II. TINJAUAN PUSTAKA. psikis, seksual, dan ekonomi, termasuk ancaman dan perampasan kebebasan

dokumen-dokumen yang mirip
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penilitian ini adalah keluarga yang tinggal di Wilayah

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu yang berkeluarga mendambakan kehidupan yang harmonis

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004)

Lex Et Societatis Vol. V/No. 9/Nov/2017

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA

PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Wahyu Ernaningsih

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

CENDEKIA Jurnal Ilmu Administrasi Negara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. atau adopsi; membentuk suatu rumah tangga tunggal; saling berinteraksi dan berkomunikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FENOMENA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. banyak anak yang menjadi korban perlakuan salah. United Nations Children s

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan. diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh penyelesaian yang lebih baik. Walaupun demikian, masih banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Anak mempunyai hak yang bersifat asasi sebagaimana yang dimiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan perkawinan sebagaimana tercantum dalam Undangundang

Oleh Novita Diniyanti, I Gede Sidemen. Mahasiswa program sarjana Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung

BAB 1 PENDAHULUAN. Tindak kekerasan merupakan pelanggaran hak azasi manusia dan kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak. Di Indonesia seringkali dalam rumah tangga juga ada sanak saudara

BAB 8. KEKERASAN DALAM RUMAHTANGGA DAN TRAFFICKING DI INDONESIA. Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbicara terkait kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

BAB I PENDAHULUAN. dialami perempuan, sebagian besar terjadi dalam lingkungan rumah. tangga. Dalam catatan tahunan pada tahun 2008 Komisi Nasional

Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. akhirnya menikah. Pada hakikatnya pernikahan adalah ikatan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Banyak sekali latar belakang kekerasan terhadap anak mulai dari

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan salah satu tempat pembentukan kepribadian seseorang. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011) prestasi belajar

BAB III RUANG LINGKUP ANAK JALANAN DI KOTA BANDUNG

KEKERASAN BERBASIS GENDER: BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Khoirul Ihwanudin 1. Abstrak

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dapat diibaratkan seperti gunung

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu fenomena yang sering

BAB IV ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (UU PKDRT)

Kekerasan Terhadap Anak Wujud Masalah Sosial yang Kronis A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Beragam permasalahan pada perempuan seringkali muncul dalam berbagai

MEKANISME PERLINDUNGAN DAN PENANGANAN KEKERASAN TERHADAP ANAK. Grasia Kurniati, S.H, M.H, Wulansari, S.H, M.H. Tim Abdimas Pusat Studi Gender

BAB I PENDAHULUAN. proses saling tolong menolong dan saling memberi agar kehidupan kita. saling mencintai, menyayangi dan mengasihi.

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang didirikan berdasarkan azas-azas yang Islami

Suryo Dharmono Bag. Psikiatri FKUI/RSCM

BAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing tahap perkembangannya adalah pada masa kanak-kanak, masa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Sosialisasi Perlindungan Anak Terhadap Tindak Kekerasan

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

BAB I PENDAHULUAN. sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal (Kartono, 2013:6).

BAB. I PENDAHULUAN. atau kurangnya interaksi antar anggota keluarga yang mengakibatkan

STRATEGI KOPING PADA WANITA JAWA KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB V PEMBAHASAN. dan memiliki gangguan somatoform tipe konversi sejak tiga tahun yang. setalah subjek mengalami gangguan somatoform, subjek mengalami

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak.

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

MENGELOLA STRESS DAN MENGENDALIKAN EMOSI. dr Gunawan Setiadi Tirto Jiwo, Pusat Pemulihan dan Pelatihan Gangguan Jiwa

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. dan diantaranya adalah tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang mengarah

BAB I PENDAHULUAN. dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus

Karakteristik Anak Usia Sekolah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Definisi Perkawinan, Perceraian serta akibat-akibat Hukumnya.

ROMANTISME PADA WANITA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL PADA MASA KANAK- KANAK

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. memberikan jaminan bahwa orang berhak membentuk suatu keluarga guna

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang lain, sehingga

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. faktor yang secara sengaja atau tidak sengaja penghambat keharmonisan

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

S A N T I E. P U R N A M A S A R I U M B Y

BAB I PENDAHULUAN. korban diskriminasi, pengniayaan, kekerasan seksual dan lainya. 2 Penanganan. KDRT khususnya terhadap korban KDRT.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam dirinya untuk menikah dan membangun rumah tangga bersama pasangannya.

