BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. yang dapat dijadikan milik Negara (UU no 17 pasal1 ayat1). Undang undang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 pasal 32 ayat 1 dan 2 tentang keuangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pemerintah daerah sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13

LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN ATAS LAPORAN KEUANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan keuangan, pemerintah melakukan reformasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap terselenggaranya

BAB I PENDAHULUAN. pertanggungjawaban keuangan pemerintah. Pemerintah daerah diwajibkan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah daerah diberi kewenangan untuk penyelenggaraan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mulai menerapkan otonomi daerah setelah berlakunya Undang-

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ghia Giovani, 2015

BAB I PENDAHULUAN. akuntansi pemerintahan yang telah diterima secara umum. Kualitas informasi dalam laporan

BAB I PENDAHULUAN. keuangan pemerintah masih menemukan fenomena penyimpangan informasi laporan

I. PENDAHULUAN. Perubahan paradigma pengelolaan keuangan baik pemerintah pusat maupun

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPK RI diamanatkan untuk

BAB I PENDAHULUAN. khususya di tingkat Pemerintah Daerah. Korupsi sebenarnya termasuk salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Perhatian utama masyarakat pada sektor publik atau pemerintahan adalah

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam rangka mendukung terwujudnya tata kelola yang baik

BAB 1 PENDAHULUAN. Pemerintah telah menerbitkan peraturan tentang tingkat pengungkapan

BAB I PENDAHULUAN. Good Government Governance di Indonesia semakin meningkat.

BULETIN TEKNIS NOMOR 01 PELAPORAN HASIL PEMERIKSAAN ATAS LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Reformasi manajemen keuangan negara di Indonesia diawali lahirnya

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan penyelenggaraan operasional pemerintahan. Bentuk laporan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah di Indonesia, Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. atau memproduksi barang-barang publik. Organisasi sektor publik di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan tata kelola yang baik (good governance),

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam pengelolaan keuangan dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17

BAB I PENDAHULUAN. kolusi, nepotisme, inefisiensi dan sumber pemborosan negara. Keluhan birokrat

BAB I PENDAHULUAN. daerah (Mahmudi, 2011). Laporan keuangan dalam lingkungan sektor publik

BAB I PENDAHULUAN. informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik, yaitu hak untuk mengetahui

BAB. I PENDAHULUAN. Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, bahwa: Pengelolaan Barang Milik Daerah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Mardiasmo (2004) mengatakan, instansi pemerintah wajib melakukan

I. PENDAHULUAN. melakukan pengelolaan keuangan serta mempertanggungjawabkan pelaksanaan

AKUNTABILITAS PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN INSTANSI PEMERINTAH

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi dalam bidang pengelolaan keuangan daerah. membuat pemerintah daerah dituntut membawa perubahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. daerah merupakan tujuan penting dalam reformasi akuntansi dan administrasi

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat luas. Laporan keuangan merupakan salah satu bentuk hasil pemerintah

REVIU LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH (LKPD) Dra Hj Sastri Yunizarti Bakry, Akt, Msi, CA, QIA

BAB I PENDAHULUAN. setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas,

BAB I PENDAHULUAN. keuangan yang tepat, jelas, dan terukur sesuai dengan prinsip transparansi dan

BAB I PENDAHULUAN. Akuntanbilitas publik merupakan kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana

BAB I PENDAHULUAN. yang mensyaratkan bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. internal, intuisi, pemahaman terhadap SAP dan pengetahuan tentang pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. melalui UU No. 22 Tahun Otonomi daerah memberikan Pemerintah Daerah

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang telah ditetapkan, dan ketentuan. Selain itu, pengawasan intern atas

BAB 1 PENDAHULUAN. mandiriurusan pemerintahannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. publik dalam rangka pemenuhan hak publik. Untuk pengertian good governance,

BAB 1 PENDAHULUAN. disebut dengan Good Governance. Pemerintahan yang baik merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Konsep good governance memiliki arti yang luas dan sering dipahami

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN RI PERWAKILAN PROVINSI JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. baik (Good Governance) menuntut negara-negara di dunia untuk terus

BAB I PENDAHULUAN. krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Krisis ekonomi yang terjadi pada awal

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. baik ( good governance government ). Hal tersebut dapat diwujudkan melalui

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan sejak adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB.I PENDAHULUAN. Perkembangan sektor publik di Indonesia dewasa ini ditandai dengan menguatnya

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. Setelah penulis menggali dan mengganalisis data temuan BPK RI Perwakilan

