TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem Mangrove. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

dokumen-dokumen yang mirip
Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka dan khas di dunia,

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

Melaksanakan tanaman hutan di setiap lokasi garapan masing-masing. pasang surut air laut dan aliran sungai. pengembangan pengelolaan ikan dan lainnya.

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. kebun binatang dan cagar alam/taman nasional. Biologi adalah pengejawantahan

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN. kawasan hutan mangrove dikenal dengan istilah vloedbosschen (hutan

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

TINJAUAN PUSTAKA. daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove biasa ditemukan di

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis, ekologis, maupun biologis. Fungsi fisiknya yaitu sistem perakaran

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya alam hayati dan non hayati. Salah satu sumberdaya alam hayati

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. mangrove. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Oleh. Firmansyah Gusasi

Yeyen Noviana & Putri Auliza

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove Habitat Mangrove

BAB I PENDAHULUAN. yang dinamis serta memiliki potensi ekonomi bahkan pariwisata. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang

TINJAUAN PUSTAKA. komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap kadar garam. Ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan sehingga perlu dijaga kelestariannya. Hutan mangrove adalah

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

SYLVOFISHERY (MINA HUTAN) : PENDEKATAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SECARA LESTARI ABSTRAK

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

GUBERNUR SULAWESI BARAT

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari diakses

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 16,9 juta ha hutan mangrove yang ada di dunia, sekitar 27 % berada di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Welly Yulianti, 2015

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob. Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Nur, 2002). Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove. Mangrove merupakan ekosistem hutan yang unik karena merupakan perpaduan antara ekosistem darat dan ekosistem perairan. Hutan mangrove mempunyai peranan yang sangat penting terutama bagi kehidupan masyarakat sekitarnya dengan memanfaatkan produksi yang ada di dalamnya, baik sumberdaya kayunya maupun sumberdaya biota air (udang, kepiting, ikan) yang biasanya hidup dan berkembang biak di hutan mangrove (RENSTRA, 2004). Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka dan khas di dunia, karena luasnya hanya 2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem ini memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosia-budaya yang sangat penting. Fungsi ekologi hutan mangrove meliputi tempat sekuestrasi karbon, remediasi bahan pencemar, 16

menjaga stabilitas pantai dari abrasi, intrusi air laut, dan gelombang badai, menjaga kealamian habitat, menjadi tempat bersarang, pemijahan dan pembesaran berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung dan fauna lain, serta pembentuk daratan (Setyawan, 2002). Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang khas terdapat disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya disepanjang sisi pulau yang terlindung dari angina tau dibelakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung. Ekosistem mangrove yang merupakan ekosistem peralihan antara darat dan lau, sejak lama diketahui mempunyai peranan penting dalam kehidupan dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan (Abdullah, 1984). Silvofishery Silvofishery telah berkembang di berbagai negara, seperti Indonesia, Hong Kong, Thailand, Vietnam, Pilipina, Kenya dan di Indonesia lebih dikenal dengan sistem empang parit dan telah dikembangkan oleh Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Ditjen Perikanan dalam berbagai research project di Sulawesi Selatan, Cikalong dan Blanakan di Jawa Barat. Silvofishery telah berhasil dikembangkan di Indonesia antara lain di Sinjai (Sulawesi), Cikeong (Jawa Barat), Pemalang (Central Java), dan Bali (Puspita et al, 2005). Silvofishery merupakan pola pemanfaatan hutan mangrove yang dikombinasikan dengan dengan tambak/empang. Pola ini dianggap paling cocok untuk pemanfatan hutan mangrove bagi perikanan saat ini. Dengan pola ini 17

diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan sedangkan hutan mangrove masih tetap terjamin kelestariannya. Silvofishery atau tambak tumpangsari merupakan suatu bentuk agroforestry yang pertama kali diperkenalkan di Birma dimana bentuk tersebut dirancang agar masyarakat dapat memanfaatkan hutan bagi kegiatan perikanan tanpa merusak hutan mangrove (Dewi, 1995). Dalam penerapan wanamina berwawasan lingkungan, untuk meningkatkan dan melestarikan fungsi biologis dan ekologis ekosistem hutan mangrove perlu suatu pendekatan yang rasional didalam pemanfaatanya dengan melibatkan masyarakat disekitar kawasan dan masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan mangrove secara langsung. Penerapan pola wanima (silvofishery) didalam ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu pendekatan yang tepat dalam pemanfaatan dan pelestarian kawasan pesisir (Nuryanto, 2003). Kegiatan wanamina (silvofishery) berdasarkan David (2008) berbagai kajian yang telah banyak dilakukan mempunyai tujuan antara lain: Sebagai sarana/metode konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, sumber daya tanah, sumber daya kelautan dan spesies air. Sebagai sarana pengembangan ekonomi kerakyatan, dimana dengan berlangsungnya kegiatan budidaya maka kegiatan produksi perikanan akan tetap berlangsung sehingga memberikan dampak ekonomi bagi masyarakaat Sebagai sarana ekowisata, pertanian/perikanan budidaya ramah lingkungan Sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan konservasi sumberdaya hutan mangrove. 18

Dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan pekerjaan, hutan mangrove dapat dikelola dengan model silvofishery atau wanamina yang dikaitkan dengan program rehabilitasi pantai dan pesisisr. Kegiatan silvofishery berupa empang parit pada kawasan hutan mangrove, terutama di areal Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun 1978. Empang parit ini pada dasarnya adalah semacam tumpangsari pada hutan jati, di mana ikan dan udang sebagai pengganti tanaman palawija (Soekartawi, 1995). Peranan Hutan Mangrove dengan Tambak Tambak adalah merupakan bangunan air yang dibangun pada daerah pasang surut yang diperuntukkan sebagai wadah pemeliharaan ikan/udang dan memenuhi syarat yang diperlukan sesuai dengan sifat biologi hewan yang dipeliharan. Pembangunan tambak pada umumnya dipilih di daerah sekitar pantai, khususnya yang mempunyai atau dipengaruhi oleh sungai besar, sebab banyak petambak beranggapan, bahwa dengan adanya air payau akan memberikan pertumbuhan ikan/udang yang lebih baik ketimbang air laut murni (Wibowo dan Handayani, 2006). Melihat fungsi mangrove yang sangat strategis dan semakin meluasnya kerusakan yang terjadi, maka upaya pelestarian mangrove harus segera dilakukan dengan berbagai cara. Dalam budi daya udang dan ikan, misalnya, harus diterapkan teknik budi daya yang ramah mangrove, artinya dalam satu hamparan tambak harus ada hamparan mangrove yang berfungsi sebagai biofilter dan tandon air sebelum air masuk ke petakan tambak. Upaya penghutanan kembali tepi 19

perairan pantai dan sungai dengan tanaman mangrove perlu dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat (Inoue, et al,. 1999). Mangrove mengangkut nutrien dan detritus ke perairan pantai sehingga produksi primer perairan di sekitar mangrove cukup tinggi dan penting bagi kesuburan perairan. Dedaunan, ranting, bunga, dan buah dari tanaman mangrove yang mati dimanfaatkan oleh makrofauna, misalnya kepiting sesarmid, kemudian didekomposisi oleh berbagai jenis mikroba yang melekat di dasar mangrove dan secara bersama-sama membentuk rantai makanan. Detritus selanjutnya dimanfaatkan oleh hewan akuatik yang mempunyai tingkatan lebih tinggi seperti bivalvia, gastropoda, berbagai jenis juvenil ikan dan udang, serta kepiting. Karena keberadaan mangrove sangat penting maka pemanfaatan mangrove untuk budi daya perikanan harus rasional (Ahmad dan Mangampa, 2000). Komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya di air payau kawasan mangrove adalah kepiting bakau (Scylla serrata), ikan bandeng (Chanos chanos), udang windu (Penaeus monodon), udang vanamei (Penaeus vannamei), ikan patin (Pangasius pangasius), ikan kakap (Lates calcarifer), rumput laut. Sedangkan komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya silvofishery di kawasan mangrove adalah kepiting bakau. Kepiting bakau mempunyai karakteristik yang sedikit berbeda dengan komoditas lainnya karena kemampuannya untuk bertahan hidup dalam kondisi kurang air. Oleh karena itu membudidayakan kepiting tidak memerlukan tambak yang luas (Triyanto, et al, 2012). Teknologi budidaya tambak yang ada selalu mengalami perkembangan, dimana mulai dari teknologi sederhana hingga maju. Kusnendar, et al, (1999) 20