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari proses interaksi sosial. Soerjono Soekanto (1986) mengutip

BAB I PENDAHULUAN. akan ia jalani kelak (Perkins, 1995). Para remaja yang mulai menjalin hubungan

situasi bencana memberikan pendampingan hukum dan pelayanan (UUPA Pasal 3; Perda Kab. Sleman No.18 Tahun 2013, Pasal 3)

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

LEMBAGA PERLINDUNGAN ANAK JAWA BARAT Jl. Karang Tinggal No. 33 Bandung Telp/Fax

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekerasan dalam Rumahtangga Kekerasan dalam rumahtangga adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual, dan ekonomi, termasuk ancaman dan perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumahtangga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan, dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri. Artinya kekerasan pada istri bukan hanya terwujud dalam penyiksaan fisik, namun juga penyiksaan secara verbal yang sering dianggap remeh namun akan berakibat lebih fatal dimasa yang akan datang. Kekerasan dalam rumahtangga lebih banyak dilakukan oleh suami kepada istri (Susilowati, 2008). Dengan adanya perilaku tersebut Susilowati dalam teorinya juga menambahkan bahwa suami yang selalu bertindak tidak menyenangkan bagi sang istri dapat mempengaruhi terhadap pola asuh ibu kepada anak. Disebabkan emosi istri yang memuncak dan tidak adanya pelampiasan atau keberanian istri untuk mengungkapkan ataupun melawan suami, sehingga anaklah yang akan menjadi korban dari adanya dampak pelampiasan emosi orang tuanya tersebut.

9 Adapun bentuk kekerasan tersebut dapat berupa kekerasan yang meliputi fisik dan non fisik kepada anak, sehingga dampak negatif dari kejadian tersebut adalah kemungkinan kehidupan sang anak akan dibimbing dengan kekerasan. Peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah kelak, karena anak akan mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya terhadap dirinya (Susilowati, 2008). Kekerasan dalam rumahtangga lebih banyak terjadi di kalangan kelompok sosial ekonomi kelas bawah, meskipun masih ada pertanyaan menyangkut hal ini. Kekerasan tentu saja tidak terbatas pada kelas sosial tertentu, kebanyakan kekerasan dalam rumahtangga berhubungan langsung dengan stres sosial dalam keluarga. Keluarga yang melakukan kekerasan secara sosial terisolasi keberadaannya dengan masalah-masalah kepribadian dan psikopatologi dalam keluarga yang memiliki hubungan dengan kekerasan dalam keluarga itu sendiri (Susilowati, 2008). Steinmetz (dalam Susilowati, 2008) menyatakan bahwa kekerasan dalam keluarga merujuk pada suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang anggota keluarga dengan sengaja, atau suatu tindakan yang terasa memiliki unsur kesengajaan, yang secara fisik dapat melukai seorang anggota keluarga lainnya.

10 Jadi yang dimaksud kekerasan dalam rumahtangga menurut undang-undang No. 23 tahun 2004 ditegaskan bahwa Kekerasan dalam Rumahtangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sebagian besar korban KDRT adalah perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, tetapi ada juga sebaliknya, atau orangorang yang tersubordinasi di dalam rumahtangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembantu rumahtangga, tinggal di rumah yang sama. 2.2 Kekerasan terhadap Istri Tindakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri dalam rumahtangga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang seringkali terjadi pada perempuan dan terjadi di balik pintu tertutup. Tindakan ini seringkali dikaitkan dengan penyiksaan, baik fisik maupun psikis yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan yang dekat (Hasbianto, 2006). Menurut Saputri, (2008) menyatakan bahwa tindak kekerasan terhadap istri dalam rumahtangga terjadi dikarenakan telah diyakini bahwa masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi, dimana laki-laki merupakan superior dan perempuan adalah inferior, seakan laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. Hal ini menjadikan

