PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dengan gejala saraf yang progresif dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Korban

PENDAHULUAN. Latar Belakang. mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II

BAB I PENDAHULUAN. Rabies yang dikenal juga dengan nama Lyssahydrophobia, rage, tollwut,

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGASAHAN... RIWAYAT HIDUP... ABSTRAK... v. KATA PENGANTAR. vii. DAFTAR ISI. ix. DAFTAR TABEL.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ISSN situasi. diindonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pemangku kepentingan (stakeholders) sebagaimana telah didiskusikan dalam

SITUASI RABIES DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA TIMUR BERDASARKAN HASIL DIAGNOSA BALAI BESAR VETERINER MAROS

BAB I PENDAHULUAN. Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan

BAB 1 : PENDAHULUAN. Rabies merupakan suatu penyakit zoonosis yaitu penyakit hewan berdarah panas yang

WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG

ANALISIS KUANTITATIF RISIKO PENYEBARAN RABIES DARI BALI. (Quantitative risk analysis of rabies spreading from Bali province)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dan bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEREDARAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Bambang Sumiarto1, Heru Susetya1

KEBIJAKAN NASIONAL DAN STRATEGI PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES

PIDATO PENGANTAR MENTERI PERTANIAN PADA RAPAT KERJA DENGAN KOMISI IV DPR-RI TANGGAL 1 FEBRUARI 2007

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

HASIL DAN PEMBAHASAN

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU

Sebaran Umur Korban Gigitan Anjing Diduga Berpenyakit Rabies pada Manusia di Bali. (The Distribution of Ages on Victims of Rabies in Bali)

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

RIWAYAT HIDUP. anak pertama dari pasangan drh Nyoman Reli dan Ibu Meigy S Pantouw. Penulis

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PEMELIHARAAN DAN LALU LINTAS HEWAN PENULAR RABIES DI KABUPATEN BADUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN AGAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI AGAM,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR : 03 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA

DISTRIBUSI KASUS GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DAN KASUS RABIES DI KABUPATEN NGADA, PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe

LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92. Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PEMASUKAN HEWAN PENULAR RABIES KE WILAYAH PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae (Jallet et al., 1999). Virus rabies

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil)

Ekologi dan Demografi Anjing di Kecamatan Denpasar Timur

I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus

BAB I PENDAHULUAN. Turki dan beberapa Negara Eropa) beresiko terkena penyakit malaria. 1 Malaria

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran epidemiologi..., Lila Kesuma Hairani, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kepercayaan, kita dihadapkan lagi dengan sebuah ancaman penyakit dan kesehatan,

PROGRAM PENGENDALIAN PENYAKIT RABIES. Dinas Kesehatan Provinsi Sumbar

BAB I PENDAHULUAN. terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi

PENYAKIT-PENYAKIT ZOONOSIS DI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB 1 PENDAHULUAN. negara khususnya negara-negara berkembang. Berdasarkan laporan The World

Buletin SKDR. Minggu ke: 5 Thn 2017

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI SIJUNJUNG PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian, karena racun yang dihasilkan oleh kuman

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN

ROAD MAP NASIONAL PEMBERANTASAN RABIES DI INDONESIA

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi **Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sam Ratulangi

BAB 1 PENDAHULUAN. selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus. Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, dalam pasal 152

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES

PARTISIPASI PEMILIK HPR TERHADAP PROGRAM PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES DI DESA ABIANSEMAL DAN DESA BONGKASA PERTIWI KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG

PERATURAN DESA MIAU MERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENERTIBAN HEWAN TERNAK DAN HEWAN PENULAR RABIES YAITU ANJING

Hubungan Pengetahuan Masyarakat Pemelihara Anjing Tentang Bahaya Rabies Terhadap Partisipasi Pencegahan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

Pertanyaan Seputar Flu A (H1N1) Amerika Utara 2009 dan Penyakit Influenza pada Babi

BAB 1 PENDAHULUAN. jenis penyakit menular yang disebabkan oleh virus Chikungunya (CHIK)

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMELIHARAAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Rabies di Indonesia

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdarah Dengue (DBD). Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya

SURVEILANS SWINE INFLUENZA DI WILAYAH KERJA BBVET WATES JOGJAKARTA TH

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang bertujuan untuk meningkatkan

Karena itu mereka sudah sejak awalnya berpendapat bahwa penyakit di daerah panas ini ganjil. Penyakit Tropik Di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Iridoviridae yang banyak mendapatkan perhatian karena telah menyebabkan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menular pada manusia. Oleh karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus di kalangan masyarakat. Menurut World Health Organization

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

Cakupan Vaksinasi Anti Rabies pada Anjing dan Profil Pemilik Anjing Di Daerah Kecamatan Baturiti, Tabanan

BAB I PENDAHULUAN. puncak kejadian leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. umum dari kalimat tersebut jelas bahwa seluruh bangsa Indonesia berhak untuk

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

WASPADA, ADA PMK DI DEPAN MATA Perlunya Analisa Risiko

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. terkena virus rabies kepada manusia yang disebut dengan zoonosis. Penyakit rabies

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 24 TAHUN 2014 TENTANG PEMASUKAN HEWAN-HEWAN TERTENTU KE WILAYAH PROVINSI PAPUA UNTUK KEPENTINGAN KHUSUS

BAB 1 PENDAHULUAN. Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C.

