderita autism dan Attention Deficit

BAB. 3. METODE PENELITIAN. : Cross sectional (belah lintang)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Mampu mengenal dan mengetahui tanda, gejala dan pemeriksaan status mental yang menunjang dalam mendiagnosa pasien dengan gangguan mental organik

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindrom neurokutaneus merupakan sekelompok besar kelainan kongenital yang sangat bervariasi, tidak saling terkait, dengan karakteristik klinis, patologis dan genetik yang berbeda-beda tetapi mempunyai kesamaan perkembangan lesi yaitu lesi kulit dan sistem saraf pusat (SSP), serta dapat juga mengenai sistem saraf perifer dan organ lain (Zaroff & Isaacs, 2005). Sampai saat ini, terdapat 20 sampai 30 penyakit diklasifikasikan sebagai sindrom neurokutaneus (Herron et al., 2000). Beberapa diantaranya adalah: neurofibromatosis (NF), Tuberous Sclerosis Complex (TSC), Sindrom Sturge-Weber (SSW), phacomatosis pigmentovascularis (PPV), epidermal nevi, neurocutaneus melanosis, hypomelanosis of ito (HOI) dan incontinentia pigmenti (IP) (Purkait et al., 2011). Prevalensi sindrom neurokutaenus berbeda-beda tergantung jenis penyakitnya. Rata-rata pewarisan bersifat dominan autosom atau resesif autosom. Sindrom neurokutaneus ini melibatkan struktur jaringan yang berasal dari neuroektodermal secara embriologi (Herron et al., 2000), diduga merupakan kelainan migrasi dan diferensiasi neural crest (neurocristopathies) (Curatolo & Riva, 2006). Kondisi bawaan atau keturunan yang diwariskan memiliki banyak fitur yang sama dengan keterlibatan organ asal ektodermal (sistem saraf, bola mata, retina, dan kulit) yang berevolusi lambat dari lesi di masa kanak-kanak dan remaja, dan bertransformasi menjadi lebih berat pada masa dewasa (Dahan et al., 2002). 1

Gambaran klinis lesi kulit pada sindrom neurokutaneus sering dikaitkan dengan adanya abnormalitas sistem saraf pusat, dengan konsekuensi resiko terjadinya epilepsi. Epilepsi dapat dilihat sebagai manifestasi neurologis yang paling sering pada sindrom neurokutaneus. Studi populasi menunjukkan prevalensi epilepsi TSC paling sering terjadi yaitu sekitar 78% (Cross, 2005). Studi lain menyebutkan pada TSC, prevalensi epilepsi sebesar 80-90% pasien, terutama pada tahun pertama kehidupan pasien (Domańska-Pakiela et al., 2014). Sebagian besar epilepsi terjadi di bawah usia 12 bulan serta dapat ditemukan juga adanya hubungan yang erat antara terjadinya kejang dengan ketidakmampuan belajar. Sindrom neurokutaneus yang lain, seperti SSW, juga memiliki prevalensi epilepsi yang cukup tinggi, dihubungkan dengan adanya malformasi kortikal serebral, dengan pertimbangan malformasi lobar atau unilateral sehingga dapat dilakukan pembedahan awal sebagai terapi (Cross, 2005). Prevalensi epilepsi pada NF1 adalah 4,2%, sekitar dua kali prevalensi dalam populasi umum (Karlsgodt et al., 2012). Sementara studi lain oleh Vivarelli (2003) melaporkan prevalensi kejang pada NF1 berkisar 3,8-6%. Kejang yang parsial terjadi pada 85% kasus dan dalam bentuk kejang umum sebanyak 15%. Epilepsi sekunder didapatkan pada 64% sebagai akibat lesi otak yang berupa tumor otak, malformasi kortikal, dan sclerosis temporal yang mesial (Vivarelli et al., 2003). Seringkali manifestasi neurologis tidak tampak nyata terjadi, terutama pada anak-anak. Perjalanan kelainan neurologis tidak bisa diprediksi hanya dari lesi-lesi kulit yang terjadi (Purkait et al., 2011). Oleh karena itu, sangat penting mencari tahu tanda-tanda awal gangguan neurologis pada pasien sindrom neurokutaneus. 2

Adanya potensi gangguan kejang dapat direkam dengan menggunakan pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) baik EEG kualitatif (konvensional) maupun EEG kuantitatif (qeeg). Studi-studi terdahulu menyebutkan bahwa EEG/qEEG dapat digunakan pada kasus-kasus neurologis lainnya seperti pada sindrom Turner (Tsuboi et al., 1988), kejang demam (Koyama et al., 1991), Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) (Barry et al., 2005), demensia pada Parkinson (Klassen et al., 2011), gangguan belajar pada anak-anak (Kurganskii and Machinskaia, 2012), cedera kepala (Nuwer et al., 2005; Haneef et al., 2013; Thatcher, 2006) dan gangguan kognitif setelah stroke infark (Song et al., 2014). Gambaran karakteristik rekaman EEG/qEEG pada penyakit-penyakit tersebut dapat membantu klinisi dalam menentukan diagnosis secara tepat. Sampai saat ini, studi tentang karakteristik pola EEG/qEEG pada kasus sindrom neurokutaneus masih sedikit. Beberapa studi melakukan penelitian terbatas hanya pada satu jenis sindrom neurokutaneus saja. Hatfield (2 007) menyimpulkan bahwa qeeg pada sindrom Sturge-Weber memiliki potensi sebagai alat yang bermanfaat untuk diagnosis awal dan monitor progresivitas penyakit, serta menentukan area-area otak yang mengalami penurunan fungsi. Pada pasien-pasien TSC, EEG juga dapat digunakan untuk memonitor kejang dan evolusi natural dari pola EEG, selain kejadian spasme infantil (Domańska-Pakiela et al., 2014). Adanya keterbatasan studi karakteristik EEG baik kualitatif maupun kuantitatif pada sindrom neurokutaneus tersebut menjadi alasan dilakukannya penelitian ini. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui adanya gambaran spesifik abnormalitas pada pola EEG baik EEG kualitatif maupun kuantitatif yang dilakukan 3

