BAB IV PEMODELAN DAN REKOMENDASI PENYELESAIAN KONFLIK PAPUA. 4.1 Pemodelan Konflik Papua (Matrik Payoff Konflik)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

Refleksi Akhir Tahun Papua 2010: Meretas Jalan Damai Papua

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945

BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah peradaban Aceh begitu panjang, penuh liku dan timbul tenggelam.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

I. PENDAHULUAN. pemerintah negara indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan

BAB V KESIMPULAN. merupakan bentuk kekecewaan terhadap tidak terpenuhinya janji-janji Soekarno

BAB I PENDAHULUAN. 1 Tuhana Andrianto, Mengapa Papua Bergolak, (Yogyakarta: Gama Global Media, 2001), Hlm

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

Telah terjadi penembakan terhadap delapan TNI dan empat warga oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Bagaimana tanggapan Anda terkait hal ini?

PEMODELAN KONFLIK DENGAN PENDEKATAN THEORY OF MOVES Studi Kasus Konflik Papua Rekomendasi Penyelesaian Konflik Terbaik. Oleh: Ardian Febri

RUU ACEH PRESENT UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BAB V PENUTUP. Skripsi ini meneliti mengenai peran Aceh Monitoring Mission (AMM)

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER

Inpres No. 1 Tahun 2002 Tentang Peningkatan Langkah Komprehensif Dalam Rangka Percepatan Penyelesaian Masalah Aceh

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB VIII Politik Hukum Pada Masa Reformasi Oleh: Prof.Gunarto.SH.SE,Akt.Mhum. Pada masa reformasi, konfigurasi politik di DPR dan MPR tidak berubah,

Bab I U M U M 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2003, telah diterbitkan sebuah komisi independen untuk

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL

UPAYA ORGANISASI PAPUA MERDEKA (OPM) DALAM MENGGALANG DUKUNGAN INTERNASIONAL UNTUK KEMERDEKAAN PAPUA RESUME SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

BAB IV PENUTUP. sebagai suatu lembaga pelengkap dalam pelaksanaan Otsus Papua. Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Oleh : Agus Subagyo, S.IP.,M.SI FISIP UNJANI

PERAN OTONOMI DAERAH DALAM MENINGKATKAN POTENSI PENGUATAN EKONOMI & KEUANGAN DAERAH

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 109 TAHUN 2003 TENTANG DANA ALOKASI UMUM DAERAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA TAHUN ANGGARAN 2004

EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH YANG MEMILIKI OTONOMI KHUSUS

TOPIK KHUSUS DIPLOMASI INTERNASIONAL

LAPORAN SINGKAT =============================================================

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya mengenai Kontroversi Penentuan Pendapat

BAB IV PENUTUP. 1. Independensi kekuasaan kehakiman merupakan suatu conditio sine qua non dalam

PENYELESAIAN MASALAH PAPUA: PERLUNYA PENDEKATAN KOMPREHENSIF

CATATAN PENUTUP REFLEKSI AKHIR TAHUN PAPUA 2010 : MERETAS JALAN DAMAI PAPUA OLEH: LAKSAMANA MADYA TNI (PURN) FREDDY NUMBERI

PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN ARAH KEBIJAKAN PROLEGNAS TAHUN Ignatius Mulyono 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERAN POLITIK MILITER DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. perhatian besar oleh media massa. Hal ini karena kasus kekerasan oleh aparat

KEBIJAKAN PEMERINTAH FILIPINA DALAM MENANGANI GERAKAN SEPARATIS MORO DI MINDANAO RESUME SKRIPSI

BAB IX oleh : Prof.Gunarto.SH.SE,Akt.M.Hum Politik Hukum Pasca Pemilu 1999

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

DATA PELANGGARAN HAM DI INDONESIA 1. Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu yang Belum Tersentuh Proses Hukum

Pendidikan Kewarganegaraan

BAB V KESIMPULAN. Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Dalam

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ANGGARAN DASAR ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN. Pasal 2

POLITIK HUKUM KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA AGUSMIDAH

BAB 6 PENUTUP. hingga masa transisi demokrasi. Beberapa ahli, misalnya Samuel Decalo, Eric. politik, yang akarnya adalah kekuatan politik militer.

