BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. keuangan. Untuk memenuhi hal itu, maka Ikatan Akuntan Indonesia dan Dewan

BAB I PENDAHULUAN. PSAK 50 dan 55 merupakan standar akuntansi yang mengacu pada International

BAB 2 LANDASAN TEORI. Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. keuangan yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap laporan keuangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perusahaan pemohon kredit (Firdaus 2009:184). Pengambilan keputusan

BAB I PENDAHULUAN. biasa disebut dengan intermediasi (Maretha, 2015). Menyalurkan suatu dana

BAB I PENDAHULUAN. Standar ini muncul akibat tuntutan globalisasi yang mengharuskan para pelaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PEMBAHASAN. Menurut Veithzal et al (2012:616), laporan keuangan adalah laporan periodik

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Peran strategis tersebut terutama disebabkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

METADATA INFORMASI DASAR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. ringkasan dari suatu proses pencatatan, dari transaksi-transaksi yang terjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menghimpun dana dari masyarakat (tabungan, giro, deposito) dan menyalurkan

ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAN KESEHATAN BANK. Muniya Alteza

ANALISIS LAPORAN KEUANGAN BANK SYARIAH. Oleh : Junaedi,SE,M.Si

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang membutuhkan dana. Sesuai dengan Undang-Undang Republik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang menerbitkan saham. Kismono (2001 : 416) menyatakan:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. DASAR TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kondisi di masa yang akan datang. Menurut PSAK 1 (2009) manfaat laporan

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Peran Bank

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan. sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tetapi perusahaan juga memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan. kekayaan pemegang saham. Melihat bahwa kekayaan pemegang saham

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Bank

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manfaat diantaranya dividen dan capital gain. Dividend merupakan bagian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. suatu perusahaan, alat ukur yang utama digunakan adalah laporan keuangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Horne dan Wachowicz (1997:135), rasio likuiditas membandingkan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sejalan dengan makin berkembangnya dunia bisnis yang didukung oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. untuk mengukur likuiditas atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. dikeluarkan oleh perusahaan terhadap keputusan investasi pihak di luar

BAB I PENDAHULUAN. (subprime mortgage crisis) telah menimbulkan dampak yang signifikan secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I LATAR BELAKANG. dunia perbankan menjadi sangat ketat, dimana bank dituntut memberikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

BAB V SIMPULAN DAN SARAN


BAB I PENDAHULUAN. dari tantangan-tantangan yang harus di hadapi, para pelaku bisnis property di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lancarnya dengan menggunakan aktiva lancar yang dimiliki perusahaan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PENYESUAIAN PEDOMAN AKUNTANSI PERBANKAN INDONESIA (PAPI) 2008

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengaruh Non Perfoming Loan (NPL), Capital Adequacy Ratio (CAR) dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Oleh. A. Solikhin. (Dosen pada Sekolah Tinggi Pariwisata Sahid Surakarta) ABSTRAK

sesuai jadwal batas waktu yang telah ditetapkan (tanggal dan bulan tertentu). pendek dengan aktiva lancar secara keseluruhan. Artinya jumlah kewajiban

II. LANDASAN TEORI. Berdasarkan Undang Undang RI No 10 tahun 1998 tentang perbankan, jenisjenis

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PT. BANK MANDIRI (PERSERO) Tbk. PADA PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus mengikuti perkembangan usahanya. Begitu juga dengan setiap

BAB I PENDAHULUAN. dan krisis moneter terjadi pada tahun yang memberikan dampak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. berupa promosi atau informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan lebih baik dari

BAB I PENDAHULUAN. Pasar modal merupakan salah satu alternatif pilihan sumber dana jangka panjang bagi

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan (Darmadji dan Fakhruddin, 2006:111). investasi dalam bentuk saham. Saham (stock atau share) adalah tanda

BAB V PENUTUP. Berdasarkan penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: terhadap Audit Delay tidak terdukung. Dengan demikian profitabilitas

BAB I PENDAHULUAN. memiliki banyak kebutuhan, terutama yang berkaitan dengan dana. Dana

BAB I PENDAHULUAN. kembali dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit.

BAB II LANDASAN TEORI. kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiata usahanya. Banyak

II. TINJAUAN PUSTAKA Institusi Perbankan

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan sebuah lembaga yang mampu menjalankan fungsi pelantara (financial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. kinerja untuk dapat bertahan dalam situasi krisis atau memenangkan persaingan

BAB II LANDASAN TEORI. meningkatnya pertanggung jawaban publik oleh perusahaan, maka konsep

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data yang telah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang kekurangan dana dengan tujuan meningkatkan taraf hidup rakyat

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh

BAB II LANDASAN TEORI

TINJAUAN PUSTAKA Bank

profitabilitas, rasio likuiditas, rasio aktivitas, dan rasio solvabilitas. Salah satu indikator penting dalam penilaian prospek sebuah perusahaan

