Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas

dokumen-dokumen yang mirip
Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tanah Dan Pemberian Hak Atas Tanah. yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali.


PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH.

HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA)

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 4 TAHUN Tentang HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

BAB II PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM. A. Defenisi Pengadaan Tanah

PENGERTIAN Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai Hak Milik adalah hak turuntemurun,

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

Menimbang: Mengingat:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN

BAB 2 ISI 2.1. Hukum Tanah Nasional

PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

BAB II PERALIHAN HAK ATAS TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN A. Tinjauan Umum Mengenai Peralihan Hak Atas Tanah

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebagai

PELAKSANAAN PENINGKATAN HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK UNTUK RUMAH TINGGAL DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN SUKOHARJO

BAB II TINJAUAN YURIDIS TENTANG PELEPASAN HAK. yang selanjutnya disertai pemberian imbalan yang layak. Proses pelepasan hak

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam kaitannya dengan pengertian penguasaan yaitu : Penguasaan adalah

BAB I A. LATAR BELAKANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Administratum, Vol. II/No.3/Jul-Okt/2014. TATA CARA PEMBERIAN HAK ATAS TANAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN Oleh: Elsye Aprilia Gumabo 2

DEPARTEMEN PERTANIAN DAN AGRARIA JAKARTA


PELAKSANAAN PEMBERIAN HAK MILIK ATAS TANAH YANG BERASAL DARI HAK GUNA BANGUNAN UNTUK RUMAH TINGGAL DI KECAMATAN PATEBON KABUPATEN KENDAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Dalam pembangunan peran tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF. Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

PEROLEHAN HAK ATAS TANAH YANG BERASAL DARI REKLAMASI PANTAI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, oleh karena itu perlindungan

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

HAT hak menguasai negara

HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Gorontalo. Dalam penelitian ini yang dikaji adalah pertama, melakukan observasi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 40 TAHUN 1996 (40/1996) TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK ATAS TANAH

*35279 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 24 TAHUN 1997 (24/1997) TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. tempat tinggal yang turun temurun untuk melanjutkan kelangsungan generasi. sangat erat antara manusia dengan tanah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Apa akibat hukum tidak adanya perpanjangan HGB, berkaitan dengan status tanahnya?

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

PEMANDANGAN UMUM. UUPA mulai berlaku pada tanggal 24 September Undang-undang ini

YANG TERMASUK HAK ATAS TANAH SEKUNDER ADALAH: - HAK GUNA BANGUNAN - HAK PAKAI - HAK SEWA - HAK USAHA BAGI HASIL - HAK GADAI - HAK MENUMPANG

II. TINJAUAN PUSTAKA

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sarana yang sangat penting dalam menunjang. pemenuhan kebutuhan hidupnya. Pembangunan yang meningkat pesat

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH

POLITIK HUKUM PERTANAHAN BAGI WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UU NOMOR 5 TAHUN 1960

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENURUT KETENTUAN HUKUM TANAH NASIONAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

No Perbedaan Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai atas Tanah Negara. perusahaan, pertanian, diperpanjang untuk. peternakan.

BAB I PENDAHULUAN. tanah.tanah sendiri merupakan modal utama bagi pelaksanaan pembangunan

TATA CARA MEMPEROLEH HAK ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

BAB III MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH. yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Turun temurun dan dapat beralih.

BAB II. Tinjauan Pustaka. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian mengenai tanah, adalah

PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. yang didapatkan dibangku perkuliahan dan diterapkan di tempat kerja

Pertemuan ke-3 Pembentukkan UUPA dan Pembangunan Hukum Tanah Nasional. Dr. Suryanti T. Arief SH.,MKn.,MBA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Manusia dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari tanah.

