HUBUNGAN ANTARA SECURE ATTACHMENT DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJADI SMAN 2 PADANG Winda Sari Isna Asyri Syahrina Fakultas Psikologi Universitas Putra Indonesia ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara secure attachment dengan kompetensi interpersonal pada remaja di SMAN 2 Padang. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kompetensi interpersonal dan variabel independen adalah secure attachment. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala secure attachment dan kompetensi interpersonal. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah stratified random sampling. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 219 orang siswa. Hasil koefisien validitas pada skala kompetensi interpersonal bergerak dari r ix =0,329 sampai dengan r ix =0,683 dengan koefisien reliabilitas sebesar α=0,917, sedangkan pada skala secure attachment bergerak dari r ix =0,327 sampai dengan r ix =0,721 dengan koefisien reliabilitas sebesar α=0,936. Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara secure attachment dengan kompetensi interpersonal, dengan nilai korelasi sebesar 0,684 dengan taraf signifikansi p=0,000. Hasil analisis sumbangan efektif secure attachment terhadap kompetensi interpersonal adalah sebesar 46%. Kata kunci :Secure Attachment, Kompetensi Interpersonal Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan manusia, karena masa remaja adalah suatu periode peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini remaja merasakan adanya perubahan yang terjadi pada dirinya seperti perubahan fisik yang hampir menyerupai orang dewasa atau yang biasa disebut dengan masa puber, perubahan sikap, perasaan atau emosi yang sering tanpa disadari oleh remaja itu sendiri seperti rasa malu, gembira, iri hati, sedih, takut, cemas, cemburu, kasih sayang dan rasa ingin tahu. Hurlock (2004) mengemukakan tugas perkembangan pada masa remaja menuntut perubahan besar dalam sikap dan pola perilaku anak. Akibatnya hanya sedikit anak laki-laki dan anak perempuan yang dapat diharapkan untuk menguasai tugas-tugas tersebut selama awal masa remaja, apalagi mereka yang matangnya terlambat. Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Penyesuaian baru yang terpenting dan tersulit yang harus dibuat pada masa remaja adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, dukungan dan penolakan sosial, dan dalam seleksi pemimpin. Menurut Sullivan (dalam santrock, 2000), persahabatan pada masa remaja sangat penting dan ada peningkatan yang dramatis dalam kadar kepentingan secara psikologis dan keakraban antar teman dekat. Semua orang memiliki sejumlah kebutuhan sosial dasar, termasuk kebutuhan kasih sayang (ikatan yang aman) teman yang menyenangkan, penerimaan oleh lingkungan sosial, keakraban dan hubungan seksual. Kesuksesan menjalin relasi interpersonal atau persahabatan seiring dengan pola relasi orang tuaanak pada masa anak tersebut masih bayi, hal ini dinamakan attachment. Attachment adalah kelekatan hubungan emosi yang membentuk kesan yang mendalam. Kesan yang menyakitkan pada masa ini, akan membuat mereka takut membangun persahabatan di kemudian hari karena mereka takut dikecewakan di dalam persahabatan itu. Sebaliknya, kesan yang menyenangkan anak atau secure attachment yang dihasilkan oleh sikap ibu yang secara konsisten memberi respon yang dibutuhkan 12
anak, akan membuat anak hingga dewasa memiliki kemampuan dalam membangun relasi yang efektif. Menurut Conger (dalam Maentiningsih, 2008) salah satu bentuk keterikatan kasih sayang yang dimulai dari kehidupan individu adalah secure attachment. Secure attachment merupakan salah satu dari tipe-tipe attachment yang dikembangkan pertama kali oleh Bowlby. Secure attachment merupakan keterikatan yang aman berupa kasih sayang yang diberikan orangtua pada anak secara konsisten dan responsif dalam menumbuhkan rasa aman dan kasih sayang. Remaja yang matang secara fisik dan emosi tidak terlepas dari dukungan dan kasih sayang orang tua