KUALITAS VERMIKOMPOS LIMBAH SLUDGE

dokumen-dokumen yang mirip
METODE PENELITIAN. pembuatan vermikompos yang dilakukan di Kebun Biologi, Fakultas

KUALITAS VERMIKOMPOS LIMBAH SLUDGE

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Salah satu masalah yang timbul akibat meningkatnya kegiatan manusia

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah yang timbul akibat meningkatnya kegiatan

Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Materi Prosedur Pembuatan MOL Tapai dan Tempe Pencampuran, Homogenisasi, dan Pemberian Aktivator

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret Mei Sampel Salvinia

Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kompos

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah dan di Laboratorium Limbah

JURNAL. KOMBINASI AMPAS TAHU DAN KOTORAN SAPI DALAM PEMBUATAN VERMIKOMPOS Lumbricus rubellus. Disusun Oleh : Fegan Ariawan Lesmana NPM :

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

A = berat cawan dan sampel awal (g) B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g) C = berat sampel (g)

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. 4. Cacing tanah jenis Eisenia fetida berumur 1 bulan sebanyak 2 kg. a. 1 ml larutan sampel vermicompost

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :

Lampiran 1. Perhitungan Nisbah C/N dan Kadar Air

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Maret Juni 2012 bertempat di Bendungan Batu

LAMPIRAN 1. PROSEDUR ANALISIS CONTOH TANAH. Pertanian Bogor (1997) yang meliputi analisis ph, C-organik dan P-tersedia.

Lampiran 1. Prosedur Analisis

III. METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE. Prosedur Penelitian

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI )

BAB III METODE PENELITIAN

Laporan Tugas Akhir Pembuatan Pupuk Organik dari Limbah Cair Etanol BAB III METODOLOGI

III. MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilakukan pada bulan November Februari 2014.

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Metode Pembuatan Petak Percobaan Penimbangan Dolomit Penanaman

METODOLOGI PENELITIAN. sampel dilakukan di satu blok (25 ha) dari lahan pe rkebunan kelapa sawit usia

III. BAHAN DAN METODE

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini:

MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu

Lampiran 1 Prosedur Analisis ph H2O dengan ph Meter Lampiran 2. Prosedur Penetapan NH + 4 dengan Metode Destilasi-Titrasi (ppm)=

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel dan Tempat Penenlitian. Sampel yang diambil berupa tanaman MHR dan lokasi pengambilan

Kualitas Vermikompos Limbah Sludge Industri Saus dan Kotoran Sapi Quality Vermicompost Sauce Industrial Sludge and Cow Manure ABSTRAK ABSTRACT

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan bagan alir yang ditunjukkan pada gambar 3.1

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Metode Penelitian Kerangka penelitian penelitian secara bagan disajikan dalam Gambar 4. Penelitian ini dipilah menjadi tiga tahapan kerja, yaitu:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tabel klasifikasi United State Department of Agriculture (USDA) fraksi tanah (Notohadiprawiro, 1990).

Kompos Cacing Tanah (CASTING)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

SKRIPSI. Kualitas Vermikompos Limbah Sludge Industri Saus dan Kotoran Sapi. Disusun oleh: Agung Prayogo NPM:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph

Bahan kimia : * Asam sulfat pekat 98%, Asam borat 2 % Natrium salisilat, Natrium nitroprusida, Natrium hypokhlorida, Natrium hidroksida, Kalium hidrog

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

mesh, kemudian dimasukkan kedalam erlenmeyer 500 ml selanjutnya diamkan selama 30 menit

III. METODE PENELITIAN. Alat yang digunakan yaitu pengering kabinet, corong saring, beaker glass,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2010 hingga Oktober 2011.

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g

ANALISIS PROTEIN. Free Powerpoint Templates. Analisis Zat Gizi Teti Estiasih Page 1

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di lima pasar tradisonal yang terdapat di Bandar

III. BAHAN DAN METODE. Analisis kimia dilakukan di Laboratorium Tanah, dan Laboratorium Teknologi Hasil

MATERI DAN METODE. Materi

PENYEHATAN MAKANAN MINUMAN A

LAMPIRAN I DATA PENGAMATAN. 1.1 Hasil Pengamatan Analisa Analisa Protein dengan Metode Kjeldahl Tabel 6. Hasil Pengamatan Analisa Protein

BAB III METODE PENELITIAN

LAMPIRAN. 1.Dokumentasi Kegiatan 1.1 Persiapan rangkaian akuaponik. 1.2 Pencarian tanaman Genjer

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian

Lampiran 1. Prosedur pengukuran nitrogen dan fosfat dalam air.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimental yang dilakukan dengan

METODE. Materi. Rancangan

BAB III METODE PENELITIAN. ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab ini bersifat

Jurnal Dinamika, April 2011, Halaman 1-5 Vol. 02. No. 1 ANALISIS KADAR NITROGEN PADA GUANO YANG TERDAPAT DI GUA ANDULAN, KABUPATEN LUWU.

