BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kilpatrick et al. (2001), strategic

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sangat pesat.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu dari sekian banyak mata pelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORETIS

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, pembelajaran matematika bertujuan untuk melatih pola

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wita Aprialita, 2013

BAB II KAJIAN TEORI A.

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan suatu bangsa tergantung dari tingkat penguasaan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan

KECAKAPAN MATEMATIS SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM POSING

BAB I PENDAHULUAN. sekolah tidak hanya menekankan pada pemberian rumus-rumus melainkan juga

Senada dengan standar isi dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006, The National Council of Teachers of Mathematics

KOMPETENSI STRATEGIS MATEMATIS SISWA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN OSBORN DI KELAS VII.D SMP NEGERI 51 PALEMBANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Krulik dan Rudnick (Fachrurazi, 2011: 81) mengemukakan bahwa yang termasuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nining Priyani Gailea, 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORETIS

SYAMSUL AZIZ

I. PENDAHULUAN. kreatif, terampil, bertanggung jawab, produktif, dan berakhlak. Fungsi lain dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan kegiatan mengoptimalkan perkembangan potensi,

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

ASSESMEN PENDIDIKAN MATEMATIKA DI SEKOLAH Oleh: Drs. Endang Mulyana M.Pd.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah , 2014

PENERAPAN MODEL AUDITORY INTELLECTUALLY REPETITION (AIR) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMA

2016 PENERAPAN PENDEKATAN CREATIVE PROBLEM SOLVING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP

BAB II. Kajian Teoretis

1. PENDAHULUAN. perkembangan ilmu dan teknologi suatu negara. Ketika suatu negara memiliki

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Konseptual. 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. Berpikir merupakan aktivitas mental yang disadari dan diarahkan

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan yang diperlukan dalam pembelajaran matematik. Hal ini disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia secara global dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia

BAB II KAJIAN TEORI. Rahmawati, 2013:9). Pizzini mengenalkan model pembelajaran problem solving

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi yang ada pada individu anak, baik kemampuan

BAB II KAJIAN TEORETIS

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu dalam dunia pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Diantaranya, Kurikulum 1964, Kurikulum 1974, Kurikulum 1984, Kurikulum

BAB I PENDAHULUAN. tidak hanya menyelenggarakan pendidikan saja, tapi juga turut serta memberikan

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU

BAB I PENDAHULUAN. Melihat pentingnya matematika dan peranannya dalam menghadapi

DELSINA PRAMATA SARI, 2014 PENGARUH STRATEGI REACT TERHADAP KEMAMPUAN REPRESENTASI, PENALARAN, DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Peran pendidikan sangat dibutuhkan dalam mempersiapkan dan

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-hari, seperti perhitungan dalam jual-beli, menghitung kecepatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panji Faisal Muhamad, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam Permendiknas No. 22 (Departemen Pendidikan Nasional RI,

BAB II KAJIAN TEORETIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Taufik Rahman, 2015

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas 2003:5).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dianugerahi kemampuan dan kekuatan berpikir. Berpikir

BAB II KAJIAN TEORETIS

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan demi meningkatnya kualitas pendidikan. Objek yang menjadi

BAB II KAJIAN TEORETIS. Belajar merupakan proses yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil temuan selama penelitian dan analisis data hasil

BAB I PENDAHULUAN. saat ini matematika dianggap sebagai program pendidikan yang berperan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia menjadi perhatian saat memasuki abad ke-21.

I. PENDAHULUAN. dengan pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan merupakan salah satu sasaran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan bagian yang sangat penting dalam proses

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai

BAB II KAJIAN TEORI. Pada tahun 2001, National Research Council (NRC) merupakan kapasitas berfikir secara logis mengenai hubungan antara

ARTIKEL ILMIAH. Oleh: RIZA JUNIARSIH NPM

UNION: Jurnal Pendidikan Matematika Vol 2 No 1, Maret 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. satu ilmu dasar yang digunakan secara luas dalam berbagai bidang kehidupan. Hal

BAB V ANALISA. Pembelajaran yang diterapkan pada kelompok sampel (kelas X IA-4)

Deti Ahmatika Universitas Islam Nusantara, Jl. Soekarno Hatta No. 530, Bandung; Abstrak

I. PENDAHULUAN. Pada era global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika diajarkan tingkat dasar hingga tingkat menengah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arif Abdul Haqq, 2013