dalam bentuk keterikatan yang aman (secure attachment). Seorang remaja yang apabila di masa kanak-kanak telah memiliki karakteristik individu yang memiliki secure attachment maka seiring berjalannya waktu mereka akan tumbuh dengan karakteristik yang menurut Santrock (2002) bersikap hangat dalam berhubungan dengan orang lain, tidak terlalu bergantung dengan orang lain, lebih empati, sangat percaya serta lebih nyaman bersama orang yang disayangi. Tanpa adanya ikatan dan rasa aman, seorang remaja tidak akan tumbuh menjadi seorang individu yang mampu bersosialisasi dengan orang lain dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana remaja tinggal. Perasaan aman yang dihasilkan dari attachment yang positif (secure attachment) memiliki hubungan erat dengan kemampuan untuk mengembangkan kreativitas dan eksplorasi (menguasai lingkungan), sehingga remaja memiliki kemampuan untuk bergaul, mempercayakan diri kepada orang lain, dan memiliki hubungan sosial yang sehat. Pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat lepas dengan manusia lainnya dan mempunyai hasrat untuk berkomunikasi atau bergaul dengan orang lain. Hurlock (2004) menyebutkan sebagai mahluk sosial yang perlu diperhatikan ialah manusia secara hakiki dilahirkan selalu membutuhkan pergaulan dengan orang lain. Ditinjau dari sudut perkembangan manusia, kebutuhan untuk berinteraksi sosial yang paling menonjol terjadi pada masa remaja. Pada masa remaja, individu berusaha untuk menarik perhatian orang lain, menghendaki adanya popularitas dan kasih sayang dari teman sebaya. Semua hal tersebut akan diperoleh apabila remaja berinteraksi sosial karena remaja secara psikologis dan sosial berada dalam situasi yang peka dan kritis. Peka terhadap perubahan, mudah terpengaruh oleh berbagai perkembangan di sekitarnya. Spitzberg dan Cupach (dalam De Vito, 1999) mengemukakan kompetensi interpersonal merupakan kemampuan menjalin hubungan antar pribadi secara efektif. Hal ini ditandai oleh adanya karakteristik-karakteristik psikologis yang mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antar pribadi yang baik dan memuaskan. Mulyati (1997) mengemukakan bahwa perkembangan yang paling menonjol pada remaja adalah perkembangan sosial karena pada masa ini anak mulai mengembangkan lingkup pergaulannya ke luar rumah, yaitu ke lingkungan sosial yang lebih luas. Remaja mulai memiliki sahabat dan hubungan yang sukses dengan teman sebaya dapat membantu menumbuhkan perasaan berarti pada anak dan meningkatkan rasa percaya diri. Hubungan interpersonal yang efektif (seperti persahabatan), dapat terbina jika mereka memiliki kemampuankemampuan dalam membina hubungan interpersonal. Sekolah tidak hanya digunakan untuk mendapatkan keterampilan, pendidikan dan mengembangkan potensi intelektual bagi siswa tetapi juga tempat untuk bersosialisasi di mana seseorang mengembangkan keterampilan dalam hubungan interpersonalnya yaitu dengan menambah teman, memperluas pergaulan serta untuk memantapkan identitas diri. Siswa-siswi SMA berusia antara 15 sampai 18 tahun, di mana menurut Hurlock (2004) usia tersebut tergolong masa remaja. Masa remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa. Masa remaja dibagi menjadi dua masa, yaitu masa remaja awal yang berkisar antara usia 13-16 tahun dan remaja akhir yang berkisar antara usia 16-18 tahun (Hurlock, 2004). Berdasarkan hasil wawancara dan observasi ditemukan bahwa beberapa siswa mengalami kesulitan bersikap asertif pada teman-temannya karena takut terjadi perselisihan, hanya bisa terbuka dengan teman dekat saja, serta kurang bisa mengatasi konflik karena beberapa orang diantara mereka bertengkar dan tidak saling bertegur sapa. Selanjutnya ditemukan juga bahwa mereka sering bergantung pada orang lain, cenderung menjauhi orang lain jika mempunyai masalah dengan orang tersebut, serta sulit berempati terhadap orang lain. Maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada hubungan antara secure attachment dengan kompetensi interpersonal pada remaja di SMAN 2 Padang. Secure Attachment Menurut Santrock (2002) attachment adalah keterikatan (connectedness). Pennington (dalam Maentiningsih, 2010) mengemukakan attachment dapat didefinisikan sebagai kekuatan, keterikatan, cinta dan perawatan antara orang tua dengan anak. 13