Bab II. Tinjauan Pustaka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS TINGKAT KESEHATAN PERBANKAN BERDASARKAN METODE CAMELS

BAB V PENUTUP. likuiditas (CR) dan financial leverage (DR) terhadap profitabilitas pada perusahaan

BAB 1 PENDAHULUAN. modal dan menawarkan sahamnya di masyarakat/publik (go public). Perusahan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebanyak 25 perusahaan baru di tahun 2011, 23 perusahaan baru di

FINANCIAL INSTRUMENT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rasio keuangan adalah alat ukur yang paling sering igunakan dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu ukuran untuk melihat kinerja keuangan perbankan adalah melalui

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai pedoman agar dapat digunakan didalam penelitian ini. Sebagai berikut

Pengaruh Arus Kas Terhadap Pembagian Dividen Tunai

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. bisnis jasa keuangan yang dikelola oleh Desa Pekraman atau Desa Adat. Badan usaha

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya dalam pendirian perusahaan, pemilik selalu merumuskan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Bank merupakan jantung perekonomian di suatu Negara.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pecking Order Theory menurut Myers (1984), menyatakan bahwa perusahaan

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Pengertian Perbankan Perbankan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsinya berasaskan demokrasi ekonomi dan menggunakan prinsip kehati-hatian. Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Perbankan memiliki kedudukan yang strategis, yakni sebagai penunjang kelancaran sistem pembayaran, pelaksanaan kebijakan moneter dan pencapaian stabilitas sistem keuangan, sehingga diperlukan perbankan yang sehat, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. 2.1.2. Kegiatan Bank Sebagai lembaga keuangan yang berorientasi bisnis, bank juga melakukan berbagai kegiatan, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Sebagai lembaga keuangan, kegiatan perbankan sehari-hari tidak terlepas dari bidang keuangan. Kegiatan perbankan yang paling pokok adalah membeli uang dengan cara menghimpun dana dari masyarakat luas.

Kemudian menjual uang yang berhasil dihimpun dengan cara menyalurkan kembali kepada masyarakat melalui pemberian pinjaman atau kredit. Dari kegiatan jual beli uang inilah bank akan memperoleh keuntungan, yaitu dari selisih harga beli (bunga simpanan) dengan harga jual (bunga pinjaman). Di samping itu, kegiatan bank lainnya dalam rangka mendukung kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana adalah memberikan jasa-jasa lainnya. Kegiatan ini ditujukan untuk memperlancar kegiatan menghimpun dan menyaklurkan dana. Dalam praktiknya kegiatan bank dibedakan sesuai dengan jenis bank tersebut. Setiap jenis bank memiliki ciri dan tugas tersendiri dalam melakukan kegiatannya, misalnya dilihat dari segi fungsi bank, yaitu antara kegiatan bank umum dengan Bank Perkreditan Rakyat, jelas memiliki tugas atau kegiatan yang berbeda. Kegiatan bank umum lebih luas dari Bank Perkreditan Rakyat. Artinya, produk ditawarkan oleh bank umum lebih beragam, hal ini disebabkan bank umum mempunyai kebebasan untuk menentukan produk dan jasanya. Sedangkan Bank Perkreditan Rakyat mempunyai keterbatasan tertentu, sehingga kegiatannya lebih sempit. 2.1.3. Kredit Pengertian kredit menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kredit dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang. Contoh berbentuk tagihan (kredit barang), misalnya bank membiayai kredit untuk pembelian mobil. Kredit in berarti nasabah tidak memperoleh uang tetapi mobil, karena bank membayar langsung ke developer dan nasabah hanya membayar cicilan mobil tersebut setiap bulan. Kemudian adanya kesepakatan antara bank (kreditor) dengan nasabah penerima kredit (debitur), bahwa mereka telah sepakat sesuai perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam perjanjian kredit tercakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk jangka waktu serta bunga yang ditetapkan bersama. Demikian pula, dengan masalah sanksi apabila si debitu ingkar janji terhadap perjanjian yang telah dibuat bersama. Pemberian suatu fasilitas kredit mempunyai beberapa tujuan yang hendak dicapai yang tentunya tergantung dari tujuan bank itu sendiri. Tujuan pemberian kredit juga tidak akan terlepas dari misi bank tersebut didirikan. Dalam praktiknya tujuan pemberian suatu kredit sebagai berikut: 1. Mencari Keuntungan Mencari keuntungan merupakan tujuan utama pemberian kredit. Hasil keuntungan ini diperoleh dalam bentuk bunga yang diterima oleh bank sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan kepada nasabah. 2. Membantu usaha nasabah

Membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana untu investasi maupun dana untuk modal kerja. Dengan dana tersebut, maka pihak debitur akan dapat mengembangkan dan memperluaskan usahanya. 3. Membantu pemerintah Bagi pemerintah semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan, maka semakin baik, mengingat semakin banyak kredit berarti adanya kucuran dana dalam rangka peningkatan pembangunan di berbagai sektor, terutama sektor riil. Disamping memiliki tujuan pemberian suatu fasilitas kredit juga memiliki suatu fungsi yang sangat luas. Fungsi kredit yang secara luas tersebut antara lain: 1. Untuk meningkatkan daya guna uang Maksudnya jika uang hanya disimpan saja dirumah tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Dengan diberikannya kredit uang tersebut menjadi berguna untuk menghasilkan barang atau jasa oleh si penerima kredit. Kemudian juga dapat memberikan penghasilan tambahan kepada pemilik dana. 2. Untuk meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang Dalam hal ini uang yang diberikan atau disalurkan akan beredar dari satu wilayak ke wilayah yang lainnya, sehingga suatu daerah yang kekurangan uang dengan memperoleh kredit, maka daerah tersebut akan memperoleh uang tambahan dari daerah lainnya. 3. Untuk meningkatkan daya guna barang

Kredit yang diberikan oleh bank akan dapat digunakan oleh si debitur untuk mengolah barang yang semula tidak berguna menjadi berguna atau bermanfaat. 4. Meningkatkan peredaran barang Kredit dapat pula menambah atau memperlancar arus barang dari satu wilayah ke wilayah lainnya, sehingga jumlah barang yang beredar dari suatu wilayah ke wilayah lainnya bertambah atau kredit dapat pula meningkatkan jumlah barang yang beredar. Kredit untuk meningkatkan peredaran barang biasanya untuk kredit perdagangan atau kredit ekspor. 5. Sebagai alat stabilitas ekonomi Dengan memberikan kredit dapat dikatakan sebagai alat stabilitas ekonomi, karena dengan adanya kredit yang diberikan akan menambah jumlah barang yang diperlukan oleh masyarakat. 6. Untuk meningkatkan kegairahan berusaha Bagi si penerima kredit tentu akan dapat meningkatkan kegairahan berusaha, apa lagi bagi si nasabah yang memang modalnya pas-pasan. Dengan memperoleh kredit nasabah bergairah untuk dapat memperbesar atau memperluas usahanya. 7. Untuk meningkatkan pemerataan pendapatan Semakin banyak kredit yang disalurkan, maka akan semakin baik, terutama dalam hal meningkatkan pendapatan. 8. Untuk meningkatkan hubungan internasional Dalam hal pinjaman internasional akan dapat menigkatkan saling membutuhkan antara di penerima kredit dengan si pemberi kredit. Pemberian kredit oleh negara lain

akan meningkatkan kerja sama di bidang lainnya, sehingga dapat pula tercipta perdamaian dunia. Bagi dunia perbankan kredit merupakan unsur utama untuk memperoleh keuntungan. Artinya besarnya laba suatu bank sangatlah dipengaruhi dari jumlah kredit yang disalurkan dalam suatu periode. Makin banyak kredit yang disalurkan, maka makin besar pula perolehan laba dari bidang ini. Dalam praktiknya agar laba bank optimal, maka jumlah kredit yang disalurkan haruslah sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Manajemen harus menetapkan berapa target kredit yang harus disalurkan setiap periode. Manajemen juga harus memeriksa kualitas kreditnya. Hal ini penting karena kualitas kredit berkaitan dengan risiko kemacetan suatu kredit yang disalurkan. Artinya makin berkualitas kredit yang diberikan, maka akan memperkecil risiko terhadap kemungkinan kredit tersebut macet. Untuk menghindari kredit yang disalurkan bermasalah, maka dalam melepas kreditnya pihak perbankan perlu memerhatikan ada dua unsur penting, yaitu: 1. Tingkat perolehan laba Artinya jumlah laba yang akan diperoleh atas penyaluran kredit dalam suatu periode. Jumlah perolehan laba tersebut harus memenuhi ketentuan yang berlaku apabila ingin dinilai baik kesehatannya. Perbankan harus menerapkan target yang akan dicapai. Dalam rangka memenuhi tingkat perolehan laba, perbankan harus memerhatikan faktor-faktor seperti: a. Tingkat Return On Asset (ROA) b. Return On Equity (ROE)

