PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN MMP DAN TAPPS TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA Khayatul Musalamah Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo Email: khayatulmusalamah334@gmail.com Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang dikenai model pembelajaran MMP lebih baik daripada TAPPS. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 15 Purworejo tahun ajaran 2015/2016 yang berjumlah 160 siswa yang terbagi dalam 5 kelas. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik simple random sampling dan diperoleh siswa kelas VII D sebagai kelas eksperimen 1 dan siswa kelas VII B sebagai kelas eksperimen 2. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dokumentasi dan tes. Instrumen dalam penelitian ini adalah tes kemampuan pemecahan masalah matematika. Analisis data yang digunakan adalah uji normalitas dan homogenitas sebagai uji prasyarat kemudian dilanjutkan dengan uji hipotesis penelitian menggunakan uji-t dengan taraf signifikansi 5%. Berdasarkan hasil uji-t tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang dikenai model pembelajaran MMP lebih baik daripada TAPPS. Kata kunci: MMP, TAPPS, kemampuan pemecahan masalah matematika PENDAHULUAN Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa. Shadiq (dalam Kadir, 2009: 429) menyatakan bahwa rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa juga disebabkan oleh proses pembelajaran matematika di kelas kurang meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking dan skills) kurang terkait langsung dengan kehidupan nyata sehari-hari. Sehingga pembelajaran belum dapat menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna dan memberikan suatu pengalaman konkret yang memberikan makna tersendiri bagi siswa. Berdasarkan hasil observasi pada pembelajaran matematika di beberapa kelas VII SMP Negeri 15 Purworejo, diperoleh informasi bahwa ketika siswa diberi soal latihan yang berbeda dari contoh, beberapa siswa mengalami kesulitan dalam memahami isi soal dan akibatnya siswa tidak dapat menyelesaikan masalah dalam soal 38
dengan baik. Selain itu, dalam belajar matematika terlihat sebagian siswa hanya menghafal rumus. Mereka tidak mengerti apa yang sedang dipelajarinya. Dari hasil wawancara dengan beberapa siswa kelas VII SMP Negeri 15 Purworejo, sebagian siswa menganggap bahwa matematika adalah mata pelajaran yang sulit dan rumit sehingga mereka kurang menyukai matematika. Menurut Guru Matematika kelas VII SMP Negeri Purworejo, salah satu materi matematika kelas VII yang dianggap sulit untuk dipahami oleh siswa adalah materi perbandingan dan aritmatika sosial. Menurut Jonassen (dalam Eko Andi Purnomo 2014: 25) bahwa seharus-nya fokus utama dalam pembelajaran adalah belajar menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana guru meng-ajarkan dan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dalam kegiatan belajar mengajar matematika. Kemampuan pemecahan masalah matematika adalah potensi yang dimiliki oleh siswa dalam menyelesaikan masalah matematika yang diberikan melalui sebuah proses yang berupa langkah-langkah penyelesaian yang sistematis. Salah satu solusi yang dapat dilakukan yaitu memilih model pembelajaran yang tepat untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika. Sebagaimana yang dikutip oleh Goenawan (dalam Kurniasari, dkk. 2014: 146), Missouri Mathematics Project (MMP) sebagai suatu program yang dirancang untuk mem-bantu guru menggunakan latihan secara efektif untuk menghasilkan prestasi yang luar biasa. Latihan yang dimaksud adalah lembar tugas proyek. Ada 5 tahap dalam model pembelajaran MMP yaitu review, development, cooperative working, seat work, dan assigment (Al Krismanto, 2004: 11). Selain itu, Thinking Aloud Pairs Problem Solving (TAPPS) merupakan salah satu model pembelajaran yang menggunakan pendekatan pemecahan masalah yang memungkinkan siswa terlibat secara aktif di dalam pembelajaran. Dalam pelaksanaan TAPPS terdapat problem solver dan listener, mereka saling bekerja-sama, membantu dan memotivasi satu sama lain untuk menyelesaikan masalah yang ada pada soal. Melihat kesamaan yang ada pada model pembelajaran MMP dan TAPPS yaitu samasama untuk menggali kemampuan pemecahan masalah, peneliti bermaksud menggunakannya dalam pembelajaran matematika. Siswa akan dilatih 39
