KAJI KOMPARATIF PENDAPATAN USAHA TERNAK SAPI PERAH BERDASARKAN SKALA PEMILIKAN TERNAK DI KABUPATEN REJANG LEBONG (Comparative Assessment of the Income of Dairy Cattle Farming Based on Ownership Scale in Rejang Lebang) DADANG SUHERMAN Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Jl. Raya Kandang Limun, Bengkulu ABSTRACT A research was conducted to study the income of dairy cattle farming in Rejang Lebong regency, based on two scales of livestock ownership, that is above and under average of livestock ownership in this area. The study also compared the income between both scales. Thirty dairy cattle breeders were selected from some locations in Rejang Lebong regency. They represented those who are having a potency for developing dairy cattle farming in Rejang Lebong regency. They were grouped into 2 strata of livestock ownership: strata 1 for the ownership of livestock 3 productive cows and strata 2 for the ownership of livestock > 3 productive cows. Results showed that average income per year of dairy cattle in strata 1 was equal to Rp. 4,362,545. This was equal to 35.52% of total family income. The average income per year of dairy cattle farming in strata 2 was equal to Rp. 10,160,489. This was equal to 65.72% of total family income. A comparative analysis on income of dairy cattle farming between both strata showed a significant different (P < 0.01). The dairy cattle farming in strata 2 was indicated by a higher income than that of dairy cattle farming in strata 1. Key Words: Comparative, Income, Dairy Cattle Farming ABSTRAK Suatu penelitian telah dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji pendapatan yang diperoleh dari usaha ternak sapi perah pada dua skala pemilikan ternak, yaitu di atas dan di bawah rata-rata pemilikan ternak. Penelitian ini juga bermaksud untuk membandingkan pendapatan diantara keduanya. 30 peternak diambil sebagai responden. Responden dikelompokkan ke dalam dua strata pemilikan ternak, yaitu 3 ekor sapi perah betina produktif (Strata 1) dan > 3 ekor sapi perah betina produktif (Strata II). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata usaha ternak sapi perah per tahun pada strata I sebesar Rp. 4.362.545. Pendapatan tersebut mampu menyumbang terhadap penerimaan keluarga sebesar 35,52%. Pendapatan rata-rata usaha ternak sapi perah per tahun pada strata II sebesar Rp. 10.160.489. Pendapatan tersebut mampu menyumbang terhadap penerimaan keluarga sebesar 65,72%. Hasil analisis statistik perbandingan pendapatan usaha ternak sapi perah diantara kedua strata pemilikan ternak menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,01). Hasil tersebut menunjukkan bahwa usaha ternak sapi perah pada strata II lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan strata I. Kata Kunci: Komparatif, Pendapatan, Usaha Ternak Sapi Perah PENDAHULUAN Usaha peternakan sapi perah yang dikelola masyarakat pada umumnya hanya merupakan usaha sampingan yang bertujuan sebagai upaya mendapatkan uang tunai harian, penghasil pupuk dan tabungan. Sistem pemeliharaan biasanya dilakukan secara tradisional. Pola usaha semacam ini pada umumnya belum memperhitungkan usaha secara ekonomis. Keadaan tersebut akan berakibat pada rendahnya produktivitas ternak dan pendapatan yang diperoleh peternak. Meskipun demikian, ternyata usaha ternak sapi perah yang dilakukan masyarakat mampu memberikan arti penting sebagai pendapatan tambahan (DIRJEN PETERNAKAN, 1993). 339
