BAB II TINJAUAN TEORITIS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa balita merupakan periode penting dalam proses. tumbuh kembang manusia. Pertumbuhan dan perkembangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan rentang 0-5 tahun (Gibney, 2009).

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 : PENDAHULUAN. meningkatkan produktifitas anak sebagai penerus bangsa (1). Periode seribu hari,

BAB I PENDAHULUAN. 24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Adapun fungsi zat gizi bagi tubuh adalah:

BAB 1 PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai tolak ukur keberhasilan kesehatan ibu maka salah satu indikator

BAB I PENDAHULUAN. anak yang rentang usianya 3 6 tahun (Suprapti, 2004). Anak usia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

anak yang berusia di bawahnya. Pada usia ini pemberian makanan untuk anak lakilaki dan perempuan mulai dibedakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan gizi yang sering terjadi di seluruh negara di dunia adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. pencapaian tumbuh kembang bayi tidak optimal. utama kematian bayi dan balita adalah diare dan pneumonia dan lebih dari 50%

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ISSN InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI. Hari Anak-Anak Balita 8 April SITUASI BALITA PENDEK

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan medis dan pelayanan masyarakat saja. Banyak

BAB I PENDAHULUAN. sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau

BAB 1 PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO) tahun 2013 diare. merupakan penyebab mortalitas kedua pada anak usia

BAB I PENDAHULUAN. depan bangsa, balita sehat akan menjadikan balita yang cerdas. Balita salah

BAB I PENDAHULUAN. terutama penyakit infeksi. Asupan gizi yang kurang akan menyebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN ASUPAN ZAT BESI DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN KADAR FERRITIN PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 24 BULAN DI PUSKESMAS KRATONAN SURAKARTA

Perbedaan Tingkat Kecukupan Karbohidrat dan Status Gizi (BB/TB) dengan Kejadian Bronkopneumonia

BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan rawan kesehatan antara lain : sehingga perhatian ibu sudah berkurang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN PERKEMBANGAN MOTORIK ANAK UMUR 1 TAHUN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAKUAN BARU KOTA JAMBITAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kebutuhan nutrisi merupakan kebutuhan yang sangat

PROFIL STATUS GIZI ANAK BATITA (DI BAWAH 3 TAHUN) DITINJAU DARI BERAT BADAN/TINGGI BADAN DI KELURAHAN PADANG BESI KOTA PADANG

BAB I PENDAHULUAN. yaitu sesuai standar pertumbuhan fisik anak pada umumnya. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. beban permasalahan kesehatan masyarakat. Hingga saat ini polemik penanganan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kesehatan dan gizi, sehingga membutuhkan perhatian dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kesempatan Indonesia untuk memperoleh bonus demografi semakin terbuka dan bisa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dasar terbentuknya manusia seutuhnya. Periode penting dalam tumbuh kembang anak

BAB I PENDAHULUAN. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat

BAB I PENDAHULUAN. (Wong, 2009). Usia pra sekolah disebut juga masa emas (golden age) karena pada

Nurlindah (2013) menyatakan bahwa kurang energi dan protein juga berpengaruh besar terhadap status gizi anak. Hasil penelitian pada balita di Afrika

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan ASI eksklusif atau pemberian ASI secara eksklusif adalah bayi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Dengan Status GIzi Pada Balita di Desa Papringan 7

BAB I PENDAHULUAN. energi protein (KEP), gangguan akibat kekurangan yodium. berlanjut hingga dewasa, sehingga tidak mampu tumbuh dan berkembang secara

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk

STATUS GIZI IBU HAMIL SERTA PENGARUHNYA TERHADAP BAYI YANG DILAHIRKAN

Kata Kunci : Riwayat Pemberian ASI Eksklusif, Stunting, Anak Usia Bulan

BAB I PENDAHULUAN. mendapat perhatian, karena merupakan kelompok yang rawan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. penurunan tingkat kecerdasan. Pada bayi dan anak, kekurangan gizi akan menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 : PENDAHULUAN. diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. (1) anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya serta dapat menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan gizi masih menjadi masalah yang serius. Kekurangan gizi