mengembangkan kemampuannya untuk menyelesaikan masalah matematika yang berkaitan dengan perbandingan dan aritmetika sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang dikenai model pembelajaran MMP lebih baik daripada TAPPS. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan desain penelitian eksperimen semu (quasi eksperimental design). Penelitian dilaksanakan pada bulan September- Desember 2015 di SMP Negeri 15 Purworejo. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 15 Purworejo tahun ajaran 2015/2016. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik simple random sampling dan diperoleh siswa kelas VII D sebagai kelas eksperimen 1 dan siswa kelas VII B sebagai kelas eksperimen 2. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dokumentasi dan tes. Instrumen dalam penelitian ini adalah tes kemampuan pemecahan masalah matematika. Analisis data yang digunakan adalah uji normalitas dan homogenitas sebagai uji prasyarat kemudian dilanjutkan dengan uji hipotesis penelitian menggunakan uji-t ber-derajat bebas n 1 + n 2 2 dengan taraf signifikansi 5%. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, pemberian perlakuan dilakukan pada kelas yang seimbang dengan tujuan agar perbedaan hasil penelitian pada kelas eksperimen benar-benar terjadi karena perlakuan yang diberikan oleh peneliti. Data awal sebelum perlakuan diperoleh dari data dokumentasi nilai UTS semester gasal kelas VII SMP Negeri 15 Purworejo tahun ajaran 2015/2016. Kemudian untuk mengetahui apakah kedua kelas ekperimen dalam keadaan seimbang atau tidak dilakukan uji sebelum perlakuan yaitu uji normalitas dan uji homogenitas sebagai uji prasyarat keseimbangan kemudian dilanjutkan dengan uji keseimbangan. Uji normalitas menggunakan uji Liliefors dengan taraf signifikansi 5% diperoleh L obs. = 0,1397 untuk kelas eksperimen 1 dan L obs. = 0,1175 untuk kelas eksperimen 2 dengan L tabel = 0,1566. Dengan demikian kedua kelas eksperimen berasal dari 40
populasi yang berdistribusi normal. Uji homogenitas menggunakan uji Bartlett dalam bentuk statistik uji Chi-Kuadrat dengan taraf signifikansi 5% diperoleh χ 2 obs. = 0,0703 dan χ 2 tabel = 3,841 jadi dapat disimpulkan bahwa kedua kelas eksperimen tersebut memiliki variansi populasi yang sama. Uji keseimbangan dalam penelitian ini menggunakan statistik uji-t dengan taraf signifikansi 5% diperoleh t obs. = -0,3595 dan t tabel = 1,960 sehingga dapat disim-pulkan bahwa kedua kelas eksperimen seimbang artinya memiliki kemampuan awal yang sama. Selanjutnya peneliti memberikan perlakuan yaitu menerapkan model pembelajaran MMP pada kelas eksperimen 1 dan TAPPS pada kelas eksperimen 2 dengan pokok bahasan perbandingan dan aritmetika sosial. Setelah pemberian perlakuan selesai, peneliti memberikan instrumen tes kemampuan pemecahan masalah matematika yang berbentuk uraian pada masing-masing kelas eksperimen untuk mendapatkan data akhir. Data akhir tersebut dianalisis untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian. Analisis data akhir terdiri dari uji normalitas dan homogenitas sebagai uji prasyarat dan dilanjutkan uji hipotesis. Hasil perhitungan analisis data akhir dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 1. Rangkuman Uji Normalitas Data Akhir Kelas L obs n L tabel Keputusan Uji Keterangan Eksperimen 1 0,12735 32 0,1566 H 0 diterima Data normal Eksperimen 2 0,1175 32 0,1566 H 0 diterima Data normal Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa uji normalitas menggunakan uji Liliefors dengan taraf signifikansi 5% diperoleh L obs. = 0,1397 untuk kelas eksperimen 1 dan L obs. = 0,1175 untuk kelas eksperimen 2 dengan L tabel = 0,1566. Dengan demikian kedua kelas eksperimen berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Tabel 2. Rangkuman Uji Homogenitas Data Akhir Kelas χ 2 obs. n χ2 tabel Keputusan Uji Keterangan Eksperimen 1 Eksperimen 2 0 32 3,841 H 0 diterima Data Homogen Uji homogenitas menggunakan uji Bartlett dalam bentuk statistik uji Chi- Kuadrat dengan taraf signifikansi 5% diperoleh χ 2 obs. = 0 dan χ2 = 3,841 jadi dapat tabel 41