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA SOLOK,

Transkripsi:

PENDAHULUAN Latar Belakang Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Kejadian rabies sangat ditakuti di kalangan masyarakat, karena mengakibatkan penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu berakhir dengan kematian (Yang et al., 2013) atau dengan kata lain case fatality rate mendekati 100% (Kuzmina et al., 2013). Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies (Sudarshan et al., 2013), genus Lyssavirus dari keluarga Rhabdoviridae (Boldbaatar et al., 2010; Nguyen et al., 2011; Muleya et al., 2012). Rabies telah dikenal lama oleh masyarakat dan telah tersebar luas di beberapa negara di dunia. Kematian manusia akibat rabies di Afrika dan Asia diperkirakan mencapai 55.000 orang per tahun (Knobel et al., 2005). Menurut Herget and Nel (2013), perspektif yang terbangun dari tingginya kematian akibat rabies pada manusia di Afrika adalah terkait dengan kemiskinan. Keberadaan rabies di Indonesia menimbulkan masalah utama dari aspek kesehatan masyarakat dengan kematian yang dilaporkan rata-rata 125 orang per tahun (Sedyaningsih, 2011). Rabies dikelompokkan ke dalam penyakit hewan strategis dan mendapat prioritas dalam pencegahan, pengendalian, dan pemberantasannya. Kasus rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Provinsi Jawa Barat pada tahun 1884. Wabah rabies dalam dua dekade belakangan ini memiliki kecenderungan semakin cepat menyebar ke pulau/wilayah lain yang sebelumnya berstatus bebas seperti ke Pulau Flores 1

2 (1997), Provinsi Maluku (2003), Provinsi Maluku Utara (2005), Provinsi Kalimantan Barat (2005), Provinsi Bali (2008), Pulau Nias (2010), Pulau Larat (2010), dan Pulau Dawera (2012). Situasi ini terkait dengan keadaan setempat yang menyangkut pola pemeliharaan anjing, pemahamam, partisipasi, dan perilaku masyarakat. Kebiasaan masyarakat membawa anjing antar pulau, dari daerah tertular ke daerah bebas telah terbukti berperan dalam penyebaran penyakit ini (Dibia dan Amintorogo, 1998; Akoso, 2007; Mailles et al., 2011; Peraita et al., 2012). Provinsi Bali secara historis dikenal sebagai kawasan yang bebas rabies. Kasus rabies di Bali hasil konfirmasi laboratorium pertama kali dilaporkan terjadi di Semenanjung Bukit, Kabupaten Badung pada November 2008. Penelusuran kasus gigitan anjing pada manusia yang berakhir dengan kematian dan didiagnosis suspect rabies paling awal terjadi pada tanggal 10 Juni 2008. Mempertimbangkan masa inkubasi rabies pada anjing sekitar 2 bulan, maka diperkirakan anjing yang menderita rabies dalam masa inkubasi masuk ke Semenanjung Bukit sekitar bulan April 2008, yang kemungkinan diakibatkan oleh kegiatan manusia (Putra dkk., 2009a). Rabies dalam kurun waktu 19 bulan sejak dilaporkan secara resmi, menyebar ke seluruh kabupaten dan kota di Bali sampai ke Pulau Nusa Penida. Sumber virus yang menyebar di Bali belum dapat ditetapkan secara pasti hingga saat ini. Sumber virus kemungkinan berasal dari wilayah-wilayah endemik rabies di Indonesia (Mahardika dkk., 2009). Penelitian berbasis molekuler untuk mengetahui variasi genetik, hubungan kekerabatan virus rabies dan kajian