Menurut Ainsworth (dalam Meins, 1997) attachment dibagi menjadi 3 jenis, yaitu secure attachment, anxious-insecure attachment, dan ambivalent attachment. Remaja yang matang secara fisik dan emosi tidak terlepas dari dukungan dan kasih sayang orang tua dalam bentuk keterikatan yang aman (secure attachment). Secure attachment menurut Ainsworth (dalam Meins, 1997) adalah keterikatan yang aman secara emosional antara orang tua dengan anak dan sebagai dasar perkembangan psikologis. Ainsworth (dalam Meins, 1997) menyebutkan bahwa orang tua yang memiliki kelekatan aman dengan anak memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Hangat (warm), orang tua menunjukkan antusiasme terhadap anak, hangat, dan ramah (friendly feelings). Kehangatan yang ditunjukkan oleh orang tua akan memberikan perasaan nyaman dan santai (relax). 2. Sensitif (sensitive), orang tua mampu menunjukkan pengertian simpatik terhadap anak, mengerti kebutuhan anak dari sudut pandang anak. 3. Responsif (responsive), orang tua mampu menyikapi kebutuhan anak akan rasa nyaman, rasa ingin dilindungi, dan selalu memberikan respon terhadap keinginan anak. 4. Dapat diandalkan (dependable), tempat anak menggantungkan harapan dan kebutuhannya akan rasa aman dan nyaman, orang tua dapat diandalkan oleh anak terutama ketika anak membutuhkan dukungan atau dalam keadaan tertekan. Beberapa dimensi dari secure attachment, menurut Ainsworth dkk (dalam Meins, 1997) yaitu: 1. Kedekatan anak secara emosional dengan orang tuanya. 2. Kepercayaan terhadap orang tua dan orangorang di sekitarnya dalam menjalin hubungan social 3. Independen adalah anak cenderung mandiri dan tidak tergantung pada orang tuanya. 4. Supportive adalah anak cenderung sering memberikan kenyamanan dan dukungan kepada orang tua dan orang-orang di lingkungannya 5. Mempertahankan hubungan adalah anak selalu mempunyai keinginan dan usaha untuk tetap mempertahankan hubungan yang baik dengan orang tua dan lingkungannya. 6. Resolusi konflik adalah anak cenderung menggunakan cara yang positif dalam memandang orang tua dan lingkungan dalam menyelesaikan masalah. Kompetensi Interpersonal Sears dkk (1994) berpendapat bahwa kompetensi interpersonal adalah kemampuan atau kecakapan yang mendukung hubungan antara individu dengan individu lainnya. Menurut De Vito (1997) kompetensi interpersonal yaitu kemampuan melakukan komunikasi secara efektif dan Rakhmat (2007) mengemukakan bahwa komunikasi yang efektif minimal menimbulkan lima hal yaitu pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang semakin baik, dan tindakan. Kompetensi interpersonal menurut Spitzberg dan Cupach (dalam De Vito, 1997), dapat diartikan sebagai suatu kemampuan melakukan hubungan interpersonal secara efektif. Lebih jauh Nashori (2000) mengemukakan bahwa kompetensi interpersonal adalah kemampuan untuk melakukan hubungan antar pribadi secara efektif. Kemampuan ini ditandai oleh adanya karakteristik-karakteristik psikologis yang mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antar pribadi yang baik dan memuaskan. Salah satu kunci keberhasilan hidup manusia adalah kemampuan melakukan dan membina hubungan antar pribadi dengan orang lain. Aspek--aspek kompetensi interpersonal, menurut Buhrmester dkk (dalam Lukman, 2000) meliputi: 1. Kemampuan berinisiatif Kemampuan untuk memulai interaksi dengan orang lain atau dengan lingkungan sosial yang lebih luas. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan berinisiatif membuka hubungan (berinteraksi) dengan orang lain adalah kemampuan yang dipengaruhi oleh bagaimana individu yang bersangkutan mampu membuka hubungan dengan individu yang lain. Dengan kemampuan berinisiatif, individu akan melakukan eksplorasi, memulai suatu hubungan dan bergerak secara aktif dan mandiri. 