Menguraikan teknologi yang diterapkan tentu akan mempengaruhi dari tipologi tambak yang dipergunakan. Karakter pembagian teknologi tersebut adalah: 1. Tambak sederhana dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran air umumnya tergantung sepenuhnya dengan pasang surut, Bentuk petakan tidak teratur, Luas petakan tambak antara 0,5 5 hektar, Kedalaman air umumnya hanya mampu < 70 cm, Produksi yang dicapai umumnya rendah 2. Tambak semi intensif dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran air tidak tergantung sepenuhnya dengan pasang surut, Bentuk petakan teratur, Luas petakan tambak antara 0,5 1 hektar, Kedalaman air umumnya hanya mampu >90 cm, Produksi yang dicapai umumnya lebih tinggi dari tambak sederhana 3. Tambak intensif dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran air tidak tergantung sepenuhnya dengan pasang surut. Bentuk petakan teratur, Luas petakan tambak antara 0,3 0,5 hektar, Kedalaman air umumnya >1,0 cm, Produksi yang dicapai umumnya tinggi Daerah mangrove merupakan daerah yang subur, baik daratannya maupun perairannya, karena selalu terjadi transportasi nutrien akibat adanya pasang surut. Mangrove mempunyai berbagai peranan penting, yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Serta sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan 21

bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan (Mulyadi et al., 2009). Budidaya tambak merupakan salah suatu bentuk kegiatan usaha pemeliharaan dan pembesaran baik ikan maupun udang di tambak yang dimulai dari ukuran benih sampai menjadi ukuran yang layak dikonsums. Penggunaan tambak secara terus menerus untuk budidaya akan menyebabkan menurunnya produktivitas udang karena daya dukung lingkungan yang tidak mampu lagi menopang pertumbuhan. Menurunnya daya dukung lingkungan disebabkan karena penggunaan pakan, obat-obatan dan pupuk anorganik secara terus menerus selama kegiatan budidaya ikan di tambak berlangsung (Abubakar, 2008). Pengukuran dampak pengembangan kawasan tambak untuk menghubungkan antara upaya efisiensi penggunaan sarana produksi sebagai suatu keharusan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum dengan dampak yang ditimbulkan pembudidayaan tambak. Dampak yang dapat ditimbulkan dari pengembangan kawasan tambak antara lain dampak sosial, ekonomi dan budaya (Nurfiarini, 2003). Untuk menentukan dampak ekonomi dari kegiatan pengembangan tambak, terlebih dahulu harus dihitung nilai ekonomi dari sumberdaya yang digunakan, yaitu dengan menggunakan metode valuasi ekonomi. Model Pengelolaan Mangrove Teknologi budidaya dalam tambak dilakukan dengan beberapa tingkatan yaitu non intensif, semi intensif, dan intensif. Perbedaan dari sistem tersebut terletak pada penerapan tingkat teknologi pengelolaan yaitu padat penebaran, pola pemberian pakan serta sistem pengelolaan air dan lingkungan. Sistem budidaya 22

non intensif dilakukan secara sederhana dengan input dan manajemen yang minimal, sistem semi intensif menggunakan input yang menengah, dan sistem budidaya intensif biasanya membutuhkan input sumberdaya dan manajemen yang lebih banyak (Widigdo, 2000). Adanya fakta bahwa tambak empang parit yang masih mempertahankan mangrovenya mengandung bahan pencemar lebih rendah daripada tambak yang sudah tidak ada mangrovenya merupakan indikasi bahwa mangrove memiliki peranan yang penting dalam menjaga kualitas habitat perairan. Laporan ini seharusnya menjadi pembelajaran dan disebarluaskan kepada para petambak yang telah membabat mangrovenya agar menanaminya kembali. Pemahaman juga diberikan, bahwa kualitas produk akan sangat menentukan harga jual di pasar. Oleh karena itu kualitas habitat perairan (dalam hal ini termasuk ekosistem mangrove) perlu dijaga kelestariannya (Gunawan dan Anwar, 2008). Pencemaran perairan pantai utara Jakarta ditengarai telah menyebar sampai ke pantura Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu. Hartina, (1996) telah melakukan penelitian di pantura Kabupaten Subang, sekitar Blanakan menemukan bahwa substrat tambak non silvofishery mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari substrat hutan mangrove dan 14 kali lebih tinggi dari substrat tambak yang masih bermangrove (model silvofishery). Penanaman tumpangsari selain pada jalur tanam juga dapat dilakukan di pelataran tambak dengan jarak tanam yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Pada umumnya jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 5 m dengan jumlah bibit per hektar 320 batang, menurut (Sofiawan, 2005) bentuk tambak silvofishery 23

