BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sampai saat ini ada 3 (tiga) jenis perkerasan jalan yang sering digunakan, yaitu :

dokumen-dokumen yang mirip
Menetapkan Tebal Lapis Perkerasan

BAB III LANDASAN TEORI. A. Parameter Desain

BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Umum 2.2 Dasar Teori Oglesby, C.H Hicks, R.G

BAB III METODA PERENCANAAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III LANDASAN TEORI. jalan, diperlukan pelapisan ulang (overlay) pada daerah - daerah yang mengalami

BAB III LANDASAN TEORI. Pada metode Bina Marga (BM) ini jenis kerusakan yang perlu diperhatikan

BAB III LANDASAN TEORI

ANALISIS TEBAL PERKERASAN LENTUR DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN SKBI 1987 BINA MARGA DAN METODE AASHTO

BAB II1 METODOLOGI. Berikut ini adalah bagan alir (Flow Chart) proses perencanaan lapis

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian B. Rumusan Masalah

BAB IV PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN LENTUR. perumahan Puri Botanical Residence di jl. Joglo Jakarta barat. ditanah seluas 4058

STUDI KASUS: JALAN RUAS KM. 35 PULANG PISAU. Adi Sutrisno 06/198150/TK/32229

B. Metode AASHTO 1993 LHR 2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

STUDI BANDING DESAIN TEBAL PERKERASAN LENTUR MENGGUNAKAN METODE SNI F DAN Pt T B

BAB III LANDASAN TEORI. dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement

Gambar 3.1. Diagram Nilai PCI

BAB III METODOLOGI 3.1 Metode Pengumpulan Data

BAB IV PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN LENTUR

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi syarat-syarat secara teknis maupun ekonomis. Syarat-Syarat umum jalan yang harus dipenuhi adalah:

DAFTAR ISI. Halaman Judul Pengesahan KATA PENGANTAR

B. Metode AASHTO 1993 LHR 2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Provinsi Banten ini nantinya akan berubah status dari Jalan Kolektor

BAB IV STUDI KASUS BAB 4 STUDI KASUS

PERKERASAN DAN PELEBARAN RUAS JALAN PADA PAKET HEPANG NITA DENGAN SYSTEM LATASTON

BAB IV METODE PENELITIAN. Mulai. Identifikasi Masalah. Studi Literatur. Pengumpulan Data Sekunder. Rekapitulasi Data. Pengolahan Data.

BAB III LANDASAN TEORI. dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement

BAB III METODOLOGI PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR KONSTRUKSI JALAN RAYA. 1. Nama Proyek : Pembangunan Jalan Spine Road III Bukit Sentul

BAB V VERIFIKASI PROGRAM

BAB II DASAR TEORI BAB 2 DASAR TEORI

BAB III LANDASAN TEORI. A. Perkerasan Lentur

STUDI KORELASI DAYA DUKUNG TANAH DENGAN INDEK TEBAL PERKERASAN JALAN MENGGUNAKAN METODE BINA MARGA

PENGARUH KELEBIHAN BEBAN TERHADAP UMUR RENCANA JALAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Metode Analisa Komponen

Jurnal J-ENSITEC, 01 (2014)

TINJAUAN TEBAL PERKERASAN LENTUR JALAN SIMPANG BULOH LINE PIPA STA , PEMKOT LHOKSEUMAWE 1 Romaynoor Ismy dan 2 Hayatun Nufus 1

BAB III LANDASAN TEORI

ALTERNATIF LAIN ANALISIS STRUKTUR JALAN PERKERASAN LENTUR PADA PEMBANGUNANJALAN LINGKAR SELATAN KOTA PASURUAN

7.1. PERKERASAN JALAN (PAVEMENT)

ANALISIS TEBAL LAPISAN PERKERASAN LENTUR JALAN LINGKAR MAJALAYA DENGAN MENGGUNAKAN METODE ANALISIS KOMPONEN SNI

KOMPARASI TEBAL PERKERASAN LENTUR METODE AASHTO 1993 DENGAN METODE BINA MARGA

Studi Pengaruh Pengurangan Tebal Perkerasan Kaku Terhadap Umur Rencana Menggunakan Metode AASHTO 1993

DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM DITERBITKAN OLEH YAYASAN BADAN PENERBIT PU

BINA MARGA PT T B

Teknik Sipil Itenas No. x Vol. xx Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Agustus 2015

DAFTAR ISI.. KATA PENGANTAR i DAFTAR GAMBAR. DAFTAR TABEL.. DAFTAR NOTASI DAFTAR LAMPIRAN..

Penggunaan Hot Rolled Asphalt Sebagai Alternatif Lapisan Tambahan Perkerasan pada Ruas Jalan Pacitan Glonggong di Pacitan. Sri Wiwoho M, ST, MT

PERANCANGAN PERKERASAN CONCRETE BLOCK DAN ESTIMASI BIAYA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENULISAN. program sebagai alat bantu adalah sbb: a. Penyelesaian perhitungan menggunakan alat bantu software komputer untuk

STUDI PENGARUH BEBAN BELEBIH (OVERLOAD) TERHADAP PENGURANGAN UMUR RENCANA PERKERASAN JALAN

LAPORAN. Ditulis untuk Menyelesaikan Matakuliah Tugas Akhir Semester VI Pendidikan Program Diploma III. oleh: NIM NIM.