Usaha peternakan sapi perah rakyat, sebagian usaha berada pada kondisi yang serba terbatas dengan skala usaha yang relatif kecil (SUKRAENI, 1984; SUHERMAN, 2003). Walaupun demikian, kedudukan ekonomi usaha ternak sapi perah tersebut bagi peternak besar artinya, sebab kehadiran ternak selain untuk memanfaatkan tenaga kerja keluarga dan limbah usahatani, serta kotoran sapi perah sebagai pupuk kandang, yang utama adalah mendapatkan uang tunai harian. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan pendapatan peternak, usaha ini cukup memadai untuk dikembangkan. Jumlah ternak sapi perah yang dipelihara pada skala keluarga umumnya relatif kecil, antara 1 6 ekor pemilikan sapi betina produktif (HARDIKUSUMO, 1981; SUKRAENI, 1984). Di Kabupaten Rejang Lebong rata-rata tingkat pemilikan ternak sapi perah betina produktif sebanyak 3 ekor (BASTARI, 2006). Beberapa kelemahan yang muncul pada usaha skala kecil adalah ketidakmampuan memanfaatkan sumber daya ternak secara efisien serta peternak belum secara optimal memanfaatkan alokasi waktu dan tenaga kerja keluarga yang terlibat, sehingga penerimaan yang diperoleh relatif kecil. Oleh karena itu, tingkat pemilikan ternak yang mampu mengefisienkan pemanfaatan waktu, tenaga kerja, dan keuntungan yang diperoleh merupakan fenomena yang harus diterapkan oleh peternak. Mengingat peternakan sapi perah termasuk suatu usaha dengan penanaman modal yang tinggi per tenaga kerja bila dibandingkan dengan kebanyakan usaha ternak yang lain, hal ini menuntut penggunaan fasilitas yang tersedia untuk mendapatkan output yang tinggi. Penggunaan yang maksimal daripada semua sumber daya, bila pendapatan yang maksimal ingin dicapai. Produksi susu tahunan yang tinggi merupakan hasil dari perhatian yang dicurahkan setiap hari terhadap segala hal yang berhubungan dengan breeding, feeding, dan management. Bila secara praktis teknik tersebut diterapkan pada suatu kelompok dalam jumlah yang cukup hasilnya akan merupakan pendapatan yang memuaskan (FOLEY et al., 1973). Peternak sapi perah dengan jumlah ternak yang lebih banyak mempunyai kesempatan mendapatkan keuntungan yang meningkat (DASUKI, 1983). Hal ini dikemukakan pula bahwa peningkatan dalam jumlah tidak selalu menjamin peningkatan pendapatan bersih, karena operasional yang lebih besar ada dibawah kesanggupan mengelola dari peternaknya sendiri. Jumlah yang lebih besar umumnya akan memperlihatkan biaya produksi yang lebih rendah per ekor sapi perah, juga keefisienan tenaga kerja akan meningkat. Kondisi tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam mencapai tujuan produksi dan pendapatan, jumlah pemilikan ternak sapi perah betina produktif menjadi masalah yang perlu dipertimbangkan. Tingkat pemilikan ternak yang optimum dalam menghasilkan keuntungan yang memadai harus menjadi pertimbangan dalam menjalankan kegiatan usaha ternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha ternak sapi perah pada dua kelompok pemilikan ternak sapi perah betina produktif, yaitu di atas dan di bawah rata-rata tingkat pemilikan ternak sapi perah betina produktif, selain itu penelitian ini, juga bertujuan mengetahui ada tidaknya perbedaan pendapatan usaha ternak sapi perah yang diperoleh pada dua skala pemilikan ternak produktif tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha ternak sapi perah pada dua skala pemilikan ternak sapi perah betina produktif, selain itu dengan membandingkan pendapatan yang diperoleh pada dua skala pemilikan ternak sapi perah produktif tersebut diharapkan dapat memberikan rekomendasi kepada petani ternak mengenai skala pemilikan ternak yang optimum dalam menghasilkan keuntungan. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan dengan metode survei. Sampel responden sebanyak 30 peternak dipilih dari lokasi-lokasi yang merupakan daerah sentral pengembangan usaha ternak sapi perah di kabupaten Rejang Lebong. Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan sengaja (purposive) yaitu di desa Air Putih Kali Bandung, desa Air Duku, dan desa Sambirejo kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong. Pemilihan daerah tersebut sebagai 340