3 lapangan untuk penelusuran lalu lintas hewan penular rabies (HPR) khususnya anjing yang masuk ke Bali perlu dilakukan. Sejak Bali dinyatakan tertular, upaya-upaya pemberantasan rabies pada hewan telah dilakukan oleh pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat dengan mengimplementasikan prosedur Kesiagaan Darurat Veteriner Rabies Indonesia (Kiatvetindo Rabies). Prinsip utama dalam memutus mata rantai penularan rabies adalah dengan melaksanakan program pengendalian dan pemberantasan secara massal, serentak dan terintegrasi. Program yang dilaksanakan tersebut adalah vaksinasi, eliminasi selektif, surveilans, pengawasan lalu lintas HPR, dan sosialisasi/penyuluhan kepada masyarakat. Teknis pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan rabies secara operasional dari hari ke hari di lapangan menggunakan pendekatan sistem pengendalian wabah (Incident Control System) (Putra dkk., 2008). Selama lebih dari tiga tahun program pemberantasan, upaya-upaya tersebut belum memberikan hasil yang optimal. Kasus rabies pada hewan di Bali sampai saat ini tetap ada setiap bulan. Bahkan, Dibia dkk. (2013) menyatakan status bebas rabies untuk Provinsi Bali belum dapat dicapai hingga 2015. Hewan yang ditemukan tertular rabies dan telah dikonfirmasi secara laboratorium adalah anjing, kucing, babi, kambing, dan sapi. Data epidemiologi sampai dengan Desember 2012 menunjukkan bahwa dari 5.304 sampel otak hewan yang dikonfirmasi di Balai Besar Veteriner Denpasar, 672 diantaranya positif rabies (Supartika dkk., 2013). Menurut Susilawathi et al., (2012), rabies telah muncul sebagai salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Bali. Putra (2012c) melaporkan bahwa sampai dengan November

4 2012, kasus rabies ditemukan di 315 desa dari 723 desa di Bali dengan korban meninggal terkait gigitan anjing dan diduga kuat akibat rabies adalah 145 orang. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran rabies sangat luas dan siklus penularan rabies terus terjadi, sehingga faktor-faktor risiko yang berasosiasi terhadap kejadian rabies pada hewan di Bali perlu diteliti. Hewan utama yang bertindak sebagai penular rabies ke manusia maupun hewan lain di Bali adalah anjing. Hasil surveilans Putra dkk. (2009b) menunjukkan bahwa capaian cakupan vaksinasi sekitar 45% pada anjing di Semenanjung Bukit belum mampu memutus siklus penularan rabies dan risiko menyebarnya penyakit keluar dari daerah tertular masih ada. Hasil kajian serupa di Pulau Flores menunjukkan bahwa realisasi vaksinasi dan eliminasi selektif masing-masing 55,4% dan 6,3% dari populasi anjing dengan antibodi protektif sebesar 64,9% juga belum mampu memutus siklus penularan rabies (Dibia, 2007). Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui epidemiologi rabies di Provinsi Bali dengan 1) menyidik faktor-faktor risiko yang berasosiasi dengan kejadian kasus rabies pada anjing, 2) menemukan penanda molekuler virus rabies isolat Bali, 3) menentukan hubungan kekerabatan antara isolat-isolat virus rabies Bali dengan virus-virus rabies di Indonesia dan di beberapa negara di dunia berdasarkan sekuen fragmen gen penyandi nukleoprotein virus rabies, dan 4) mengidentifikasi jalur penularan rabies melalui penelusuran lalu lintas hewan penular rabies yang masuk ke Bali.

5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi ilmiah mengenai epidemiologi rabies di Bali. Pengetahuan faktor-faktor risiko yang berasosiasi dengan kejadian rabies pada anjing di Bali diperlukan untuk mempercepat pemberantasan rabies. Faktor risiko yang berasosiasi secara signifikan dengan kasus rabies dan model infeksi yang didapat sangat membantu dalam membuat skala prioritas kegiatan pengendalian dan strategi pemberantasan rabies yang sedang dilaksanakan di Bali. Berhasilnya pengendalian rabies pada anjing di Bali memberikan dampak positif terhadap penurunan kasus rabies pada manusia. Berdasarkan pendekatan molekuler dapat dideteksi asam amino spesifik sebagai penanda molekuler yang dimiliki oleh virus rabies Bali sehingga dapat digunakan sebagai penanda epidemiologi. Penanda molekuler virus rabies Bali dapat digunakan dalam merancang oligonukleotida primer spesifik untuk pengembangan metode uji dalam melacak penyebarannya. Informasi berbasis molekuler sangat bermanfaat dalam pelacakan sumber wabah rabies di Bali. Berdasarkan informasi tersebut dapat dipahami dinamika virus dan hubungan kekerabatan dengan berbagai virus lain yang ada di GenBank dan dapat memperkuat upaya untuk memutus rantai penyebaran rabies dimasa yang akan datang. Data genetik virus rabies asal Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Flores yang diisolasi antara tahun 2008 sampai 2010 dapat menjadi informasi genetik virus rabies Indonesia yang terkini. Informasi genetik ini sangat bermanfaat dalam merekonstruksi hubungan kekerabatan diantara virus-virus