disimpulkan bahwa kedua kelas eksperimen tersebut memiliki variansi populasi yang sama. Tabel 3. Rangkuman Uji Hipotesis Penelitian Kelas x n s t obs. t tabel Keputusan Uji Eksperimen 1 70,12 32 9,66 2,280046 1,645 H 1 diterima Eksperimen 2 64,62 32 9,64 Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan statistik uji-t dengan taraf signifikansi 5% diperoleh t obs. = 2,280046 dan t tabel = 1,645 sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang dikenai model pembelajaran MMP lebih baik daripada TAPPS. Pada awal pengenalan kemampuan pemecahan masalah matematika baik pada kelas eksperimen 1 maupun eksperimen 2 sebagian siswa enggan menggunakan kemampuan tersebut karena dirasa langkah penyelesaiannya terlalu lama. Melihat hal tersebut, guru memberikan bimbingan dan arahan agar siswa dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematika dalam pembelajaran dengan baik. Dengan demikian siswa mulai terbiasa menggunakan kemampuan pemecahan masalah dan merasa lebih memahami dan mengerti apa yang sedang dipelajari. Hal yang mungkin mendukung kesimpulan penelitian ini adalah karena pada model pembelajaran MMP siswa tidak punya banyak waktu untuk bercanda ataupun bermain dengan temannya dibandingkan dengan TAPPS sehingga siswa siswa difokuskan untuk mengerjakan latihan soal pemecahan masalah. Kemudian pada pembelajaran model TAPPS, ketika bermain peran sebagai problem solver dan listener, setiap kelompok harus selalu diawasi oleh guru, jika tidak mereka lebih tertarik untuk bercanda atau bermain sendiri dengan temannya. Jadi, siswa yang dikenai model pembelajaran MMP menjadi lebih mudah dikendalikan daripada siswa yang dikenai TAPPS. Kesimpulan hasil penelitian ini dapat diberlakukan untuk populasi. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil uji hipotesis dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang dikenai model pembelajaran MMP lebih baik daripada siswa yang dikenai TAPPS pada materi perbandingan dan aritmetika 42
sosial di kelas VII SMP Negeri 15 Purworejo tahun ajaran 2015/2016. Dari simpulan di atas peneliti memberikan saran kepada guru yaitu dalam penerapan MMP sebaiknya guru jangan terlalu lama menjelaskan karena menimbulkan rasa bosan pada siswa dan lebih baik diisi dengan latihan soal-soal pemecahan masalah yang lebih bervariasi. Dalam penerapan TAPPS, sebaiknya pada setiap pasangan siswa yang terdiri dari problem solver dan listener terdapat satu siswa yang pandai sehingga kerjasama antar keduanya dapat terealisasi dengan baik sehingga tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk menyelesaikan masalah. DAFTAR PUSTAKA Al Krismanto. 2003. Beberapa Teknik, Model, dan Strategi dalam Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Departemen Pendiidkan nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Eko Andy Purnomo, dkk. 2014. Peningkatan Kemampuan Pemecahan masalah Melalui Model Pembelajaran Ideal Problem Solving Berbasis Project Based Learning. JKPM. Diunduh dari jurnal.unimus.ac.id pada 28 September 2015. Kadir. 2009. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP Melalui Penerapan Pembelajaran Kontekstual Pesisir. Disajikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika dan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA. Diunduh dari eprints.uny.ac.id pada 29 September 2015. Kurniasari, dkk. 2014. Keefektifan Model Pembelajaran MMP Dengan Langkah Pemecahan Masalah Polya terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Kelas VII. Unnes Journal of Mathematics Education. Diunduh dari journal.unnes.ac.id pada 20 Agustus 2015. 43