lokasi penelitian, karena daerah tersebut merupakan sentral program pengembangan peternakan sapi perah untuk propinsi Bengkulu yang merupakan program dari pemerintah, dalam hal ini yang dilakukan lewat Dinas Peternakan Kabupaten. Peternakan sapi perah ini dikelola peternak yang tergabung dalam kelompok tani di desa tersebut sejak tahun 2002. Sampel ditentukan dengan metode Stratified Random Sampling, berdasarkan rata-rata pemilikan ternak sapi perah betina produktif (SUKRAENI, 1984; SUHERMAN, 2003) yang dikelompokkan ke dalam dua strata, yaitu strata I, dibawah rata-rata pemilikan sapi perah betina produktif ( 3 ekor) dan strata II, diatas rata-rata pemilikan sapi perah betina produktif (> 3 ekor). Peubah yang akan dibandingkan dalam penelitian ini adalah pendapatan usaha ternak sapi perah pada kedua skala pemilikan ternak sapi perah betina produktif. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji t (SUGIYONO, 2002). Definisi operasional: 1. Pemilikan ternak sapi perah adalah jumlah ternak yang dipelihara peternak dalam kurun waktu 1 tahun, digunakan satuan pengukuran satuan ternak produktif (Satuan Ternak). 2. Ukuran satuan ternak produktif. Termasuk dalam ternak produktif adalah sapi perah sedang laktasi dan kering. 3. Penerimaan usaha ternak sapi perah adalah besarnya penerimaan yang diperoleh dari usaha ternak sapi perah, termasuk penerimaan tunai maupun yang diperhitungkan selama periode 1 tahun. Satuan pengukuran rupiah per tahun. 4. Biaya produksi/pengelolaan adalah seluruh biaya yang dikeluarkan dalam pemeliharaan ternak sapi perah, termasuk biaya produksi tunai maupun yang diperhitungkan selama periode 1 tahun. Satuan pengukuran rupiah per tahun. 5. Pendapatan usaha ternak sapi perah adalah penerimaan usaha ternak sapi perah dikurangi dengan biaya produksi/ pengelolaan selama periode 1 tahun. Satuan pengukuran rupiah per tahun. 6. Penerimaan keluarga adalah pendapatan usaha ternak sapi perah dan penerimaan usaha lainnya, termasuk usahatani sayuran, buruh tani, dagang, pegawai, pertukangan, dan pengrajin. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan umum lokasi penelitian Desa Air Putih Kali Bandung, desa Air Duku, dan desa Sambirejo termasuk kecamatan Selupu Rejang, kabupaten Rejang Lebong, propinsi Bengkulu berada pada ketinggian 900 1400 meter di atas permukaan laut dengan suhu minimum 19 C dan suhu maksimum 28,3 C. Keadaan temperatur lingkungan di ketiga desa tersebut termasuk pada kisaran temperatur yang ideal untuk pengembangan sapi perah, seperti yang dikemukakan WILLIAMSON dan PAYNE (1978) dan Makin (1990), bahwa Comfort Zone untuk ternak sapi perah daerah tropis berkisar 5 21 C dengan kelembaban udara 50 70%. Bila suhu udara lebih dari 21,5 C maka produksi susu akan menurun karena menurunnya konsumsi ransum akibat naiknya suhu udara (BAKAR, 1984). Populasi ternak sapi perah di kecamatan Selupu Rejang berjumlah 134 ekor dari ketiga desa. Jumlah ternak sapi perah yang berada di desa Air Putih Kali Bandung sebesar 46,27%, di desa Air Duku sebesar 46,27% dan di desa Sambirejo sebesar 7,46% dari seluruh jumlah ternak sapi perah. Identitas responden Umur responden menunjukkan usia terendah 28 tahun dan usia tertinggi 74 tahun. Kelompok umur tersebut terdistribusi pada usia 28 60 tahun berjumlah 19 orang atau 95% untuk strata I dan berjumlah 10 orang atau 100% untuk strata II, sedangkan kelompok usia > 60 tahun berjumlah 1 orang atau 5% untuk strata I dan untuk strata II tidak ada yang berumur > 60 tahun. Kondisi kelompok umur seperti ini sangat mendukung dalam melakukan kegiatan usaha ternak sapi perah termasuk kegiatan beternak, karena pada umur 30 60 tahun merupakan umur seseorang untuk melakukan segala sesuatu dengan berpikir dan bertindak secara hati-hati (SANTOSO et al., 1979; HERNANTO, 1996). PRAYITNO dan ARSYAD (1987) berpendapat bahwa tingkat umur akan berpengaruh terhadap kemampuan fisik petani dalam mengelola usahatani maupun pekerjaan tambahan lainnya, namun demikian 341