V. SIMPULAN DAN SARAN. adalah sebagai berikut :

III. METODE PENELITIAN. Tengah. Sedangkan analisis dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil

I. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian telah dilaksanakan dengan percobaan rumah kaca pada bulan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kimia Analisis.

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta serta. B.

Curah Hujan (mm) Intensitas Penyinaran (cal/cm 2 )

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2015

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Produksi Volatil Fatty Acids (VFA), NH 3 dan

Bab III Bahan dan Metode

Indo. J. Chem. Sci. 2 (2) (2013) Indonesian Journal of Chemical Science

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan

BAB III METODE PENELITIAN

LAMPIRAN 1 SPESIFIKASI KALSIUM KARBONAT

STUDI PEMBUATAN PAKAN IKAN DARI CAMPURAN AMPAS TAHU, AMPAS IKAN, DARAH SAPI POTONG, DAN DAUN KELADI YANG DISESUAIKAN DENGAN STANDAR MUTU PAKAN IKAN

LAMPIRAN. Kadar Air dengan Metode Thermogravimetri (Sudarmadji, dkk., 2007)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - November 2011 :

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Lampiran 1. Kadar Air dengan Metode Thermogravimetri (Sudarmadji et al ., 2007)

METODE PENGUJIAN. 1. Kadar Oksalat (SNI, 1992)

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai

HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS KANDUNGAN N, P DAN K PADA LUMPUR HASIL IKUTAN GASBIO (SLUDGE) YANG TERBUAT DARI FESES SAPI PERAH

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. diketahui kandungan airnya. Penetapan kadar air dapat dilakukan beberapa cara.

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS

BAB III METODE PENELITIAN

Pupuk kalium sulfat SNI

Lampiran 1. Prosedur penetapan kemasaman tanah (ph) H 2 O

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah marmot Cavia porcellus

METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April sampai September 2015 dengan

Transkripsi:

JURNAL KUALITAS VERMIKOMPOS LIMBAH SLUDGE INDUSTRI KECAP DAN SERESAH DAUN LAMTORO (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit) DENGAN VARIASI CACING TANAH Hoffmeister DAN Savigny Disusun Oleh: Fabianus NPM: 100801146 UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA FAKULTAS TEKNOBIOLOGI PROGRAM STUDI BIOLOGI YOGYAKARTA 2015