BAB I PENDAHULUAN. Laporan keuangan merupakan hasil kegiatan operasional. Laporan keuangan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan keuangan daerah. Sesuai dengan amanat Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Negara mengelola dana yang sangat besar dalam penyelenggaraan pemerintahannya.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas yang terdiri

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Seiring dengan adanya perubahan masa dari orde baru ke era

pemerintahan daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. pun berlaku dengan keluarnya UU No. 25 tahun 1999 yang telah direvisi UU No. 33 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. dalam satu periode. Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) No.1

PERTEMUAN 2: CAKUPAN AUDIT

BAB I PENDAHULUAN. pertanggungjawaban yang dilakukan kepada masyarakat luas (Mardiasmo:

BAB I PENDAHULUAN. Pergantian pemerintahan dari orde baru kepada orde reformasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan seiring

PENINGKATAN AKUNTABILITAS KEUANGAN NEGARA HARUS BERKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada sistem pemerintahan yang ada di Indonesia, setiap pemerintah daerah

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip Otonomi Daerah menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya. dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur

BAB I PENDAHULUAN. sebagai manajemen maupun alat informasi bagi publik. Informasi akuntansi

BAB I PENDAHULUAN. Tata kelola pemerintahan yang baik (Good Government Governance)

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah mengeluarkan Undang Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Penyajian laporan keuangan di daerah-daerah khususnya di SKPD (Satuan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka reformasi di bidang keuangan, pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertimbangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. mengamanatkan bahwa setiap kepala daerah wajib menyampaikan laporan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini masyarakat Indonesia semakin menuntut pemerintahan untuk

BAB I PENDAHULUAN. manusia, sistem pengendalian internal (Windiatuti, 2013). daerah adalah (1) komiten pimpinan (Management Commitment) yang kuat

BAB I PENDAHULUAN. Good Government Governance merupakan function of governing. Salah

BAB I PENDAHULUAN. (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) berupa Laporan Keuangan. Akuntansi

BAB 1 PENDAHULUAN. hal pengelolaan keuangan dan aset daerah. Berdasarkan Permendagri No. 21 Tahun

PENGANGGARAN SEKTOR PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. Dengan semakin maju dan terbukanya sistem informasi dewasa ini, isu-isu

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, keaslian penelitian, dan sistematika pembahasan.

BAB I PENDAHULUAN. mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Pola-pola lama

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan tugas dan fungsi yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. telah mendorong pemerintah untuk menerapkan akuntabilitas publik.

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah 2.1.1 Akuntabilitas Akuntabilitas mengandung arti pertanggungjawaban, baik oleh orangorang maupun badan-badan yang dipilih, atas pilihan-pilihan dan tindakantindakannya (Mulyana, 2006). Widodo (2001:30) akuntabilitas adalah perwujudan kewajiban untuk mempertanggung jawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui media pertanggung jawaban yang di lakukan secara periodik. Menurut Tokyo Declaration of Guidelines on Public Accountability dalam LAN RI dan BPKP (2001) akuntabilitas publik adalah kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercaya untuk mengelola sumber daya publik serta yang berkaitan dengan itu, guna menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggung jawaban fiskal, manajerial, dan program atau kegiatan. Akuntabilitas adalah ukuran yang menunjukan apakah aktivitas birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan norma dan nilai- nilai yang dianut oleh rakyat dan apakah pelayanan publik tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan rakyat sesungguhnya (Kumorotomo 2005:3-4). Mardiasmo (2002:20) menjelaskan pengertian akuntabilitas sebagai kewajiban pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang

menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak untuk meminta pertanggung jawaban tersebut. Ulum (2004:40) tuntutan akuntabilitas publik mengharuskan lembagalembaga sektor publik untuk lebih menekankan pada pertanggung jawaban horisontal (horizontal accountability) bukan hanya pertanggungjawaban vertikal (vertical accountability)". Pertanggung jawaban perlu dilakukan melalui media yang selanjutnya dapat dikomunikasikan kepada pihak internal maupun pihak eksternal (publik) secara periodik maupun insidental sebagai suatu kebijakan hukum dan bukan hanya suka rela. Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP, 2001) membedakan akuntabilitas dalam tiga macam akuntabilitas, yaitu : 1. Akuntabilitas Keuangan, merupakan pertanggung jawaban mengenai integritas keuangan, pengungkapan dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Sasarannya adalah laporan keuangan yang mencakup penerimaan, penyimpanan dan pengeluaran keuangan instansi pemerintah. Komponen pembentuk akuntabilitas keuangan terdiri atas: integritas keuangan, pengungkapan, dan ketaatan terhadap Peraturan Perundangundangan. 2. Akuntabilitas Manfaat, pada dasarnya memberi perhatian pada hasil-hasil dari kegiatan pemerintahan. Hasil kegiatannya terfokus pada efektivitas, tidak sekedar kepatuhan terhadap prosedur. Bukan hanya output, tapi sampai outcome. Outcome adalah dampak suatu program atau kegiatan terhadap masyarakat. Outcome lebih tinggi nilainya daripada output, karena output