terdapat 5 macam pola yaitu tipe empang parit tradisonal, tipe komplangan, tipe empang parit terbuka, tipe kao-kao serta tipe tasik rejo seperti pada Gambar 1 (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 1. Tipe atau model tambak pada sistem silvofishery : a. tipe empang parit tradisional, b. tipe komplangan, c. tipe kao-kao, d. tipe empang terbuka, e. tipe tasik rejo Keterangan : A. Saluran air B. Tanggul/pematang tambak C. Pintu air D. Empang X. Pelataran tambak 1) Tipe empang Parit Tradisional Pada tambak silvofishery Model Empang Parit Tradisional ini penanaman bakau dilakukan merata di pelataran tambak dengan jarak tanam 2 x 3 m atau 1 x 1 m sehingga tanaman terkonsentrasi di tengah-tengah pelataran tambak. Luas daerah penanaman mangrove pada sistem ini bisa mencapai 80% dari keseluruhan luas tambak. Tempat mangrove tumbuh dikelilingi oleh saluran air dan berbentuk 24

sejajar dengan pematang tambak. Saluran ini biasanya memiliki lebar 3-5 m dan tinggi muka air berada 40-80 cm di bawah pelataran tanah tempat tumbuhnya mangrove. Ada beberapa variasi lain dari model dasar ini, misalnya dengan membuat wilayah yang dialiri air sampai 40-60%. Ikan, udang, dan kepiting dibudidayakan secara ekstensif pada saluran air ini (Sofiawan, 2000). 2) Tipe Komplangan Model ini merupakan modifikasi dari Model Empang Parit Tradisional. Pepohonan mangrove ditanam pada daerah yang terpisah dengan empang tempat memelihara ikan/udang, dimana diantara keduanya terdapat pintu air penghubung yang mengatur keluar masuknya air (Sofiawan, 2000) 3) Tipe Kao-kao Model Kao-Kao adalah sistem silvofishery dengan tambak berada di tengah dan hutan mengelilingi tambak, pada Model Kao-Kao ini mangrove ditanam pada tepian guludan-guludan (bedengan). Lebar guludan 1-2 m dengan jarak antara guludan adalah 5-10 m (disesuaikan dengan lebar tambak). Variasi yang lain adalah mangrove ditanam di sepanjang tepian guludan dengan jarak tanam 1 meter. 4) Tipe Empang Terbuka Bentuk model empang terbuka ini tidak berbeda jauh dengan model empang tradisional. Bedanya hanya pada pola penanaman tanaman mangrove. Pada model ini mangrove ditanam pada tanggul yang mengelilingi tambak. 5) Tipe Tasik Rejo Pada model ini mangrove ditanam di sepanjang tepian parit yang berbentuk saluran air tertutup yang langsung berhubungan dengan saluran air 25

utama (saluran air yang menghubungkan tambak dengan laut). Mangrove ditanam cukup rapat dengan jarak tanam 1 x 1 m atau bahkan 50 x 50 cm. Pada model ini tambak hanya berbentuk parit sedalam kurang lebih 1 m yang juga dipakai sebagai tempat pemeliharaan ikan. Pelataran tambak pada umumnya dibudidayakan untuk usaha pertanian tanaman semusim, seperti padi gogo, palawija, atau bunga melati. Pada awalnya sistem silvofishery merupakan pengelolaan daerah hutan mangrove kuno yang membutuhkan pendekatan penelitian dan penilaian yang lebih modern. Pendekatan terpadu terhadap konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove memberikan kesempatan untuk mempertahankan kondisi kawasan hutan tetap baik, disamping itu budidaya perairan payau dapat menghasilkan keuntungan ekonomi. Faktor penting lainnya adalah teknologi ini menawarkan alternatif yang praktis untuk tambak tetap berkelanjutan (sustainable). Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep silvofishery ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan (Bengen, 1998). 26