BAB I PENDAHULUAN. menurunkan prevalensi balita gizi pendek menjadi 32% (Kemenkes RI, 2010).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. berbagai faktor multidisiplin dan harus selalu dikontrol terutama pada masyarakat

BAB II. Landasan Teori

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut United Nations International

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Stunting merupakan salah satu indikator masalah gizi yang menjadi fokus

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. tergantung orang tua. Pengalaman-pengalaman baru di sekolah. dimasa yang akan datang (Budianto, 2009).

HUBUNGAN ANTARA UMUR PERTAMA PEMBERIAN MP ASI DENGAN STATUS GIZI BAYI USIA 6 12 BULAN DI DESA JATIMULYO KECAMATAN PEDAN KABUPATEN KLATEN

BAB I PENDAHULUAN. terpenuhi. Anak sekolah yang kekurangan gizi disebabkan oleh kekurangan gizi pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Anak yang sehat semakin bertambah umur semakin bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN. masalah gizi utama yang perlu mendapat perhatian. Masalah gizi secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tetapi pada masa ini anak balita merupakan kelompok yang rawan gizi. Hal ini

METODE PENELITIAN. Sedep n = 93. Purbasari n = 90. Talun Santosa n = 69. Malabar n = 102. n = 87. Gambar 3 Teknik Penarikan Contoh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. makanan (Anonim, 2008). Sementara masalah gizi di Indonesia mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan yaitu meningkatnya kesadaran,

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengasuhan berasal dari kata asuh(to rear) yang mempunyai makna

BAB 1 PENDAHULUAN. yang berkualitas. Dukungan gizi yang memenuhi kebutuhan sangat berarti

HUBUNGAN STATUS GIZI DAN STATUS IMUNISASI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi kurang sering terjadi pada anak balita, karena anak. balita mengalami pertumbuhan badan yang cukup pesat sehingga

Gambaran Karakteristik Ibu Hamil, Tingkat Pengetahuan serta Sikap terhadap Asupan Gizi Ibu Hamil di Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Balita Balita didefinisikan sebagai anak dibawah lima tahun dan merupakan periode usia setelah bayi dengan rentang 0-5 tahun (Gibney, 2009). Menurut Sutomo dan Anggraeni (2010), balita adalah isitilah umur bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Sedangkan menurut Brown (2005), batasan usia bayi dan balita yaitu infant (bayi) 0-1 tahun, toddlers (masa mulai berjalan) 1-3 tahun, dan preschool age (anak usia prasekolah) 3-5 tahun. Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik namun kemampuan lain masih terbatas. Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa balita adalah anak usia dibawah 5 tahun yang terdiri dari infant, toddlers, dan preschool age. Di usia ini anak perlu mendapatkan perhatian penuh dari orang tua maupun lingkungan sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara sempurna. 10

11 2.2 Gizi Gizi adalah proses dimana tubuh kita menerima makanan serta proses organisme suatu makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zatzat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan serta menghasilkan energi (Supariasa, 2002). Sedangkan menurut Eastwood (2003), gizi atau nutrient adalah zat atau pertikel kimia yang digunakan oleh mahluk hidup untuk aktivitas metabolisme. Hasil metabolisme ini dibutuhkan untuk menghasilkan energi, pertumbuhan, mengganti sel-sel yang rusak, reproduksi dan menyusui. Adapun macam-macam gizi yang diperlukan oleh tubuh yaitu karbohidrat dan lemak sebagai penghasil energi, protein berguna untuk pertumbuhan, serta vitamin dan mineral berguna untuk pengatur (United States Department of Agriculture Child and Adult Care Food Program, 2002). 2.2.1 Status Gizi Status gizi adalah keadaan kesehatan individu yang ditentukan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dangan kebutuhan zat gizi (Wilasasih dan Wirjadmadi, 2012). Status gizi biasanya dilakukan untuk mengetahui tinggi dan berat badan. Standar penilaian