hanya mengukur dari hasil tanpa mengukur dampaknya terhadap masyarakat, sedangkan outcome mengukur output dan dampak yang dihasilkan. Pengukuran outcome memiliki dua peran yaitu restopektif dan prospektif. Peran restopektif terkait dengan penilaian kinerja masa lalu, sedangkan peran prospektif terkait dengan perencanaan kinerja di masa yang akan datang. 3. Akuntabilitas Prosedural, memfokuskan kepada informasi mengenai tingkat kesejahteraan sosial. Diperlukan etika dan moral yang tinggi serta dampak positif pada kondisi sosial masyarakat. Akuntabilitas prosedural yaitu merupakan pertanggungjawaban mengenai aspek suatu penetapan dan pelaksanaan suatu kebijakan yang mempertimbangkan masalah moral, etika, kepastian hukum dan ketaatan pada keputusan politik untuk mendukung pencapaian tujuan akhir yang telah ditetapkan. Akuntabilitas dalam konteks organisasi sektor publik terdiri dari dua macam (Mardiasmo 2002:20-21) yaitu: 1. Akuntabilitas vertikal (vertical accountability). Pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi, misalnya pertanggungjawaban unit-unit kerja (dinas) kepada pemerintah daerah, pertanggung jawaban pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. 2. Akuntabilitas horisontal (horizontal accountability). Pertanggung jawaban horisontal adalah pertanggung jawaban kepada masyarakat luas baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan rakyat. Akuntabilitas publik yang harus dijalankan oleh organisasi sektor publik mempunyai beberapa dimensi. Ellwood dalam Mardiasmo (2002:22) menjelaskan

terdapat empat dimensi akuntabilitas yang harus dipenui oleh organisasi sektor publik, yaitu: 1. Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum (accountability for probityand legality). Terkait dengan penyalahgunaan jabatan (abuse of power), sedangkan akuntabilitas hukum terkait dengan jaminan adanya kepatuhan terhadap aturan hukum dan aturan lain yang diisyaratkan dalam penggunaan sumber dana publik. 2. Akuntabilitas proses (process accountability). Terkait apakah prosedur yang digunakan dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik dalam hal kecukupan sistem informasi akuntansi, sistem informasi manajemen, dan prosedur administrasi. 3. Akuntabilitas program (program accountability). Terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah telah mempertimbangkan alternatif program yang memberikan hasil yang optimal dengan biaya minimal. 4. Akuntabilitas kebijakan (policy accountability). Terkait dengan pertanggungjawaban baik pusat maupun daerah atas kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah terhadap DPR/DPRD dan masyarakat luas. Loina (2003) prinsip akuntabilitas publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma-norma eksternal yang dimiliki oleh para stakeholders yang berkepentingan dengan pelayanan tersebut. Sehingga

menurutnya, berdasarkan tahapan sebuah program, akuntabilitas dari setiap tahapan adalah : 1. Pada tahap proses pembuatan sebuah keputusan, beberapa indikator untuk menjamin akuntabilitas publik adalah : a. Pembuatan sebuah keputusan harus dibuat secara tertulis dan tersedia bagi setiap warga yang membutuhkan b. Pembuatan keputusan sudah memenuhi standar etika dan nilai-nilai yang berlaku, artinya sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar maupun nilai-nilai yang berlaku di stakeholders. c. Adanya kejelasan dari sasaran kebijakan yang diambil, dan sudah sesuai dengan visi dan misi organisasi, serta standar yang berlaku. d. Adanya mekanisme untuk menjamin bahwa standar telah terpenuhi, dengan konsekuensi mekanisme pertanggung jawaban jika standar tersebut tidak terpenuhi. e. Konsistensi maupun kelayakan dari target operasional yang telah ditetapkan maupun prioritas dalam mencapai target tersebut 2. Pada tahap sosialisasi kebijakan, beberapa indikator untuk menjamin akuntabilitas publik adalah : a. Penyebarluasan informasi mengenai suatu keputusan, melalui media massa, media nirmassa, maupun media komunikasi personal. b. Akurasi dan kelengkapan informasi yang berhubungan dengan cara-cara mencapai sasaran suatu program.