PROGRAM KOMPUTER UNTUK DESAIN PERKERASAN LENTUR JALAN RAYA

TINJAUAN ULANG PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR JALAN RAYA MENGGUNAKAN METODE BINA MARGA

ANALISA PENGUJIAN DYNAMIC CONE PENETROMETER

BAB V EVALUASI V-1 BAB V EVALUASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perencanaan tebal perkerasan yang mempunyai lingkup perencanaan bahan dan

1 FERRY ANDRI, 2 EDUARDI PRAHARA

PERBANDINGAN TEBAL LAPIS PERKERASAN DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN DAN ASPHALT INSTITUTE

BAB I PENDAHULUAN Perkembangan Teknologi Jalan Raya

PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR AKIBAT MENINGKATNYA BEBAN LALU LINTAS PADA JALAN SINGKAWANG-SAGATANI KECAMATAN SINGKAWANG SELATAN

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Tahapan Penelitian

PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR PADA RUAS JALAN CIJELAG - CIKAMURANG DENGAN MENGGUNAKAN METODE AASTHO 93

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dasar dan roda kendaraan, sehingga merupakan lapisan yang berhubungan

BAB I PENDAHULUAN. 1. mahasiswa dapat melakukan identifikasi (identify) metoda-metoda yang digunakan

Agus Surandono 1) Rivan Rinaldi 2)

PERANCANGAN TEBAL PERKERASAN DAN ESTIMASI BIAYA JALAN RAYA LAWEAN SUKAPURA ( PROBOLINGGO )

PERENCANAAN ULANG TEBAL PERKERASAN BERDASARKAN FOKTOR-FAKTOR KERUSAKAN JALAN (Studi Kasus: Jalan Lapang Ujung Barasok, Kecamatan Johan Pahlawan)

PERENCANAAN PERKERASAN JALAN

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS

BAB III LANDASAN TEORI

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

ANALISA PERHITUNGAN TEBAL LAPIS PERKERASAN LENTUR ( FLEXIBEL PAVEMENT) PADA PAKET PENINGKATAN STRUKTUR JALAN SIPIROK - PAL XI (KM KM. 115.

ANALISIS TEBAL PERKERASAN LENTUR JALAN BARU MENGGUNAKAN MANUAL DESAIN PERKERASAN JALAN (MDP) 2013

FASILITAS PEJALAN KAKI

ANALISA PERBANDINGAN PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE BINA MARGA, ASPHALT INSTITUTE DAN AASHTO 1993

PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN RUAS JALAN DI STA S/D PADA AREAL PERKEBUNAN SAWIT PT. JABONTARA EKA KARSA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kadar air menggunakan tanah terganggu (disturbed), dilakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPISAN STRUKTUR PERKERASAN JALAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS TEBAL LAPIS PERKERASAN DENGAN METODE BINA MARGA 1987 DAN AASHTO Sri Nuryati

ANALISA DAMPAK BEBAN KENDARAAN TERHADAP KERUSAKAN JALAN. (Studi Kasus : Ruas Jalan Pahlawah, Kec. Citeureup, Kab. Bogor) Oleh:

LAPORAN TUGAS AKHIR. Ditulis untuk Menyelesaikan Matakuliah Tugas Akhir Semester VI Pendidikan Program Diploma III. oleh:

PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN JALAN BARU ANTARA RUAS JALAN TERMINAL INDIHIANG DENGANJALAN TASIKMALAYA BANDUNG (CISAYONG)

STUDI PENGARUH PENGAMBILAN ANGKA EKIVALEN BEBAN KENDARAAN PADA PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN FLEKSIBEL DI JALAN MANADO BITUNG

Re-Desain Lapisan Perkerasan Lentur Pada Ruas Jalan Lingkar Timur Baru STA STA 4+040,667 di Kabupaten Sidoarjo. A.

PERENCANAAN PENINGKATAN JALAN TUBAN BULU KM KM JAWA TIMUR DENGAN PERKERASAN LENTUR

BAB II LANDASAN TEORI

A. LAPISAN PERKERASAN LENTUR

Dalam perencanaan lapis perkerasan suatu jalan sangat perlu diperhatikan, bahwa bukan cuma karakteristik

Lebar Perkerasan (L) Jumlah Lajur (n)

PERENCANAAN PERBAIKAN TANAH DAN PERKERASAN JALAN CAUSEWAY PENGHUBUNG DERMAGA TELUK LAMONG

Studi Penanganan Ruas Jalan Bulu Batas Kota Tuban Provinsi Jawa Timur Menggunakan Data FWD dan Data Mata Garuda

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. cara membandingkan hasil perhitungan manual dengan hasil perhitungan

BAB III METODE PERENCANAAN. 1. Metode observasi dalam hal ini yang sangat membantu dalam mengetahui

LAPORAN. Ditulis untuk Menyelesaikan Matakuliah Tugas Akhir Semester VI Pendidikan Program Diploma III. oleh: NIM NIM.

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Perkerasan Jalan Sampai saat ini ada 3 (tiga) jenis perkerasan jalan yang sering digunakan, yaitu : perkerasan lentur, perkerasan kaku dan gabungan dari keduanya atau yang populer dengan istilah perkerasan komposit. Perbedaan utama dari ketiganya adalah pada bahan pengikat, perkerasan lentur menggunakan aspal dan perkerasan kaku menggunakan portland cement (pc). Perkerasan lentur umumnya terdiri dari tiga lapis yang terdiri dari lapis permukaan, lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah yang terletak diatas tanah dasar ( subgrade). Sedangkan pada perkerasan kaku, pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar dengan atau tanpa lapis pondasi bawah. Untuk perkerasan komposit dapat berupa perkerasan lentur diatas perkerasan kaku atau perkerasan kaku diatas perkerasan lentur. Jika mengikuti sejarah perkembangan perkerasan jalan, metode penggunaan tiga macam atau lebih material yang digunakan dengan cara berlapis pada perkerasan lentur merupakan modifikasi dari perkerasan yang sudah ada sebelumnya. Pada zaman keemasan Romawi yaitu sekitar abad ke 4 SM sampai abad ke 4 M, perkerasan jalan sudah dibuat berlapis seperti terlihat pada Gambar 2.1. II 1