KUALITAS VERMIKOMPOS LIMBAH SLUDGE INDUSTRI KECAP DAN SERESAH DAUN LAMTORO (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit) DENGAN VARIASI CACING TANAH Hoffmeister DAN Savigny The Quality of Vermicompost made of Soy Sauce Industrial Sludge Waste and Lamtoro Litter (Leucaena leucocephala (Lam.)de Wit) using Variation of Earthworms Hoffmeister and Savigny Fabianus 1, Wibowo Nugroho Jati 2, Indah Murwani Yulianti 3 Program Studi Biologi, Fakultas Teknobiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta fabianus.sinaga@yahoo.com Abstrak Salah satu masalah yang timbul dalam pengolahan limbah cair menggunakan lumpur aktif adalah mengolah sludge yang tidak termanfaatkan lagi. Penelitian ini memanfaatkan limbah sludge tersebut yang dikombinasikan dengan seresah daun lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit) untuk dijadikan vermikompos dengan bantuan cacing Hoffmeister dan Savigny. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kualitas vermikompos yang dihasilkan, mengetahui kombinasi limbah sludge dan seresah daun lamtoro yang terbaik, dan membandingkan kemampuan L. rubellus Hoff. dan E. foetida Sav. dalam menghasilkan vermikompos. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial 3 kali ulangan dengan perlakuan jenis cacing dan kombinasi sludge:seresah daun lamtoro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa vermikompos yang dihasilkan oleh cacing L. rubellushoff., E. foetida Sav., dan kombinasi keduanya dengan komposisi sludge:seresah daun lamtoro 625:375 dan 500:500 telah memenuhi standar kualitas kompos SNI 19 70-30 2004 untuk parameter ph, unsur hara makro, dan Fe. Vermikompos dengan kadar P dan Fe terbaik dihasilkan pada kombinasi sludge:seresah daun lamtoro 500:500. Sementara kadar K terbaik dihasilkan pada kombinasi 625:375. Cacing L. rubellushoff. menghasilkan vermikompos dengan kandungan P terbaik, sementara cacing E. foetida Sav. menghasilkan vermikompos dengan kandungan K dan Fe terbaik. Kata kunci : Vermikompos, Limbah sludge, Seresah Daun Lamtoro, L. rubellushoff., E. foetida Sav. Pendahuluan Salah satu masalah yang timbul akibat meningkatnya kegiatan manusia adalah beban pencemaran yang melampaui daya dukung lingkungan. Pencemaran di Indonesia telah menunjukan gejala yang cukup serius (Asmadi dan Suharno, 2012). Selain itu, semakin banyaknya industri juga menyebabkan limbah industri semakin meningkat. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengolah limbah cair organik adalah dengan menggunakan lumpur aktif. Lumpur aktif mengandung bakteri pengurai sehingga limbah organik dapat terurai secara aerobik. Menurut Asmadi dan Suharno (2012), hampir semua jenis limbah cair industri pangan dapat diolah dengan sistem lumpur aktif seperti limbah cair industri tapioka, industri nata de coco, industri kecap, dan industri tahu. Permasalahan yang timbul dari pengolahan dengan sistem lumpur aktif adalah pengolahan lumpur pada bak pengendapan akhir. Lumpur yang dipindahkan butuh pengolahan lebih lanjut agar tidak dibuang langsung ke lingkungan melainkan diolah menjadi produk bermanfaat. Vermikompos merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mengurangi volume limbah sludge dan mengubahnya menjadi pupuk yang kaya nutrien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas vermikompos yang dihasilkan, mengetahui kombinasi limbah sludge dan seresah daun lamtoro yang terbaik, dan

membandingkan kemampuan L. rubellushoff. dan E. foetida Sav. dalam menghasilkan vermikompos. Metode Penelitian Bahan Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah pembuatan vermikompos yang dilakukan di Perum Dharma Asri, Dusun Ngentak, Kecamatan Ngaglik, Sleman. Tahap kedua adalah uji kualitas vermikompos yang dilakukan di Laboratorium Teknobio-Industri Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Laboratorium Chemix Pratama Yogyakarta. Penelitian ini akan dilaksanakan mulai pada bulan Februari 2014 sampai September 2014. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah sludge industi kecap PT. Lombok Gandaria, cacing tanah L. rubellus dan E. foetida dengan umur 2-3 bulan dari peternak cacing tanah, daun lamtoro, air, aquadest, H 3 PO 4, FeSO 4, indikator difenilamin, K 2 Cr 2 O 7 1 N, H 2 SO 4 pekat, larutan NaOH-Na 2 S 2 O 3, katalis N, NaOH, Metil Merah, HCl 0,02 N, HNO 3, dan HClO 4. Tahapan penelitian 1. Preparasi Media Cacing (Kumar dkk., 2013, dengan modifikasi) Limbah sludge dikeringkan dan disimpan selama 4 minggu untuk proses dekomposisi. Sementara itu daun lamtoro dikeringkan di bawah sinar matahari selama 10 hari kemudian ditumbuk lalu dicampur air hingga menjadi bubur. Setelah itu dicampurkan dengan limbah sludge sesuai variasi perlakuan. Besek berbentuk persegi digunakan untuk proses vermicomposting. Campuran bubur seresah daun lamtoro dan limbah sludge disiapkan sebagai media sekaligus makanan bagi cacing tanah. 2. Uji Aklimatisasi (Rahmatullah dkk., 2013) Uji aklimatisasi dilakukan dengan memasukkan cacing tanah L. rubellus Hoff. dan E. foetida Sav. masing-masing sebanyak lima ekor dalam besek tiap-tiap perlakuan. Proses aklimatisasi berlangsung selama 48 jam. Jika setelah 48 jam cacing tanah tidak meninggalkan media, berarti media telah layak sebagai tempat pemeliharaan cacing tanah. 3. Proses Vermicomposting (Ramhatulah dkk., 2013) Proses vermicomposting dilakukan dengan memberikan cacing tanah L. rubellushoff. dan E. foetida Sav. masing-masing ke dalam ember yang berisi media untuk tiap-tiap perlakuan. Perbandingan makanan dan massa cacing tanah adalah 4:1 dengan berat cacing tanah 250 gram dan berat makanan 1000 gram. Proses vermicomposting dilakukan sampai 10 hari dengan perlakuan khusus untuk menjaga kelembaban media, hingga kelembaban mencapai 60-70% dan suhu 15 o -25 o C. Kondisi tekstur media diamati apabila ditemukan media terlalu padat maka dilakukan pembalikan agar aerasi berlangsung dengan baik. Tiap perlakuan ditutupi dengan paranet untuk menghindari predator dan sinar matahari. 4. Pemisahan Vermikompos Pemisahan vermikompos dilakukan dengan memisahkan vermikompos yang terbentuk dengan cacing tanah dan media yang tersisa. Pemisahan vermikompos dilakukan setelah proses vermicomposting selesai, yang ditandai dengan terbentuknya kotoran cacing tanah berupa butiran-butiran halus berwarna kehitaman.