c. Akses publik pada informasi atas suatu keputusan setelah keputusan dibuat dan mekanisme pengaduan masyarakat. d. Ketersediaan sistem informasi manajemen dan monitoring hasil yang telah dicapai oleh pemerintah. 2.1.2 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Laporan keuangan merupakan bentuk pertanggung jawaban atas kepengurusan sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh suatu entitas. Laporan keuangan yang diterbitkan harus disusun sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku agar laporan keuangan tersebut dapat dibandingkan dengan laporan keuangan periode sebelumnya atau dibandingkan dengan laporan keuangan entitas yang jelas. Berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan keuangan (UU No. 17 Tahun 2003, UU No. 1 Tahun 2004, dan UU No. 15 Tahun 2004) pemerintah daerah wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan Atas Laporan Keuangan. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) disusun berdasarkan laporan keuangan yang dibuat oleh seluruh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (PPKD), laporan keuangan SKPD yang telah disusun oleh Pejabat Penata usahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (PPK-SKPD) selanjutnya disampaiakan kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) sebagai dasar penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Laporan keuangan SKPD disampaikan kepada

kepala daerah melalui PPKD paling lambat dua bulan setelah akhir tahun anggaran/periode akuntansi berakhir. Laporan Keuangan SKPD terdiri atas tiga laporan, yaitu Laporan Realisasi Anggaran, Neraca dan Catatan Atas Laporan Keuangan. Untuk menjamin tercapainya akuntabilitas, laporan keuangan SKPD yang disampaikan dilampiri dengan surat pernyataan kepala SKPD. Surat pernyataan kepala SKPD berisi pernyataan bahwa laporan keuangan SKPD menjadi tanggung jawabnya dan telah diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai dan standar akuntansi pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) pada prinsipnya merupakan hasil gabungan atau konsolidasi dari laporan keuangan SKPD. LKPD disusun oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD). Proses penyusunan LKPD paling lambat tiga bulan setelah berakhirnya tahun anggaran bersangkutan. LKPD disusun dalam rangka memenuhi pertanggung jawaban pelaksanaan APBD (Haryanto, et al 2007:17). Penyusunan dan penyajian LKPD dilakukan sesuai dengan peraturan pemerintah yang mengatur tentang standar akuntansi pemerintahan. Penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dilampiri dengan ikhtisar realisasi kinerja dan laporan keuangan BUMD/perusahaan daerah. Laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk dilakukan pemeriksaan. LKPD yang telah diaudit BPK, selanjutnya disampaikan ke DPRD untuk dibahas dan ditetapkan dengan peraturan daerah (perda) tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD (Setiawan, 2009).

2.1.3 Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Mardiasmo (2002:20) menjelaskan bahwa pengertian akuntabilitas adalah sebagai kewajiban pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggung jawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak untuk meminta pertanggung jawaban tersebut. Lembaga Administrasi Negara (LAN, 2001) menyebutkan bahwa salah satu bentuk akuntabilitas adalah akuntabilitas keuangan. Sasarannya adalah laporan keuangan yang mencakup penerimaan, penyimpanan dan pengeluaran keuangan instansi pemerintah. Dalam konteks pemerintah daerah, sasarannya adalah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) menjadi hal penting karena merupakan bentuk pertanggung jawaban pemerintah daerah terhadap pelaksanaan APBD. Untuk mengetahui akuntabilitas laporan keuangan pemerintah daerah perlu dilakukan pemeriksaan (diaudit). Pemeriksaan tentang akuntabilitas LKPD dilakukan BPK RI sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan Negara sebagaimana dijelaskan dalam Undang- Undang Republik Indonesia nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 23E ayat 1 menyebutkan, Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. Dalam menjalankan tugasnya untuk memeriksa pengelolaan dan

tanggung jawab keuangan negara, salah satunya adalah BPK memeriksa laporan keuangan pemerintah daerah sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan Negara. Pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah oleh BPK bertujuan untuk memberikan pendapat/opini atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan mendasarkan pada, (a) kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan dan atau prisip-prinsip akuntansi yang ditetapkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, b) kecukupan pengungkapan (adequate disclosure), (c) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, (d) efektivitas sistem pengendalian intern. 2.2 Opini Audit Pemeriksaan atas laporan keuangan dilakukan dalam rangka memberikan pendapat/opini atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Penjelasan Pasal 16 ayat (1) yaitu:

a) kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan b) kecukupan pengungkapan (adequate disclosures) c) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan d) efektivitas system pengendalian intern (SPI). Dalam melaksanakan pemeriksaan keuangan, selain memberikan opini atas laporan keuangan, BPK juga melaporkan hasil pemeriksaan atas SPI, dan laporan hasil pemeriksaan atas kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan. Terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa. Opini Wajar Tanpa Pengecualian WTP (unqualified opinion), termasuk di dalamnya opini wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelasan WTP-DPP (unqualified opinion with modified wording); opini wajar tanpa pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material dan informasi keuangan dalam laporan keuangan dapat digunakan oleh para pengguna laporan keuangan. Opini Wajar Dengan Pengecualian WDP (qualified opinion), opini wajar dengan pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan, sehingga informasi keuangan dalam laporan keuangan yang tidak dikecualikan dalam opini pemeriksa dapat digunakan oleh para pengguna laporan keuangan.

Opini Tidak Wajar TW (adverse opinion), opini tidak wajar menyatakan bahwa laporan keuangan tidak disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material, sehingga informasi keuangan dalam laporan keuangan tidak dapat digunakan oleh para pengguna laporan keuangan. Pernyataan Menolak Memberikan Opini atau Tidak Memberikan Pendapat TMP (disclaimer of opinion), pernyataan menolak memberikan opini menyatakan bahwa laporan keuangan tidak dapat diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan. Dengan kata lain, pemeriksa tidak dapat memberikan keyakinan bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material, sehingga informasi keuangan dalam laporan keuangan tidak dapat digunakan oleh para pengguna laporan keuangan. 2.3 Sistem Pengendalian Intern 2.3.1 Pengertian Sistem Pengendalian Intern Sistem akuntansi berkaitan erat dengan sistem pengendalian intern organisasi. Sistem akuntansi yang baik adalah sistem akuntansi yang didalamnnya mengandung sistem pengendalian yang memadai. Pengertian Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral dari tindakan dan kegiatan yang dilakukan oleh manajemen dan jajarannya untuk memberikan jaminan atau keyakinan yang memadai atas tercapainya tujuan organisasi dan melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan laporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

Menurut PP No. 60 Tahun 2008 dijelaskan bahwa sistem pengendalian internal adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan laporan keuangan, pengamanan asset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang undangan. 2.3.2 Tujuan Sistem Pengendalian Intern Tujuan penyelenggaraan pengendalian intern adalah untuk menentukan apakah pengendalian telah berjalan seperti yang dirancang dan apakah orang yang melaksanakan memiliki kewenangan serta kualifikasi yang diperlukan untuk melaksanakan pengendalian secara efektif, sedangkan tujuan dibangunnya sistem pengendalian intern (Mahmudi 2010 : 20) adalah : - Untuk melindungi asset termasuk data negara - Untuk memelihara catatan secara rinci dan akurat - Untuk menghasilkan informasi keuangan yang akurat, relefan, dan andal - Untuk menjamin bahwa laporan keuangan disusun sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku - Untuk efisiensi, dan efektifitas operasi - Untuk menjamin ditaatinya kebijakan manajemen dan peraturan perundangan yang berlaku 2.3.3 Keterbatasan Sistem Pengendalian Intern Tugiman (2006:9) menyatakan bahwa permasalahan pengendalian yang merupakan keterbatasan antara lain : - Banyak pengendalian yang ditetapkan memiliki tujuan yang tidak jelas - Pengendalian lebih diartikan sebagai tujuan akhir yang harus dicapai bukan sebagai sasaran untuk mencapai tujuan organisasi - Pengendalian ditetapkan terlalu berlebihan tanpa memperhatikan sisi manfaat dan biayanya