2016 PENERAPAN MODEL CONNECTED MATHEMATICS PROJECT (CMP) DENGAN METODE HYPNOTEACHING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN INDUKTIF MATEMATIS SISWA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha manusia untuk menuju kearah hidup

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pendekatan Realistic Mathematics Education atau Pendekatan Matematika

NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana S-1 Pendidikan Matematika

I. PENDAHULUAN. untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya seoptimal mungkin. Pendidikan

PENINGKATAN KECAKAPAN MATEMATIKA PADA MATERI GARIS SINGGUNG LINGKARAN MELALUI PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH NASKAH PUBLIKASI

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Strategi Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) Felder (1994: 5) menjelaskan bahwa dalam strategi TAPPS siswa mengerjakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Guru sebagai tenaga kependidikan memiliki tugas untuk melaksanakan proses

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Mulyati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sangat berperan dalam upaya

BAB II KAJIAN TEORI. A. Kemampuan Komunikasi Matematis Komunikasi dapat diartikan sebagai pengalihan pesan dari satu orang ke

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN TIME TOKEN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMA. Thesa Kandaga Universitas Pasundan

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses belajar sehingga mereka dapat mencapai tujuan pendidikan.

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tujuan pembelajaran matematika diantaranya adalah mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu upaya untuk memberikan pengetahuan, wawasan,

Transkripsi:

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Strategic Competence Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kilpatrick et al. (2001), strategic competence merupakan salah satu kecakapan dari lima jenis kecakapan yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Strategic competence merupakan kemampuan untuk merumuskan, merepresentasikan dan menyelesaikan masalah matematis. Dalam menghadapi suatu permasalahan, terkadang siswa seringkali kesulitan dalam menjelaskan secara tepat mengenai masalah yang mereka hadapi. Hal ini menuntut siswa untuk merumuskan masalahnya, sehingga dapat menggunakan matematika untuk memecahkan masalah tersebut. Ketika menghadapi suatu permasalahan, siswa harus mampu merumuskan masalahnya, merepresentasikan masalah serta mengetahui ragam cara yang harus dipilih untuk diterapkan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Setelah rumusan masalah diperoleh, siswa dituntut untuk merepresentasikannya secara matematik dalam berbagai bentuk, seperti dalam bentuk numerik, simbolik, verbal ataupun dalam bentuk grafik. Dalam merepresentasikan masalah, siswa harus mampu mengonstruksi model dari komponen-komponen pokok permasalahan, sehingga dapat membuat model permasalahan secara akurat. Siswa harus mampu memahami situasi dan kunci utama permasalahan serta mengabaikan unsur-unsur 11

12 yang tidak relevan. Kemudian siswa harus mampu menemukan solusi untuk masalah tersebut (Kilpatrick et al., 2001). Untuk menjadi seorang problem solver yang handal, siswa harus belajar bagaimana cara untuk mengonstruksi atau membuat model dari suatu masalah, menemukan hubungan matematis, dan menemukan solusi baru pada saat diperlukan. Karakteristik mendasar yang diperlukan secara keseluruhan dalam menyelesaikan masalah adalah fleksibilitas. Untuk membangun fleksibilitas dapat dilakukan dengan cara menyelesaikan permasalahan nonrutin. Permasalahan nonrutin yaitu permasalahan yang tidak dapat segera diketahui cara menyelesaikannya, tetapi siswa perlu memahami permasalahan, menemukan metode yang tepat untuk mendapatkan solusi kemudian menyelesaikannya. Fleksibilitas suatu pendekatan merupakan kebutuhan kognitif yang utama dalam memecahkan permasalahan yang nonrutin. Siswa yang memiliki strategic competence yang baik tidak hanya memunculkan pendekatan umum dalam memecahkan permasalahan nonrutin, tetapi memiliki fleksibilitas dalam memilih metode, seperti cara menebak, aljabar dan metode lainnya yang sesuai dalam situasi masalah tersebut (Kilpatrick et al., 2001: 126-127). Dalam penelitian ini, strategic competence siswa akan diukur melalui tes (pretes dan postes). Indikator-indikator yang termasuk dalam strategic competence adalah sebagai berikut (Kilpatrick et al., 2001: 124-127): 1. Mampu memahami masalah, yaitu mampu menerjemahkan masalah ke dalam unsur-unsur yang diketahui dan ditanyakan dari permasalahan. 2. Mampu memilih informasi yang relevan.