Gambar 2.1. Perkerasan di zaman Romawi. Pada akhir abad ke 18, Thomas Telford (1757 1834) seorang ahli jembatan lengkung dari batu berkebangsaan Inggris, membuat konstruksi perkerasan jalan yang prinsipnya seperti jembatan lengkung yaitu prinsip desakdesakan. Batu batu belah yang dipasang untuk perkerasan disusun tegak berdiri dengan menggunakan tangan sehingga saling berdesakan. Sedangkan diatas batu belah tersebut diberi batu pengisi yang ukurannya kecil agar jalan tersebut menjadi rata. Konstruksi ini sangat kuat sebagai pondasi jalan dan cukup berhasil. Konstruksi inilah yang dinamakan perkerasan Telford. Gambar 2.2. Perkerasan Telford. Sedangkan perkerasan makadam ditemukan oleh John London Mc Adam (1756 1836). Perkerasan makadam ini menggunakan prinsip tumpangtindih dengan memakai batubatu pecah ukuran terbesar 3. Poripori diatasnya ditutup dengan batu yang lebih kecil/halus. II 2

Gambar 2.3. Perkerasan Makadam Kedua konstruksi ini sampai sekarang masih lazim digunakan di daerahdaerah. Sistem telford sangat cocok untuk program padat karya, tetapi sistem ini memakan waktu lama. Jika ingin pekerjaan yang lebih cepat maka sistem makadam bisa menjadi alternatif yang baik. Seiring dengan perkembangan teknologi, inovasi mengenai perkerasan jalan pun terus dilakukan. Di dalam jurnal berjudul Kelebihan Serta Kekurangan Perkerasan Beraspal dan Beton, M. Syahdanulirwan dari Puslitbang Jalan dan Jembatan menyebutkan beberapa alternatif perkerasan, diantaranya : Cement Treated Asphalt Mixing (CTAM) Konstruksi ini terbuat dari perkerasan beraspal yang sangat porous, kemudian disirami dengan pasta (mortar) semen. Keunggulan nya adalah kekuatan yang jauh diatas perkerasan beraspal, mendekati perkerasan beton. Beton Elastis Perkerasan ini ditujukan untuk memperbaiki sifat beton sehingga bisa lebih adaptif terhadap badan jalan yang belum stabil. Modifikasi yang dilakukan adalah dengan menambahkan karet atau fiber kedalam campuran beton. Perkerasan beton ini memiliki kekuatan yang lebih II 3

rendah dari beton biasa namun dengan kelenturan yang dimiliki diharapkan perkerasan ini tidak mudah patah atau retak. Beton precast Tujuan dari konstruksi ini salah satunya tentu saja untuk mengurangi waktu tunggu bagi lalu lintas, dari 28 hari menjadi hanya beberapa jam. Konstruksi ini pernah dicoba pada waktu perbaikan jalur busway Jakarta yang dilaksanakan di malam hari dan esok paginya sudah bisa dilewati kendaraan. Hubungan antar segmen pada beton precast biasanya tidak sebaik beton yang dicor di tempat, oleh karena itu, hubungan antar segmen ini perlu mendapat perhatian. Selain itu, untuk perbaikan jalan rusak dikenalkan pula metode pavement recycling atau daur ulang perkerasan jalan. Metode ini belum banyak diterapkan di Indonesia, namun dengan semakin gencarnya isu pelestarian lingkungan tentu alternatif ini bisa dipilih. Pada metode ini material eksisting pada jalan yang rusak dimanfaatkan kembali menjadi lapis pondasi baru yang kekuatannya bisa dipertanggungjawabkan. 2.2 Lapisan Perkerasan pada Perkerasan Lentur 2.2.1 Lapis Permukaan Lapis permukaan adalah bagian perkerasan yang paling atas. Fungsi lapis permukaan dapat meliputi : II 4

a. Struktural Ikut mendukung dan menyebarkan beban kendaraan yang diterima oleh perkerasan, baik beban vertikal maupun beban horizontal. Oleh karena itu persyaratan yang dituntut ialah kuat, kokoh dan stabil. b. Non Struktural Lapis kedap air, mencegah masuknya air kedalam lapisan perkerasan yang ada dibawahnya. Menyediakan permukaan yang tetap rata, agar kendaraan dapat berjalan dan memperoleh kenyamanan yang cukup. Membentuk permukaan yang tidak licin, sehingga tersedia koefisien gerak (skid resistance) yang cukup, untuk menjamin tersedianya keamanan lalu lintas. Sebagai lapisan aus, yaitu lapis yang dapat aus yang selanjutnya dapat diganti lagi dengan yang baru. 2.2.2 Lapis Pondasi Atas (LPA) / Base Course Lapis pondasi atas adalah bagian dari perkerasan yang terletak antara lapis permukaan dan lapis pondasi bawah. Fungsi lapis ini adalah : Lapis pendukung bagi lapis permukaan Pemikul beban horisontal dan vertikal Lapis perkerasan bagi lapis pondasi bawah 2.2.3 Lapis Pondasi Bawah (LPB) / Subbase Course Lapis pondasi bawah adalah bagian perkerasan yang terletak antara lapis pondasi dan tanah dasar. Fungsi lapis ini adalah : II 5

Penyebar beban roda Lapis peresapan Lapis pencegah masuknya tanah dasar ke lapis pondasi Lapis pertama pada pembuatan perkerasan 2.2.4 Tanah Dasar / Subgrade Tanah dasar adalah permukaan tanah semula, permukaan tanah galian atau permukaan tanah timbunan yang dipadatkan dan merupakan permukaan tanah dasar untuk perletakan bagianbagian perkerasan lainnya. Daya dukung tanah dasar (subgrade) pada perencanaan perkerasan lentur dinyatakan dengan nilai CBR (California Bearing Ratio). Nilai CBR diperoleh dari hasil pemeriksaan yang telah disiapkan di laboratorium atau langsung dilapangan. Suatu jalan dapat saja melintasi tanah dengan kekuatan tanah dasar yang bervariasi antara nilai yang baik dan yang jelek. Jika perencanaan tebal perkerasan jalan hanya berdasarkan nilai yang terjelek bisa jadi tersebut tidak akan ekonomis, sedangkan jika hanya berdasarkan nilai yang terbaik/terbesar, jalan tersebut kemungkinan tidak memenuhi syarat. Sebaiknya panjang jalan tersebut dibagi atas segmensegmen jalan, dimana setiap segmen mempunyai daya dukung yang hampir sama. Setiap segmen mempunyai satu nilai CBR yang mewakili daya dukung tanah dasar dan dipergunakan untuk prencanaan tebal lapisan perkerasan dari segmen tersebut. Nilai CBR segmen dapat ditentukan dengan mempergunakan cara analitis atau dengan cara grafis. II 6