11 perempuan tersubordinasi. Di samping itu, terdapat interpretasi yang keliru terhadap stereotipi gender yang tersosialisasi sangat lama, dimana perempuan dianggap lemah, sedangkan laki-laki umumnya lebih kuat. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Sciortino dan Smyth, 1997; dan Suara APIK,1997, bahwa menguasai atau memukul istri sebenarnya merupakan manifestasi dari sifat superior laki-laki terhadap perempuan. Kecenderungan terjadinya tindak kekerasan dalam rumahtangga disebabkan karena faktor dukungan sosial dan kultur (budaya), dimana istri dipersepsikan sebagai orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Hal ini muncul karena transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu, yaitu istri harus nurut apa kata suami. Jika istri melawan, maka suami tidak segansegan untuk melakukan pemukulan. Kultur di masyarakat suami lebih dominan pada istri, sehingga tindak kekerasan dalam rumahtangga dianggap masalah privasi, dan masyarakat tidak boleh ikut campur (Saputri, 2008). Faktor lain yang dapat menjadi pencetus kekerasan didasarkan pada pendidikan istri yang rendah, masalah seksual dan ekonomi. Ada suami yang malu mempunyai istri yang pendidikannya rendah, lalu melakukan perselingkuhan. Ketika diketahui oleh istrinya, istri mendapat perlakuan kekerasan dari suami (Kurniasih, 2007). Adapun bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri menurut (Susilowati, 2008), antara lain:

12 1. Kekerasan Fisik Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan, seperti memukul, menendang, dan lain-lain yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian. 2. Kekerasan Psikis Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti menghina, berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga dapat memicu dendam di hati istri. 3. Kekerasan Seksual Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri. 4. Kekerasan Ekonomi Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, atau sebaliknya membiarkan istri yang bekerja untuk dieksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya, mengambil harta istri,

13 tidak memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja samasekali, menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk meningkatkan karirnya. Sesuai dengan tujuan penelitian ini maka peneliti hanya membahas mengenai bentukbentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri. 2.3 Dampak Kekerasan terhadap Istri Menurut Suryakusuma ( 2005) efek psikologis penganiayaan bagi banyak perempuan lebih buruk dibanding efek fisiknya, seperti merasa rendah diri, cemas, penuh rasa takut, sedih, putus asa, terlihat lebih tua dari usianya, sering merasa sakit kepala, mengalami kesulitan tidur, mengeluh nyeri yang tidak jelas penyebabnya, kesemutan, nyeri perut, bersikap agresif tanpa penyebab yang jelas, kurang percaya diri, cenderung banyak melamun, tekanan mental yang berkepanjangan, cemas berkepanjangan, merasa tidak memiliki harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri. Dampak kekerasan jangka pendek bagi istri adalah penderitaan fisik seperti luka-luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh hingga menyebabkan kematian. Menurut Mu tadin (2006), penyiksaan atau kekerasan dapat berdampak pada beberapa masalah, yaitu: 1. Masalah Relasional a. Kesulitan membina hubungan atau persahabatan dengan orang lain b. Merasa kesepian

14 c. Kesulitan membentuk hubungan yang harmonis d. Sulit mempercayai diri sendiri dan orang lain e. Menjalin hubungan yang tidak sehat, misalnya terlalu bergantung atau terlalu mandiri f. Sulit membagi perhatian antara mengurus diri sendiri dan orang lain g. Mudah curiga dan terlalu berhati-hati terhadap orang lain h. Memiliki perilaku yang tidak sopan i. Kesulitan beradaptasi j. Lebih suka menyendiri k. Suka memusuhi orang lain atau dimusuhi l. Merasa takut menjalin hubungan fisik dengan orang lain m. Sulit membuat komitmen n. Terlalu bertanggungjawab atau justru menghindar dari tanggungjawab. 2. Masalah Emosional a. Merasa bersalah b. Menyimpan perasaan dendam c. Depresi d. Merasa takut ketularan gangguan mental yang dialami orang tua e. Merasa takut masalah dirinya diketahui oleh orang lain f. Tidak mampu mengekspresikan kemarahan secara positif g. Merasa bingung dengan identitasnya h. Tidak mampu menghadapi permasalahan kehidupan

15 3. Masalah Kognisi a. Memiliki persepsi negatif terhadap kehidupan b. Timbul pikiran negatif tentang diri sendiri yang diikuti oleh tindakan yang cenderung merugikan diri sendiri c. Memberikan penilaian yang rendah terhadap kemampuan prestasi d. Sulit berkonsentrasi di sekolah e. Memiliki citra negatif 4. Masalah Perilaku a. Perilaku berbohong b. Perbuatan kriminal dan kenakalan c. Tidak mengurus diri sendiri dengan baik d. Menunjukkan perilaku yang tidak wajar e. Mengalami sulit tidur f. Muncul perilaku seksual yang tidak wajar g. Kecanduan obat bius, minuman keras, dan narkotika 2.4 Kekerasan terhadap Anak Kekerasan pada anak adalah perilaku orangtua yang melakukan kekerasan kepada anak. Contoh kasus perilaku tersebut adalah orangtua yang menyetrika kaki, menyiram dengan air panas, pemerkosaan terhadap anak kandung atau anak tiri oleh sang Bapak, dan juga pemukulan dan bahkan pembunuhan. Ada juga dalam bentuk non-fisik, seperti kurangnya perhatian dan kasih sayang, memarahi anak hampir setiap saat, mengkomersialkan anak sebagai pelacur, sebagai pengamen jalanan, dan diusir keluar rumah (Jacinta, 2009).