13 3. Mampu menyajikan masalah secara matematis dalam berbagai bentuk. 4. Mampu memilih pendekatan atau metode yang efektif untuk memecahkan masalah. 5. Mampu menafsirkan jawaban. 2.2 Productive Disposition Kilpatrick, Swafford, dan Findel (2001: 116) mendefinisikan productive disposition (disposisi produktif) sebagai kemampuan menumbuhkan sikap positif serta kebiasaan untuk melihat matematika sebagai sesuatu yang masuk akal, berguna, dan berfaedah dalam kehidupan. Lebih lanjut, Kilpatrick, Swafford, dan Findel (2001: 131) mengartikan bahwa productive disposition adalah kecenderungan: a. Melihat matematika sebagai sesuatu yang dapat dipahami. b. Memandang matematika sebagai sesuatu yang berguna dan bermanfaat. c. Mempercayai bahwa usaha keras dalam belajar matematika akan memberikan hasil. d. Melihat diri sendiri sebagai pebelajar yang efektif dan pelaku matematika. Productive disposition siswa berkembang ketika mereka mengembangkan kompetensi lainnya. Sebagai contoh, siswa yang membangun strategic competence mereka dalam memecahkan masalah nonrutin, sikap dan kepercayaan mereka tentang diri mereka sebagai pebelajar matematika menjadi lebih positif. Sebaliknya, ketika siswa jarang diberikan tantangan memecahkan masalah matematis, mereka hanya akan menganggap bahwa menghafal akan lebih mudah daripada belajar matematika dengan cara yang semestinya, dan mereka mulai

14 kehilangan kepercayaan diri mereka sebagai seorang pelajar matematika. Contoh lainnya, semakin banyak konsep matematis yang siswa pahami, maka matematika akan dirasakan menjadi lebih masuk akal bagi mereka. Productive disposition juga membantu kompetensi lain agar dapat berkembang dengan baik. Contohnya, ketika siswa memandang dirinya mampu belajar matematika dan menggunakan kemampuannya untuk memecahkan masalah, mereka akan lebih mampu mengembangkan kelancaran prosedural serta kemampuan penalaran adaptif mereka. Productive disposition merupakan faktor utama dalam menentukan keberhasilan mereka (Kilpatrick et al., 2001: 131). Productive disposition siswa dapat ditingkatkan melalui pembelajaran matematika yang mempunyai karakteristik, antara lain memungkinkan siswa untuk menyukai matematika dan menunjukkan bahwa matematika sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, menyediakan pengalaman matematis yang membuat siswa dapat berhasil, membuat matematika dapat dipahami dengan metode pembelajaran yang efektif dan bermakna (Jensen dalam Prabawanto, 2009: 14). Productive disposition siswa dapat dilihat ketika siswa menyelesaikan pemecahan masalah, guru dapat melihat bagaimana siswa mendekati suatu masalah, apakah dengan percaya diri, mempunyai kemauan keras untuk meyelesaikannya, tekun, dan tertarik, serta cenderung melakukan refleksi terhadap apa yang dipikirkannya. Ketika siswa berdiskusi, guru juga dapat melihat productive disposition siswa. Yaitu bagaimana kemauan siswa untuk menjelaskan pandangannya dan mempertahankan yang dijelaskannya, apakah mereka mau

15 bertanya, pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang mereka ajukan, dan apakah mereka mau bekerja sama dan berbagi pengetahuan dengan temannya. Selain pada saat menyelesaikan pemecahan masalah dan berdiskusi, productive disposition siswa juga dapat dilihat ketika mereka bekerja dalam berbagai tugas baik individu maupun kelompok. Tugas-tugas individu maupun kelompok dapat memberikan data-data tentang kegigihan siswa dalam usaha menyelesaikan tugas-tugas tersebut (Prabawanto, 2009: 15-16). Productive disposition tampil dalam banyak aspek dari aktivitas-aktivitas siswa, oleh karena itu observasi merupakan salah satu metode yang tepat untuk asesmennya. Hasil dari observasi memberikan informasi tentang hal-hal yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran untuk mendorong pengembangan productive disposition siswa (Prabawanto, 2009: 15). Tetapi komponenkomponen tertentu seperti kepercayaan diri, kecemasan diri dalam belajar matematika, dan kegunaan matematika termasuk komponen sikap yang dapat diukur melalui kuisioner (Ruseffendi dalam Mulyana, 2010). Dalam penelitian ini productive disposition siswa akan diukur melalui kuisioner (angket), Indikator-indikator yang termasuk dalam productive disposition adalah sebagai berikut (Mulyana, 2010: 62): 1. Pandangan siswa mengenai matematika. 2. Manfaat matematika yang dirasakan siswa. 3. Tindakan yang dilakukan siswa terhadap matematika. 4. Kepercayaan diri siswa dalam mempelajari matematika.