setelah melewati usia produktif, semakin tinggi umur seseorang maka kemampuan kerjanya relatif menurun. Tingkat pendidikan responden tergolong rendah bila dibandingkan dengan program pendidikan dasar 9 tahun yang telah dicanangkan pemerintah hingga saat ini. Hasil penelitian serta analisis data menunjukkan bahwa hanya 35% pada strata I dan 20% pada strata II yang mempunyai tingkat pendidikan di atas SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama). Tingkat pendidikan yang rendah pada umumnya akan menghambat masuknya suatu inovasi baru (MOSHER, 1977). Sejalan dengan pendapat PRAYITNO dan ARSYAD (1987), bahwa pendidikan yang dimiliki petani peternak mempunyai pengaruh terhadap kemampuan adopsi teknologi dan keterampilan manajemen. Pengalaman beternak responden dalam mengelola usaha ternak sapi perah masih belum lama yang berkisar antara 2 7 tahun. Pengalaman dalam mengelola suatu kegiatan usaha akan sangat berpengaruh terhadap keterampilan dalam mengelola usaha tersebut, sehingga pada akhirnya akan berpengaruh pula dalam pengambilan keputusan-keputusan manajemen, seperti dikemukakan SAMSUDIN (1977) dan SUHERMAN (2003), bahwa bertambahnya tingkat keterampilan diharapkan petani peternak lebih dinamis, aktif dan terbuka dalam mengadopsi inovasi baru. Pemeliharaan ternak sapi perah Sistem pengelolaan usaha ternak sapi perah yang dilakukan responden dengan cara semi intensif. Ternak sapi perah hanya diberikan pakan rumput saja, berupa rumput gajah dan lapang. Rata-rata jumlah rumput yang diberikan per hari 54,41 kg/ekor sapi perah produktif. Jumlah pemberian rumput sudah mencukupi pemberian ideal bagi sapi perah yaitu sebanyak 10% dari berat sapi perah tersebut (SUDONO, 1999). Tetapi kebutuhan nutrisi untuk sapi perah yang sedang laktasi belum tercukupi, maka akibatnya produksi susu lebih rendah. Berat sapi betina produktif Friesian Holstein (FH) yang dipelihara responden rata-rata sebesar 560 kg. Pengelolaan ternak sapi perah sepenuhnya dilkerjakan oleh tenaga kerja keluarga yang meliputi; ayah, ibu, anak-anak dan orang-orang yang menjadi tanggungan kepala keluarga peternak. Jenis kegiatan yang dilakukan dalam mengelola ternak sapi perah meliputi mencari pakan, memberi pakan dan minum, membersihkan kandang, memandikan, memerah sapi perah, serta mengantarkan hasil produksi susu (SUKRAENI, 1984; SUHERMAN, 2003). Dalam hal perkandangan, yang banyak digunakan adalah sistem kandang tunggal, sedangkan sistem two row plan dengan memakai central alley dan sapi-sapi menghadap keluar hanya digunakan sebagian kecil peternak. Letak kandang berjarak dari rumah peternak antara 1,5 7 m, sedangkan keadaan kandang tersebut, sebagian besar atap dari seng, tiang dari kayu dan sebagian besar lantainya dari beton. Dalam satu lokal kandang berkisar 2 5 ekor. Adapun ukuran setiap unit kandang dengan panjang rata-rata 1,8 meter, lebar 1,6 meter, dan tinggi 2,25 3 meter. Sistem perkawinan pada ternak sapi perah telah dilakukan secara inseminasi buatan. Adapun biaya untuk perkawinan seluruhnya ditanggung oleh peternak. Dalam pencegahan penyakit pada sapi perah dilakukan oleh petugas dari Dinas Peternakan Kabupaten