2. Kemampuan membuka diri (self disclosure) Kemampuan individu untuk mengungkapkan informasi yang bersifat pribadi mengenai dirinya dan memberikan perhatian kepada orang lain. Dengan adanya keterbukaan, kebutuhan kedua belah pihak dapat terpenuhi, yaitu dari pihak pertama kebutuhan untuk bercerita dan berbagi rasa dapat terpenuhi, dan di pihak kedua dapat muncul perasaan berharga dan istimewa karena dipercaya untuk mendengarkan cerita yang bersifat pribadi. 3. Kemampuan bersikap asertif Kemampuan individu untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya secara jelas dan dapat mempertahankan hak-haknya dengan tegas. Perilaku asertif yang paling sederhana yaitu mampu mengatakan tidak jika diminta untuk 14
melakukan sesuatu yang tidak disukai. Dengan memiliki sikap asertif, individu akan diperlakukan dengan baik dan pantas oleh lingkungan sosialnya dan dianggap sebagai individu yang memiliki harga diri. 4. Kemampuan memberikan dukungan emosional Salah satu bentuk kemampuan memberikan dukungan emosional adalah empati. Dengan memiliki empati, individu lebih mampu memahami orang lain dan lebih mudah melakukan penyesuaian diri ketika berinteraksi dengan orang lain. Selain empati, sikap hangat juga merupakan bentuk dukungan emosional. Sikap hangat dapat memberikan perasaan nyaman kepada orang lain dan akan sangat berarti ketika individu tersebut sedang dalam kondisi tertekan dan bermasalah. 5. Kemampuan mengelola dan mengatasi konflik Kemampuan individu dalam menyelesaikan konflik atau masalah yang timbul dalam hubungan antar individu. Konflik akan selalu ada dan dapat meningkat dalam suatu hubungan antar manusia yang disebabkan oleh adanya keinginan yan saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Remaja Remaja (adolescence) diartikan sebagai masa transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial emosional (dalam Santrock, 2002). Pada masa ini banyak perilaku remaja yang merupakan hasil keinginan untuk menunjukkan ketidaktergantungan, persamaan dengan orang dewasa dan tindakantindakan yang dicapai oleh laki-laki dan wanita dewasa. Menurut Monks, dkk (2002) remaja adalah suatu periode peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Menurut Ausubel (Monks dkk, 2002) remaja adalah masa setelah pemasakan seksual atau yang biasa disebut pubertas. Banyak remaja yang ingin melakukan dan mengambil keputusan sendiri atas apa yang akan dilakukannya tanpa adanya campur tangan dari orang tua atau guru. Remaja ingin memenuhi keinginannya menjadi sama dengan orang dewasa lainnya. Menurut Monks (2002) remaja awal dimulai pada usia 12-16/17 tahun, sedangkan remaja akhir dimulai pada usia 17-21/awal 22 tahun. Masa pubertas juga biasa terjadi antara usia 12-16 tahun pada anak laki-laki dan 11-15 tahun pada anak wanita. Sedangkan menurut Hurlock (2004) masa remaja dibagi menjadi dua masa, yaitu masa remaja awal yang berkisar antara usia 13-16 tahun dan remaja akhir yang berkisar antara usia 16-18 tahun. Setiap tahap perkembangan manusia memiliki tugas-tugas perkembangan, yaitu sikap dan perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial dapat dilakukan oleh setiap individu dengan baik, dimana hal tersebut dapat menentukan keberhasilan dalam penyesuaian sosialnya. Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 2004) tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: (a). Mencapai hubungan yang baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik sesama jenis maupun lawan jenis, (b). Mencapai peran sosial maskulin dan feminin, (c) Menerima keadaan fisik dan dapat mempergunakannya secara efektif, (d). Mencapai kemandirian secara emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya, (e). Mencapai kepastian untuk mandiri secara ekonomi, (f). Memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja, (g). Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan dan kehidupan keluarga, (h). Mengembangkan kemampuan dan konsep-konsep intelektual untuk tercapainya kompetensi sebagai warga negara, (i). Menginginkan dan mencapai perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosia, (j). Memperoleh rangkaian sistem nilai dan etika sebagai pedoman perilaku. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara secure attachment dengan kompetensi interpersonal pada remaja di SMAN 2 Padang. METODE Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X dan XI di SMAN 2 Padang yang berjumlah 509 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah random sampling, yaitu teknik pengambilan sampel secara acak. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 219 orang siswa. Alat ukur yang digunakan berupa skala kompetensi interpersonal dan secure attachment. Format respon jawaban skala secure attachment dan kompetensi interpersonal berdasarkan empat pilihan jawaban, yaitu SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), dan STS (Sangat Tidak Setuju). Koefisien validitas untuk skala secure attachment bergerak dari r ix =0,327 sampai dengan r ix =0,721, sedangkan untuk skala kompetensi interpersonal, diperoleh nilai koefisien validitas bergerak dari r ix =0,329 sampai dengan r ix =0,683. Koefisien reliabilitas untuk skala secure attachment diperoleh sebesar α=0,936 artinya derajat reliabilitas tinggi, sedangkan untuk skala kompetensi interpersonal diperoleh sebesar α=0,917 artinya derajat reliabilitasnya juga tinggi sehingga dapat dijadikan sebagai alat ukur untuk penelitian. 15
HASIL Berdasarkan tabel di atas, diperoleh koefisien korelasi antara variabel secure attachment dengan kompetensi interpersonal sebesar r=0,684 dengan taraf signifikansi p=0,000, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara secure attachment dengan kompetensi interpersonal pada remaja di SMAN 2 Padang. Hal ini berarti bahwa apabila remaja mempunyai secure attachment yang tinggi, baik dari segi kedekatan, kepercayaan, independen, supportif, mempertahankan hubungan dan resolusi konflik, maka remaja tersebut akan dapat dengan mudah menjalin komunikasi yang baik, sehingga remaja mempunyai kompetensi interpersonal (inisiatif, keterbukaan, asertivitas, dukungan emosional, dan pengatasan konflik) yang baik juga, begitu juga sebaliknya. Sebagaimana menurut Santrock (2002) individu memiliki karakteristik seperti bersikap hangat dalam berhubungan dengan orang lain, tidak terlalu bergantung dengan orang lain, lebih empati, sangat percaya serta lebih nyaman bersama orang yang disayangi. Tanpa adanya ikatan dan rasa aman, seorang remaja tidak akan tumbuh menjadi seorang individu yang mampu bersosialisasi dengan orang lain dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana remaja tinggal. Perasaan aman yang dihasilkan dari attachment yang positif (secure attachment) memiliki hubungan erat dengan kemampuan untuk mengembangkan kreatifitas dan eksplorasi (menguasai lingkungan), sehingga remaja memiliki kemampuan untuk bergaul, mempercayakan diri kepada orang lain, dan memiliki hubungan sosial yang sehat. Wisayanti (2010) mengemukakan bahwa remaja yang memiliki kelekatan aman yang tinggi memiliki kepercayaan diri yang rata-rata tinggi dan menikmati frekuensi dan kepuasan dalam berkomunikasi dengan keluarga mereka. Mereka juga memiliki kualitas hubungan yang tinggi dengan teman sebayanya. Sebaliknya, remaja yang mengarah kepada kelompok kelekatan rendah dengan orang tua menunjukkan perasaan kemarahan dan pengasingan serta lebih emosional dalam hubungannya dengan orang tua mereka. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan yang kuat dan signifikan antara secure attachment dengan kompetensi interpersonal pada remaja di SMAN 2 Padang, semakin tinggi secure attachment, maka semakin tinggi pula kompetensi interpersonal. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah secure attachment maka semakin rendah pula kompetensi interpersonal. Saran Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan adalah: 1. Bagi remaja pada umumnya, dan siswa SMAN 2 Padang khususnya, dapat mempertahankan kompetensi interpersonal dengan cara tetap berkomunikasi secara efektif dengan teman dan tetap menjaga hubungan yang akrab dengan cara menghabiskan waktu bersama atau menyalurkan hobi bersama. 