12 status gizi pada anak sesuai keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia yaitu menggunakan antropometri yaitu kategori status gizi berdasarkan berat badan dibanding umur (BB/U) diklasifikasikan menjadi gizi buruk, gizi kurang, gizi baik, dan gizi lebih. Status gizi berdasarkan tinggi badan dibanding umur (TB/U) diklasifikasikan menjadi sangat pendek, pendek, normal, tinggi. Status gizi berdasarkan berat badan dibanding panjang badan atau berat badan dibanding tinggi badan (BB/PB atau BB/TB) diklasifikasikan menjadi sangat kurus, kurus normal, dan gemuk (Keputusan Menteri Kesehatan RI, 2011) Penilaian status gizi pada balita, angka berat badan dan tinggi badan dikonversikan berdasarkan nilai terstandar (Z- Score. Z-Score atau Standar Deviasi yaitu sebagai batas ambang kategori dan digunakan untuk meneliti dan memantau pertumbuhan serta mengetahui klasifikasi status gizi.

13 Tabel 2.1. Status Gizi Berdasarkan Z-Score Klasifikasi Status Gizi Z-Score BB/U TB/U BB/PB atau BB/TB Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih Sangat Pendek Pendek Normal Tinggi Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk <-3 SD -3 SD <-2 SD -2 SD 2 SD >2 SD <-3 SD -3 SD <-2 SD -2 SD 2 SD >2 SD <-3 SD -3 SD <-2 SD -2 SD 2 SD >2 SD Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan Repulik Indonesia, 2011 2.2.2 Gizi Buruk Gizi buruk adalah keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tana klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor (Depkes RI, 2008).

14 2.2.2.1 Marasmus Marasmus adalah keadaan gizi buruk yang ditandai tampak sangat kurus, perut cekung, wajah seperti orang tua dan kulit keriput. 2.2.2.2 Kwashiorkor Kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan edema seluruh tubuh terutama dipunggung kaki, wajah membulat dan lembab, perut buncit, otot mengecil, pandangan sayu, dan rambut tipis/kemerahan. 2.2.2.3 Maramus-Kwashiorkor Maramus-Kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk dangan tanda-tanda dari marasmus- dan kwashiorkor. 2.2.3 Gizi Kurang Gizi kurang adalah cerminan dari asupan makanan yang tidak cukup, penyakit infeksi, kekurangan vitamin maupun mineral. Ketika tubuh tidak mendapatkan jumlah yang tepat dari vitamin, mineral, ataupun nutrisi lain yang dibutuhkan oleh tubuh akan mengalami kekurangan gizi yang merupakan konsekuensi dari mengkonsumsi nutrisi yang lebih sedikit. Anak-anak yang sudah mengalami kekurangan gizi dapat menderita kekurangan energi protein (KEP). Balita dikatakan

15 mengalami gizi kurang apabila BB/U -3 SD <-2 SD (UNICEF, 2012). 2.3 Stunting Stunting merupakan bentuk umum dari kekurangan gizi yang dapat mempengaruhi bayi sebelum dan awal setelah lahir yang dapat dikaitkan dengan ukuran ibu, gizi ibu selama kehamilan. Stunting juga merupakan cerminan dari gizi kurang yang bersifat kronis atau berlangsung lama selama periode pertumbuhan dan perkembangan pada awal kehidupan yaitu pada usia 0-59 bulan. Stunting adalah keadaan tinggi atau panjang badan yang kurang terhadap umur yaitu sebagai indikator malgizi kronis (Sudiman, 2008). Stunting menurut WHO Child Growth Standart TB/U <-2 SD (stunting sedang) dan -3 SD (stunting berat). Seorang anak yang mengalami stunting sering terlihat seperti anak dengan tinggi badan yang normal, namun sebenarnya mereka lebih pendek dari ukuran tinggi badan normal untuk anak seusianya. Stunting sudah dimulai sejak sebelum kelahiran yang disebabkan karena status gizi ibu buruk selama kehamilan, pola makan yang buruk, kualitas makanan yang buruk dan intensitas frekuensi untuk terserang penyakit akan lebih sering (UNICEF 2010 ; Wiyogowati, 2012).