6 rabies yang ada di Indonesia sehingga dapat digunakan untuk menyidik asal virus rabies yang menyebar di Bali lebih akurat. Penelusuran lalu lintas hewan penular rabies (anjing) dapat memberikan gambaran asal HPR yang masuk ke Bali dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi kemungkinan sumber penularan virus yang menyebar di Bali. Pemahaman sumber penularan sangat bermanfaat dalam rangka penanganan rabies yang lebih holistik. Keaslian Penelitian Penelusuran artikel hasil kajian kasus kontrol rabies pada anjing di daerah endemis di berbagai negara tidak ditemukan. Kajian kasus kontrol rabies pada anjing di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat pernah dilakukan oleh Kamil dkk. (2004). Wattimena dan Suharyo (2010) hanya mengkaji hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku pemeliharaan anjing terhadap kejadian rabies di Ambon. Faktor-faktor yang berasosiasi dengan pelaksanaan vaksinasi rabies pada anjing bertuan di Kota Makassar telah dikaji oleh Utami (2009). Kajian kasus kontrol dengan mengkaji faktor-faktor yang diduga berasosiasi terhadap kejadian rabies pada anjing di Bali yang meliputi sistem pemeliharaan anjing (jumlah anjing yang dipelihara, pengandangan/pengikatan anjing, memelihara hewan penular rabies (HPR) selain anjing, pemeriksaan kesehatan anjing, kontak dengan anjing lain, status vaksinasi rabies, kondisi fisik anjing, dan anjing diberi makan oleh pemilik), mobilitas anjing (cara memperoleh anjing, asal anjing, dan anjing pernah dibawa keluar desa), pemahaman terhadap bahaya rabies (mengikuti

7 penyuluhan rabies dan pengetahuan bahaya rabies), tingkat pendidikan dan pendapatan pemilik anjing belum pernah dilakukan. Kajian ini diharapkan dapat mengungkap asosiasi dan kekuatan masing-masing faktor risiko terhadap kejadian rabies di Bali. Model yang didapat akan sangat membantu dalam membuat skala prioritas kegiatan pengendalian dan mengoptimalkan pemberantasan rabies yang sedang dilaksanakan. Kajian molekuler pada penelitian ini dilakukan melalui tahapan pengujian sampel otak dengan FAT, isolasi RNA virus, RT-PCR, dan sekuensing. Analisis molekuler fragmen gen dilakukan dengan pendekatan bioinformatika menggunakan program MEGA 4.0. untuk mengetahui variasi genetik, asam amino spesifik sebagai penanda molekuler, jarak genetik dan hubungan kekerabatan masing-masing isolat virus rabies. Kajian tentang variasi genetik dan epidemiologi molekuler rabies di beberapa negara telah banyak dilakukan, diantaranya di Afrika (Talbi et al., 2009), Uni Soviet (Kuzmin et al., 2004), Colombia (Hughes et al., 2004), Irak (Horton et al., 2013), Philipina (Saito et al., 2013), Namibia (Scott et al., 2013), Bangkok (Khawplod et al., 2006), China (Zhang et al., 2006; Yu et al., 2012), Korea (Yang et al., 2011), dan Amerika (Kuzmina et al., 2013). Penelitian tentang penanda molekuler gen penyandi nukleoprotein isolat virus rabies Bali hingga saat ini belum pernah dilaporkan. Karakterisasi gen penyandi nukleoprotein virus rabies sangat diperlukan untuk memperkaya informasi penyakit berbasis molekuler. Penanda molekuler isolat virus rabies Bali hasil penelitian ini diharapkan menjadi temuan yang pertama kalinya untuk virus-

8 virus rabies di Indonesia dan merupakan sumbangan informasi baru bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Sebelumnya, kajian epidemiologi molekuler virus rabies di Indonesia telah dilakukan oleh Susetya et al. (2008) menggunakan isolat-isolat virus rabies yang dikoleksi tahun 1997 sampai 2002 dari beberapa daerah endemis rabies di Indonesia. Kajian epidemiologi molekuler yang didukung dengan kajian lapangan terkait lalu lintas HPR, untuk mengungkap asal mula virus rabies yang menyebar di Bali belum pernah dilakukan. Pengungkapan hubungan kekerabatan virus rabies Bali dengan virus-virus rabies dari beberapa daerah endemis rabies di Indonesia yang diisolasi tahun 2008 sampai dengan 2010 akan menjadi data dasar yang sangat bermanfaat untuk kajian-kajian molekuler virus rabies selanjutnya.