1. Menghapuskan dualisme hukum tanah yang lama dan menciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK GUNA BANGUNAN. Hak guna bangunan dalam pengertian hukum barat sebelum dikonversi berasal dari hak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah mempunyai peranan penting dalam kegiatan pembangunan untuk

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan

REGULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH UNTUK PERKEBUNAN

JAWABAN SOAL RESPONSI UTS HUKUM AGRARIA 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah merupakan salah satu faktor penting yang sangat erat

PELAKSANAAN PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH HAK GUNA BANGUNAN YANG DITERLANTARKAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KEABSAHAN JUAL BELI TANAH HAK MILIK OLEH PERSEROAN TERBATAS. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Sertifikat hak guna..., Fransiska KrisnaniBudi Utami, FH UI, Universitas Indonesia

BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MEMBATALKAN SERTIPIKAT HAK PAKAI NO. 765 MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 981K/PDT/2009

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dikenal sebagai Negara Agraris, bahwa tanah-tanah di

Pertemuan ke-2 GARIS-GARIS BESAR PERKEMBANGAN HUKUM TANAH DI INDONESIA. Dosen : Dr. Suryanti T. Arief SH.,MBA.,MKn

8. PENDAFTARAN KARENA PERUBAHAN DATA YURIDIS

PENYELENGGARAAN IZIN LOKASI

TENTANG. dilakukan. Nomor 21. diubah. Tanah dan. Tahun. Nomor...

Transkripsi:

Bab II HAK HAK ATAS TANAH A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat 1 dan 2, 16 ayat 1 dan 53. Pasal 4 ayat 1 dan 2 bunyinya sebagai berikut : (1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai dimaksud dalam Pasal 2, ditentukan adanya macam- macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang orang, baik sendiri maupun bersama- sama dengan orang orang lain serta badan badan hukum. (2) Hak hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas batas menurut undang undang ini dan peraturan peraturan hukum yang lebih tinggi. II. Hak hak atas tanah yang dimaksudkan dalam Pasal 4 di atas ditentukan dalam Pasal 16 ayat 1, yang bunyinya sebagai berikut : (1)Hak hak atas tanah sebagai dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 ialah : a. Hak Milik b. Hak Guna Usaha

c. Hak Guna Bangunan d. Hak Pakai e. Hak Sewa f. Hak membuka tanah g. Hak memungut hasil hutan h. Hak hak lain yang tidak termasuk dalam hak hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang undang serta hak hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53. Hak hak atas tanah yang sifatnya sementara tersebut diatur dalam Pasal 53 yang berbunyi sebagai berikut : (1) Hak hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1 huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat sifatnya yang bertentangan dengan Undang undang ini dan hak hak tersebut diusahakan hapusnya dalam waktu yang singkat. (2) Ketentuan dalam Pasal 52 ayat 2 dan 3 berlaku terhadap peraturan yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini. III. Pasal pasal UUPA mengenai Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah telah dilengkapi dengan ketentuan pelaksanaan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.

Selama ketentuan mengenai pelaksanaannya belum diterbitkan, peraturan perundang undangan mengenai Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam PP tersebut(pasal 62). Hak hak atas tanah dalam Pasal 16 dan 53 tersebut, kecuali Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil dan Hak Menumpang, yang memang merupakan nama nama bagi lembaga lembaga hak hak lama, yang untuk sementara masih berlaku dan digunakan, semuanya merupakan nama lembaga lembaga baru, yang bukan merupakan kelanjutan dari lembaga lembaga baru, yang bukan merupakan kelanjutan dari lembaga lembaga hak hak atas tanah dari perangkat perangkat Hukum Tanah yang lama. Lembaga lembaga hak hak atas tanah yang lama sejak mulai berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960 dan terjadinya unifikasi Hukum Tanah, sudah tidak ada lagi. Sedang hak hak atas tanah yang lama sebagai hubungan hukum konkret, pada tanggal 24 September 1960 sudah dikonversi oleh UUPA atau diubah kemudian menjadi salah satu hak yang baru dari Hukum Tanah Nasional. B. Pengertian Hak hak atas Tanah menurut UUPA a. Hak Milik Hak milik diatur dalam Pasal 20-27 Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria(selanjutnya disebut dengan UUPA). Pengertian hak milik menurut ketentuan pasal 20 ayat(1) UUPA adalah hak yang turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas

tanah dengan mengingat ketentuan pasal 6 UUPA.Hak yang terkuat dan terpenuh yang dimaksud dalam pengertian tersebut bukan berarti hak milik merupakan hak yang bersifat mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat, sebagaimana dimaksud dalam hak eigendom, melainkan untuk menunjukkan bahwa di antara hak hak atas tanah, hak milik merupakan hak yang paling kuat dan paling penuh. Hak milik dikatakan merupakan hak yang turun temurun karena hak milik dapat diwariskan oleh pemegang hak kepada ahli warisnya. Hak milik sebagai hak yang terkuat berarti hak tersebut tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan dari pihak lain. Terpenuh berarti hak milik memberikan wewenang yang paling luas dibandingkan dengan hak hak yang lain. Ini berarti hak milik dapat menjadi induk dari hak hak lainnya, misalnya pemegang hak milik dapat menyewakannya kepada orang lain. Selama tidak dibatasi oleh penguasa,maka wewenang dari seorang pemegang hak milik tidak terbatas. Selain besifat temurun, terkuat dan terpenuh, hak milik juga dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. b. Hak Guna Usaha Menurut Pasal 28 Undang undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok pokok Agraria(UUPA). Hak Guna Usaha(HGU) adalah hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan.

Bedanya dengan Hak Pakai, Hak Guna Usaha hanya dapat diberikan untuk keperluan pertanian, perikanan atau peternakan untuk tanah yang luasnya minimal 5 hektar, serta terhadap Hak Guna Usaha tidak dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain namun dapat dibebani dengan Hak Tanggungan. Hak Guna Usaha daapt diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun, kecuali untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha untuk waktu paling lama 35 tahun, misalnya untuk perkebunan kelapa sawit yang merupakan tanaman berumur panjang. Atas permintaan pemegang hak, dan dengan mengingat keadaan perusahaannya, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk paling lama 25 tahun. Hak Guna Usaha hanya dapat diberikan atas tanah yang luasnya minimal 5 hektar. Jika luas tanah yang dimohonkan Hak Guna Usaha mencapai 25 hektar atau lebih, maka penggunaan Hak Guna Usahanya harus menggunakan investasi modal yang layak dan terknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman. Hak Guna Usaha diberikan berdasarkan Penetapan Pemerintah. Pihak yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha adalah warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hak Guna Usaha tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan badan asing. Pemberian Hak Guna Usaha pada badan hukum yang bermodal asing hanya dimungkinkan dalam hal diperlukan berdasarkan undang undang yang mengatur perkembangan nasional berencana.

c. Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan diatur dalam UUPA Pasal 16, Pasal 35 sampai dengan Pasal 40, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 55 serta ketentuan konversi Pasal I,II,V,dan VIII. Telah dilengkapi juga dengan peraturan pelaksanaannya, yaitu PP. No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, PMNA / KBPN No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, PMNA / KBPN No. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara, serta sejumlah peraturan - peraturan terkait lainnya. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan jangka waktu paling lama 20 tahun, atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya. Hak Guna Bangunan tersebut di atas dapat juga beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Selengkapnya bunyi Pasal 35 UUPA adalah : 1) Hak Guna Bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.

2) Atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. 3) Hak Guna Bangunan juga dapat beralih dan dapat dialihkan kepada pihak lain. d. Hak Pakai Hak Pakai diatur dalam Pasal 41 43 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria(selanjutnya disebut dengan UUPA). Hal hal yang ditentukan di dalam UUPA tersebut kemudian dirinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah(selanjutnya disebut PP 40/1996). Pasal 41 ayat(1)uupa menyatakan sebagai berikut : Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan ketentuan Undang undang ini.

e. Hak Sewa Hak Sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk menggunakan tanah milik pihak lain dengan kewajiban membayar uang sewa pada tiap-tiap waktu tertentu. Peraturan dasar Hak sewa diatur dalam pasal 44 dan 45 UUPA No 5 Tahun 1960. Hak sewa ini dalam hukum adat dikenal dengan istilah jual tahunan. f. Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan Hak membuka tanah adalah hak yang dimiliki oleh warga negara indonesia untuk membuka lahan tanah yang diatur berdasarkan peraturan pemerintah. Hak memungut hasil hutan adalah hak yang dimiliki oleh warga negara indonesia untuk memungut hasil-hasil htan bumi indonesia yang diatur berdasarkan peraturan pemerintah. Menurut Boedi Harsono hak memnbuka tanah dan hak memungut hasil hutan sebenarnya bukan hak atas tanah dalam arti yang sesungguhnya. Dikatakan demikian karena kedua hak tersebut tidak memberi wewenang untuk menggunakan tanah. Tujuan dari dimasukkannya kedua hak ini ke dalam UUPA adalah semata mata untuk menselaraskan UUPA dengan hukum adat. Pasal 46 ayat(2) UUPA menentukan bahwa penggunaan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya memberikan hak milik kepada pengguna tersebut.