a. Cara Analitis CBR segmen = CBR ratarata (CBR maks CBR min )/R Dimana nilai R tergantung dari jumlah data yang terdapat dalam satu segmen. Besarnya nilai R dapat dilihat pada tabel dibawah ini : b. Cara grafis Tabel 2.1. Nilai R untuk perhitungan CBR segmen Prosedurnya sebagai berikut : 1. Tentukan nilai CBR yang terendah. 2. Tentukan berapa banyak nilai CBR yang sama atau lebih besar dari masingmasing nilai CBR dan kemudian disusun secara tabelaris mulai dari nilai CBR terkecil sampai yang terbesar. Jumlah titik pengamatan Nilai R 2 1,41 3 1,91 4 2,24 5 2,48 6 2,67 7 2,83 8 2,96 9 3,08 >10 3,18 3. Angka terbanyak diberi nilai 100%, angka yang lain merupakan persentase dari 100% 4. Dibuat grafik hubungan antara herga CBR dan persentase jumlah tadi. 5. Nilai CBR segmen adalah nilai pada keadaan 90% II 7

Contoh Perhitungan : Dari hasil pemeriksaan daya dukung tanah dasar sepanjang jalan, diperoleh nilainilai CBR sebagai berikut : 4%, 2%, 3%, 4%, 4%, 6%, 8%, 4%. Cara analitis : CBR ratarata segmen = (4+2+3+4+4+6+8+4)/8 = 4,375 CBR segmen = 4,375 (82)/2,96 = 2,347 % Cara grafis : CBR Jumlah yang sama atau Persen (%) yang sama lebih besar atau lebih besar 2 8 8/8 x 100% = 100 % 3 7 7/8 x 100% = 87,5 % 4 6 6/8 x 100% = 75 % 6 2 2/8 x 100% = 25 % 8 1 1/8 x 100% = 12,5 % Gambar 2.4. Grafik nilai CBR segmen II 8

2.3 Perencanaan Tebal Perkerasan Metode Bina Marga (SNI 03 1732 1989 / SKBI : 2.3.26.1987) a. Data yang diperlukan Data tanah dasar : CBR Lalu Lintas : Volume/ADT (Average Daily Traffic), komposisi, konfigurasi as/sumbu dan beban, angka pertumbuhan. Material : Sifatsifat Ketentuan lain : Umur rencana, keadaan umum daerah sekitarnya, alignment (faktor regional). b. Prinsip prinsip Cara Bina Marga Nomogram yang ada berdasarkan analisa lalu lintas 10 tahun. Untuk keadaan lalu lintas (umur rencana=ur) tidak selama 10 tahun, dapat digunakan "Faktor Penyesuaian" (FP). UR FP... (2.1) 10 Cara Bina Marga hanya berlaku untuk material berbutir kasar (granular material) dan tidak berlaku untuk batubatu besar (telford). Besaranbesaran yang digunakan antara lain: Daya Dukung Tanah (DDT) Lintas Harian Ratarata(LHR) II 9

Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) Lintas Ekivalen Akhir (LEA) Lintas Ekivalen Tengah (LET) Faktor Regional (FR) Index Permukaan (IP) IP0 (IP pada awal tahun) dan IPt (IP pada akhir masa pelayanan) Faktor Penyesuaian (FP) Angka Ekivalen Beban (AE) Koefisien distribusi kendaraan (C) Index Tebal Perkerasan (ITP) Koefsien Kekuatan Relatif (a) 2.3.1 Tahapan Perhitungan Tebal Perkerasan Metode SNI 03 1732 1989 1. Menentukan nilai DDT dengan menggunakan rumus hubungan CBR dan DDT DDT = (4,3 log CBR) + 1,7... (2.2) atau dapat pula menggunakan Grafik Korelasi hubungan DDT dan CBR dengan cara menarik garis mendatar dari nilai CBR II 10

Gambar 2.5. Korelasi DDT dan CBR 2. Tentukan umur rencana dan jenis material yang digunakan 3. Tentukan faktor pertumbuhan lalu lintas selama masa pelaksanaan dan selama umur rencana ( i % ) 4. Tentukan Faktor Regional (FR) II 11

Tabel 2.2. Faktor Regional Iklim I <900mm/th Iklim II >900mm/th Kelandaian I (<6%) Kelandaian II ( 6 10% ) Kelandaian III (>10%) % kendaran berat 30% >30% 30% >30% 30% >30% 0.5 1.01.5 1.0 1.52.0 1.5 2.02.5 1.5 2.02.5 2.0 2.53.0 2.5 3.03.5 dari : SKBI 2.3.26.1987/SNI 0317321989 5. Tentukan LHR awal dan LHR akhir 6. Tentukan faktor distribusi kendaraan (C) dan angka ekivalen beban sumbu (E) Tabel 2.3. Koefisien Distribusi Kendaraan (C) Jumlah lajur Kendaraan ringan * Kendaraan berat ** 1 arah 2 arah 1 arah 2 arah 1 1.00 1.00 1.00 1.00 2 0.60 0.50 0.70 0.50 3 0.40 0.40 0.50 0.475 4 0.30 0.45 5 0.25 0.425 6 0.20 0.40 * berat total < 5 ton, misalnya : mobil penumpang, pick up, mobil hantaran ** berat total 5 ton, misalnya : bus, truk, traktor, semi trailer, trailer dari : SKBI 2.3.26.1987/SNI 0317321989 Jumlah jalur ditentukan berdasarkan lebar perkerasan seperti yang diperlihatkan di tabel berikut ini : II 12