16 2.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stunting Penyebab stunting dapat juga dikatakan sebagai suatu bentuk adaptasi fisiologis pertumbuhan atau non patologis karena dua penyebab utamanya adalah asupan makanan yang tidak adekuat dan respon terhadap tingginya penyakit infeksi (Sudiman, 2008). Menurut Supariasa (2002) menyatakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi stunting terbagi atas dua macam faktor yaitu faktor secara langsung yakni asupan makanan, penyakit infeksi, berat badan lahir rendah dan genetik. Sedangkan faktor secara tidak langsung yakni pengetahuan tentang gizi, pendidikan orang tua, sosial ekonomi, pola asuh orang tua, distribusi makanan dan besarnya keluarga/jumlah anggota keluarga. Banyak penelitian mengungkapkan bahwa prevalensi stunting banyak ditemukan pada balita dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi rendah, penyakit infeksi, pendidikan yang rendah, jumlah anggota keluarga, pekerjaan ibu dan sanitasi lingkungan (Fikadu, dkk, 2014). Menurut UNICEF Indonesia (2012), prevalensi stunting banyak ditemukan pada praktek pemberian makanan, perilaku kebersihan,

17 dan pola asuh. Status nutrisi ibu pada masa kehamilan dan kurang optimal dalam pemberian ASI Ekslusif dan makanan pendamping ASI juga dapat berkontribusi terhadap penyebab stunting (WHO, 2012). Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan stunting, yakni sebagai berikut: 2.3.1.1 Nutrisi Masa Kehamilan Status gizi ibu selama dalam kandungan merupakan faktor penentu yang sangat penting dari pertumbuhan dan perkembangan janin, diet sehat yang seimbang penting sebelum dan selama masa kehamilan (Williamson, 2006). Apabila ibu mengalami kekurangan gizi pada masa kehamilan akan berakibat kematian, anemia, kelesuhan dan kelemahan. Begitupun pada janin dan bayi akan berakibat kematian pada bayi, retardasi pertumbuhan intrauterin (stunted), BBLR, cacat lahir, meningkatkan resiko infeksi serta dapat mengalami kerusakan otak (LINKAGES, 2004). 2.3.1.2 Nutrisi Nutrisi merupakan salah satu komponen penting dalam proses tumbuh dan berkembang selama masa pertumbuhan, sehingga kebutuhan zat gizi

18 yang diperlukan seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan air, apabila semua kebutuhan tersebut tidak terpenuhi atau kurang terpenuhi maka akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan pada anak (Hidayat, 2009). 2.3.1.3 ASI Ekslusif dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Bayi atau balita dalam praktek pemberian ASI ekslusif maupun MP-ASI yang kurang optimal dan terbatasnya makanan dalam hal kualitas, kuantitas dan jenis akan memberikan kontribusi terhadap stunting (WHO, 2012) 2.3.1.4 Kelengkapan Imunisasi Imunisasi merupakan proses dimana seseorang dibuat menjadi kebal terhadap penyakit-penyakit menular yaitu dengan pemberian vaksin. Vaksin dapat merangsang sistem kekebalan tubuh guna untuk melindungi seseorang terhadap penyakit infeksi. Dengan demikian, anak yang imunisasinya tidak lengkap mengakibatkan kekebalan tubuh menurun sehingga anak mudah terserang penyakit dan asupan nutrisi berkurang yang mengakibatkan status gizi anak menjadi buruk (WHO, 2012).