FAKTOR-FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DIALOG JAKARTA JAYAPURA 1

INTEGRASI PAPUA KE DALAM INDONESIA: TINJAUAN SEJARAH

ANGGARAN DASAR Lembaga Indonesia ASA

BAB V PENUTUP. Tibet yang berusaha melawan Tiongkok. Setelah diasingkan ke Dharamsala, Dalai

BAB I PENDAHULUAN. melahirkan berbagai masalah di daerah. Hasil dari sumber daya alam yang

(Skripsi) Oleh : Raditya Andi Pujakesuma

MEMAHAMI ASPIRASI DAERAH UNTUK MENGUKUHKAN NKRI Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara Palembang, 26 Juni 2011

KISI UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL (USBN) TAHUN PELAJARAN 2016/2017. Nomor Soal. Kelas VII Norma 1. Konstitusi dan Proklamasi. Hak Asasi Manusia 6

PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at

MENEGAKKAN KEDAULATAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN MENUJU NEGARA MARITIM YANG BERMARTABAT (KOMISI KEAMANAN) (Forum Rektor Indonesia 2015)

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1

BAB I PENDAHULUAN. suku, bahasa, dan adat istiadat yang beragam. Mengingat akan keragaman tersebut,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2003 TENTANG TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA DHARMA NUSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. sangatlah unik dikaji, terutama pada Pada masa ini hubungan

ANGGARAN DASAR. Lembaga Indonesia ASA PEMBUKAAN

KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK)

Modul ke: 09TEKNIK GEOPOLITIK. Nanang Ruhyat. Fakultas. Program Studi Teknik Mesin

RISALAH KEBIJAKAN. Mendorong Regulasi Penggusuran Sesuai dengan Standar Hak Asasi Manusia

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III PENGARUH TSUNAMI TERHADAP DIPLOMASI ACEH

BAB V PENUTUP Kesimpulan

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH ( RKP) PROPINSI JAWA TENGAH TAHUN 2005

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia.kemiskinan telah menjadi isu global dimana setiap negara merasa berkepentingan

Teori Game. Pengantar Teori Game, Ahmad Sabri, MSi. Universitas Gunadarma

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sebagai alat negara. Negara dapat dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Masuknya Timor Timur ke dalam Negara Republik Indonesia disahkan

Panduan diskusi kelompok

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP) JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah dan dengan memperhitungkan masyarakat Indonesia yang plural,

2. Peran Daerah dalam Kerangka NKRI saat ini

RGS Mitra 1 of 7 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERCEPATAN PEMULIHAN PEMBANGUNAN PROPINSI MALUKU DAN PROPINSI MALUKU UTARA PASCAKONFLIK

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Demokrasi adalah salah satu tuntutan terciptanya penyelenggaraan

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

Ulangan Akhir Semester (UAS) Semester 1 Tahun Pelajaran

KEADILAN UNTUK MASYARAKAT PAPUA

Latar Belakang Lahirnya H.K. Hukum Ketenagakerjaan diciptakan. keadilan sosial dalam hubungan kerja

C. Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Society ISSN :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2000 TENTANG

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif

BAB V KESIMPULAN. mencari mitra kerjasama di bidang pertahanan dan militer. Karena militer dapat

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 3 0TAHUN 2007 T E N T A N G TATACARA PEMILIHAN, PENCALONAN, PELANTIKAN DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DESA

Position Paper Yayasan LBH Indonesia Tentang Nota Kesepahaman (MoU) Pemerintah RI GAM

Bercumbu Dengan Konflik RUU Penanganan Konflik Sosial Sebagai Solusi Penanggulangan Konflik di Indonesia

Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Transkripsi:

BAB IV PEMODELAN DAN REKOMENDASI PENYELESAIAN KONFLIK PAPUA 4.1 Pemodelan Konflik Papua (Matrik Payoff Konflik) Dilihat dari gambaran umum dan penyebab konflik, maka dapat diciptakan sebuah model 2x2 matriks payoff. Pada satu pihak kita dapat menetapkan Pemerintah Indonesia sebagai pemain dan dipihak lainnya gerakan separatis Papua yang ingin melepaskan diri dari Indonesia yang berlangsung setelah pemberian otonomi khusus kepada Papua. Dua sikap yang diambil oleh kedua pihak dijadikan sebagai dasar strategi dari games ini. Pertama adalah sikap keras dinotasikan dengan H, dimana pihak Pemerintah Indonesia menolak untuk berdialog dengan elit Papua, dengan kata lain pihak Indonesia mengunakan kekuatan militer. Di pihak elit Papua ini berarti penolakan terhadap resolusi perdamaian untuk mendapatkan kemerdekaan penuh, dengan kata lain perjuangan bersenjata lewat gerilya merupakan strategi yang dipilih. Kedua adalah sikap kompromi dinotasikan dengan C. Sikap ini berarti pihak pemerintah Indonesia siap untuk berkompromi, menghindari cara-cara kekerasan dan militerisme, memberikan ruang bagi penyelesaian demokrasi dan dialog. Sedangkan bagi elit Papua juga berarti siap berkompromi, dan menghentikan perlawanan bersenjata dan gerilya. Strategi di atas dapat dimodelkan dalam bentuk matrik payoff dengan nilai utilitas sebagai berikut: 15

C Pemerintah RI H Gerakan Separatis C H Otonomi Gerakan separatis khusus Menyerah 3,4 Papua Merdeka 2,3 Konflik Kekerasan 4,1 1,2 Gambar 4 Matriks Payoff Konflik Papua Dimana : C = conciliatory stance (sikap kompromi) H = hard-line stance (sikap keras) (x, y) = (payoff Gerakan Separatis, payoff untuk Pemerintah RI) 4 = terbaik, 3 = baik; 2 = buruk; 1 = terburuk Dari matriks di atas, pilihan C dan H oleh masing-masing pihak akan melahirkan empat pilihan, dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Otonomi Khusus (3,4). Setelah era reformasi pemerintah Indonesia mengambil langkah lebih lunak. Pasca reformasi 1998, beberapa orang tokoh Papua menghadap Presiden Habibie untuk menuntut kemerdekaan, yang dikenal dengan Dialog Nasional Tim 100 pada Februari 1999, tetapi tuntutan itu di tolak oleh pemerintah RI. Sikap yang lebih demokratis ditunjukan oleh Presiden Abdurahman Wahid yang mengusulkan otonomi khusus bagi Papua. Pemberian otonomi khusus baru terwujud pada pemerintahan Megawati seiring dengan dikeluarkannya UU No 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus. Pilihan ini 16

adalah pilihan yang terbaik untuk Pemerintah RI, sehingga diberikan nilai 4, karena pilihan ini pada dasarnya dianggap sebagai bentuk kompromi antara pemerintah pusat untuk mempertahankan integrasi dan meredam keinginan masyarakat Papua yang ingin keluar dari NKRI. Proses yang lebih demokratis ini pun kemudian bisa mendapatkan simpati dari elit-elit dan tokoh Papua. Bagi elit gerakan separatis Papua merdeka, pilihan ini cukup baik, sehingga diberikan nilai 3, karena dengan diberikannya keterbukaan oleh pemerintah Indonesia untuk berdialog, maka keinginan untuk terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik akan semakin terbuka. Kesejahteraan yang dituntut selama konflik akan bisa diwujudakan. Tetapi pilihan ini bukan yang terbaik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal pokok yang tertuang dalam UU No 21 tahun 2001 tentang Otsus. Hal yang paling penting dalam pemberian Otsus ini adalah desentralisasi kewenangan yang lebih besar kepada Provinsi Papua dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Tetapi dalam implementasi di lapangan, Otsus tidak seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi dikarenakan beberapa hal, seperti dikeluarkannya Inpres No 1 tahun 2003 tentang Percepatan Pemekaran Provinsi Papua, dan lemahnya penegakan hukum terhadap hasus pelanggaran HAM. Kegagalan implementasi di lapangan ini membuat kepercayaan masyarakat Papua terhadap itikad baik pemerintah Indonesia kembali menurun, yang dengan ditandai penyerahan simbolis UU Otsus secara simbolis melalui DPR Papua oleh Dewan Adat Papua pada 15 Agustus 2005. 17