Tabel 2.4. Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan Lebar perkerasan ( L ) Jumlah lajur ( n ) L < 5.50 m 5.50 m L < 8.25 m 8.25 m L < 11.25 m 11.25 m L < 15.00 m 15.00 m L < 18.75 m 18.75 m L < 22.00 m 1 2 3 4 5 6 dari : SKBI 2.3.26.1987/SNI 0317321989 Angka ekivalen (E) masing masing golongan beban sumbu (setiap kendaraan) ditentukan menurut rumus dibawah ini : Angka ekivalen sumbu tunggal = ( beban satu sumbu tunggal dalam kg 8160 ) 4... (2.3) Angka ekivalen sumbu ganda = 0,086 ( beban satu sumbu ganda dalam kg 8160 ) 4... (2.4) Angka ekivalen dapat juga diperoleh dengan menggunakan tabel dibawah ini. Tabel 2.5. Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan Beban satu sumbu Angka ekivalen kg Lbs Sumbu tunggal Sumbu ganda 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 2205 4409 6614 8818 11023 13228 15432 0.0002 0.0036 0.0183 0.0577 0.1410 0.2923 0.5415 0.0003 0.0016 0.0050 0.0121 0.0251 0.0466 II 13

8000 17637 0.9238 0.0794 8160 18000 1.000 0.0860 9000 19841 1.4798 0.1273 10000 22046 2.2555 0.1940 11000 24251 3.3022 0.2840 12000 26455 4.6770 0.4022 13000 28660 6.4419 0.5540 14000 30864 8.6647 0.7452 15000 33069 11.4148 0.9820 16000 35276 14.7815 1.27132 7. Tentukan LEP, LEA, LET dan LER dari : SKBI 2.3.26.1987/SNI 0317321989 LEP = n LHR j1 j C j E j... (2.5) n LHR LEA = j j j j1 UR 1 i C E... (2.6) Catatan : i = Perkembangan lalu lintas LET = LEP LEA 2 J = Jenis Kendaraan... (2.7) LER = LET x FP... (2.8) dimana FP = UR/10 8. Tentukan Indeks Permukaan Awal (Ipo ) dan Indeks Permukaan Akhir (IPt) II 14

Tabel 2.6. Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IP) Jenis lapis perkerasan Ipo Roughness (mm/km) LASTON LASBUTAG HRA 4 3.93.5 3.93.5 3.43.0 3.93.5 3.43.0 1000 >1000 2000 > 2000 2000 > 2000 BURDA 3.93.5 < 2000 BURTU 3.43.0 < 2000 LAPEN 3.43.0 2.92.5 3000 < 3000 LATASBUM 2.92.5 BURAS 2.92.5 LATASIR 2.92.5 JALAN TANAH 2.4 JALAN KERIKIL 2.4 dari : SKBI 2.3.26.1987/SNI 0317321989 Tabel 2.7. Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IPo) LER Klasifikasi jalan lokal kolektor Arteri Tol <10 1.01.5 1.5 1.52.0 10100 1.5 1.52.0 2.0 1001000 1.52.0 2.0 2.02.5 >1000 2.02.5 2.5 2.5 dari : SKBI 2.3.26.1987/SNI 0317321989 II 15

9. Tentukan Indeks Tebal Perkerasan (ITP) dengan mempergunakan salah satu nomogram 19 yang sesuai dengan nilai Ipo dan Ipt Gambar 2.6. Contoh nomogram 10. Tentukan koefisien kekuatan relatif (a) dari setiap jenis lapisan yang dipilih. Tabel 2.8. Koefisien Kekuatan Relatif Koefisien kekuatan relatif Kekutan bahan Jenis bahan a 1 a 2 a 3 MS (kg ) Kt (kg/cm) CBR (%) 0.40 0.35 744 590 0.32 454 LASTON 0.30 340 0.35 0.31 0.28 744 590 454 LASBUTAG 0.26 340 0.30 340 HRA II 16

0.26 0.25 0.20 340 ASPAL MACAM LAPEN(MEKANIS) LAPEN(MANUAL) 0.28 0.26 590 454 LASTON Atas 0.24 340 0.23 0.19 LAPEN(MEKANIS) LAPEN(MANUAL 0.15 0.13 22 18 Stabilitas tanah Dengan semen 0.15 0.13 22 18 Stabilitas tanah Dengan kapur 0.14 0.13 0.12 100 80 60 Batu pecah (kls A) Batu pecah (kls B) Batu pecah (klsc) 0.13 0.12 0.11 70 50 30 SIRTU/pitrun (A) SIRTU/pitrun (B) SIRTU/pitrun (C) 0.10 20 Tanah/Lempung dari : SKBI 2.3.26.1987/SNI 0317321989 11. Tentukan tebal masingmasing lapisan dengan rumus : ITP a D... (2.9) 1. D1 a2. D2 a3. 3 D1 D2 D3 Lapisan permukaan Lapis pondasi Lapis pondasi bawah Gambar 2.7. Susunan lapis perkerasan jalan II 17

12. Kontrol apakah tebal masingmasing lapisan memenuhi batas minimum persyaratan dan ITP. Tabel. 2.9. Batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan ITP Tebal minimum Bahan 1. Lapis permukaan : < 3.00 5 Lapis pelindung : (BURAS /BURTU/BURDA ) 3.00 6.70 5 LAPEN/Aspal macadam, HIRA, LASBUTAG, LASTON 6.71 7.49 7.5 LAPEN/Aspal macadam, HIRA, LASBUTAG, LASTON 7.50 9.99 7.5 LASBUTAG, LASTON 10.00 10 LASTON 2. Lapis pondasi atas < 3.00 15 Batu pecah, stabilitasi tanah dengan semen, stabilitasi dengan kapur 3.00 7.49 20*) Batu pecah, stabilitasi tanah dengan semen, stabilitasi dengan kapur 7.50 9.99 10 20 10 12.14 15 20 LASTON Atas Batu pecah, stabilitasi tanah dengan semen, stabilitasi dengan kapur, pondasi macadam LASTON Atas Batu pecah, stabilitasi tanah dengan semen, stabilitasi dengan kapur, pondasi macadam, LAPEN, LASTON Atas II 18