c. Timing of Return (waktu perolehan laba) d. Future Prospect (prospek ke depan/ di masa yang akan datang) Dengan memerhatikan faktor-faktor diatas, maka kesehatan bank dapat diukur sesuai ketentuan tersebut. 2. Tingkat risiko Artinya tingkat risiko yang akan dihadapi terhadap kemungkinan melesetnya perolehan laba bank dari kredit yang disalurkan. Risiko kredit perlu diperhatikan mengingat berbagai kondisi yang dapat memengaruhinya, baik ekonomi, hukum, politik atau lainnya penuh dengan ketidakpastian. 2.1.4. PSAK 50/55 PSAK 50 menghasilkan pengungkapan instrumen keuangan yang lebih luas termasuk beberapa pengungkapan kualitatif yang berkaitan dengan risiko keuangan dan tujuan perusahaan. Perusahaan yang ada di Indonesia wajib untuk mengadopsi penuh dan menerapkannya dalam penyajian dan penyusunan laporan keuangan sehingga pelaporan keuangan yang disajikan dalam bentuk kuantitatif, dimana informasi yang disajikan didalamnya merupakan sumber utama informasi keuangan yang disampaikan oleh manajemen kepada pihak-pihak di dalam maupun di luar perusahaan sehingga menjadi titik perhatian. Tujuan diterbitkan PSAK 50 adalah menentukan prinsip penyajian dan pengungkapan instrumen keuangan, sebagai liabilitas atau ekuitas, saling hapus aset keuangan dan liabilitas keuangan. Pernyataan ini juga membantu perusahaan mengklasifikasikan instrumen keuangan dalam aset keuangan, liabilitas keuangan, instrumen ekuitas, termasuk juga klasifikasi yang terkait dengan bunga, dividen,

kerugian dan keuntungan dan keadaan dimana aset keuangan dan liabilitas keuangan saling hapus. PSAK 55 memberikan panduan pada pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan dan kontrak untuk membeli item non-keuangan. Antara lain, pada tanggal 1 Januari 2010, perusahaan harus melakukan klasifikasi atas aset dan kewajiban keuangan yang dimilikinya dan perhitungan metode suku bunga efektif ketika aset atau kewajiban diukur pada biaya perolehan diamortisasi yang diperoleh sebelumnya dan masih bersaldo pada saat penerapan awal PSAK ini ditentukan berdasarkan arus kas masa depan yang akan diperoleh sejak penerapan awal PSAK ini sampai dengan jatuh tempo instrumen keuangan tersebut. Selain itu, PSAK ini juga mengubah cara perussahaan dalam mengukur penurunan nilai aset keuangan tergantung pada klasifikasi instrumen keuangan. Karena PSAK ini diterapkan secara prospektif, penerapan awal tidak memiliki pengaruh atas jumlah yang dilaporkan di tahun 2009, apabila ada kerugian penurunan nilai aset keuangan maka dibebankan ke saldo laba sebagai penyesuaian sehubungan dengan penerapan awal PSAK 55. Hal tersebut sesuai dengan Buletin Teknis No. 4, Ketentuan Transisi Penerapan Awal PSAK 50 dan PSAK 55. Tujuan diterbitkannya PSAK 55 adalah untuk mengatur prinsip-prinsip dasar pengakuan dan pengukuran aset keuangan, kewajiban keuangan dan kontrak pembelian atau penjualan item nonkeuangan. 2.1.5. Dampak Penerapan PSAK 50/55 Terhadap Perbankan PSAK 50/55 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan merupakan adopsi standar akuntansi keuangan internasional (IFRS). Penerapan PSAK revisi ini berdampak signifkan terhadap industri perbankan terutama terkait dengan penentuan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Kredit (CKPN) atau loan

loss provision. Sebelumnya penghitangan CKPN berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia (No.7 /2/PBI/2005 dan perubahannya No.8/2/PBI/2006, No.9/6/PBI/2007, dan No.11/2/PBI/2009). Didalam peraturan ini ditetapkan kriteria penentuan kualitas kredit (lancar, kurang lancar, diragukan, dan macet) beserta persentase pencadangan yang dibutuhkan untuk masing-masing klasifikasi kualitas kredit. Sedangkan berdasarkan pada PSAK 50/55 (revisi 2006) lebih memberikan penekanan pada bukti objektif yang menjadi dasar dari penurunan nilai tersebut dan juga penekanan bahwa evaluasi akan 8 adanya penurunan tersebut dilakukan pada setiap tanggal neraca. Dimana perhitungan CKPN estimasi dilakukan secara individual dan kolektif dan membutuhkan data-data probability of default dan kerugian historis minimal 3 tahun kebelakang dan untuk kolektif dibutuhkan data-data kerugian historis yang pernah dialami aset-aset keuangan yang memiliki karakteristik risiko kredit yang serupa dengan karakteristik risiko kredit kelompok aset keuangan tersebut. Selain berdampak pada penentuan CKPN (loan loss provison), PSAK 50/55 (revisi 2006) juga berdampak terhadap perlakuan investasi efek tertentu terkait dengan masalah reklasifikasi antar instrumen keuangan yang lebih ketat dibandingkan PSAK 50 (1998). PSAK 50 (1998) memperbolehkan perusahaan untuk melakuan reklasifikasi instrumen keuangannya, dengan mengakui keuntungan atau kerugian. Sedangkan berdasarkan PSAK 50/55 (revisi 2006) perlakuan reklasifikasi antar instrumen keuangan lebih ketat. Di India seperti juga di Indonesia, Firoz et al. (2011) berdasarkan studi mengenai dampak penerapan IAS 39 mengenai instrumen keuangan dan IFRS 9 mengenai klasifikasi dan pengukuran instrumen keuangan pada perbankan di India menemukan bahwa penerapan kedua standar ini akan sangat mempengaruhi industri perbankan terutama dalam klasifikasi financial aset yang lebih ketat dan valuasi pencadangan penurunan nilai untuk pinjaman yang diberikan dan porfolio piutang. Selain itu untuk