16 Menurut Komisi Perlindungan Anak (Komnas PA), yang dimaksud kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perbuatan atau tindakaan terhaap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisisk, seksual, mental atau emosi, ataupun psikologis dan penelantaran, termasuk ancaman, pemaksaan, dan perendahan martabat (Budi, 2009). Latar belakang kekerasan bermacam-macam, ada yang menyebutkan si anak memang bandel atau susah diatur, pola asuh yang salah, pelampiasan emosi orang tua akibat himpitan ekonomi, dan karena tidak sadar ketika melakukan kekerasan. Dengan sedikit saja faktor pemicu, seperti berkaitan dengan tangisan tanpa henti, dan ketidakpatuhan, terjadilah penganiayaan pada anak yang membawa malapetaka bagi anak dan keluarganya. Saat kekerasan pada anak terjadi, lantaran perbuatan itu, pelaku tidak sadar bahwa tindakannya akan diancam dengan pidana penjara dan denda. Akibat kekerasan yang dialami anak-anak, baik di rumah maupun di sekolah berakibat pada trauma. Bahkan bukan tidak mungkin peristiwa yang dialaminya itu menjadi ingatan buruk yang akan ia ulangi kelak pada orang lain (Rasmun, 2000). Kasus kekerasan terhadap anak seringkali berlangsung kronis dan tidak terdeteksi dalam waktu lama atau diketahui setelah anak menderita akibat yang parah baik secara fisik maupun mental emosional. Semua tindak kekerasan kepada anak-anak tesebut akan direkam dalam alam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa dan terus menerus sepanjang hidupnya (Aryana, 2009).

17 2.5 Dampak Kekerasan terhadap Anak Anak merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang dititipkan kepada orang tua untuk dijaga, dirawat, dan diberikan pendidikan serta penghidupan yang layak bukan untuk dianiaya maupun ditelantarkan yang tidak lain dilakukan oleh orangtua si anak itu sendiri (Kuncoro, 2010). Kekerasan terhadap anak memiliki berbagai macam faktor yang dapat menjadi penyebab dari adanya tindakan tersebut, dan tentu saja mempunyai dampak yang secara langsung maupun tidak langsung terhadap anak, baik secara fisik, tumbuh kembang dan psikologi pertumbuhan anak. Anak merupakan individu yang belum matang baik secara fisik, mental maupun sosial. Karena kondisinya yang rentan terhadap perilaku dan hal-hal yang baru, jika dibandingkan dengan orang dewasa jelas anak lebih beresiko terhadap tindak kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan lain-lain (Kuncoro, 2010). Dampak yang terjadi akibat kekerasan tersebut mungkin saja akan diingat dalam jangka panjang oleh anak hingga ia beranjak dewasa. Tidak menutup kemungkinan kekerasan yang telah menimpanya akan ia lakukan juga terhadap anaknya nanti. Berbagai kasus terhadap terjadinya kekerasan terhadap anak sering disertai dengan penelantaran terhadap anak. Baik penganiayaan maupun penelantaran yang dapat memberikan dampak pada kesehatan fisik dan kesehatan mental sang anak (Suyanto, 2004).