2. Gerakan separatis menyerah (2,3) Strategi ini adalah pilihan terbaik kedua bagi pemerintah Indonesia, sehingga diberikan nilai 3, karena identik dengan penyelesaian konflik dengan pendekatan militer dan merupakan pilihan dominan sebelum era reformasi. Dalam penerapan strategi ini Gerakan Organisasi Papua Merdeka melemah, dengan dilakukannya penangkapan orang-orang yang dicurigai terlibat dengan gerakan itu. Tetapi tindakan berupa pendekatan militer ini ternyata sering menimbulkan masalah pelanggaran HAM yang disebabkan oleh pihak militer. Hal ini menjadi sorotan dunia Internasional, dan isu pelanggaran HAM ini dijadikan sebagai alat bagi pihak asing dan LSM untuk memojokkan Pemerintah RI. Bagi gerakan separatis, pilihan strategi ini tidak terlalu buruk, sehingga diberikan nilai 2. Hal ini dikarenakan anggota TPN/OPM yang menyerahkan diri kepada TNI diberikan program reintegrasi dan pengampunan. Kebijakan ini sudah diterapkan dalam penyelesaian konflik Aceh. Selain itu bagi elit Papua yang ditangkap karena dianggap sebagai gerakan pengacau keamanan tetap diberikan hak untuk diadili di pengadilan. Contoh kasus adalah dibebaskannya Taha Al Hamid (Sekretaris Umum PDP), Pendeta Herman Awom (moderator Kongres Rakyat Papua 2000) dan Agus Alua (Panitia Kongres) setelah terbukti tidak bersalah di pengadilan dan setelah itu mereka tetap dapat beraktivitas. 3. Konflik Kekerasan (1,2) Strategi ini tidak terlalu buruk bagi pemerintah Indonesia, sehingga diberikan nilai 2, karena kondisi ini dapat dijadikan sebagai sebagai alasan untuk mengadakan operasi militer penumpasan Gerakan Pengacau Keamanan yang diasosiasikan kepada OPM. Setelah era reformasi, operasi-operasi militer yang akhirnya menyebabkan konflik kekerasan, menurut pengakuan pihak militer Indonesia, tindakan ini merupakan upaya 18