2. Bagi orang tua, untuk mengetahui informasi tentang pentingnya mempertahankan secure attachment dengan anak, dengan cara tetap memberikan perhatian, tetap menjalin komunikasi yang baik, tetap memberikan dukungan kepada anak sehingga anak tetap merasa aman, nyaman, dan percaya diri yang secara tidak langsung dapat menunjang kompetensi interpersonal anak dalam hubungan sosial. 3. Bagi pihak sekolah sebagai fasilitator yang membantu siswa untuk mengembangkan kompetensi interpersonal, karena sebagian besar siswa menghabiskan waktunya di sekolah, yaitu dengan cara mewajibkan para siswa untuk mengikuti kegiatan organisasi lebih dari satu dan menghimbau para siswa untuk bersungguhsungguh dalam mengikuti kegiatan organisasi tersebut. Bagi guru-guru khususnya Guru Bimbingan dan Konseling, menyadari bahwa dirinya merupakan figur lekat bagi siswa selain orang tua, untuk lebih memperhatikan siswa dan memberikan pengarahan-pengarahan serta rasa aman yang dapat menunjang keberhasilan para siswa baik dalam hal pendidikan dan interaksi sosial. 4. Bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti dengan tema yang sama, diharapkan dapat mengaitkannya dengan vaiabel-variabel lain, yang dapat mempengaruhi kompetensi interpersonal, dengan melakukan penelitian yang lebih mendalam dengan faktor-faktor lain seperti lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan interaksi teman sebaya yang diharapkan dapat memperkaya pengembangan kajian ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan dan psikologi sosial. 16
DAFTAR PUSTAKA Azwar, Saifuddin. 2003. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dina, Y. S. 2010. Hubungan antara penerimaan diri dengan kompetensi interpersonal pada remaja panti asuhan. Skripsi. Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadyah Surakarta De Vito, J. A. 1997. Komunikasi antar Manusia. Jakarta: Erlangga Hurlock, E. B. 2004. Psikologi perkembangan : Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Alih Bahasa : Tjandrasa, Med. Meitasari. Jakarta: Erlangga. Lukman, Muhammad. 2000. Kemandirian Anak Asuh Di Panti Asuhan Yatim Islam Ditinjau dari Konsep Diri dan Kompetensi Interpersonal. Journal Psikologika. No 10, Th V 2000: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia Maentiningsih, D. 2008. Hubungan antara secure attachment dengan motivasi berprestasi pada remaja. Journal. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Meins, E. 1997. Security of attachment and the social development of cognition: Psychology Press Ltd, UK. Monks, F. J. 2002. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: GMU Press Mulyati, R. 1997. Kompetensi interpersonal pada anak panti asuhan dengan system pengasuhan tradisional dan anak panti asuhan dengan system pengasuhan ibu asuh. Journal Psikologika. No 4, Th II 1997: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia Nashori & Sugiyanto. 2000. Hubungan antara Kematangan Beragama dengan Kompetensi Interpersonal Mahasiswa. Jurnal Psikologika. Nomor 9, Th V 2000: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia Putri, Yunia. 2010. Hubungan antara Persepsi Siswa terhadap Komunikasi Orang Tua dengan Pemecahan Masalah pada Siswa Akselerasi di SMAN 1 Padang. Skripsi. Tidak diterbitkan. Padang: Fakultas Psikologi Universitas Putra Indonesia Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Santrock, W. J. 2002. Life span development: Perkembangan masa hidup. Jakarta: Erlangga.. 2000. Adolescence (Perkembangan Remaja). Edisi 8. Jakarta: Erlangga Sears, D.O., Freedman, J.L., dan Peplau, L.A., 1994. Psikologi sosial jilid 1. Jakarta: Erlangga Wisayanti, Suci. 2010. Perilaku Lekat Terhadap Ayah Kandung pada Remaja Putri yang Memiliki Tipe Kelekatan Aman (Secure Attachment). Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga.. 17