19 2.3.1.5 Penyakit Infeksi Penyakit infeksi juga dapat menyebabkan terjadinya kejadian stunting, akan tetapi tergantung pada tingkat keparahan, durasi dan kekambuhan penyakit infeksi yang diderita oleh bayi maupun balita dan apabila ketidakcukupan dalam hal pemberian makanan untuk pemulihan (WHO, 2012). Penyakit infeksi yang sering diderita oleh balita adalah ISPA dan diare (Welasasih dan Wirjatmadi, 2012). 2.3.1.6 Pola Asuh Ibu sangat berperan penting dalam praktik pola asuh pada anak, karena perhatian dan dukungan terhadap anak akan memberikan dampak positif bagi keadaan status gizi anak. Menurut Husaini (2000) menyatakan peran keluarga terutama ibu dalam mengasuh anak akan menentukan tumbuh kembang anak. 2.3.1.7 Jumlah Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga 5-7 atau 8-10 lebih cenderung akan mengalami stunting dibandingkan dengan keluarga yang jumlah anggota keluarganya 2-4 orang, dikarenakan menipisnya sumber daya dan

20 penyediaan makanan dirumah akan lebih besar (Fikadu, dkk, 2014). 2.3.1.8 Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi dapat mempengaruhi terjadinya kejadian stunting, karena keadaan sosial ekonomi atau keadaan rumah tangga yang tergolong rendah akan mempengaruhi tingkat pendidikan rendah, kualitas sanitasi dan air minum yang rendah, daya beli yang rendah serta layanan kesehatan yang terbatas, semuanya dapat berkontribusi terkena penyakit dan rendahnya asupan zat gizi sehingga berpeluang untuk terjadinya stunting (Fikadu, dkk, 2014) 2.1.3.9 Status Pendidikan Keluarga Tingkat pendidikan keluarga yang rendah akan sulit untuk menerima arahan dalam pemenuhan gizi dan mereka sering tidak mau atau tidak meyakini pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi serta pentingnya pelayanan kesehatan lain yang menunjang pertumbuhan pada anak, sehingga berpeluang terhadap terjadinya stunting (Hidayat, 2009).

21 2.3.1.10 Pekerjaan Ibu Anak-anak yang ibunya bekerja sebagai pedagang atau petani akan lebih mungkin mengalami stunting daripada anak-anak yang ibunya dirumah, dikarenakan bertemunya ibu dan anak sangat jarang. Pada umur anak-anak yang masih harus diberikan ASI ekslusif dan makanan pendamping terkadang tidak tepat sehingga memiliki efek yang besar pada pertumbuhan anak (Fikadu, dkk, 2014) 2.3.1.11 Sanitasi Lingkungan Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran (jamban), penyediaan air bersih dan sebagainya (Notoadmojo, 2003). Sanitasi lingkungan juga dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan standar kondisi lingkungan yang mendasar dan mempengaruhi kesejaheraan manusia. Kondisi tersebut mencakup: a) Pasokan air yang bersih dan aman; b) Pembuangan limbah dari hewan, manusia yang industri dan efisien;

22 c) Perlindungan makanan dari kontaminasi biologis dan kimia; d) Udara yang bersih dan aman e) Rumah yang bersih dan aman Lingkungan perumahan merupakan suatu tempat yang ditinggali oleh masyarakat, kurangnya pasokan air bersih, akses ke fasilitas kamar mandi maupun toilet ataupun sanitasi yang tidak memadai dapat beresiko terhadap kejadian stunting (Fikadu, dkk, 2014). 2.3.1.12 Berat Badan Lahir Rendah Berat badan lahir rendah dan prematur sering terjadi bersama-sama, dan kedua faktor tersebut berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas bayi baru lahir. Berat bayi yang kurang saat lahir beresiko besar untuk hidup selama persalinan maupun sesudah persalinan. Dikatakan berat badan lahir rendah apabila berat bayi kurang dari 2500 gram (Price dan Gwin, 2014). Bayi prematur mempunyai organ dan alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk bertahan hidup di luar rahim sehingga semakin muda umur kehamilan, fungsi organ menjadi semakin kurang berfungsi dan