pemberantasan gerakan separatis yang mengancam keamanan. Tetapi disisi lain ketika terjadi pelanggaran HAM, hal ini kemudian dipakai sebagai propaganda oleh LSM dan negara pendukung OPM untuk menyudutkan pemerintahan Indonesia. Bagi OPM khususnya Tentara Pembebasan Nasional Papua yang masih melakukan gerakan bersenjata, strategi ini adalah yang terburuk, sehingga diberikan nilai 1, karena kekuatan mereka yang tidak bisa menyeimbangi TNI, kondisi konflik internal diantara faksi, dan yang paling merugikan adalah seringnya rakyat sipil di pelosok yang menjadi korban. Seperti yang terjadi dalam beberapa kasus operasi militer setelah tahun 2001, yang menurut militer Indonesia adalah sebuah upaya pemberantasan gerkan pengacau keamanan. 4. Papua Merdeka (4,1) Strategi ini sangat merugikan pihak Indonesia, sehingga diberikan nilai 1, karena jika pemerintah Indonesia mengambil langkah ini maka Papua akan lepas dari NKRI seperti yang terjadi pada kasus Timor Leste. Kerugian yang ditimbulkan tidak hanya dalam perspektif poilitik tetapi juga dalam perspektif ekonomi. Tanah Papua mengandung kekayaan alam yang sangat banyak mendatang kan pemasukan bagi negara Indonesia. Bagi elit Papua, hal inilah yang menjadi tujuan terakhir dari gerakan mereka dan merupakan strategi paling menguntungkan, sehingga diberikan nilai 4. Strategi ini akan menciptakan kemerdekaan bagi Papua dengan posisi sikap keras mereka yang tidak mau kompromi. 4.2 Analisis Model Konflik dengan Pendekatan Backward Induction Dari matrik payoff di atas (Gambar 4), dapat ditentukan state kesetimbangan dengan aturan TOM dan pendekatan backward induction. Dalam hal ini, analisis 19

yang akan dilakukan dengan state awal, dipilih dari keempat state yang ada dari matrik payoff. Misakan gerakan separatis kita notasikan dengan R dan Pemerintah Indonesia dengan G. State awal (3,4) Misalkan R yang mulai bergerak pertama, maka gerakan berlawan arah jarum jam dari (3,4) kembali ke (3,4) adalah R G R G R ( 3,4) (4,1) (1,2) (2,3) c (3,4) R melihat empat state ke depan dan menemukan bahwa G akan bergerak dari (2,3) ke (3,4). Mengikuti backward induction, R percaya jika berada di (1,2) permainan akan kembali ke (3,4) karena G akan bergerak dari (2,3). Begitupun G akan bergerak dari (4,1), dapat disimpulkan bahwa permainan akan berhenti di (3,4) sehingga R memutuskan untuk tetap di (3,4). Misalkan G bergerak pertama, proses searah jarum jam dari (3,4) ke (3,4) seperti berikut: G R G R G ( 3,4) (2,3) (1,2) (4,1) (3,4) Jika G memulai maka permainan langsung terblok di awal. Jadi G memilih untuk berhenti pada state awal. Dari state awal (3,4) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu pemain pun yang memilih untuk bergerak, sehingga outcome yang dihasilkan (3,4) adalah Non Myopic Equilibrium. 20

State awal (4,1) Misalkan R bergerak pertama, maka proses searah jarum jam dari (4,1) kembali ke (4,1) adalah sebagai berikut: R G R G R ( 4,1) (3,4) (2,3) (1,2) (4,1) Jika R memulai permainan maka permainan akan terblok dari awal. Jadi R akan memilih untuk tetap berada di state awal. Misalkan G bergerak pertama, maka proses berlawanan arah dengan jarum jam dari (4,1) kembali ke (4,1) adalah sebagai berikut: G R G R G ( 4,1) (1,2) (2,3) (3,4) (4,1) Berdasarkan aturan TOM, G ingin menuju ke (3,4) oleh karena itu G lebih memilih untuk bergerak. Jadi jika permainan dimulai dari state (4,1) maka akan terjadi konflik. R memilih untuk diam di (4,1) sedangkan G menginginkan bergerak ke (3,4). Karena pergerakan G maka G mendapatkan prioritas yang lebih (aturan ke-6 TOM), sehingga outcome adalah hasil yang diinginkan oleh G yaitu (3,4). Dengan cara yang sama seperti prosedur di atas, jika permainan berawal dari (1,2) maka kedua pemain memilih untuk bergerak dan dihasilkan outcome pada state (3,4). Begitu pula jika permainan dimulai dari state (2,3) maka kedua pemain juga akan memilih untuk bergerak dan outcome yang dihasilkan adalah state (3,4). Dari semua hasil yang di dapat dari matrik payoff konflik Papua yaitu (3,4) sebagai satu-satunya Non Myopic equilibrium, dapat dilihat bahwa penyelesaian terbaik dari konflik Papua adalah pada state (3,4) atau otonomi khusus. Untuk 21