g. Hak hak lain Selain ketujuh hak hak atas tanah di atas, masih terdapat hak hak atas tanah yang bersifat sementara tersebut antara lain : hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian (Pasal 53 UUPA). Hak hak tersebut bersifat sementara karena suatu lembaga hukum tersebut tidak akan ada lagi. Hasil ini disebabkan karena hak hak tersebut dianggap tidak sesuai dengan asas asas hukum adat nasional. Harus diakui hingga saat ini hak hak tersebut belum sepenuhnya dihapus, namun hak hak tersebut harus tetap diatur untuk membatasi sifatnya yang bertentangan dengan UUPA. UUPA juga membuka peluang untuk terbentuknya hak atas tanah yang baru, peluang ini disediakan agar UUPA dapat menyesuaikan perkembangan di masyarakat yang bersifat dinamis. Salah satu bentuk hak yang terbentuk setelah berlakunya UUPA adalah hak milik atas satuan rumah susun. Hak milik atas satuan rumah susun sebenarnya bukan hak atas tanah, tetapi berkaitan dengan tanah. Hak ini diatur dalam Undang undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun dan telah diganti dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. C. Alasan dapat Dihapusnya Hak hak atas Tanah 1. Ada berbagai peristiwa hukum yang dapat mengakibatkan hapusnya hak atas tanah. Mengenai Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan sebab sebab hapusnya hak yang bersangkutan disebutkan dalam Pasal 27, 34, dan 40. Ketentuan yang lebih rinci mengenai Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai diatur dalam PP 40/1996).

Untuk ketertiban administrasi dan kepastian hukum bagi pihak pihak yang bersangkutan, hapusnya hak atas tanah harus dinyatakan dengan Surat Keputusan oleh Pejabat yang berwenang. Bagi hapusnya hak yang terjadi karena hukum, seperti yang ditentukan dalam Pasal 21, Surat Keputusan tersebut hanya bersifat deklaratoir, sebagai pernyataan tentang hapusnya hak yang bersangkutan. Tetapi bagi hapusnya hak yang merupakan pembatalan, karena tidak dipenuhinya kewajiban terntentu oleh pemegang haknya, seperti yang dimaksudkan dalam Undang undang Nomor 29 Tahun 1956 tentang peraturan peraturan dan tindakan tindakan mengenai tanah tanah perkebunan, Surat Keputusan tersebut bersifat konstitutif artinya hak yang bersangkutan baru menjadi hapus dengan dikeluarkannuya Surat Keputusan tersebut. Jika yang hapus hak hak atas tanah yang bersifat primer, tanah yang bersangkutan menjadi tanah negara. Sedangkan jika yang hapus hak hak atas tanah sekunder, misalnya Hak Guna Bangunan yang dibebankan pada Hak Milik, tanah yang bersangkutan kembali menjadi Hak Milik yang bebas dari beban. 2. Mengenai Hak hak atas tanah yang berjangka waktu tertentu, seperti Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan, dengan berakhirnya jangka waktu yang bersangkutan, berakhirnya jangka waktu yang bersangkutan, haknya menjadi hapus, jika tidak ada kemungkinan untuk dan tidak dimintakan perpanjangan jangka waktu ( Pasal 29 jo 34 huruf a dan 35 jo 40 huruf a). Perpanjangan