Rejang Lebong. Demikian pula dalam hal pengobatan penyakit. Hasil produksi utama dari usaha ternak sapi perah berupa susu, anak sapi dan hasil tambahan berupa pupuk kandang. Hasil tambahan lainnya adalah pertambahan nilai ternak, karena pertambahan berat badan dan jumlah ternak. Produksi susu yang dihasilkan selama masa pemerahan, sebagian besar dijual, sebagian kecil dikonsumsi keluarga dan diberikan pada anak sapi perah. Hal pemasaran susu di Kabupaten Rejang Lebong, keadaannya belum cukup lancar, karena perusahaan susu yang menampung penjualan susu terbatas dalam fasilitas penampungan, sehingga peternak ada yang menjual secara langsung ke konsumen. Harga pembelian susu oleh perusahaan susu sebesar Rp. 1.500 per liter. Biaya produksi dan penerimaan usaha ternak sapi perah Biaya produksi usaha ternak sapi perah meliputi seluruh biaya yang dikeluarkan oleh 342
peternak dalam mengelola usaha ternak sapi perah, yang meliputi biaya tunai maupun yang diperhitungkan. Biaya tunai meliputi pembelian obat-obatan, kesehatan dan IB. Biaya diperhitungkan meliputi biaya tenaga kerja keluarga mengelola usaha ternak dan mencari rumput, penyusutan peralatan usia pakai lebih 1 tahun, penyusutan induk atau bibit, dan penyusutan kandang. Untuk lebih jelasnya bagaimana perbandingan biaya produksi dari kedua strata usaha ternak sapi perah dapat ditunjukkan pada Tabel 1. Hasil penelitian yang tertera pada Tabel 1. menunjukkan bahwa biaya produksi ternak sapi perah per tahun berkisar antara Rp. 2.432.918 hingga Rp. 9.734.100 dengan rata-rata Rp. 5.489.905,00 untuk strata I, serta berkisar antara Rp. 9.497.560 hingga Rp. 15.974.600 dengan rata-rata Rp. 12.861.061 untuk strata II. Perbedaan biaya produksi ini ditentukan oleh perbedaan jumlah jam kerja yang dicurahkan untuk mencari pakan dan penggunaan tenaga kerja keluarga yang harus diperhitungkan sebagai biaya, serta perbedaan jumlah ternak sapi perah betina produktif yang dipelihara. Hal ini sejalan dengan pendapat SUWARDI (1995) dan SUHERMAN (2006) bahwa semakin meningkat pemilikan ternak sapi perah maka lebih besar menyerap modal, biaya, dan tenaga kerja yang lebih tinggi pula. Tabel 1. Rataan Biaya produksi dan penerimaan usaha ternak sapi perah pada dua perbedaan strata usaha Parameter Strata I Strata II Biaya produksi usaha ternak sapi perah (Rp) Penerimaan usaha ternak sapi perah (Rp) 5.489.905 12.861.061 9.852.250 22.021.550 Penerimaan usaha ternak sapi perah meliputi seluruh penerimaan yang dihasilkan dari kegiatan usaha pemeliharaan ternak sapi perah. Penerimaan ini meliputi penerimaan tunai dan penerimaan yang diperhitungkan. Penerimaan tunai usaha ternak sapi perah meliputi hasil penjualan susu, anak dan penjualan kotoran ternak. Penerimaan yang diperhitungkan meliputi kenaikan nilai ternak, anak yang dihasilkan dan kotoran ternak serta air susu yang dimanfaatkan sendiri oleh peternak. Sebagaimana diungkapkan SUKRAENI (1984) bahwa penerimaan usaha ternak sapi perah keturunan FH dapat diperoleh dari penjualan susu, pupuk kandang, penjualan ternak dan nilai tambah ternak. Hasil penelitian yang tertera pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penerimaan usaha ternak sapi perah berkisar antara Rp. 4.985.000 hingga Rp. 16.556.000 per tahun dengan ratarata Rp. 9.852.250 untuk strata I, serta berkisar antara Rp. 17.589.000 hingga Rp. 29.400.000 per tahun dengan rata-rata Rp. 22.021.550 untuk strata II. Perbedaan penerimaan usaha ternak sapi perah ini dipengaruhi oleh jumlah pemilikan ternak sapi perah. Hal ini sesuai dengan pendapat SUWARDI (1995) dan SUHERMAN (2001) bahwa semakin meningkat jumlah pemilikan ternak sapi perah betina produktif maka semakin