5. Pengukuran Parameter Vermikompos Pengukuran parameter vermikompos meliputi pegukuran derajat keasaman (ph), N-total, C organik, rasio C/N, P-total, dan K-total. a. Pengukuran derajat keasaman (ph) (Balai Penelitian Tanah, 2005) Sampel ditimbang 10 g dan dimasukkan dalam erlenmeyer, kemudian ditambah 50 ml air aquadest. Sampel dihomogenkan dengan vortex. Kemudian ph sampel diukur dengan ph meter. b. Pengukuran Kadar C-Organik Metode Walkley & Black (BPT, 2005) Sampel ditimbang 1 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml. Kemudian ditambahkan dengan 10 ml K 2 Cr 2 O 7 1 N, dikocok, dan 20 ml H 2 SO 4 pekat lalu dikocok lagi. Sampel dibiarkan 30 menit, sambil sekali-kali dikocok. Kemudian sampel ditambah dengan akuadest 100 ml, H 3 PO 4 5 ml, dan indikator difenilamin sebanyak 1 ml. sampel dititrasi dengan larutan FeSO4 1 N hingga warna berubah jadi hijau. Volume titran dicatat. Kadar C organik dihitung dengan rumus: (N K2Cr2O7 x V K2Cr2O7) (N FeSO4 x V FeSO4) C Organik = 0,33 berat sampel x 0,77 c. Penentuan N-total Metode Kjeldahl (Sudarmadji dkk., 2007). Sampel sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam labu lalu ditambah katalis N sebanyak 2 g dan H 2 SO 4 pekat sebanyak 10 ml untuk didestruksi dalam lemari asam sampai cairan menjadi berwarna bening, lalu diangkat dan dibiarkan sampai benarbenar dingin. Setelah dingin, larutan dimasukkan ke dalam labu destilasi lalu dibilas menggunakan aquades sebanyak 100 ml. Sampel ditambah 10 ml aquadest dan 20 ml larutan NaOH-Na 2 S 2 O 3, kemudian batu didih dimasukkan ke dalam labu destilasi yang berisi sampel. Larutan NaOH 0,1 N sebanyak 50 ml dimasukkan ke dalam gelas beker dan ditambah 3 tetes MR (merah metil), sebagai penampungan. Sampel didestilasi hingga menghasilkan filtrat sebanyak 75 ml. Filtrat tersebut dititrasi HCl 0,02 N hingga berwarna kuning jerami. Kadar N total dihitung dengan rumus: (A B) N HCl 14.008 %N = 100% mg sampel Keterangan: A = ml 0,02 N HCl untuk titrasi blanko B = ml 0,02 N HCl untuk titrasi sampel N = Normalitas HCl d. Pengukuran K (BPT, 2005) Contoh pupuk yang telah dihaluskan ditimbang 0,5 g dan dimasukkan dalam labu digestion/labu Kjeldahl. Kemudian HNO 3 ditambahkan 5 ml dan HClO 4 0,5 ml, dikocok-kocok dan dibiarkan semalam. Labu dipanaskan mulai dengan suhu 100 o C, setelah uap kuning habis suhu dinaikan hingga 200 o C. Destruksi diakhiri bila sudah keluar uap putih dan cairan dalam labu tersisa sekitar 0,5 ml. Larutan didinginkan dan diencerkan dengan aquadest dan volume ditepatkan menjadi 50 ml, dikocok hingga homogen, biarkan semalam atau disaring dengan kertas saring W-41 agar didapat ekstrak jernih (ekstrak A). Ekstrak A dipipet 1 ml ke dalam tabung kimia volume 20 ml, kemudian ditambahkan 9 ml aquadest, dikocok dengan vortex mixer sampai homogen. Ekstrak ini adalah hasil pengenceran 10x (ekstrak B). K dalam ekstrak B diukur dengan