- Penerapan yang tidak tepat dari pengendalian juga mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya inisiatif dan kreatifitas setiap orang - Pengendalian tidak memperhitungkan aspek perilaku padahal faktor manusia merupakan kunci utama untuk berhasilnya suatu pengendalian 2.3.4 Efektifitas Pengendalian Internal Efektifitas adalah ukuran keberhasilan suatu kegiatan atau program yang dikaitkan dengan tujuan yang ditetapkan. Suatu pengendalian intern dikatakan efektif bila memahami tingkat sejauh mana tujuan operasi entitas tercapai, laporan keuangan yang diterbitkan dipersiapkan secara handal, hukum, dan regulasi yang berlaku dipatuhi. Mardiasmo (2002:134) pengertian efektifitas adalah ukuran berhasil atau tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya. Apabila organisasi mencapai tujuan, maka organisasi tersebut dikatakan telah berjalan efektif. Hal terpenting yang perlu tercatat adalah bahwa efektifitas tidak menyatakan tentang besar biaya yang telah dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut. Biaya boleh jadi melebihi apa yang telah dianggarkan, boleh jadi dua kali lebih besar dari yang dianggarkan. Efektifitas hanya melihat apakah suatu program atau kegiatan telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan pengertian diatas jika dikaitkan dengan penerapa pengendalian intern, dikatakan bahwa tercapainya tujuan suatu organisasi ditetapkan oleh pihak manajemen melalui penerapan sistem pengendalian internal. 2.4 Temuan Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-Undangan Tindakan korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan, yang dapat mencakup: (a) adanya peraturan perundang-

undangan yang monolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan koncokonco presiden, (b) kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai, (c) peraturan kurang disosialisasikan, (d) sangsi yang terlalu ringan,(e) penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, (f) lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan. Beberapa ide strategis untuk menanggulangi kelemahan ini telah dibentuk oleh pemerintah diantaranya dengan mendorong para pembuat undang-undang untuk melakukan evaluasi atas efektivitas suatu undang-undang secara terencana sejak undang-undang tersebut dibuat salah satunya adalah dengan menerbitkan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). SAP merupakan acuan wajib dalam menyajikan laporan keuangan entitas pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Pengguna laporan keuangan menggunakan SAP untuk dapat memahami informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Sedangkan auditor eksternal menggunakan SAP sebagai kriteria dalam melaksanakan audit. Dengan demikian SAP digunakan sebagai penyatu persepsi antara pengguna dan auditor laporan keuangan. SAP yang berlaku di Indonesia ditetapkan dengan PP Nomor 24 Tahun 2005 tanggal 13 Juni 2005 dengan pembaruannya PP Nomor 71 Tahun 2010. PP ini menjadi landasan bagi semua entitas pelaporan termasuk pemerintah daerah dalam menyajikan laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban kepada berbagai pihak. Selain SAP, auditor menggunakan kriteria lainnya dalam menyusun laporan hasil pemeriksaan antara lain tiga paket undang-undang keuangan Negara (UU Nomor 17 Tahun 2003, UU Nomor 1 Tahun 2004, dan UU Nomor 15 Tahun

2004), UU Nomor 32 Tahun 2004, berbagai Peraturan Pemerintah, dan Permendagri terkait pedoman pengelolaan keuangan daerah pada tahun saat dilakukan pemeriksaan. Acuan auditor BPK dalam menjalankan pemeriksaan tidak hanya terbatas pada peraturan untuk tujuan penyusunan kriteria temuan. Sejak tanggal 1 Januari 2007, Ketua BPK mengeluarkan suatu standar yang disebut dengan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang disusun untuk memenuhi tuntutan kebutuhan akan hasil pemeriksaan yang bernilai tambah, tidak hanya mengacu pada Standar Audit Pemerintahan tahun 1995. Standar Pemeriksaan nomor 03 terkait dengan standar pelaporan pemeriksan keuangan, mengharuskan auditor membuat suatu laporan audit yang menyatakan apakah laporan keuangan disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia (SAP) atau prinsip akuntansi yang berlaku umum secara komprehensif. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditemukan dalam pemeriksaan keuangan, dimuat dalam laporan atas kepatuhan. Apabila pemeriksa menerbitkan laporan atas kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan harus memuat suatu paragraf yang merujuk kepada laporan tersebut. Laporan atas kepatuhan menurut SPKN harus mengungkapkan hal-hal berikut ini: ` 1. Ketidakpatuhan terhadap undang-undang Ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk pengungkapan atas penyimpangan administrasi, pelanggaran atas perikatan perdata, maupun penyimpangan yang mengandung unsur tindak pidana.