12.25 25 Batu pecah, stabilitasi tanah dengan semen, stabilitasi dengan kapur, pondasi macadam, LAPEN, LASTON Atas 3. Lapis pondasi bawah Untuk setiap ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum adalah 10 cm. dari : SKBI 2.3.26.1987/SNI 0317321989 Gambar 2.8. Bagan alir perencanaan tebal perkerasan SNI 03 1732 1989 II 19

2.4. Perencanaan Tebal Perkerasan Metode AASHTO 1993 Pada metode AASHTO 1993, terdapat beberapa parameter untuk perhitungan yang berbeda dengan metode SNI 0317321989, parameter tersebut antara lain : a. Modulus Resilien (MR) Modulus resilien adalah parameter tanah dasar yang digunakan dalam perencanaan. Modulus resilien tanah dasar juga dapat diperkirakan dari CBR standar dan hasil atau nilai tes soil index. Korelasi modulus resilien dengan nilai CBR berikut ini dapat digunakan untuk tanah berbutir halus (fine grained soil) dengan nilai CBR terendam 10 atau lebih kecil. M R (psi) = 1.500 x CBR...(2.10) b. Reliabilitas (R) Reliabilitas (R) adalah tingkat kepastian atau probabilitas bahwa struktur perkerasan mampu melayani arus lalu lintas selama umur rencana sesuai dengan proses penurunan kinerja struktur perkerasan yang dinyatakan dengan serviceability yang direncanakan. Faktor utama yang menentukan kinerja struktur perkerasan jalan antara lain : struktur perkerasan seperti tebal dan mutu setiap lapisan perkerasan; kondisi lingkungan seperti temperatur, curah hujan, kondisi tanah dasar; perkiraan repetisi beban lalu lintas dan proyeksi selama umur rencana; perkiraan daya dukung tanah dasar. II 20

Reliabilitas digunakan pada metode AASHTO 1993 untuk mengalikan repetisi beban lalu lintas yang diperkirakan selama umur rencana dengan faktor reliabilitas (F R ) 1, sehingga : W t = (w t )(F R )... (2.11) dimana : W t = ESAL perkiraan berdasarkan kinerja struktur perkerasan mencapai nilai pt yang digunakan untuk menentukan tebal lapisan perkerasan. w t = ESAL perkiraan selama umur rencana F R = faktor reliabilitas Efek adanya faktor reliabilitas dalam perencanaan adalah meningkatkan ESAL yang digunakan untuk merencanakan tebal perkerasan jalan. Nilai F R ditentukan sebagai berikut : F R = 10 ZR(So)... (2.12) dengan : Z R = penyimpangan normal standar S 0 = deviasi standar keseluruhan dari distribusi normal sehubungan dengan kesalahan yang terjadi pada perkiraan lalu lintas dan kinerja perkerasan. Rentang nilai S 0 antara 0,4 0,5 Dalam persamaan desain perkerasan lentur, nilai R diakomodasi dengan parameter penyimpangan normal standar (Z R ). II 21

Tabel. 2.10. Nilai penyimpangan normal standar (Z R ) untuk tingkat reliabilitas (R) tertentu Tabel. 2.11. Rekomendasi tingkat reliabilitas sesuai fungsi jalan Fungsi Jalan Rekomendasi tingkat reliabilitas Urban Rural Bebas hambatan 85 99,99 80 99,99 Arteri 80 99 75 95 Kolektor 80 95 75 95 Lokal 50 80 50 80 c. Penentuan angka ekivalen Angka ekivalen (E) menunjukkan jumlah lintasan sumbu standar sumbu tunggal roda ganda dengan beban 18.000 pon yang mengakibatkan kerusakan yang sama pada struktur perkerasan jalan jika dilintasi oleh jenis dan beban sumbu tertentu atau jenis dan beban kendaraan tertentu. Angka ekivalen dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti : Konfigurasi dan beban sumbu II 22

Nilai struktural perkerasan jalan yang dinyatakan dengan Structural Number (SN) Terminal serviceability index (p t ) Rumus dasar AASHTO untuk menentukan angka ekivalen adalah seperti berikut : W W x 18 L L 4,79 G / x 18 2s = 4, 33 x L L 2x 10 10 G / L 18 2x... (2.13) Dengan : Wx = sumbu dengan beban 1000x pon W 18 = W 18 (sumbu standar dengan beban 18000 pon) W W x 18 = bilangan terbalik dari angka ekivalen untuk beban dan konfigurasi sumbu 1000x pon L18 = 18 (beban sumbu standar dalam kilopon) Lx = x (beban sumbu dalam kilopon) L2x = kode untuk konfigurasi sumbu yang ditinjau = 1, untuk sumbu tunggal = 2, untuk sumbu tandem = 3, untuk sumbu tripel L2s = kode untuk sumbu standar, selalu = 1 (sumbu tunggal) II 23

4,2 p t G = log 4,2 1,5... (2.14) 3.23 0,081(L x L 2x ) β x = 0,4... (2.15) 5,19 3, 23 (SN 1) L 2x pt = terminal serviceability index d. Repetisi beban selama umur rencana (W 18 ) Beban lalu lintas sesuai AASHTO 1993 dinyatakan dalam repetisi lintasan sumbu standar selama umur rencana (W 18 ). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : W 18 = Σ LHRi x Ei x D A x D L x 365 x N... (2.16) dengan : W 18 = repetisi beban lalu lintas selama umur rencana, lss/lajur/umur rencana LHR = Lalu Lintas Harian Rata rata, kendaraan/hari/2 arah Ei = angka ekivalen jenis kendaraan i D A = faktor distribusi arah, digunakan untuk menunjukkan distribusi kendaraan ke masing masing arah. D A berkisar antara 0,3 0,7. Untuk perencanaan umumnya D A diambil sama dengan 0,5. Jika data lalu lintas yang di gunakan adalah data untuk satu arah, maka D A = 1. D L = faktor distribusi lajur, digunakan untuk menunjukkan distibusi kendaraan ke lajur rencana. Nilai D L dapat dilihat pada tabel dibawah ini : II 24