flamefotometer atau SSA dengan deret standar sebagai pembanding (0; 2; 4; 8; 12; 16; dan 20 ppm K), dicatat emisi/absorbansi baik standar maupun contoh. Kadar K dihitung dengan rumus : Kadar K (%) = ppm kurva x ml ekstrak 1.000 ml-1 x 100 mg contoh-1 x fp x fk Keterangan: ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva regresi hubungan antara kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikurangi blanko. Fp = faktor pengenceran (bila ada) Fk = 100/(100 % kadar air) e. Pengukuran P Metode Spektrofotometri (BPT, 2005) Contoh pupuk yang telah dihaluskan ditimbang 0,5 g dan dimasukkan dalam labu digestion/labu Kjeldahl. Kemudian HNO 3 ditambahkan 5 ml dan HClO 4 0,5 ml, dikocok-kocok dan dibiarkan semalam. Labu dipanaskan mulai dengan suhu 100 o C, setelah uap kuning habis suhu dinaikan hingga 200 o C. Destruksi diakhiri bila sudah keluar uap putih dan cairan dalam labu tersisa sekitar 0,5 ml. Larutan didinginkan dan diencerkan dengan aquadest dan volume ditepatkan menjadi 50 ml, dikocok hingga homogen, biarkan semalam atau disaring dengan kertas saring W-41 agar didapat ekstrak jernih (ekstrak A). Ekstrak A dipipet 1 ml ke dalam tabung kimia volume 20 ml, kemudian ditambahkan 9 ml aquadest, dikocok dengan vortex mixer sampai homogen. Ekstrak ini adalah hasil pengenceran 10x (ekstrak B). Ekstrak B sebanyak 1 ml dimasukkan dalam tabung kimia volume 20 ml, begitupun masing-masing deret standar P (0; 1; 2; 4; 6; 8; dan 10 ppm PO4). Kemudian setiap contoh dan deret standar ditambahkan masing-masing 9 ml pereaksi pembangkit warna, dikocok dengan vortex mixer sampai homogen. Sampel dibiarkan 15 25 menit, lalu diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 693 nm dan dicatat nilai absorbansinya. Kadar P dihitung dengan rumus : Kadar P (%) = ppm kurva x ml ekstrak 1.000 ml-1 x 100 mg contoh-1 x fp x 31/95 x fk Keterangan: ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva regresi hubungan antara kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikurangi blanko. Fp = faktor pengenceran (bila ada) Fk = 100/(100 % kadar air) f. Pengukuran Fe (BPT, 2005) Contoh pupuk yang telah dihaluskan ditimbang 0,5 g dan dimasukkan dalam labu digestion/labu Kjeldahl. Kemudian HNO 3 ditambahkan 5 ml dan HClO 4 0,5 ml, dikocok-kocok dan dibiarkan semalam. Labu dipanaskan mulai dengan suhu 100 o C, setelah uap kuning habis suhu dinaikan hingga 200 o C. Destruksi diakhiri bila sudah keluar uap putih dan cairan dalam labu tersisa sekitar 0,5 ml. Larutan didinginkan dan diencerkan dengan aquadest dan volume ditepatkan menjadi 50 ml, dikocok hingga homogen, biarkan semalam atau disaring dengan kertas saring W-41 agar didapat ekstrak jernih (ekstrak A). Unsur mikro (Fe) dari ekstrak A diukur langsung dengan SSA, hasilnya dibandingkan dengan deret standar campuran (0; 1; 2; 4; 6; 8 ; dan 10 ppm Fe) (biasanya Fe dalam ekstrak A perlu diencerkan sampai 10 x).