jangka waktu adalah penambahan jangka waktu berlakunya hak atas tanah yang bersangkutan, tanpa mengubah syarat syarat dalam pemberian hak tersebut. Perpanjangan jangka waktu hanya dapat diberikan satu kali. Dalam hal demikian hak yang bersangkutan terus berlangsung hingga habisnya waktu perpanjangan. Ikut tetap berlangsung hak hak atas tanah dan Hak Tanggungan yang membebaninya. Menurut Pasal 29 UUPA jangka waktu Hak Guna Usaha adalah palimg lama 25 tahun. Bagi perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha dengan jangka waktu paling lama 35 tahun. Jangka waktu perpanjangannya paling lama 25 tahun. Bagi Hak Guna Bangunan jangka waktunya paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun(pasal 35 UUPA). Hak Pakai atas tanah Negara, demikian juga Hak Pakai oleh pemilik tanah, berjangka waktu paling lama 25 tahun. Hak Pakai atas tanah Negara dapat diperpanjang lama 20 tahun. Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Hak Milik tidak dapat diperpanjang. Setelah jangka waktu pemberiannya berakhir dan tidak dimintakan ataupun tidak diberikan perpanjangan waktu, jika syarat syaratnya dipenuhi dapat diberikan hak baru. Istilahnya dapat diberikan pembaharuan hak. Pembaharuan hak adalah pemberian hak baru yang sama kepada pemegang hak atas tanah sesudah jangka waktu haknya atau perpanjangannya habis. Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan hak harus diajukan selambat lambatnya 2 tahun sebelum berakhirnya hak yang bersangkutan.

Hak Pakai atas tanah Negara dapat juga diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu, yaitu Hak Pakai yang diberikan kepada Departemen, Lembaga Pemerintah non Departemen, Pemerintah Daerah, Perwakilan Negara Asing, Perwakilan Badan Internasional, badan badan keagamaan dan sosial. 3. Hak atas tanah juga menjadi hapus jika dilepaskan atau diserahkan dengan sukarela oleh pemegang haknya, seperti dinyatakan dalam Pasal 34 huruf c dan 40 huruf c untuk Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha serta Pasal 27 a/2 untuk Hak Milik. Tata cara pelepasan damn penyerahan hak tersebut misalnya diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Menurut KEPPRES tersebut : Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya, dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Acara pelepasan hak atau pembebasan tanah tersebut ditempuh dalam usaha memperoleh tanah atas dasar kesepakatan bersama yang dicapai melalui musyawarah, jika pihak yang memerlukan tanah tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak tanah yang bersangkutan. Misalnya, jika yang memerlukan tanah suatu instansi pemerintah atau badan hukum perseroan terbatas, sedang tanah yang diperlukan berstatus tanah Hak Milik. Memperoleh tanah tersebut melalui acara jual- beli, yang merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, tidak diperbolehkan oleh Pasal 26.

Seperti halnya dalam jual- beli, sebelum dilakukan perbuatan hukum melepaskan hak yang bersangkutan, tentunya ada kesepakatan berupa perjanjian antara yang punya tanah dan yang memerlukannya. Kesepakatan tersebut diatur oleh Hukum Perdata, khusunya Hukum Perjanjian, yang meliputi segala persyaratan yang harus dipenuhi bagi sahnya perjanjian yang bersangkutan. Sebagaimana halnya dalam perjanjian akan melakukan jual beli dan jual belinya sendiri, dalam acara pelepasan hak ini kedudukan para pihak sederajat, biarpun pihak yang memerlukan tanah suatu Instansi Pemerintah. Maka tidak diperbolehkan ada paksaan dalam bentuk apapun, baik mengenai penyerahan tanahnya maupun ganti kerugiannya. Menurut KEPPRES 55/1993 tersebut kesepakatan antara pihak yang mempunyai tanah dan instansi pemerintah yang memerlukan, dituangkan dalam Keputusan Panitia Pengadaan Tanah, yang bertugas memberi perantaraan dalam musyawarah yang diadakan. Jika yang memerlukan tanah badan swasta, kesepakatan tersebut dan perbuatan pelepasan haknya sebaiknya dituangkan dalam bentuk akta notaris, selama pembuatan haknya secara khusus belim ditugaskan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dengan dilakukannya pelepasan hak tersebut, tanah yang bersangkutan menjadi tanah Negara, untuk kemudian oleh pihak yang lakukan pembebasan, diajukan permintaan pemberian hak baru yang sesuai. 4. Hak atas tanah juga menjadi hapus, jika dibatalkan oleh Pejabat yang berwenang, sebagai sanksi terhadap tidak dipenuhinya oleh pemegang hak yang bersangkutan kewajiban tertentu atau dilanggarnya suatu larangan.