16 2.3 Model Pembelajaran Missouri Mathematics Project Missouri Mathematics Project merupakan model pembelajaran terstruktur yang dikemas dalam lima langkah. Menurut Convey (Krismanto, 2002:11) kelima langkah tersebut adalah review/pengulangan, pengembangan, kerja kooperatif/latihan terkontrol, seat work/kerja mandiri, dan penugasan/pr. Kelima langkah tersebut dijelaskan sebagai berikut: Langkah I: Review/Pengembangan Langkah pertama ini dilakukan selama ± 10 menit. Review meliputi: 1. Meninjau ulang pelajaran sebelumnya, terutama yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari pada pembelajaran yang akan dilakukan. 2. Membahas PR. 3. Membangkitkan motivasi. Langkah II: Pengembangan Pada langkah kedua ini, guru sebaiknya mengalokasikan waktu 50% dari waktu pelajaran. Pengembangan meliputi: 1. Penyajian idea baru. 2. Penjelasan, diskusi, demonstrasi dengan contoh kongkret. Pada langkah ini sebaiknya guru menyampaikan tujuan pembelajaran kepada siswa sebagai langkah antisipasi mengenai sasaran pelajaran. Pengembangan akan bijaksana bila dikombinasikan dengan kontrol latihan untuk meyakinkan bahwa siswa mengikuti penyajian materi baru itu.

17 Adanya diskusi diharapkan dapat menjadikan pembelajarannya lebih efektif dan bermakna, dibandingkan sepenuhnya hanya menyimak apa yang dijelaskan oleh gurunya. Diskusi dapat meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan memecahkan masalah (Ruseffendi, 2006: 207). Langkah III: Kerja Kooperatif/Latihan Terkontrol Langkah ketiga ini dalam sumber lain disebut juga latihan terkontrol. Sesuai dengan penamaannya, pada langkah ini siswa diminta untuk mengerjakan latihan secara berkelompok, sementara guru mengontrol aktivitas siswa tersebut. Pengontrolan ini berguna untuk mengawasi jika terjadi miskonsepsi pada saat pengerjaan latihan. Waktu yang dialokasikan untuk langkah ketiga ini ± 20 menit. Langkah IV: Seat Work/Kerja Mandiri Pada langkah keempat ini siswa diminta untuk bekerja sendiri sebagai latihan atau perluasan konsep. Seat work juga dimaksudkan sebagai sarana siswa untuk mengaplikasikan pemahamannya yang diperoleh dari langkah pengembangan maupun kerja kooperatif. Waktu yang diberikan pada langkah ini ± 10 menit. Langkah V: Penugasan/PR Pada langkah ini guru memberikan tugas kepada siswa untuk dikerjakan di rumah (PR). PR ini nantinya akan dibahas pada langkah review di pembelajaran selanjutnya. Model pembelajaran Missouri Mathematics Project memberikan penekanan pada latihan-latihan. Latihan-latihan ini dapat dikerjakan secara

18 berkelompok (pada latihan terkontrol) ataupun secara individu (pada kerja mandiri). Latihan yang diberikan memuat soal-soal nonrutin. Di dalam latihan ini siswa dilatih untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang tidak dapat diselesaikan secara cepat sehingga memerlukan upaya mencoba berbagai alternatif pemecahan. Selain itu juga, di dalam latihan ini siswa diajarkan dan dilatih berbagai strategi pemecahan masalah dengan maksud untuk memberikan pengalaman agar mereka dapat memanfaatkannya pada saat menghadapi berbagai variasi masalah. Dengan begitu latihan-latihan tersebut akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan strategic competence mereka. Model pembelajaran Missouri Mathematics Project dalam setiap langkahnya memungkinkan siswa untuk mengembangkan productive disposition mereka, seperti pada saat berdiskusi, mengerjakan latihan soal pemecahan masalah, ataupun tugas rumah. 2.4 Hipotesis Penelitian Dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Peningkatan strategic competence siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran Missouri Mathematics Project lebih tinggi daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran ekspositori. 2. Peningkatan productive disposition siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran Missouri Mathematics Project lebih tinggi daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran ekspositori.