Hasil dan Pembahasan A. Derajat Keasaman (ph) Derajat keasaman (ph) merupakan faktor yang menentukan dalam aktivitas organisme pengurai. Menurut Rukmana (1999), ph media yang sesuai untuk cacing tanah adalah 6-7,2. Keadaan ph yang asam kurang mendukung proses pembusukan bahan organik. Sedangkan keadaan ph yang mendekati netral akan memungkinkan cacing tanah untuk melakukan dekomposisi bahan-bahan organik. Hasil analisis ragam ph dapat dilihat pada Gambar 1. ph 7,22 7,2 7,18 7,16 7,14 7,12 7,1 7,08 Gambar 1. ph Vermikompos Setelah Proses Pengomposan Standar kualitas kompos menurut SNI 19 70-30 2004 mensyaratkan bahwa ph kompos yang terbentuk berkisar antara 6,80-7,49. ph vermikompos yang terbentuk berada dalam kisaran 7,13-7,20. Apabila dibandingkan dengan ph vermikompos yang terbentuk maka dapat dibuktikan bahwa ph vermikompos pada setiap perlakuan telah memenuhi standar kualitas kompos menurut SNI 19 70-30 2004. Berdasarkan hasil uji ANAVA, dibuktikan bahwa rata-rata ph tiap-tiap komposisi yang berbeda tidak memberikan beda nyata. Hal tersebut memiliki arti bahwa penambahan seresah daun lamtoro tidak memberikan pengaruh terhadap ph vermikompos yang terbentuk. Demikian pula dibuktikan bahwa tidak ada beda nyata antar perlakuan jenis cacing. Hal tersebut memiliki arti bahwa jenis cacing tidak memberikan pengaruh terhadap ph vermikompos yang terbentuk. B. Nisbah C/N Nisbah C/N merupakan rasio antara C organik dan N total dalam kompos. Menurut Suwardi (2004), organisme pengurai menggunakan karbon sebagai sumber energi dan nitrogen sebagai sumber protein. Nisbah C/N yang diinginkan dari kompos yang dihasilkan adalah menyamai nisbah C/N tanah yaitu 10-12. Nisbah C/N merupakan faktor penting pengomposan karena unsur hara terikat pada rantai karbon sehingga rantai karbon panjang diputus agar mudah diserap oleh tanaman (Permana, 2010). Adapun nisbah C/N seluruh perlakuan dapat dilihat pada Gambar 2.

Nisbah C/N 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Gambar 2. Nisbah C/N Vermikompos Setelah Pengomposan Standar kualitas kompos menurut SNI 19 70-30 mensyaratkan bahwa nisbah C/N yang terbentuk berkisar antara 10-20. Nisbah C/N vermikompos yang telah memenuhi standar kompos SNI 19 70-30 2004 adalah vermikompos yang dihasilkan oleh cacing L. rubellushoff. dengan komposisi 625:375 dan 500:500; cacing E. foetida Sav. dengan komposisi 625:375 dan 500:500; serta kombinasi cacing L. rubellushoff. dan E. foetida Sav. dengan komposisi 625:375 dan 500:500. Hal ini sesuai dengan Pangkulun (2011), bahwa kombinasi yang sesuai antara kotoran ternak dan seresah daun lamtoro yang baik untuk membuat media cacing tanah adalah 1:1. Berdasarkan uji ANAVA, dibuktikan bahwa ada beda nyata antar perlakuan. Nisbah C/N pada kontrol memiliki beda nyata terhadap perlakuan dengan komposisi 875:125;750:250 dan 625:375;500:500. Sementara itu, nisbah C/N yang dihasilkan oleh cacing L. rubellushoff. dan E. foetida Sav. tidak memiliki beda nyata. Artinya, jenis cacing tidak memengaruhi nisbah C/N vermikompos yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan penelitian Anwar (2009), bahwa cacing Lumbricidae lebih menyukai bahan bahan organik seperti dedaunan dan sampah serta kotoran. C. Nitrogen Total Nitrogen merupakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak, diserap tanaman dalam bentuk amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-). Nitrogen berperan penting dalam merangsang pertumbuhan vegetatif tanaman. Defisiensi N pada tanaman akan menyebabkan pertumbuhan yang kerdil, pertumbuhan akar yang terbatas, dan daun menjadi warna kuning pucat (Afandi, 2002). Kadar N total vermikompos dapat dilihat pada Gambar 3. N total (%) 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Gambar 3. N total Vermikompos Setelah Pengomposan Standar kualitas kompos SNI 19 70-30 2004 mensyaratkan bahwa kandungan minimum hara N total pada kompos 0,40%. Hasil pengukuran kadar N total vermikompos menunjukkan