Sebagai contoh pembatalan hak yang disebabkan karena pemegang hak melalaikan kewajibannya, dapat disebut ketentuan dalam UU 29/1956 di atas. Jika pemegang hak Erfpacht tidak mengusahakan perusahaan kebunnya dengan baik, hal itu dapat dijadikan alasan untuk membatalkan hak yang bersangkutan oleh Menteri Agraria. Sepanjang mengeni perkebunan Hak Guna Usaha haknya tidak dibatalkan, tetapi menjadi hapus karena hukum menurut ketentuan Pasal 34 huruf e, yang menyatakan bahwa : Hak Guna Usaha hapus karena : ditelantarkan Pernyataan serupa terdapat dalam Pasal 27 huruf e dan 40 huruf e, masing masing mengenai Hak Milik dan Hak Guna Bangunan. Sebagai contoh pelanggaran suatu larangan yang dapat mengakibatkan dibatalkannya hak atas tanah yang bersangkutan, adalah ketentuan dalam Pasal 4 Undang undang Nomor 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan. Pemindahan hak erfpacht dan hak eigendom atas tanah perkebunan dari bangsa belanda dan bangsa asing lainnya serta dari badan badan hukum tanpa izin Menteri Agraria, dapat dijadikan alasan untuk membatalkan hak yang bersangkutan. Pembatalan hak yang dimaksudkan di atas dilakukan dengan penerbitan Surat Keputusan oleh Pejabat yang berwenang m yang bersifat konstitutif. Artinya, hak yang bersangkutan baru batal dengan diterbitkannya Surat Keputusan tersebut. Dan karena merupakan suatu sanksi, pembatalan hak atas tanahnya tidak disertai pemberian ganti kerugian. 5. Ada kemungkinan suatu hak atas tanah menjadi hapus karena hukum, yang juga disebabkan karena tidak dipenuhinya suatu kewajiban atau dilanggarnya

suatu larangan. Hapusnya hak yang bersangkutan juga memerlukan penerbitan suatu Surat Keputusan oleh Pejabat yang berwenang. Tetapi berbeda dengan Surat Keputusan yang dimaksudkan dalam uraian di atas, sifat Surat Keputusan ini adalah deklaratoir, yaitu sekadar memuat pernyataan mengenai sudah menjadi hapusnya hak yang dimaksudkan, sebagai akibat berlakunya ketentuan hukum yang bersangkutan. Contoh pelanggaran suatu larangan yang mengakibatkan hapusnya karena hukum hak atas tanah yang bersangkutan, adalah ketentuan dalam Pasal 10 ayat 3 jo Pasal 4 UU 56/1960. Penjualan seluruh atau sebagian tanah pertanian yang terkena ketentuan landreform, tanpa izin Kepala Agraria Kabupaten/Kotamadya, mengakibatkan tanah yang bersangkutan jatuh kepada Negara. Contoh lain adalah pemindahan Hak Milik atas tanah kepada pihak yang tidak memenuhi syarat sebagai subyeknya, yang dilarang oleh Pasal 26 ayat 2. Dengan dilanggarnya larangan tersebut tanahnya karena hukum jatuh kepada Negara, dalam arti Hak Milik yang bersangkutan menjadi hapus. Karena ketentuan ketentuan mengenai hapusnya hak tersebut juga merupakan suatu sanski, kepada bekas pemegang haknya tidak diberikan ganti kerugian, hal mana ditegaskan dalam Pasal 10 ayat 3 dan 4 UU 56/1960. Tidak memenuhi kewajiban sebagai yang ditetapkan dalam Pasal 3 dan 6 serta pelanggaran terhadap larangan yang dimaksudkan dalam Pasal 4 UU 56/1960, menurut Pasal 10 ayat 1 dan 2 merupakan suatu tindak pidana. Dinyatakan dalam penjelasan pasal tersebut : Apa yang ditentukan dalam Pasal