Tabel. 2.12 Faktor Distribusi Lajur (D L ) 365 = jumlah hari dalam satu tahun N = faktor umur rencana, angka yang dipergunakan untuk menghitung repetisi lalu lintas selama umur rencana dari awal umur rencana. Jika tidak ada pertumbuhan lalu lintas maka N sama dengan umur rencana. Jika ada pertumbuhan lalu lintas, maka nilai N dapat di hitung dengan rumus berikut ini : UR 1 i 1 N... (2.17) i dimana : UR = umur rencana (tahun) i = pertumbuhan lalu lintas pertahun (%/tahun) e. Rumus Dasar Metode AASHTO 1993 Rumus dasar metode AASHTO 1993 adalah sebagai berikut : PSI log 4,2 1,5 log( W18) ZR So 9,36log(SN1) 0,20 2,32log MR 1094 0,4 5,19 (SN1) 8, 07...(2.18) dengan : W 18 = ESAL yang diperkirakan II 25

Z R = simpangan baku normal, sesuai Tabel 2.10 So = deviasi standar keseluruhan, bernilai antara 0,4 0,5 SN = Structural Number, angka struktural relatif perkerasan (inchi) ΔPSI = perbedaan serviceability index di awal dan akhir umur rencana M R = Modulus Resilient tanah dasar (psi) SN yang diperoleh dengan menggunakan Rumus 2.18 harus sama dengan SN asumsi yang diambil ketika menentukan angka ekivalen (E). Jika SN yang diperoleh tidak sama, maka penentuan angka ekivalen harus diulang kembali dengan menggunakan nilai SN yang baru. Selain menggunakan Rumus 2.18, SN juga dapat diperoleh dengan menggunakan nomogram seperti pada Gambar 2.8 SN adalah angka yang menunjukkan jumlah tebal lapis perkerasan yang telah di setarakan kemampuannya sebagai bagian perwujudan kinerja perkerasan jalan. Koefisien kekuatan relatif (a) adalah angka penyetaraan berbagai jenis lapis perkerasan yang dipengaruhi oleh mutu dari jenis lapisan yang dipilih. SN = a 1 D 1 + a 2 m 2 D 2 + a 3 m 3 D 3... (2.19) dengan : SN = angka struktural (structural number), inchi a 1 = koefisien kekuatan relatif lapis permukaan a 2 = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi a 3 = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi bawah II 26

D 1 = tebal lapis permukaan, inchi D 2 = tebal lapis pondasi, inchi D 3 = tebal lapis pondasi bawah, inchi m 2,m 3 = koefisien drainase untuk lapis pondasi dan pondasi bawah. Nilai koefisen kekuatan relatif untuk tiap lapis pondasi dapat mengacu pada tabel dibawah ini : Tabel 2.13 Nilai koefisien kekuatan relatif (a) untuk tiap lapis perkerasan Lapis Perkerasan Jenis Perkerasan Nilai Koefisien Lapis Permukaan Aspal Beton 0,44 Lapis Pondasi Atas Batu Pecah 0,14 Lapis Pondasi Bawah Sirtu 0,11 Untuk jenis perkerasan yang lain, nilai koefisien bisa di dapat dengan menggunakan nomogram pada lampiran. Untuk penentuan koefisien drainase, maka harus dilihat terlebih dahulu kualitas dari drainase tersebut. Kualitas drainase dikelompokkan seperti pada Tabel 2.14, sedangkan koefisen drainase (m) dapat dilihat pada Tabel 2.15. Tabel 2.14 Kelompok Kualitas Drainase II 27

Gambar 2.9. Nomogram penentuan nilai SN dengan Metode AASHTO 1993 II 28

Tabel 2.15 Koefisien Drainase (m) f. Tebal Minimum Lapisan Perkerasan. Berdasarkan Metode AASHTO 1993, tebal minimum untuk lapis permukaan dan lapis pondasi adalah sebagai berikut : Tabel 2.16. Tebal minimum lapisan permukaan dan lapis pondasi ESAL Tebal minimum lapisan (inch) Beton aspal Pondasi batu pecah < 50.000 1,0 4,0 50.001 150.000 2,0 4,0 150.001 500.000 2,5 4,0 500.001 2.000.000 3,0 6,0 2.000.001 7.000.000 3,5 6,0 > 7.000.000 4,0 6,0 2.4.1. Tahapan Perhitungan Tebal Perkerasan Berdasarkan Metode AASHTO 1993 1. Tentukan Indeks Permukaan awal (IPo) dan Indeks Permukaan akhir (IPt) yang diharapkan. Penentuan IPo dan IPt ini dapat mengacu pada Tabel 2.6 dan Tabel 2.7 yang di gunakan pada metode SNI 0317321989. 2. Asumsikan nilai SN (Structural Number) untuk digunakan menentukan angka ekivalen. II 29