bahwa seluruh perlakuan telah memenuhi standar kualitas kompos SNI 19 70-30 2004. Tingginya kadar N pada vermikompos disebabkan karena media mengandung N yang tinggi dan enzim-enzim pencernaan cacing membantu mencerna bahan tersebut. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Tiwari dkk. (1989), bahwa tingginya kandungan nutrisi pada kotoran cacing tanah dianggap berasal dari pencernaan dan mineralisasi bahan organik yang mengandung nutrisi dalam konsentrasi tinggi. Berdasarkan uji ANAVA, dibuktikan bahwa ada beda nyata antar perlakuan. Setiap perlakuan saling beda nyata dengan perlakuan yang lainnya. Perlakuan Kontrol memiliki ratarata N total paling rendah yaitu 0,55%, sedangkan perlakuan kombinasi 500:500 memiliki ratarata N total paling tinggi yaitu 1,36%. Sementara itu, dibuktikan pula bahwa jenis cacing L. rubellushoff. dan E. foetida Sav. tidak memiliki beda nyata. Hal tersebut berarti jenis cacing tidak memengaruhi kadar N total vermikompos yang dihasilkan. D. Kadar P (P 2 O 5 ) Fosfor (P) berguna untuk merangsang pertumbuhan akar tanaman, khususnya akar benih tanaman muda (Lingga dan Marsono, 2008). Pada penelitian ini dihitung P dalam bentuk P2O5 dengan metode spektrofotometri. Data yang diperoleh dari pengukuran P vermikompos yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar 4. P2O5 (%) 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Gambar 4. P Total Vermikompos Setelah Pengomposan Standar kualitas vermikompos SNI 19 70-30 2004 mensyaratkan bahwa kandungan P minimal dalam kompos adalah 0,10%. Hasil pengukuran kadar P pada vermikompos yang terbentuk membuktikan bahwa seluruh perlakuan telah memenuhi standar kualitas kompos SNI 19 70-30 2004. Berdasarkan uji ANAVA, dibuktikan bahwa ada beda nyata antar perlakuan. Cacing L. rubellushoff. menghasilkan vermikompos dengan kadar P yang beda nyata antar komposisi, dengan komposisi terbaik adalah 500:500. Cacing E. foetida Sav. juga menghasilkan vermikompos dengan kadar P yang beda nyata antar komposisi, dengan komposisi terbaik adalah 500:500. Sementara kombinasi kedua cacing tersebut menghasilkan vermikompos dengan kadar P tertinggi pada konsentrasi 625:375 dan 500:500. Hasil terbaik adalah vermikompos dengan kadar P 1,24% yang dihasilkan cacing L. rubellushoff. dan E. foetida Sav. pada kombinasi 500:500. E. Kadar K Total (K 2 O) Fungsi utama kalium pada tanaman adalah membantu pembentukan protein dan karbohidrat. Kalium juga berperan memperkuat tubuh tanaman agar daun, bunga, dan buah tidak mudah gugur (Lingga dan Marsono, 2008). Pada penelitian ini, kandungan K pada vermikompos yang berhasil terbentuk diukur secara kuantitatif menggunakan metode spektrofotometri dalam bentuk K 2 O. Hasil pengukuran kadar K vermikompos dapat dilihat pada Gambar 5.

K2O (%) 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 Gambar 5. Kadar K Total Vermikompos Setelah Pengomposan Standar kualitas kompos menurut SNI 19 70-30 2004 mensyaratkan bahwa kadar K minimum pada kompos sebesar 0,20%. Setelah dilakukan hasil pengukuran kandungan K pada tiap-tiap perlakuan, perlakuan kombinasi 750:250 dengan variasi cacing L. rubellushoff., E. foetida Sav., dan kombinasi keduanya tidak memenuhi standar kualitas kompos SNI 19 70-30 2004. Sementara itu pada perlakuan lainnya telah memenuhi standar kualitas kompos SNI 19 70-30 2004. Berdasarkan uji ANAVA, dibuktikan bahwa ada beda nyata antar perlakuan. Cacing L. rubellushoff. menghasilkan vermikompos dengan kadar K yang beda nyata antar komposisi, dengan komposisi terbaik adalah 625:375, yaitu 0,47%. Cacing E. foetida Sav. menghasilkan vermikompos dengan kadar K terbaik sebesar 0,67% pada kombinasi 675:325 dan 500:500. Sementara kombinasi kedua cacing tersebut menghasilkan vermikompos dengan kadar K tertinggi pada konsentrasi 625:375 sebesar 0,28% dan 500:500 sebesar 0,26% yang saling tidak beda nyata. Hasil terbaik adalah vermikompos dengan kadar K 0,67% yang dihasilkan cacing E. foetida Sav. pada kombinasi 625:375 dan 500:500. F. Kadar Fe Total Zat besi (Fe) merupakan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Menurut Lingga dan Marsono (2008), besi dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah yang sedikit. Standar kualitas kompos SNI 19 70-30 mensyaratkan kadar maksimal Fe dalam kompos adalah 2%. Hasil pengukuran kadar Fe dapat dilihat pada Gambar 6. Fe (%) 0,14 0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0 Gambar 6. Kadar Fe Total Vermikompos Setelah Pengomposan Berdasarkan hasil pengukuran kadar Fe vermikompos yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa seluruh perlakuan telah memenuhi standar kualitas kompos SNI 19 70-30 2004. Seluruh perlakuan memiliki kadar Fe kurang dari 2%. Berdasarkan Gambar 9 dapat diketahui bahwa kadar Fe antar perlakuan cenderung tidak stabil. Hal ini dapat disababkan karena Fe merupakan