18 Dampak kekerasan jenis ini akan berpengaruh pada situasi perasaan tidak aman dan nyaman, menurunkan harga diri serta martabat korban. Wujud konkrit kekerasan atau pelanggaran jenis ini adalah; penggunaan kata-kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan orang di depan orang lain atau di depan umum, melontarkan ancaman dengan kata-kata dan sebagainya. Akibat adanya perilaku tersebut biasanya korban akan merasa rendah diri, minder, merasa tidak berharga dan lemah dalam membuat keputusan (deccision making) (Suyanto, 2004). Sedangkan menurut Purnianti, (2005) menyatakan bahwa secara umum akibat dari adanya tindak kekerasan terhadap anak adalah sangat serius dan berbahaya karena seorang anak sedang berada pada masa pertumbuhan baik fisik maupun mentalnya. Seseorang anak yang mengalami kekerasan jika penanganannya tidak tepat maka ia akan mengalami cacat tetap yang bukan pada fisik saja tetapi juga pada mental dan emosinya. Kecacatan mental dan emosi inilah yang akan merubah hidupnya dan masa depannya serta akan dibawanya terus hingga dewasa. Secara rinci menurut Purnianti ( 2005) dampak kekerasan terhadap anak adalah sebagai berikut: 1. Anak menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi 2. Menjadi sangat pasif dan apatis 3. Tidak mempunyai kepribadian sendiri, apa yang dilakukan sepanjang hidupnya hanyalah memenuhi keinginan orang tuanya (parental extension)

19 4. Rendah diri 5. Sulit menjalin relasi dengan individu lain 2.6 Respon Korban Tindak Kekerasan Respon korban tindak kekerasan sangat tergantung pada tingkat perkembangan korban pada saat terjadi tindak kekerasan tersebut. Bila tindak kekerasan itu pada orang dewasa, biasanya sudah berlangsung lama dan mereka memiliki banyak hambatan psikis. Respon korban terhadap tindak kekerasan perlu dikaji dengan memperhatikan tahap perkembangan individu dan proses adaptasi terhadap tindak kekerasan, yang dikenal dengan sindroma trauma tindak kekerasan. Korban tindak kekerasan atau korban serangan dengan ancaman akan mengalami ketidak seimbangan internal dan eksternal sebagai akibat situasi yang mengancam kehidupan dan menimbulkan perasaan takut serta tidak berdaya yang luar biasa. Respon korban tindak kekerasan dapat ditinjau dari respons fisik, respons biologik, respons psikologik, respons perilaku, respons interpersonal, dan respons sebagaimana dikemukakan oleh Boyd dan Nihart (dalam Yani, 2004), sebagai berikut: 1. Respon Fisik Korban tindak kekerasan menderita sejumlah konsekuensi fisik dari yang ringan hingga berat. Cidera ringan bisa hanya abrasi atau lecet pada kepala, leher, muka, torso dan alat pergerakan. Cidera berat merupakan trauma ganda, fraktur yang parah, laserasi, dan cidera bagian dalam tubuh. Kehilangan penglihatan dan pendengaran dapat diakibatkan oleh

20 pukulan pada kepala. Korban penganiayaan seksual dapat mengalami trauma pada vagina dan perineum yang sampai memerlukan tindakan pembedahan. Kekerasan fisik atau seksual dapat mengakibatkan trauma kepala yang menimbulkan perubahan dalam kemampuan berfikir, efek, motivasi, dan perilaku. 2. Respons Biologik Depresi merupakan salah satu respon yang paling sering terjadi akibat penganiayaan. Depresi berdasarkan gangguan yang bersifat biologik sebagai pengaruh dari stress kronik terhadap neurotransmitter dan sistem neuroendokrin. Sebagian besar jenis penganiayaan merupakan bentuk ekstrim dari stres yang kronik. 3. Respons Psikologik Respons psikologik terdiri dari harga diri rendah, rasa bersalah dan malu serta marah, yang diuraikan sebagai berikut: Pertama, harga diri rendah. Penganiayaan mempengaruhi harga diri korban. Harga diri rendah bisa sebagai akibat langsung dari penganiayaan fisik atau seksual atau sebagai penyerta penganiayaan psikologik. Kedua, rasa bersalah dan malu. Perasaan bersalah membuat korban meyakini bahwa merekalah yang salah dan penyebab terjadinya tindak kekerasan. Ketiga, marah. Rasa tersinggung dan mudah marah yang kronik, perasaan marah yang tidak terkendalikan, dan kesulitan untuk mengekspresikan kemarahan sering dialami oleh korban panganiayaan.