meningkat penerimaannya. Penerimaan keluarga dan pendapatan usaha ternak sapi perah Penerimaan keluarga peternak meliputi seluruh penerimaan yang diperoleh peternak dari semua sumber yang dapat menghasilkan, baik dari usaha tani yang meliputi hasil usaha tani dan upah buruh tani, maupun penerimaan diluar usaha tani yang meliputi upah buruh bangunan, gaji pegawai negeri sipil, hasil perdagangan, hasil kerajinan, dan hasil yang diperoleh peternak. Untuk lebih jelasnya tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Rataan penerimaan keluarga dan pendapatan usaha ternak sapi perah pada kedua strata usaha Parameter Strata I Strata II Penerimaan keluarga 12.250.500 15.460.800 (Rp) Pendapatan usaha ternak sapi perah (Rp) 4.362.545 10.160.489 Hasil penelitian yang tertera pada Tabel 2 menunjukkan bahwa penerimaan keluarga ratarata sebesar Rp. 12.250.500 per tahun (Rp. 1.020.875 per bulan) untuk strata I dan Rp. 15.460.800 per tahun (Rp. 1.288.400 per bulan) untuk strata II. Angka tersebut masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan upah yang berlaku di kabupaten Rejang Lebong 343
Propinsi Bengkulu pada saat perhitungan yaitu sebesar Rp. 750.000 per bulan. Namun penerimaan keluarga yang diperoleh peternak dihasilkan seluruh anggota keluarga. Hal ini sejalan dengan pendapat ADIWILAGA (1982) bahwa usahatani yang dilakukan peternak di pedesaan merupakan usaha ternak keluarga yang melibatkan seluruh anggota keluarga. Pernyataan ini diperkuat pendapat MUBYARTO (1989) bahwa dalam kegiatan usahatani sebagian besar tenaga berasal dari keluarga petani sendiri yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak petani. Pendapatan usaha ternak sapi perah merupakan selisih antara penerimaan usaha ternak sapi perah dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk pemeliharaan. Hasil penelitian seperti yang tertera pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pendapatan usaha ternak sapi perah berkisar antara Rp. 1.463.072 hingga Rp. 7.859.222 per tahun dengan rata-rata Rp. 4.362.545 per tahun untuk strata I dan berkisar antara Rp. 3.889.730 hingga Rp. 13.425.400 per tahun dengan rata-rata Rp. 10.160.489 per tahun untuk strata II. Pendapatan usaha ternak sapi perah pada strata I mampu menyumbang terhadap penerimaan keluarga sebesar 35,52%, sedangkan untuk strata II mampu menyumbang sebesar 65,72%. Hasil penelitian DASUKI (1983) di Jawa Barat menunjukkan bahwa sumbangan ternak sapi perah terhadap pendapatan usahatani mencapai lebih besar 50% untuk dataran tinggi. Analisis komparatif menggunakan uji t, menunjukkan hasil berbeda nyata (P < 0,01). Hasil tersebut dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan usaha ternak sapi perah pada strata I (skala pemilikan ternak 3 ekor sapi perah betina produktif) dengan strata II (skala pemilikan ternak > 3 ekor sapi perah betina produktif). Dapat pula diartikan bahwa usaha ternak sapi perah dengan tingkat pemilikan pada strata II lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan tingkat pemilikan ternak pada strata I, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 2 yang menunjukkan bahwa pendapatan usaha ternak sapi perah pada strata II lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan usaha ternak strata I. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pendapatan usaha ternak sapi perah pada strata I sebesar Rp. 4.362.545 per tahun, sedangkan strata II sebesar Rp. 10.160.489 per tahun. 2. Sumbangan pendapatan usaha ternak sapi perah terhadap penerimaan keluarga pada strata I sebesar 35,52%, sedangkan pada strata II sebesar 65,72%. 