10 ayat 3 dan 4 tidak memerlukan Putusan Pengadilan. Tetapi berlaku karena hukum setelah ada keputusan hakim yang mempunyai kekuatan untuk dijalankan, yang menyatakan bahwa benar terjadi tindak pidana yang dimaksudkan dalam ayat 1. Biarpun tidak diperlukan putusan pengadilan, namun untuk ketertiban administrasi dan kepastian hukumnya perlu diterbitkan Surat Keputusan oleh Pejabat Eksekutif yang berwenang, yang secara deklaratoir menyatakan hapusnya hak atas tanah yang dimaksudkan. 6. Hak atas tanah juga hapus karena pencabutan hak yang disebut dalam Pasal 18 dan diatur dalam Undang undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak hak Atas Tanah dan Benda benda Yang Ada Di Atasnya. Berbeda dengan pelepasan hak atau pembebasan tanah ataupun jual beli, yang merupakan cara cara untuk memperoleh tanah atas dasar kesepakatan bersama, pencabutan hak adalah lembaga sarana untuk memperoleh tanah secara paksa. Maka ketentuannya berbentuk Undang undang. Dalam pencabutan hak pihak yang kedudukan hukumnya sederajat, melainkan berhadapan dengan Penguasa, yaitu Presiden Republik Indonesia. Pencabutan hak dilakukan, jika diperlukan tanah untuk kepentingan umum, sedang musyawarah yang telah diusahakan untuk mencapai kesepakatan bersama mengenai penyerahan tanah dan ganti ruginya tidak membawa hasil, padahal tidak dapat digunakan tanah lain. Dalam pencabutan hak yang punya tanah tidak melakukan pelanggaran atau melalaikan suatu kewajiban sehubungan dengan tanah yang dimilikinya. Maka pengambilan tanah yang bersangkutan

wajib disertai pemberian ganti kerugian yang layak, seperti yang dikemukakan dalam uraian di atas mengenai pelepasan hak. Pencabutan hak diadakan semata mata bagi kepentingan umum dan dilakukan dengan Surat Keputusan Presiden. Demikian juga bentuk dan jumlah ganti kerugiannya. Ketentuan lebih lanjut diberikan dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak hak Atas Tanah dan Benda benda Asing Yang Ada Di Atasnya. Keputusan pencabutan haknya berlaku mutlak dan tidak dapat di ganggu gugat. Tetapi mengenai bentuk dan jumlah ganti kerugiannya masih dapat dimintakan banding, pada tingkat pertama dan terakhir, pada Pengadilan Tinggi, menurut tata cara yang di atur dalam Pasal 39/1973 di atas. Dalam UU 20/1961, yang merupakan pelaksanaan Pasal 18 UUPA, tidak diberikan penjelasan mengenai apa yang diartikan sebagai kepentingan umum yang memungkinkan dilakukan pengambilan tanah secara paksa dengan menggunakan lembaga pencabutan hak. Seperti halnya Pasal 18 UUPA, dalam Pasal 1 hanya disebut, bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, dalam keadaan yang memaksa Presiden dapat mencabut hak hak atas tanah dan benda benda yang ada di atasnya. Dengan dilakukannya pencabutan hak dan pembayaran ganti kerugiannnya, hak atas tanah yang bersangkutan menjadi hapus dan tanah menjadi tanah negara. Baru setelah itu tanah yang bersangkutan boleh dikuasai, untuk kemudian

diberikan dengan hak baru yang sesuai kepada pihak bagi siapa pencabutan hak tersebut dilakukan. Dalam keadaan yang sangat memaksa berdasarkan ketentuan Pasal 6, mendahului digunakannya acara pencabutan hak, tanah yang diperlukan dapat segera dikuasai dan dipergunakan atas dasar persetujuan Menteri Agraria/Kepala BPN oleh Instansi yang memerlukan. 7. Hak atas tanah juga hapus kalau tanah yang bersangkutan musnah, demikian dinyatakan dalam Pasal 27 huruf b, 34 huruf f dan 40 huruf f. Kiranya sudah dengan sendirinya hak yang bersangkutan menjadi hapus, kalau tanah yang dihaki musnah. Tanah musnah, kalau menjadi hilang karena proses alamiah ataupun bencana alam, hingga sama sekali tidak dapat dikuasai lagi secara fisik dan tidak dapat dipergunakan lagi, karena secara fisik tidak dapat lagi diketahui keberadaannya. Misalnya tanah di tepi laut atau sungai besar yang hilang karena proses alamiah berupa abrasi atau yang longsor karena bencana alam.