23 prognosanya juga semakin kurang baik. Kelompok BBLR sering mendapatkan komplikasi akibat kurang matangnya organ karena kelahiran prematur (Wong, dkk,. 2008). 2.4 Penelitian Sebelumnya Berdasarakan hasil penelitian yang telah dilakukan, banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadian stunting yaitu dimulai dari status sosial ekonomi, penyakit infeksi, pendidikan yang rendah, jumlah anggota keluarga, pekerjaan ibu dan sanitasi lingkungan, praktek pemberian makanan, perilaku kebersihan, dan pola asuh, status nutrisi ibu pada masa kehamilan dan kurang optimal dalam pemberian ASI Ekslusif dan makanan pendamping ASI dan kelengkapan mengikuti imunisasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fikadu dkk (2014), di Ethiopia Selatan pada anak-anak usia 24-59 bulan berjumlah 242 (121 kasus 121 kontrol) didapatkan rata-rata 95% faktor-faktor yang berkontribusi terhadap stunting yaitu jumlah anggota keluarga, jumlah balita dalam keluarga, pekerjaan ibu, pemberian ASI eksklusif, lama menyusui, serta praktek dalam pemberian makanan. Dengan demikian, setelah diketahui faktor-faktor yang berkontribusi terhadap stunting perlu untuk dilakukan penyuluhan kesehatan terhadap

24 ibu/pengasuh tentang pentingnya pemberian ASI ekslusif, pemberian makanan tambahan yang sesuai kepada anakanak. Penelitian yang dilakukan oleh Wilasasih dan Wirjadmadi (2008) di Desa Kemabangan, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik dengan metode penelitian bersifat analitik yang dilakukan secara cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh balita berusia 12-60 bulan beserta ibunya. Hasil yang didapatkan bahwa faktor umur, jenis konsumsi, tingkat kehadiran diposyandu, frekuensi sehat sakit, dan lama sakit memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian stunting pada balita. Dukungan ibu terhadap anak dalam praktek pemberian makanan, rangsangan psikososial, kebersihan dan sanitasi lingkungan, serta pemanfaatan pelayanan kesehatan memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting pada anak usia antara 6-23 bulan. Hal ini berdasarkan penelitian ini dilakukan oleh Renyeot dkk (2012) dengan rancangan cross sectional. Sampelnya yaitu anak usia 6-23 bulan beserta ibunya sebagai responden. Pengumpulan data diperoleh dari kuesioner kemudian analisa data dilakukan dengan menggunakan uji chi-squar.

2.5 Perspektif Teoritis Faktor Langsung 1. Asupan Makanan (Supariasa, 2002) 2. Infeksi Penyakit (Supariasa, 2002) 3. BBLR (Kusuma, 2013) 4. Genetik (Soetjiningsih, 1995) Faktor tidak Langsung Keterangan: Penyebab langsung dan Tidak langsung Akibat 1. Pengetahuan tentang gizi : gizi ibu dan gizi anak. (Supariasa, 2002) 2. Pendidikan orang tua (Supariasa, 2002) 3. Pendapatan orang tua (Supariasa, 2002) 4. Besar keluarga/jumlah anggota keluarga (Supariasa, 2002) 5. Sosial Ekonomi (Sudiman, 2008, Supariasa, 2002 ) 6. Pola Asuh (Kainde, 2014, Supariasa, 2002) Balita Stunting Bagan 2.1 Perpespektif Teoritis Faktor Langsung dan Faktor tidak Langsung yang mempengaruhi Balita Stunting 25