pada beberapa jenis sindrom neurokutaneus. Potensi terjadinya gambaran klinis epilepsi dapat terekam dari pemeriksaan EEG/ qeeg tersebut. Tantangan dalam sindrom neurokutaneus adalah menentukan diagnosis secara spesifik dan mengendalikan gejala epilepsi (Cross, 2005). Dengan mengetahui potensi terjadinya epilepsi melalui pemeriksaan EEG/qEEG, maka diharapkan dapat membantu klinisi dalam penegakan diagnosis sindrom neurokutaneus secara tepat. Implementasi yang tepat terhadap evaluasi diagnostik yang direkomendasikan, termasuk EEG/qEEG, dapat mencegah konsekuensi klinis yang serius (Orlova & Crino, 2010). Penegakan diagnosis sindrom neurokutaneus dengan tepat sangat penting, terutama untuk tujuan penyediaan atau pemberian penjelasan dan antisipasi terhadap masalah yang timbul saat ini atau yang akan dihadapi; pengenalan terhadap kelainan genetik dan konseling ataupun implikasi untuk orangtua dan saudara sekandung; pengenalan prognosis dan akses atau kemudahan untuk mencari terapi, termasuk terapi kejang, serta kemudahan mencari pelayanan kesehatan yang tersedia. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut: 1. Sindrom neurokutaneus dapat melibatkan gangguan sistem saraf pusat, dengan prevalensi paling banyak berupa epilepsi. 2. Gangguan kejang dapat direkam dengan EEG dan dianalisis baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif (qeeg). 4

3. Penelitian mengenai gambaran EEG kualitatif dan kuantitatif pada sindrom neurokutaneus masih jarang dilakukan. C. Pertanyaan Penelitian 1. Apakah terdapat gambaran gelombang epileptiform pada EEG kelompok sindrom neurokutaneus? 2. Apakah terdapat gambaran abnormalitas background pada EEG kelompok sindrom neurokutaneus? 3. Apakah terdapat pola tertentu abnormalitas EEG pada kelompok sindrom neurokutaneus dibandingkan dengan kelompok tumor otak dan stroke? 4. Apakah terdapat gambaran adanya fokus dan asimetri pada qeeg kelompok sindrom neurokutaneus? D. Tujuan Penelitian 1. Untuk menghitung prosentase adanya gambaran gelombang epileptiform pada EEG kelompok sindrom neurokutaneus. 2. Untuk menghitung prosentase abnormalitas background pada EEG kelompok sindrom neurokutaneus. 3. Untuk membandingkan pola tertentu abnormalitas EEG pada kelompok sindrom neurokutaneus dibandingkan dengan kelompok tumor otak dan stroke. 4. Untuk menghitung prosentase adanya fokus dan asimetri pada qeeg kelompok sindrom neurokutaneus. 5

E. Manfaat Penelitian 1. Dapat membantu klinisi dalam menentukan keterlibatan sistem saraf pusat dan mendiagnosis epilepsi pada pasien sindrom neurokutaneus. 2. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan penanganan yang optimal bagi pasien-pasien sindrom neurokutaneus. 3. Memberikan tambahan pengetahuan neurosains bagai para peneliti, sehingga dapat menjadi dasar penelitian lanjutan mengenai karakteristik EEG/qEEG atau penelitian mengenai sindrom neurokutaneus. 6

F. Keaslian Penelitan Terdapat penelitian-penelitian sebelumnya yang mencari korelasi antara abnormalitas EEG/qEEG dengan sindrom neurokutaneus, yang dijabarkan pada tabel berikut: Tabel 1. Keaslian Penelitian Penelitian Judul Metode Alat ukur Balestri et al., 2003 Malformations of cortical development in neurofibromatosis type 1 Kohort prospective MRI dan EEG Vivarelli et al., 2003 Epilepsi in neurofibromatosis 1 Kohort retrospective EEG, CT Scan dan MRI Hatfield et al., 2007 Quantitative EEG asymmetry correlates with clinical severity in unilateral Sturge-Weber syndrome Cross sectional MRI, qeeg Domańska- Pakiela et al., 2013 EEG abnormalities preceding the epilepsi onset in tuberous sclerosis complex patients - A prospective study of 5 patients Kohort prospective EEG Penelitian ini Analisis karakteristik gambaran elektroensefalografi (EEG) kualitatif dan kuantitatif pada sindrom neurokutaneus Cross sectional EEG dan qeeg 7