penurunan nilai pinjaman, IFRS mengajukan model yang berdasarkan kerugian yang diekspektasi (expected loss) dan bukan kerugian yang terjadi (incurred loss). 2.1.6. Instrumen Keuangan Instrumen keuangan ( financial instruments) adalah setiap kontrak yang menambah nilai aset keuangan ( financial assets) entitas dan liabilitas keuangan ( financial liability) atau instrumen ekuitas (equity instruments) entitas lain. Maka dari itu Instrumen keuangan dibagi menjadi tiga yaitu: a. Aset keuangan merupakan setiap aset yang berbentuk: i. Kas ii. Instrumen ekuitas yang diterbitkan oleh entitas lain iii.hak kontraktual untuk menerima kas atau aset dan mempertukarkan aset keuangan. iv.kontrak yang mungkin diselesaikan dengan menggunakan instrumen ekuitas yangditerbitkan oleh entitas dan merupakan non-derivatif dan derivatif. b. Kewajiban Keuangan adalah setiap kewajiban yang berupa: i. Kewajiban kontraktual untuk menyerahkan kas atau aset keuangan lain dan untukmempertukarkan instrumen keuangan lain dengan kondisi yang tidakmenguntungkan entitas tersebut.

ii.kontrak yang akan mungkin diselesaikan selain dengan mempertukarkansejumlah tertentu kas atau aset keuangan lain dengan sejumlah tertentu instrumenekuitas yang diterbitkan entitas. c. Instrumen Ekuitas adalah setiap kontrak yang memberikan hak residual atas aset suatu entitas setelah dikurangi dengan seluruh kewajibannya. Penerbit instrumen keuangan pada saat pengakuan awal harus mengklasifikasikan instrumen tersebut atau komponen-komponennya sebagai kewajiban keuangan, aset keuanganatau instrumen ekuitas sesuai substansi perjanjian kontraktual dan definisi kewajiban keuangan,aset keuangan dan instrumen ekuitas. 2.1.7. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Cadangan Kerugian Penurunan Nilai yang untuk selanjutnya disebut CKPN, adalah penyisihan yang dibentuk apabila nilai tercatat aset keuangan setelah penurunan nilai kurang dari nilai tercatat awal. Estimasi penurunan nilai secara kolektif terhadap kelompok aset keuangan dimaksud didasarkan pada kerugian historis yang pernah dialami aset-aset keuangan yang memiliki karakteristik risiko kredit yang serupa dengan karakteristik risiko kredit kelompok aset keuangan tersebut. Jika bank tidak atau kurang memiliki pengalaman kerugian yang spesifik, maka bank juga dapat menggunakan pengalaman peer group atas kelompok aset keuangan yang sebanding. Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998, pembentukan atau penyisihan dana itu disebut dengan istilah PPAP atau Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif. Dalam PPAP, menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/148/KEP/DIR tentang Pembentukan Penyisihan

Penghapusan Aktiva Produktif, pembentukan cadangan atau penyisihan tersebut dinilai berdasarkan tingkat kolektibilitas dari kredit debitur dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Cadangan Umum PPAP : Kredit Kategori Lancar < 1% 2. Cadangan Khusus PPAP : a. 5% x Kredit Kategori Dalam Perhatian Khusus b. 15% x (Kredit Kategori Kurang Lancar Nilai Agunan) c. 50% x (Kredit Kategori Diragukan Nilai Agunan) d. 100% x (Kredit Kategori Macet Nilai Agunan) Setelah adanya revisi PSAK 50/55 pada tahun 2006, maka istilah dari PPAP pun diganti menjadi Cadangan Kerugian Penurunan Nilai atau yang sering disebut dengan istilah CKPN. Dalam CKPN, pembentukan atau penyisihan dana dinilai dari hasil evaluasi kredit debitur yang dilakukan oleh bank. Jika menurut suatu bank terdapat bukti objektif bahwa kredit dari debitur itu mengalami impairment (penurunan), maka bank itu harus membentuk dana atau cadangan atas kredit tersebut. Karena hasil evaluasi kredit debitur tersebut didasarkan kepada keputusan masing-masing bank, maka tiap-tiap bank memiliki kebijakan tersendiri dalam membentuk cadangan dana untuk kreditnya. Walaupun begitu, kebijakan bank itupun tidak boleh melenceng dari beberapa kriteria yang terdapat dalam PAPI (Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia) setelah adanya revisi PSAK 50/55. Adapun ketentuan pengukuran cadangan menurut CKPN berdasarkan PAPI (Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia) Revisi 2008 dibagi menjadi:

1. Individual Setiap bank dapat memilih perhitungan untuk mengukur nilai CKPN Individual dengan menggunakan metode seperti di bawah ini : a. Discounted Cash Flow: Estimasi arus kas masa akan datang (pembayaran pokok + bunga) yang didiskonto dengan suku bunga b. Fair Value of Collateral : Dengan memperhitungkan nilai arus kas atas jaminan atau agunan di masa yang akan datang kredit tersebut c. Observable Market Price : Ditentukan dari harga pasar dari 2. Kolektif Setiap bank dapat memilih beberapa ketentuan dalam menentukan nilai CKPN pada kelompok kolektif ini sebagai berikut : akan datang a. Dilihat dari perhitungan arus kas kontraktual kreditur di masa b. Dilihat dari perhitungan tingkat kerugian historis dari kredit debitur setelah dikurangi tingkat pengembalian kreditnya Dari beberapa metode pengukuran CKPN diatas, maka akan diperoleh besarnya cadangan atau penyisihan dana atas kredit debitur tersebut. Untuk mengetahui besarnya nilai penyisihan atau cadangan dana kredit suatu bank berdasarkan perhitungan PPAP, maka kredit bank tersebut tinggal dikalikan saja dengan persentase dari kolektibilitas kredit tersebut yang sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh BI.

Sedangkan untuk menentukan besarnya nilai penyisihan atau cadangan dana dari kredit suatu bank berdasarkan perhitungan CKPN, maka kita harus menentukan terlebih dahulu kredit dari debitur mana saja yang mengalami impairment (penurunan nilai). Setelah itu, maka besarnya nilai cadangan dana kredit itu ditentukan dari selisih antara nilai tunggakan kredit debitur tersebut sebelum dan sesudah terjadinya impairment (penurunan nilai). Jika kita bandingkan cara pembentukan dana menurut PPAP dan CKPN, maka dapat kita lihat bahwa perhitungan PPAP lebih sederhana dibandingkan dengan perhitungan CKPN, karena kita hanya memperhitungkan penyisihan dananya berdasarkan tingkat kolektibilitas kredit dari debitur tersebut. Sedangkan untuk perhitungan CKPN, kita perlu mengecek satu per satu apakah kredit debitur tersebut mengalami impairment atau tidak. Setelah itu kita baru akan membentuk cadangan dana setelah terdapat bukti bahwa kredit debitur tersebut mengalami impairment. Walaupun perhitungan CKPN lebih rumit, tetapi dengan adanya pengecekan kredit tersebut secara satu per satu, maka pengontrolan kredit tersebut pun menjadi lebih terarah, karena apabila terjadi impairment, maka bank akan segera mencari jalan keluar agar kredit debitur tersebut tidak sampai dapat merugikan bank tersebut. Oleh karena itu, dengan adanya perhitungan pembentukan atau penyisihan dana kredit berdasarkan perhitungan CKPN ini, maka setidaknya bank dapat mengurangi terjadinya risiko kredit yang akan dialaminya. 2.1.8. Profitabilitas Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan, dalam hal ini perusahaan perbankan, untuk menghasilkan laba. Profitabilitas biasanya diukur menggunakan rasio perbandingan. Rasio yang biasa digunakan untuk mengukur dan membandingkan kinerja

profitabilitas bank adalah ROE (Return On Equity) dan ROA (Return On Asset). Menurut Dendawijaya (2003), ROE merupakan perbandingan antara laba bersih 1 bank dengan modal sendiri. Rasio ini digunakan untuk mengukur kinerja manajemen bank dalam mengelolah modal yang tersedia untuk menghasilkan laba setelah pajak. Semakin besar ROE, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil. (Almilia, 2005). Sedangkan ROA menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam menghasilkan pendapatan dari pengelolaan aset yang dimiliki. Perlu dicatat disini bahwa dalam penentuan tingkat kesehatan suatu bank, Bank Indonesia lebih mementingkan penilaian besarnya Return On Asset dan tidak memasukkan unsur Return On Equity. Hal ini dikarenakan karena bank Indonesia, sebagai Pembina dan pengawas perbankan, lebih mengutamakan nilai profitabilitas suatu bank yang diukur dengan aset yang dananya sebagian besar dari dana simpanan masyarakat (Dendawijaya, 2003). Rasio Profitabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah: ROA Return on Asset (ROA) adalah salah satu bentuk dari rasio profitabilitas untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan menggunakan total aktiva yang ada dan setelah biaya-biaya modal (biaya yang digunakan mendanai aktiva) dikeluarkan dari analisis. Semakin besar Return On Asset (ROA), semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan menunjukkan kinerja perusahaan yang semakin baik.