21 4. Respons Perilaku Perempuan yang pernah mengalami penganiayaan, terutama penganiayaan seksual pada masa kanak-kanak, seringkali menjadi peminum alkohol atau penyalahgunaan zat aditif lainnya. Menurut Miller dan Downs (dalam Hermawan, 2003), perempuan peminum alkohol dan obat lain, dua setengah kali lebih banyak yang melaporkan bahwa mereka pernah dianiaya secara seksual ketika kanak-kanak dibandingkan yang tidak menggunakan alkohol. 5. Respons Interpersonal Sebagai akibat penganiayaan yang sering dilakukan oleh keluarga dekat bahkan orangtua yang seharusnya menyayangi dan melindungi mereka, maka anak-anak korban penganiayaan akan tumbuh sebagai orang dewasa yang sulit untuk menjalin hubungan rasa percaya dan intim. Anak yang mengalami kekerasan akan cenderung merasa kurang percaya diri di masa dewasanya. 6. Respons Ekonomi Perilaku kekerasan secara ekonomi dengan melarang pasangan untuk bekerja atau mencampuri pekerjaan pasangan, menolak memberikan uang atau mengambil uang, serta mengurangi jatah belanja bulanan merupakan contoh konkrit bentuk kekerasan ekonomi. Sebagai akibat terhadap tindakan tersebut secara langsung ataupun tidak, kondisi ini membuat sang istri atau pasangan merasa terintimidasi terhadap adanya perilaku tindak kekerasan ekonomi yang dialaminya, dan dapat membentuk terhadap perilaku dan sikap pribadi seseorang kepada hal yang lebih buruk.

22 Pada anak-anak, kekerasan jenis ini sering terjadi ketika orang tua memaksa anak yang masih berusia di bawah umur untuk dapat memberikan kontribusi ekonomi keluarga. Sehingga memberikan tekanan mental yang buruk kepada anak, anak menjadi murung, iri hati, dan minder dalam bergaul dengan teman-temannya. 2.7 Hubungan Kekerasan dalam Rumahtangga yang Dilakukan oleh Suami terhadap Istri dengan Kekerasan Ibu terhadap Anaknya Kekerasan dalam rumahtangga menurut Undang-undang RI No. 23 Tahun 2004 tentang KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumahtangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumahtangga. Tindakan kekerasan terhadap istri dalam rumahtangga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang seringkali terjadi pada perempuan dan terjadi di balik pintu tertutup. Tindakan ini seringkali dikaitkan dengan penyiksaan, baik fisik maupun psikis yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan yang dekat. Tindak kekerasan terhadap istri dalam rumahtangga terjadi dikarenakan lelaki lebih berkuasa dibandingkan dengan perempuan, sehingga laki-laki seolah-olah dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan karena perempuan dianggap lemah, sedangkan laki-laki lebih kuat. Sesuai dengan yang dinyatakan Sciortino dan Smyth 1997; Suara APIK 1997, bahwa menguasai atau memukul istri sebenarnya merupakan manifestasi dari sifat superior laki-laki terhadap perempuan.

23 Kecenderungan tindak kekerasan dalam rumahtangga terjadi karena faktor dukungan sosial dan kultur (budaya) dimana istri dipersepsikan sebagai orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Hal ini muncul karena transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu, istri harus mengikuti kata suami, bila istri mendebat dipukul. Kultur di masyarakat menganggap suami lebih dominan pada istri dan tindak kekerasan dalam rumahtangga dianggap masalah privasi, masyarakat tidak boleh ikut campur ( Saputri, 2008). Akibat dari tindakan kekerasan tersebut juga dapat berdampak negatif terhadap anak. Kekerasan ibu terhadap anak sering terjadi sebagai akibat dari perlakuan buruk suami terhadap istri. Istri merasa dilecehkan oleh suami, sehingga melampiaskannya kepada anak. Kekerasan terhadap anak dapat berupa serangan pada bagian tubuh, kekerasan berupa komunikasi berisi penghinaan, membuat malu dan menakut-nakuti, sehingga kekerasan berakibat pada kegagalan anak. Kekerasan pada anak bukan hanya berupa deraan fisik saja, tapi juga hal lain yang dapat melukai perasaan atau mental anak (Saputri, 2008). Sedangkan menurut Ciciek, (2005) menyatakan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan fenomena yang sering dilakukan oleh orang-orang terdekat anak, yaitu kekerasan berupa ancaman yang berpotensi mengakibatkan kematian, trauma, dan hal hal yang berbahaya. Tindakan yang dilakukan mencakup fisik, psikologis, emosional, neglect dan komersialisasi yang dilakukan oleh orang tua (ibu). Adapun jenisnya antara lain:

24 (a) Physical Abuse Physical abuse, terjadi ketika orang tua sebagai pengasuh dan pelindung anak memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh anak. (b) Emotional Abuse Emotional abuse terjadi ketika orang tua atau pengasuh dan pelindung anak tidak memberikan perhatian terhadap anak. Walaupun orang tua mengetahui anaknya meminta perhatian, namun orang tua tetap mengabaikan anaknya. Misalnya Ia membiarkan anaknya basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Kebutuhan anak adalah untuk dipeluk atau dilindungi. Apabila tindak kekerasan seperti ini terjadi secara terus menerus, menyebabkan anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan itu berlangsung konsisten. Pada umumnya orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus-menerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu, biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun katakata yang melecehkan anak. Pelaku melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga mengkambing hitamkan. (c)neglect atau Pengabaian Pengabaian di sini dalam artian anak tidak mendapatkan perlindungan ataupun perhatian dari orang-orang terdekat maupun orang di lingkungan

25 sekitarnya. Pengabaian bisa terjadi baik secara sengaja maupun tidak di sengaja, yaitu orangtua mengabaikan dalam perawatan anak, gagal menciptakan lingkungan yang aman dan gagal memenuhi kebutuhan dasar anak dengan baik. Pada umumnya, tanda-tanda pengabaian tersebut yaitu seperti ibu membiarkan pakian anak yang kotor dan tidak sesuai dengan ukuran, hygiene buruk, tanda-tanda malnutrisi (tubuh kurus, perut buncit dll), lesu dan lelah, dan isolasi sosial. (d) Komersialisasi Kekerasan tipe ini merupakan kekerasan dimana orangtua dengan sengaja memforsir tenaga anak untuk dapat menghasilkan uang dengan sebanyakbanyaknya, yaitu dengan cara memaksa anak melakukan pekerjaan yang keuntungannya hanya sedikit dirasakan oleh anak dan bahkan tidak sama sekali. Tipe kekerasan ini merupakan unsur pengambilan keuntungan materi secara sepihak oleh pelaku kekerasan terhadap korban, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. 2.8 Kerangka Teori Kekerasan yang dilakukan suami kepada istri dapat terjadi dalam bentuk kekerasan fisik seperti pemukulan, penganiayaan, dan lain sebagainya. Kekerasan psikis juga dilakukan dengan tindakan penyiksaan secara verbal (seperti menghina, berkata kasar, dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan seksual dilakukan dengan perbuatan memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar. Kekerasan pada anak adalah perilaku orangtua

26 yang melakukan kekerasan kepada anak. Contoh kasus perilaku tersebut adalah orangtua yang menyetrika kaki, menyiram dengan air panas, pemerkosaan terhadap anak kandung atau anak tiri oleh sang Bapak, dan juga pemukulan dan bahkan pembunuhan (Susilowati, 2008). Adapun kekerasan ekonomi dilakukan dengan membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, atau sebaliknya membiarkan istri yang bekerja untuk dieksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Semua bentuk kekerasan tersebut akan berdampak pada masalah-masalah relasional, emosional, kognisi, dan perilaku dengan menyimpan trauma atau dendam untuk melakukan kekerasan kepada orang lain termasuk anaknya (Susilowati, 2008). Keseluruh teori tersebut dirangkum dalam bentuk kerangka variabelvariabel teori berikut ini: Skema Kerangka Pikir Kekerasan Suami terhadap Istri 1. Kekerasan Fisik 2. Kekerasan Psikis 3. Kekerasan Seksual 4. Kekerasan Ekonomi Kekerasan Istri terhadap Anak 1. Physical Abuse 2. Emotional Abuse 3. Neglect atau Pengabaian 4. Komersial Gambar 1. Kerangka Teori

27 2.9 Hipotesis Hipotesis merupakan kesimpulan sementara yang harus dibuktikan kebenarannya atau dapat dikatakan proposisi tentatif tentang hubungan antara dua variabel atau lebih (Masyhuri dan Zainuddin, 2008). Berdasarkan kerangka pikir di atas maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Ada hubungan kekerasan dalam rumahtangga yang dilakukan suami pada istri dengan perilaku kekerasan ibu pada anak di Wilayah Kelurahan Kaliawi Kecamatan Tanjung Karang Pusat Bandar Lampung. 2. Tidak ada hubungan kekerasan dalam rumahtangga yang dilakukan suami pada istri dengan perilaku kekerasan ibu pada anak di Wilayah Kelurahan Kaliawi Kecamatan Tanjung Karang Pusat Bandar Lampung.