3. Terdapat perbedaan yang nyata (P < 0,01) antara pendapatan usaha ternak sapi perah pada strata I dengan strata II. DAFTAR PUSTAKA ADIWILAGA, A. 1982. Ilmu Usaha Tani. Alumni. Bandung. BAKAR, A. 1984. Perlukah Kawin Silang antara Bangsa Sapi Perah. Supplemen Poultry Indonesia (2) tahun I. BASTARI, A. 2006. Evaluasi faktor-faktor penentu tehnis, tatalaksana, peralatan kandang dan penyakit usaha peternakan sapi perah di kabupaten Rejang Lebong. Karya Ilmiah. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu. DASUKI, M.A. 1983. Perspektif Pengembangan Peternakan Sapi Perah sebagai Landasan Kesepadanan mengisi Kebutuhan Susu di Jawa Barat. Disertasi. Universitas Padjadjaran, Bandung. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 1993. Peternakan Bagian Integrasi dalam Usaha Konservasi Lahan Kering. Bull. Teknik dan Pengembangan Peternakan. Jakarta. FOLEY, N.E., D.L. BATH, F.N. DICKINSON and H.A. TUCKER. 1973. Dairy Cattle: Principles, Practices, Problems, Profits. Lea and Febiger. Philadelphia. HARDIKUSUMO, H. 1981. Efisiensi Ekonomi Factorfaktor Produksi pada Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat di Daerah Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. HERNANTO, F. 1996. Ilmu Usaha Tani. Penebar Swadaya. Jakarta. 344
MAKIN, M. 1990. Studi sifat-sifat Pertumbuhan, Reproduksi dan Produksi Susu Sapi Perah, Sahiwal Cross (Sahiwal x Fries Holland) di Jawa Barat. Disertasi. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. MOSHER, A.T. 1977. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. CV Yasaguna, Jakarta. MUBYARTO. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta. PRAYITNO, H. dan L. ARSYAD. 1987. Petani Desa dan Kemiskinan. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. SAMSUDIN, U. 1977. Dasar-dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian. Binacipta. Bandung. SANTOSO, U. KUSNADI, K. SURIADISASTRA dan S. SITORUS. 1979. Analisa Usaha Peternakan Sapi Perah di daerah Jalur Susu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Buletin Lembaga Penelitian Peternakan. 23: 1 22. SUDONO, A. 1985. Produksi Sapi Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. SUGIYONO. 2002. Statistika untuk Penelitian. CV Alfabeta, Bandung. SUHERMAN, D. 2003. Kajian Agribisnis Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kecamatan Selupu Rejang kabupaten Rejang Lebong. Laporan Penelitian. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Bengkulu. SUHERMAN, D. 2006. Pendapatan dan Pencurahan Tenaga Kerja Keluarga Pada Berbagai Skala Usaha Peternakan Sapi Potong di Kecamatan Sukaraja Bengkulu. J. Sain Peternakan Indonesia. I(2): 26 31. SUHERMAN. D. 2001. Hubungan Fungsional antara konsumsi Energi (TDN), Umur, dan Bobot Badan dengan Produksi susu pada berbagai Skala Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam untuk mencapai Produktivitas Optimum Berkelanjutan. Rapat tahunan Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian BKS- PTN Bandar Lampung. I: 175 180. SUKRAENI, E. 1984. Keefisienan Tehnis dan Ekonomis Usaha Ternak Sapi Perah Rakyat pada Beberapa Tingkat Skala Usaha di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. SUWARDI, N.K. 1995. Prospek Perkembangan usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kecamatan Lembang ditinjau dari efisiensi tehnis dan ekonomis. Karya ilmiah. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. WILLIAMSON, G. and W.J.A. PAYNE. 1978. An Introduction to Animal Husbandry in the Tropics. Longmans, Green and Co. Ltd. London. DISKUSI Pertanyaan: Pakan dan hijauan yang digunakan apa saja? Apakah menggunakan konsentrat? Jawaban: Penggunaan konsentrat menyebabkan produk susu tidak bisa dijual, karena mahal permasalahannya belum ada teknologi untuk pengolahan susu. 345