2. Ketidakpatutan yang signifikan. Untuk memberikan dasar bagi pengguna laporan hasil pemeriksaan dalam mempertimbangkan kejadian dan konsekuensi atas kondisi tersebut, hal-hal yang diidentifikasi harus dihubungkan dengan hasil pemeriksaan secara keseluruhan, dan jika memungkinkan, perlu dinyatakan dalam nilai satuan mata uang. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara temuan ketidakpatuhan terhadap temuan SPI, dan keduanya menjadi sangat menentukan dalam pengambilan keputusan pemberian opini audit oleh auditor. Hal ini diperkuat oleh penelitian oleh Sipahutar dan Khairani (2013) bahwa tingkat ketidakpatuhan entitas terhadap peraturan perundangan maupun kesesuaian penyajian laporan keuangan entitas mempengaruhi pemberian opini oleh auditor. 2.5 Penelitian Terdahulu Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang membahas tentang opini audit atas laporan keuangan. Penelitian-penelitian sebelumnya tentang opini audit terhadap laporan keuangan disajikan dalam tabel di bawah ini: TABEL 2.1 RINGKASAN PENELITIAN TERDAHULU No 1 Peneliti Terdahulu (Tahun) Sipahutar dan Khairani (2013) Hasil Penelitian Variabel Dependen: Opini Audit Independen: Efektivitas SPI, kepatuhan terhadap perundangundangan, kesesuain sistem pengendalian intern, kepatuhan perundangundangan, dan kesesuaian penyajian LKPD dengan peraturan perundang-undangan berpengaruh positif terhadap

2 Fatimah, Sari & Rasuli (2014) penyajian LKPD dengan peraturan perundang-undangan Dependen: Opini Wajar Tanpa Pengecualian Pada Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Di Seluruh Indonesia Independen: Sistem Pengendalian Intern, Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang- Undangan, Opini Audit Tahun Sebelumnya Dan Umur Pemerintah Daerah opini audit. 1) Sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan (SPAP) berpengaruh negatif pada penerimaan opini WTP sedangkan Sistem Pengendalian Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja (SPPAPB) dan struktur pengendalian intern (STPI) tidak berpengaruh pada penerimaan opini WTP. 2) Kepatuhan terhadap perundang-undangan yang berpengaruh terhadap penerimaan opini WTP untuk ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengakibatkan kasus kerugian daerah/perusahaan dan penyimpangan administrasi. Sedangkan untuk temuan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan lainnya baik nilai dan jumlah kasus yang ditimbulkannya tidak mempengaruhi penerimaan opini WTP. 3) Opini audit tahun sebelumnya berpengaruh positif pada penerimaan opini WTP. Hasil temuan empiris ini menunjukkan bahwa auditor dalam menyiapkan laporan audit setiap tahun mengacu pada laporan audit tahun sebelumnya. Karena bagaimanapun dalam melakukan pemeriksaan auditor harus memiliki pemahaman mengenai entitas yang diperiksa

mempertimbangkan hasil pemeriksaan sebelumnya dan tindak lanjut atas rekomendasi yang signifikan dan berkaitan dengan tujuan pemeriksaan yang sedang dilaksanakan. Sehingga bagi laporan keuangan pemerintah daerah yang sebelumnya mendapatkan opini WTP memungkinkan untuk mempertahankan opini WTP karena beban perbaikan atas laporan keuangan pemerintah daerah tersebut cenderung tidak sebanyak laporan keuangan pemerintah daerah dengan opini non WTP. 4) Umur pemerintah daerah tidak berpengaruh pada penerimaan opini WTP. Berarti auditor tidak mempertimbangkan lamanya suatu pemerintah daerah terbentuk dalam memberikan opini WTP pada tahun berjalan. Hal ini dimungkinkan karena daerah yang baru terbentuk tidak menjadi penghalang kemampuan pemerintah daerah tersebut dalam menghasilkan laporan keuangan pemerintah daerah sesuai ketentuan. Karena pemerintah daerah yang baru terbentuk cenderung memiliki permasalahan yang lebih sedikit dan anggaran yang lebih kecil dibandingkan pemerintah daerah yang lama terbentuk. Sehingga dengan sedikit kerja keras, sudah bisa WTP.