3. Tentukan faktor distribusi arah (D A ) jika volume lalu lintas yang tersedia dalam 2 arah. D A berkisar antara 0,3 0,7. Untuk perencanaan umumnya D A diambil sama dengan 0,5. 4. Tentukan faktor distribusi lajur (D L ) 5. Hitunglah repetisi beban selama umur rencana dengan menggunakan Rumus 2.16. 6. Tentukan nilai reliabilitas (R) berdasarkan Tabel 2.11 sehingga didapat nilai Z R berdasarkan Tabel 2.10 7. Tentukan nilai MR tanah dasar dengan membuat korelasi dari nilai CBR berdasarkan Rumus 2.10 8. Tentukan nilai SN dengan menggunakan Rumus 2.18 atau menggunakan nomogram seperti pada Gambar 2.8. 9. SN yang diperoleh pada Butir 8 harus sama atau mendekati SN yang di asumsikan pada Butir 2. Jika SN yang diperoleh belum mendekati maka langkah di ulang kembali mulai dari Butir 2. 10. Tentukan koefisien drainase lapis pondasi dan lapis pondasi bawah dengan menggunakan Tabel 2.15. 11. Tentukan tebal minimum lapisan perkerasan dengan mengacu pada Tabel 2.16 12. Tentukan tebal setiap lapisan dengan menggunakan Rumus 2.19 II 30

Gambar 2.10. Bagan alir perencanaan tebal perkerasan Metode AASHTO 1993 II 31

2.5 Konstruksi Bertahap Metode perencanaan konstruksi bertahap didasarkan atas konsep sisa umur. Perkerasan berikutnya direncanakan sebelum perkerasan pertama mencapai keseluruhan masa fatique. Untuk itu tahap kedua diterapkan bila jumlah kerusakan (cumulative damage) pada tahap pertama sudah mencapai kurang lebih 60%. Dengan demikian sisa umur tahap pertama tinggal kurang lebih 40%. Untuk menetapkan ketentuan diatas, maka perlu dipilih waktu tahap pertama antara 25% 50% dari waktu keseluruhan. Misalnya : UR = 20 tahun, maka tahap I antara 5 10 tahun dan tahap II antara 10 15 tahun. 2.5.1. Konstruksi Bertahap Berdasarkan Metode SNI 03 1732 1989 Berdasarkan metode SNI 03 1732 1989, perumusan konsep sisa umur dapat diuraikan sebagai berikut : a. Jika pada akhir tahap I tidak ada sisa umur (sudah mencapai fatique, misalnya timbul retak), maka tebal perkerasan tahap I didapat dengan memasukkan lalu lintas sebesar LER 1 b. Jika pada akhir tahap I di inginkan adanya sisa umur kurang lebih 40% maka perkerasan tahap I perlu di tebalkan dengan memasukkan lalu lintas sebesar x LER 1 c. Dengan anggapan sisa umur linear dengan sisa lalu lintas, maka : x LER 1 = LER 1 + 40% x LER 1... (2.20) (tahap I plus) (tahap I) (sisa tahap I) diperoleh x = 1,67 II 32

d. Jika pada akhir tahap I tidak ada sisa umur maka tebal perkerasan tahap II didapat dengan memasukkan lalu lintas sebesar LER 2 e. Tebal perkerasan tahap I+II didapat dengan memasukkan lalu lintas sebesar y LER 2. Karena 60% y LER 2 sudah dipakai pada tahap I maka : y LER 2 = LER 2 + 40% x LER 2... (2.21) (tahap I+II) (tahap II) (sisa tahap II) diperoleh y = 2,5 f. Tebal perkerasan tahap II diperoleh dengan mengurangkan tebal perkerasan tahap I + II (lalu lintas y LER 2 ) terhadap tebal perkerasan I (lalu lintas x LER 1 ) g. Dengan demikian pada tahap II diperkirakan ITP2 dengan rumus : ITP 2 = ITP ITP 1... (2.22) ITP didapat dari nomogram dengan LER = 2,5 LER 2... (2.23) ITP 1 didapat dari nomogram dengan LER = 1,67 LER 1... (2.24) 2.5.2. Konstruksi Bertahap Berdasarkan Metode AASHTO 1993 Pada konstruksi bertahap metode AASHTO 1993, langkah langkah perencanaan tebal perkerasan bertahap sama dengan tanpa bertahap, hanya saja reliabilitas yang di gunakan untuk konstruksi bertahap dihitung dengan Rumus 2.25. R bertahap = (R seluruh ) 1/n... (2.25) dengan : R bertahap = reliabilitas masing masing tahapan II 33

R seluruh = reliabilitas keseluruhan tahapan n = jumlah tahapan selama umur rencana 2.6. Perhitungan Harga Satuan Pekerjaan Di dalam bukunya, Agus Iqbal Manu (2001) menyebutkan bahwa secara umum pola pikir dalam menentukan harga satuan suatu jenis pekerjaan meliputi 3 (tiga) hal penting yaitu berupa masukan (input), proses (process) dan keluaran (output). Harga satuan setiap mata pembayaran yang merupakan keluaran (output) diperoleh melalui proses perhitungan dari masukanmasukan (input). Dalam hal ini, masukan yang dimaksud antara lain berupa harga satuan dasar untuk bahan, alat, upah tenaga kerja serta biaya umum & laba (overhead & profit). Berdasarkan masukan tersebut dilakukan perhitungan untuk menentukan koefisien bahan, upah tenaga kerja dan peralatan setelah terlebih dahulu menentukan asumsiasumsi dan faktorfaktor. Jumlah dari seluruh hasil perkalian koefisien tersebut dengan harga satuan dasar ditambah dengan biaya umum & laba akan menghasilkan harga satuan setiap mata pembayaran. Selanjutnya harga satuan setiap mata pembayaran dikalikan dengan volume pekerjaan menghasilkan harga pekerjaan setiap mata pembayaran. Adapun jumlah harga pekerjaan seluruh mata pembayaran yang dikalikan dengan PPN 10% merupakan perkiraan (estimasi) biaya proyek (EE/OE). Sebagai contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 4 Jika di rangkum dalam bagan alir, metode perhitungan Harga Satuan Pekerjaan adalah seperti di bawah ini. II 34

Gambar 2.11. Metode perhitungan Harga Satuan Pekerjaan Didalam Tugas Akhir ini penulis menggunakan Jurnal Harga Satuan Barang dan Jasa yang dikeluarkan oleh Provinsi Banten (Lampiran 1) dan tidak akan menguraikan analisa perhitungan seperti diatas. II 35