unsur mikro yang keberadaannya pada pupuk relatif sedikit, sehingga memengaruhi saat pengambilan sampel untuk pengujian Fe. Berdasarkan uji ANAVA, dibuktikan bahwa ada beda nyata antar perlakuan. Setiap perlakuan kombinasi limbah sludge dan seresah daun lamtoro saling beda nyata antara satu dan yang lain. Hal ini membuktikan bahwa penambahan seresah daun lamtoro memengaruhi kadar Fe yang dihasilkan vermikompos. Selain itu, dibuktikuan pula bahwa setiap perlakuan jenis cacing saling beda nyata antara satu dengan yang lain. Cacing E. foetida Sav. menghasilkan vermikompos dengan kadar Fe yang lebih tinggi dibandingkan cacing L. rubellushoff. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, didapat kesimpulan sebagai berikut (1) Vermikompos yang memenuhi standar kualitas kompos SNI 19 70-30 2004 untuk parameter ph, unsur hara makro, dan Fe adalah vermikompos yang dihasilkan cacing L. rubellushoff., E. foetida Sav., dan kombinasi keduanya dengan komposisi limbah sludge:seresah daun lamtoro 625:375 dan 500:500. (2) Kombinasi limbah sludge:seresah daun lamtoro yang menghasilkan vermikompos dengan kandungan P dan Fe terbaik adalah 500:500. Sedangkan yang menghasilkan kandungan K terbaik adalah 625:375. (3) Cacing L. rubellushoff. menghasilkan vermikompos dengan kandungan P lebih baik dari cacing E. foetida Sav.. Sedangkan cacing E. foetida Sav. mengakasilkan vermikompos dengan kandungan K dan Fe lebih baik dari cacing L. rubellushoff.. Saran (1) Perlu adanya penerapan vermikompos limbah sludge industri kecap dan seresah daun lamtoro pada tanaman untuk mengetahui kemampuan vermikompos dalam menyuburkan tanaman. (2) Perlu adanya pengukuran unsur hara mikro dalam vermikompos limbah sludge industri kecap dan seresah daun lamtoro. (3) Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai hubungan pencernaan cacing tanah dengan ketersediaan unsur hara K pada vermikompos. (4) Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai sumber hara alternatif selain seresah daun Lamtoro. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada keluarga tercinta, sahabat serta teman-teman FTb atas bimbingan, dukungan dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Daftar Pustaka Afandi, R. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Anwar, E.K. 2009. Efektifitas Cacing Tanah Pheretima hupiensis, Ederllus sp. dan Lumbricus sp. Dalam Proses Dekomposisi Bahan Organik. Balai Penelitian Tanah dan Agroklimat 14(2):149-158. Asmadi dan Suharno. 2012. Dasar-dasar Teknologi Pengolahan Air Limbah. Gosyen Publishing, Yogyakarta. Balai Penelitian Tanah (BPT). 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Agro Inovasi. Bogor.

Kumar, D.S., Kumar, P.S., Kumar, V.U., dan Anbuganapathi, G. 2013. Impact of Biofertilizers on Growth and Reproductive Performance of Eisenia fetida (Savigny 1926) During Flower Waste Vermicomposting Process. Annual Review and Research in Biology 3(4): 574-583. Lingga, P. dan Marsono. 2008. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penerbit Swadaya, Jakarta. Palungkun, R. 1999. Sukses Berternak Cacing Tanah. Penerbit Swadaya. Jakarta. Rahmatullah, F., Sumarni, W., dan Susatyo, E.B. 2013. Potensi Vermikompos Dalam Meningkatkan Kadar N dan P Pada Limbah IPAL PT. Djarum. Indonesian Journal of Chemical Science 2(2):142-147. Rukmana, R. 1999. Budidaya Cacing Tanah. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 2007. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty, Yogyakarta. Suwardi, 2004. Teknologi Pengomposan bahan organik sebagai pilar pertanian Organik. Simposium Nasional ISSAAS: Pertanian organik. Bogor. Tiwari, S.C., Tiwari B.K., dan Misha R.R. 1989. Microbial Population, Enzyme Activities and Nitrogen Phosporus Pottasium Enrichment in Earthworm Cast and Insurrounding Soil of Pineapple Plantation. Biol Fertil Soils. 8:178-182.