Return On Asset (ROA) dipilih sebagai indikator pengukur kinerja keuangan perbankan karena Return On Asset (ROA) digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (2004), kriteria yang dikeluarkan Bank Indonesia untuk sebuah bank bisa menjadi bank jangkar (anchor bank) memiliki rasio Return On Asset (ROA) minimal 1,5%. Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa, ROA merupakan salah satu cara perusahaan mengukur profitabilitasnya, semakin meningkat ROA maka perusahaan memiliki laba yang tinggi. Bank Indonesia menyatakan bahwa bank harus memiliki rasio ROA minimal 1,5% jika bank memiliki ROA dibawah 1,5 maka bank dalam bermasalah. Return On Asset (ROA) merupakan rasio antara laba sebelum pajak terhadap rata-rata total aset. Semakin besar ROA, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank (Almilia, 2005). Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, yang tercantum dalam Surat Edaran BI No. 9/24/DPbS, secara matematis, ROA dirumuskan sebagai berikut: ROA = 2.1.10. Likuiditas Likuiditas adalah kemampuan manajemen bank dalam menyediakan dana yang cukup untuk memenuhi semua kewajibannya maupun komitmen yang telah dikeluarkan kepada nasabahnya setiap saat (Mudrajat, 2002: 279) dalam Hetna Darma (2007). Kewajiban yang timbul dari sisi aktiva misalnya penyediaan dana bagi penarikan pinjaman yang disetujui atau penarikan atas kelonggaran tarik pinjaman. Sedangkan

kewajiban yang timbul dari sisi pasiva atau liabilities, misalnya penyediaan dana bagi penarikan tabungan dan simpanan lainnya oleh nasabah. Bank dikatakan likuid bila mempunyai alat pembayaran berupa harta lancar lebih besar dibandingkan dengan seluruh kewajibannya (Mamduh dan Halim2003: 199) dalam Hetna (2008). Rasio likuiditas adalah rasio yang digunakan untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangannya pada saat dilakukan penagihan. Rasio likuiditas terdiri dari current ratio, Cash Ratio dan Quick Ratio. Rasio likuiditas yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Current Ratio Menurut Husnan (2003), current ratio adalah rasio yang mengukur sejauh mana kemampuan aktiva lancar perusahaan untuk memenuhi kewajiban lancarnya. Alasan digunakannya Current Ratio secara luas sebagai ukuran likuiditas karena kemampuannya untuk menggambarkan (Wild, 2008): 1. Kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban lancarnya (kewajiban jangka pendek). 2. Kemampuan perusahaan dalam menyangga kerugian. 3. Kemampuan perusahaan untuk menyediakan cadangan dana lancar. Current Ratio dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Current Ratio = 2.1.11. Leverage Leverage atau Solvabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan apabila perusahaan dilikuidasi baik kewajiban jangka panjang maupun kewajiban jangka pendek, suatu perusahaan dapat dikatakan solvable apabila perusahaan tersebut mempunyai aktiva yang cukup untuk membayar semua hutangnya. Rasio Leverage yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

DER DER (Debt to Equity Ratio) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat leverage (penggunaan hutang) terhadap total shareholder s equity yang dimiliki perusahaan. Debt to Equity Ratio mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh modal sendiri yang digunakan sebagai pembayaran hutang. Dengan demikian debt to equity ratio dapat memberikan gambaran mengenai struktur modal yang dimiliki oleh perusahaan, sehingga dapat dilihat risiko tidak tertagihnya suatu hutang. Semakin tinggi beban/ hutang (DER) maka resiko yang ditanggung juga besar. Hal ini akan mempengaruhi tingkat kepercayaan investor terhadap perusahaan dan selanjutnya akan mempengaruhi return saham investor tersebut. DER dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: DER = 2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu Berikut disajikan tinjauan hasil penelitian terdahulu untuk mendukung kerangka konseptual penelitian: Pratama (2014) melakukan penelitian tentang Perbedaan Kualitas Laba Sebelum dan Sesudah Adopsi International Accounting Standards (IAS). Menemukan hasil yaitu tidak terdapat peningkatan kualitas laba pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) setelah mengadopsi International Accounting Standards (IAS) 39. Dengan kata lain hipotesis dalam penelitian ini tidak diterima.