3 Safitri (2014) Dependen: Opini audit pada pemerintah daerah Independen: Pengaruh SPI dan temuan kepatuhan kelemahan sistem pengendalian internal dan besaran realisasi anggaran tidak berpengaruh secara signifikan dan memiliki arah hubungan pengaruh yang positif terhadap opini. Sedangkan temuan kepatuhan mempengaruhi pemberian opini dengan hubungan pengaruh negatif, dan opini tahun lalu berpengaruh secara signifikan dan memiliki kecenderungan berada di level opini yang sama dengan tahun ini. 2.6 Kerangka Konseptual Berdasarkan latar belakang dan landasan teori diatas maka dapat dibuat kerangka konseptual yang terlihat dibawah ini: Kelemahan Sistem Pengendalian Intern (X1) Opini Audit (Y) Temuan Kepatuhan (X2) Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.6.1 Pengaruh Kelemahan Sistem Pengendalian Intern terhadap Opini Audit atas Laporan Keuangan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Evaluasi atas efektivitas SPI adalah salah satu kriteria pemberian opini SPI. SPI dinyatakan memadai apabila unsur-unsur dalam SPI menyajikan suatu pengendalian yang saling terkait dan dapat meyakinkan pengguna bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material. Opini yang diberikan oleh BPK terhadap laporan keuangan pemerintah daerah yang bersangkutan akan dipengaruhi oleh SPI di lingkungan entitas. SPI ini didesain untuk dapat mengenali apakah SPI telah memadai dan mampu mendeteksi adanya kelemahan. Sipahutar dan Khairani (2013) dalam penelitiannya menghubungkan tingkat kelemahan SPI dengan perubahan opini audit melalui metode kualitatif. Dalam hasil penelitiannya, kedua penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan sejenis yang menyatakan bahwa perubahan opini audit yang semakin menurun dipengaruhi oleh semakin lemahnya pengendalian internal entitas. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dimunculkan hipotesis sebagai berikut: H1: Kelemahan Sistem pengendalian intern berpengaruh terhadap opini audit atas laporan keuangan kabupaten/kota di Sumatera Utara. 2.6.2 Pengaruh Temuan Kepatuhan terhadap Opini Audit atas Laporan Keuangan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Auditor mengeluarkan opini audit dengan mempertimbangkan empat kriteria yang salah satunya adalah temuan kepatuhan entitas terhadap peraturan perundang-undangan. Sipahutar dan Khairani (2013) dalam kesimpulan penelitiannya juga mengungkapkan adanya pelanggaran yang material atas

peraturan perundang-undangan serta ketidaksesuaian penyajian laporan keuangan sesuai peraturan yang berlaku. Peningkatan tingkat materialitas atas pelanggaran tersebut semakin melemahkan tingkatan opini audit dari WDP menjadi TW. Namun sesuai dengan pengelompokan jenis temuan kepatuhan oleh BPK, ketidakpatuhan entitas tersebut dianggap memiliki dampak yang menyebabkan 7 jenis akibat, diantaranya: 1. Kerugian daerah adalah berkurangnya kekayaan daerah berupa uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. 2. Potensi kerugian daerah adalah suatu perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dapat mengakibatkan risiko terjadinya kerugian di masa yang akan datang berupa berkurangnya uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya. 3. Kekurangan penerimaan adalah adanya penerimaan yang sudah menjadi hak daerah tetapi tidak atau belum masuk ke kas daerah karena adanya unsur ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. 4. Temuan administrasi mengungkap adanya penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku baik dalam pelaksanaan anggaran atau pengelolaan aset maupun operasional, tetapi penyimpangan tersebut tidak mengakibatkan kerugian atau potensi kerugian daerah/ tidak mengurangi hak daerah/kekurangan penerimaan, tidak menghambat program entitas, dan tidak mengandung unsur indikasi tindak pidana.

5. Temuan mengenai ketidakhematan mengungkap adanya penggunaan input dengan harga atau kuantitas/kualitas yang lebih tinggi dari standar kuantitas/ kualitas yang melebihi kebutuhan, dan harga yang lebih mahal dibandingkan dengan pengadaan serupa pada waktu yang sama. 6. Temuan mengenai ketidakefisienan mengungkap permasalahan rasio penggunaan kuantitas/kualitas input untuk satu satuan output yang lebih besar dari seharusnya. 7. Temuan mengenai ketidakefektifan berorientasi pada pencapaian hasil (outcome) yaitu temuan yang mengungkapkan adanya kegiatan yang tidak memberikan manfaat atau hasil yang direncanakan serta fungsi instansi yang tidak optimal sehingga tujuan organisasi tidak tercapai. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dimunculkan hipotesis sebagai berikut: H2: Temuan kepatuhan berpengaruh terhadap opini audit atas laporan keuangan kabupaten/kota di Sumatera Utara. 2.6.3 Pengaruh Kelemahan Sistem Pengendalian Intern dan Temuan Kepatuhan terhadap Opini Audit atas Laporan Keuangan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Seperti yang telah kita ketahui, variabel-variabel independen tidak hanya berpengaruh secara sendiri-sendiri (parsial) terhadap variabel dependennya, tetapi juga berpengaruh secara bersama-sama (simultan). Oleh karena itu, dapat dimunculkan hipotesis sebagai berikut:

H3: Kelemahan sistem pengendalian intern dan temuan kepatuhan berpengaruh terhadap opini atas laporan keuangan kabupaten/kota di Sumatera Utara.