mencapai titik kesetimbangan ini, maka kedua pihak yang terlibat konflik harus mengedepankan sikap kompromi. Dari pihak Indonesia harus dikedepankan strategi dialog dan menerapkan otonomi khusus bagi Papua seperti yang tertuang dalam UU No 21 tahun 2001, serta menunda kebijakan untuk memekarkan Propinsi Papua, karena hal itu akan kembali menghilangkan kepercayaan dari masyarakat Papua. Sebaliknya dari gerakan separatis harus menghentikan perlawanan bersenjata dan aktivitas aktivitas yang dapat mengganggu keamanan dan memprovokasi TNI melakukan operasi keamanan. 4.3 Simulasi Konflik Papua dengan Pendekatan TOM Learners. Dalam kondisi real, tidak semua pemain yang terlibat dalam konflik mempunyai informasi lengkap tentang strategi lawan. Untuk itulah dipakai pendekatan TOM Learners. Untuk melihat konflik Papua dengan matriks payoff seperti pada Gambar 4 dapat dilakukan simulasi sehingga bisa dilihat prediksi konflik beberapa waktu ke depan. Asumsikan peran utama penyelesaian konflik terletak pada Pemerintah Indonesia dengan tidak ada informasi tentang strategi lawan. Maka akan dihasilkan outcome seperti yang terlihat pada grafik di bawah ini: Dalam simulasi ini akan dilakukan iterasi sebanyak 100 kali dengan pengambilan random pada state awal. Simulasi pertama: 22

4 3 nilai utilitas 2 1 0 0 20 40 60 80 100 120 no iterasi Gambar 5 Simulasi 1 untuk payoff Pemerintah RI Simulasi kedua: 4 3 nilai utilitas 2 1 0 0 20 40 60 80 100 120 no iterasi Gambar 6 Simulasi 2 untuk payoff Pemerintah RI 23

Simulasi ketiga: 4 3 niliai uitilitas 2 1 0 0 20 40 60 80 100 120 no iterasi Gambar 7 Simulasi 3 untuk payoff Pemerintah RI Dari ketiga hasil simulasi ini dapat dilihat bahwa konflik Papua yang dilihat dari perspektif strategi Indonesia akan selalu mempunyai outcome dengan nilai utilitas 4 atau 3. Dengan kata lain penyelesaian konflik pada state (3,4) atau (2,3). Hasil simulasi ini tidak berbeda jauh dengan hasil dari TOM, hasil optimal dari matriks payoff adalah state dengan nilai utilitas (3,4). Dari ketiga plot dari simulasi konflik Papua dilihat dari perspektif strategi Indonesia bahwa penyelesaian konflik Papua adalah dengan pelaksanaan otonomi khusus dengan seideal-idealnya (outcome (_,4)). Strategi berikutnya yang dapat diambil oleh pemerintah Indonesia adalah dengan melakukan operasi penumpasan gerakan separatis dengan melemahkan kekuatan perlawanan mereka sehingga dengan sendirinya gerakan ini menyerah (outcome (_,3)). 24

Simulasi dengan nilai payoff random Simulasi 1 4 3 nilai payoff 2 1 0 0 20 40 60 80 100 120 no iterasi Gambar 8 Simulasi 1 untuk payoff random Simulasi 2 4 3 nilai payoff 2 1 Series1 0 0 20 40 60 80 100 120 no of iterasi Gambar 9 Simulasi 2 untuk payoff random Dari simulasi diatas dapat dilihat, jika semua nilai payoff diambil random untuk semua state maka akan dihasilkan penyelesaian konflik akan tetap dominan ke nilai payoff 3 dan 4. Walaupun dalam beberapa iterasi games akan menuju ke nilai 2 tetapi tidak terlalu dominan. 25