Anggraita (2012) melakukan penelitian tentang Dampak penerapan PSAK 50/55 (revisi 2006) terhadap manajemen laba diperbankan: Peranan Mekanisme Corporate Governance, Struktur Kepemilikan, dan Kualitas Audit. Menemukan hasil yaitu terjadi penurunan praktik manajemen laba diperbankan setelah penerapan PSAK 50/55 (revisi 2006). Menemukan hasil terjadi penurunan praktik manajemen laba setelah penerapan PSAK 50/55. Arieftiara (2012) melakukan penelitian tentang Pengaruh PSAK no. 55 (Revisi 2006): Pengakuan dan Pengukuran Instrumen Keuangan, terhadap Earnings Informativeness dan Kemampuan Laba Mendatang. Menemukan hasil bahwa, pertama, koefisien laba meningkat setelah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006), dibandingkan dengan sebelum penerapan. Kedua, penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) mampu meningkatkan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang. Tabel 2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu Nama Peneliti Pratama (2014) Viska Anggrita (2012) Judul Penelitian Perbedaan Kualitas Laba Sebelum dan Sesudah Adopsi International Accounting Standards (IAS) 39 Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Dampak penerapan PSAK 50/55 (revisi 2006) terhadap manajemen laba diperbankan: Peranan Mekanisme Corporate Governance, Struktur Kepemilikan, dan Kualitas Variabel Kesimpulan Penelitian Return On Assets Tidak terdapat peningkatan kualitas laba pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) setelah mengadopsi International Accounting Standards (IAS) 39. PSAK 50/55, Terjadi penurunan Manajemen Laba praktik manajemen laba diperbankan setelah penerapan PSAK 50/55 (revisi 2006).

Dian Wicaksih (2012) Audit Pengaruh PSAK no. 55 (Revisi 2006): Pengakuan dan Pengukuran Instrumen Keuangan, terhadap Earnings Informativeness dan Kemampuan Laba Mendatang. Return Saham, Penyisihan Penuruna Nilai dan Tak Tertagihnya Aset Pertama, koefisien laba meningkat setelah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006), dibandingkan dengan sebelum penerapan. Kedua, penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) mampu meningkatkan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang. 2.3. Kerangka Konseptual dan Hipotesis 2.3.1. Kerangka Konseptual Kerangka berpikir merupakan penjelasan sementara gejala-gejala yang menjadi objek permasalahan tentang hubungan antarvariabel, yakni variabel bebas dan variabel terkait yang disusun dari berbagai teori yang telah diuraikan (Sugiono, 2007: 47). Perbandingan antara profitabilitas, likuiditas dan leverage sebelum dan setelah penerapan PSAK 50/55 digambarkan sebagai berikut: Perusahaan Perbankan di BEI Sebelum Penerapan PSAK 50/55 Setelah Penerapan PSAK 50/55 Profitabilitas Likuiditas Leverage Dibandingkan Profitabilitas Likuiditas Leverage

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual PSAK 50/55 PSAK 50/55 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan merupakan adopsi standar akuntansi keuangan internasional (IFRS). Penerapan PSAK revisi ini berdampak signifkan terhadap industri perbankan terutama terkait dengan penentuan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Kredit (CKPN) atau loan loss provision. Selain berdampak pada penentuan CKPN (loan loss provison), PSAK 50/55 (revisi 2006) juga berdampak terhadap perlakuan investasi efek tertentu terkait dengan masalah reklasifikasi antar instrumen keuangan yang lebih ketat dibandingkan PSAK 50 (1998). PSAK 50 (1998) memperbolehkan perusahaan untuk melakuan reklasifikasi instrumen keuangannya, dengan mengakui keuntungan atau kerugian. Sedangkan berdasarkan PSAK 50/55 (revisi 2006) perlakuan reklasifikasi antar instrumen keuangan lebih ketat. Return On Asset (ROA) dipilih karena Return On Asset (ROA) digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (2004), kriteria yang dikeluarkan Bank Indonesia untuk sebuah bank bisa menjadi bank jangkar (anchor bank) memiliki rasio Return On Asset (ROA) minimal 1,5%. Current Ratio (CR) adalah rasio yang mengukur sejauh mana kemampuan aktiva lancar perusahaan untuk memenuhi kewajiban lancarnya. Menurut Munawir (2005:72) Ratio yang paling umum digunakan untuk menganalisis posisi modal kerja suatu perusahaan adalah current ratio yaitu perbandingan antara jumlah aktiva lancar dengan

hutang lancar. Ratio ini menunjukkan bahwa nilai kekayaan lancar yang segera dapat dijadikan uang ada sekian kalinya hutang jangka pendek. Debt to Equity Ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat leverage (penggunaan hutang) terhadap total shareholder s equity yang dimiliki perusahaan. Debt to Equity Ratio mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh modal sendiri yang digunakan sebagai pembayaran hutang. 2.3.2. Hipotesis Hipotesis adalah pernyataan tentatif yang merupakan dugaan apa saja yang sedang kita amati dalam usaha untuk memahamainya. Hipotesis merupakan kebenaran sementara yang harus diuji. Hipotesis yang dapat diambil berdasarkan latar belakang, tinjauan teoritis dan kerangka konseptual adalah: H 1 : Terdapat perbedaan yang signifikan antara profitabilitas sebelum dan setelah penerapan PSAK 50/55 pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI. H 2 : Terdapat perbedaan yang signifikan antara likuiditas sebelum dan setelah penerapan PSAK 50/55 pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI. H 3 : Terdapat perbedaan yang signifikan antara leverage sebelum dan setelah penerapan PSAK 50/55 pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI.