EMISI KARBON POTENSIAL AKIBAT PEMANENAN KAYU SECARA MEKANIS DI HUTAN ALAM TROPIS (KASUS KONSESI HUTAN PT

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Objek dan Alat Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

III. METODOLOGI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

III. METODOLOGI PE ELITIA

DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

DAMPAK PEMANENAN KAYU TERHADAP TERJADINYA KETERBUKAAN LANTAI HUTAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KETERBUKAAN AREAL HUTAN AKIBAT KEGIATAN PEMANENAN KAYU DI PULAU SIBERUT KEPULAUAN MENTAWAI SUMATERA BARAT ADYTIA MACHDAM PAMUNGKAS

II. TINJAUAN PUSTAKA

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU Medan 2)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan

IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH)

KETERBUKAAN AREAL DAN KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT KEGIATAN PENEBANGAN DAN PENYARADAN (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah)

PEMBELAJARAN PENERAPAN RIL-C DI PERUSAHAAN (PENERAPAN PRAKTEK PENGELOLAAN RENDAH EMISI DI HUTAN PRODUKSI DI AREAL PT. NARKATA RIMBA DAN PT.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

9/21/2012 PENDAHULUAN STATE OF THE ART GAMBUT DI INDONESIA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT KEANEKARAGAMAN HAYATI TINGGI SUMBER PLASMA NUTFAH TINGGI

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI PENERAPAN PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.


III. METODE PENELITIAN

PENGELOLAAN HUTAN LEST PENGELOLAAN HUT ARI DI AN LEST PULAU SIBERUT UNTUK MITIGASI EMISI KARBON

PERBANDINGAN BESARNYA KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL PADA PEMANENAN KAYU MENGGUNAKAN METODE REDUCED IMPACT LOGGING DAN CONVENTIONAL LOGGING DI IUPHHK PT

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif karena penelitian ini hanya

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi lahan pertanian (Hairiah dan Rahayu 2007). dekomposisi oleh bakteri dan mikroba yang juga melepaskan CO 2 ke atmosfer.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA TEGAKAN REHABILITASI TOSO DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT ZANI WAHYU RAHMAWATI

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan bahan 3.3 Pengumpulan Data

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi grk

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

IV. METODE PENELITIAN

MODUL TRAINING CADANGAN KARBON DI HUTAN. (Pools of Carbon in Forest) Penyusun: Ali Suhardiman Jemmy Pigome Asih Ida Hikmatullah Wahdina Dian Rahayu J.

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

PAPER BIOMETRIKA HUTAN PENDUGAAN POTENSI EKONOMI TEGAKAN TINGGAL PADA SUATU PERUSAHAAN PEMEGANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN (HPH) Oleh : Kelompok 4

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada Oktober November 2014 di Desa Buana Sakti, Kecamatan Batanghari, Kabupaten Lampung Timur.

3 METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

II. METODOLOGI. A. Metode survei

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA

DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

POTENSI JASA LINGKUNGAN TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus hybrid) DALAM PENYIMPANAN KARBON DI PT. TOBA PULP LESTARI (TPL). TBK

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB III METODE PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE

BAB IV METODE PENELITIAN

EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT

POTENSI SIMPANAN KARBON TANAH (SOIL CARBON STOCK) PADA AREAL REHABILITASI TOSO COMPANY Ltd. DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT NAELI FAIZAH

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

III METODOLOGI PENELITIAN

PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan

TINJAUAN PUSTAKA. membentuk bagian-bagian tubuhnya. Dengan demikian perubahan akumulasi biomassa

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

KERUSAKAN TINGKAT TIANG DAN POHON AKIBAT PENEBANGAN INTENSITAS RENDAH DI IUPHHK-HA PT. SARI BUMI KUSUMA KALIMANTAN TENGAH ANIS WIJAYANTI

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI

Transkripsi:

EMISI KARBON POTENSIAL AKIBAT PEMANENAN KAYU SECARA MEKANIS DI HUTAN ALAM TROPIS (KASUS KONSESI HUTAN PT. SALAKI SUMMA SEJAHTERA, PULAU SIBERUT, PROVINSI SUMATERA BARAT) FRENSI FIRMA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

EMISI KARBON POTENSIAL AKIBAT PEMANENAN KAYU SECARA MEKANIS DI HUTAN ALAM TROPIS (KASUS KONSESI HUTAN PT. SALAKI SUMMA SEJAHTERA, PULAU SIBERUT, PROVINSI SUMATERA BARAT) FRENSI FIRMA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

RINGKASAN FRENSI FIRMA. Emisi Karbon Potensial Akibat Pemanenan Secara Mekanis di Hutan Alam Tropis (Kasus Konsesi Hutan PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat). Dibimbing Oleh TEDDY RUSOLONO PT. Salaki Summa Sejahtera adalah perusahaan yang memiliki hak konsesi hutan di Pulau Siberut dengan luas 48.420 ha. Pengelolaan hutan dilakukan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Pada areal kerja dilakukan kegiatan pemanenan dengan intensitas pemanenan yang berbeda-beda sesuai dengan potensi tegakan hutan. Intensitas pemanenan yang tinggi akan menimbulkan kerusakan tegakan tinggal dan keterbukaan areal yang besar. Areal kerja PT. Salaki Summa Sejahtera berada di kawasan Cagar Biosfer yang ditetapkan oleh UNESCO yang harus menekan kerusakan serendah mungkin. Pengelolan hutan yang terencana dengan baik dan penerapan Reduce Impact logging (RIL) merupakan cara yang baik untuk meminimalisasi kerusakan. Penelitian ini dilakukan dengan membuat 10 plot dalam petak tebang secara purposive sampling yang posisi plotnya diskontinyu. Kerapatan tegakan hutan rata-rata 118,6 pohon/ha dengan volume 248,03 m 3 /ha. Pada intensitas pemanenan 8,6 pohon/ha dengan volume tebangan 78,81 m 3 /ha menyebabkan kerusakan tegakan tinggal sebesar 31,4 pohon/ha (28,55%) yang dapat dikelompokan menjadi kerusakan berat 52,53%, sedang 33,09%, dan ringan 14,32%. Pohon yang paling banyak mengalami kerusakan berasal dari pohon berdiameter 20-29 cm yang mencapai 16,73%. Kondisi tegakan tinggal rata-rata setelah penebangan 78,60 pohon/ha dengan volume 132,53 m 3 /ha (53,43% dari stok sebelum penebangan). Keterbukaan areal yang terjadi akibat kegiatan penyaradan kayu sebesar 6,20%. Pemanenan kayu berpotensi melepas karbon ke udara yang berasal dari pohon yang diproduksi dan tegakan yang mengalami kerusakan berat rata-rata sebesar 46,74 ton C/ha atau 38,90% dari potensi stok karbon sebelum pemanenan kayu. Emisi karbon yang nyata terjadi di hutan adalah yang bersumber dari dekomposisi limbah sisa penebangan dan pohon-pohon rusak berat yang mungkin mengalami kematian rata-rata sebesar 16,86 ton C/ha. Kata kunci: Pulau Siberut, Intensitas Pemanenan, Kerusakan Tegakan Tinggal, Emisi Karbon Potensial, dan Keterbukaan Areal.

SUMMARY FRENSI FIRMA. Potential Carbon Emissions Due to Harvesting The Mechanics in Natural Tropical Forest (Case Forest Consession PT. Salaki Summa Sejahtera, Island of Siberut, West Sumatra Province). Under the Supervision TEDDY RUSOLONO PT. Summa Salaki Sejahtera is a company that has the concession rights on the island of Siberut with an area of 48.420 ha. Management forest of silvicultural systems applied using Selective Cutting and Planting Indonesia (TPTI). In the area of harvesting work done by havesting intensity varying according to the potential of forest stand. Harvesting of hight intensity will couse demage to the residual stand and large open area. Work area of PT Salaki Summa Sejahtera site in Biosphere Reserves are areas set by UNESCO to reduce damage to a minimum. Management forest well-planned and the implementation of reduce impact logging (RIL) is a good way to minimize the damage. The research was carried out by making 10 plots in a purposive sampling compartment of cutting a discontinuous plot position. Forest stand density average of 118,6 trees/ha with a volume of 248,03 m 3 /ha. On average harvesting intensity 8,6 trees / ha with a volume of 78,81 m 3 /ha harvest residual stand damage of 31,4 trees/ha (28,55%) that can be grouped into heavy damage 52,53%, while 33,09%, 14,32% and mild. The most experienced tree damage from trees 20-29 cm in diameter which reached 16,73%. Conditions of the average residual stand after logging 78,60 trees/ha with a volume of 132,53 m 3 /ha (53,43% of the stock prior to logging). Then, the openness of the area caused by skidding activity of 6,20%. Timber harvesting activities potentially releasing carbon into the air from trees that are produced and stands heavily damaged by an average of 46,74 tonnes C/ha or 38,90% of potential carbon stocks prior to harvesting timber. Carbon emissions, which obviously occurred in the forest is derived from the decomposition of residual waste and logging damaged trees are likely to experience death an average of 16,86 ton C/ha. Key words: Siberut Island, The intensity of the Harvesting, Stand Damage Living, Potential Carbon Emissions, and Openness area.

PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Emisi Karbon Potensial Akibat Pemanenan Kayu Secara Mekanis di Hutan Alam Tropis (Kasus Konsesi Hutan PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Provinsi Sumatera Barat) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Semua sumber data informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Maret 2012 Frensi Firma E14070001

Judul Skripsi Nama NIM : Emisi Karbon Potensial Akibat Pemanenan Kayu Secara Mekanis di Hutan Alam Tropis (Kasus Konsesi Hutan PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Provinsi Sumatera Barat) : Frensi Firma : E14070001 Menyetujui: Dosen Pembimbing Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS NIP. 19621024 198803 1 002 Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Hutan Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001 Tanggal Lulus :

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul Emisi Karbon Potensial Akibat Pemanenan Kayu Secara Mekanis di Hutan Alam Tropis (Kasus Konsesi Hutan PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Provinsi Sumatera Barat). Skripsi ini memuat hasil penelitian di IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera, meliputi : pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penelitian, kondisi umum lokasi penelitian, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan dan saran di bawah bimbingan Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak yang membutuhkannya. Bogor, Maret 2012 Penulis

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bangkinang Provinsi Riau pada tanggal 12 Februari 1989 sebagai anak kedua dari sepuluh bersaudara dengan Ayah bernama Muhammad Isa dan Ibu Asmanidar. Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 015 Pasir Sialang, Kecamatan Bangkinang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau pada tahun 1995 dan lulus pada tahun 2001. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 1 Bangkinang pada tahun 2001 dan lulus pada tahun 2004. Kemudian, penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Bangkinang pada tahun 2004 dan lulus pada tahun 2007. Penulis diterima sebagai Mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada pilihan pertama dengan mayor Manajemen Hutan. Pada semester enam penulis memilih Bagian Perencanaan Hutan. Selain kegiatan akademis penulis juga aktif sebagai Wakil Ketua Umum di Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Himpunan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Kampar-Bogor (HIKAPEMAKA BOGOR) tahun 2008-2009. Pada tahun 2009 penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di daerah Kamojang dan Sancang Barat, Garut, Provinsi Jawa Barat. Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) tahun 2010 di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi dan KPH Perhutani Cianjur, serta Praktek Kerja Lapang (PKL) di CV. Pangkar Begili, Provinsi Kalimantan Barat. Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kehutanan di Institut Pertanian Bogor penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Emisi Karbon Potensial Akibat Pemanenan Secara Mekanis di Hutan Alam Tropis (Kasus Konsesi Hutan PT. Salaki Summa Sejahtera Pulau Siberut, Provinsi Sumatera Barat) di bawah bimbingan Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS.

UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, sebagai berikut : 1. Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan arahannya, kritik dan saran yang diberikan dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Kedua orang tua tercinta (Muhammad Isa dan Asmanidar) serta abang dan adik-adik ku (keluarga besar Firma) atas kasih sayang, dukungan moral dan material, serta doa dan semangat yang diberikan kepada penulis.. 3. Segenap Pimpinan, Direksi, Staf, dan Karyawan PT.Salaki Summa Sejahtera, khususnya R. Iwan Sumarta, MSc, Ir. Agus F. Nugroho (General Manager) Ir. Mangatas Simanjuntak (Direktur Produksi), atas bantuan, dukungan dan kerjasamanya. 4. PT. Chevron Pacific Indonesia yang telah memberikan beasiswa (DCR 2007) selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor. 5. Rekan seperjuangan, Heru Defrianto dan Johan Ariando Rajagukguk atas bantuan dan kerjasamanya dalam pengambilan data selama penelitian. 6. Teman-teman Manajemen Hutan angkatan 44 atas dukungan, kebersamaan dan kekeluargaannya. 7. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR PUSTAKA... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN..... v BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan Penelitian... 3 1.3 Manfaat Penelitian... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)... 4 2.2 Pemanenan Kayu... 5 2.3 Kerusakan Tegakan Tinggal akibat pemanenan... 8 2.4 Keterbukaan Areal Akibat Penyaradan... 11 2.5 Biomassa dan Cara Pendugaannya... 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat... 17 3.2 Alat dan Bahan Penelitian... 17 3.3 Metode Penelitian... 17 3.3.1 Metode Kerja... 17 3.3.2 Metode Pengumpulan Data... 18 3.3.3 Data Sekunder... 20 3.4 Analisis Data... 20 3.4.1 Perhitungan Volume Tegakan... 20 3.4.2 Perhitungan Biomassa dan Karbon... 20 3.4.3 Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal... 21 3.4.4 Perhitungan Keterbukaan Areal Akibat Penyaradan... 22 3.4.5 Analisis Hubungan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerusakan Tegakan Tinggal dan Emisi Karbon Potensial... 23

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan... 25 4.2 Letak dan Luas... 26 4.3 Kondisi Fisik... 26 4.3.1 Topografi dan Kemiringan Lapangan... 26 4.3.2 Tanah dan Hidrologi... 27 4.3.3 Iklim... 27 4.3.3 Kondisi Vegetasi... 28 4.3.4 Potensi Tegakan... 28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Tegakan Sebelum Pemanenan... 30 5.2. Kegiatan Pemanenan... 35 5.2.1 Diskripsi Umum Kegiatan Pemanenan... 35 5.2.2 Intensitas Pemanenan... 36 5.3 Kerusakan Tegakan Pasca pemanenan... 39 5.3.1 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan dan Penyaradan... 39 5.3.2 Kondisi Tegakan Pasca Pemanenan... 47 5.3.3 Keterbukaan Areal Akibat Jalan Sarad... 59 5.4 Emisi Karbon Potensial... 51 5.4.1 Potensi Karbon Sebelum Pemanenan... 51 5.4.2 Sumber Emisi dan Besar Emisi Karbon Potensial Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu... 52 5.4.2.1 Emisi Karbon Potensial Pohon yang Ditebang... 52 4.4.2.2 Emisi Karbon Potensial dari Kerusakan Pohon Akibat Penebangan dan Penyardan... 54 5.4.3 Perubahan Simpanan Karbon Pada Tegakan... 57 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan... 59 6.2 Saran... 59 DAFTAR PUSTAKA... 60 LAMPIRAN... 64

DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Beberapa bentuk dan tingkat kerusakan yang terjadi pada individu pohon.. 9 2. Klasifikasi kerusakan tegakan tinggal menurut Feldpausch et al. (2005)... 10 3. Persamaan allometrik untuk menduga biomassa di hutan alam tropis berdasarkan zona iklim... 14 4. Kondisi tegakan sebelum dilakukannya kegiatan pemanenan kayu pada plot penelitian... 31 5. Rata-rata potensi tegakan sebelum penebangan per kelas diameter pada plot penelitian... 34 6. Intensitas pemanenan pada plot penelitian... 37 7. Pengurangan luas bidang dasar pada RIL DBH 50 cm... 38 8. Kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan dan penyaradan... 40 9. Kerusakan tegakan tinggal tingkat kerusakan berat... 42 10. Bentuk kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan dan penyaradan... 43 11. Klasifikasi kerusakan tegakan tinggal menurut Feldpausch et al. (2005)... 44 12. Analisis ragam hubungan kerusakan tegakan tinggal dengan kerapatan tegakan dan intensitas pemanenan... 46 13. Hubungan antar peubah dengan besarnya kerusakan tegakan tinggal... 46 14. Potensi tegakan pasca pemanenan... 47 15. Keterbukaan areal akibat penyaradan... 49 16. Stok karbon sebelum pemanenan pada plot penelitian... 51 17. Emisi karbon potensial dari pohon yang ditebang... 53 18. Emisi karbon limbah pemanenan... 54 19. Emisi karbon potensial pohon rusak akibat penebangan dan penyaradan... 55 20. Analisis ragam hubungan emisi karbon potensial dengan potensi awal tegakan dan intensitas pemanenan... 56 21. Hubungan antar peubah dengan emisi karbon potensial... 57

DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Bentuk dan ukuran plot contoh dalam penelitian... 18 2. Hubungan persentase kerusakan tegakan tinggal pada berbagai intensitas penebangan... 39 3. Kerusakan tegakan tinggal per kelas diameter... 41 4. Kerapatan pohon sebelum dan pasca pemanenan kayu... 48 5. Volume tegakan sebelum dan pasca pemanenan kayu... 48 6. Hubungan luas keterbukaan areal akibat penyaradan pada berbagai intensitas pemanenan... 50 7. Perubahan stok karbon sebelum dan pasca pemanenan kayu... 57

DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Kondisi tegakan sebelum pemanenan dan kerusakan akibat pemanenan... 65 2. Kondisi tegakan sebelum dan pasca pemanenan... 66 3. Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan tingkat berat... 67 4. Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan tingkat sedang... 68 5. Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan pada tingkat ringan... 68 6. Simpanan karbon plot penelitian sebelum dan pasca pemanenan... 69 7. Patah tajuk akibat pemanenan... 71 8. Patah batang akibat pemanenan... 71 9. Luka batang akibat pemanenan... 72 10. Rusak banir akibar pemanenan... 72 11. Pecah batang akibat pemanenan... 73 12. Roboh akibat pemanenan... 73 13. Peta kawasan IUPHHK PT. Salaki Summa Sejahtera... 74 14. Peta blok RKT 2011 IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera... 75 15. Peta plot penelitian pada petak 265 RKT 2011... 76 16. Peta plot penelitian pada petak 264 RKT 2011... 77

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam milik negara yang harus dikelola secara lestari guna kemakmuran dan kesejahteraan rakyat masa sekarang maupun yang akan datang. Hutan dapat memberikan manfaat tangible berupa hasil kayu dan hasil hutan bukan kayu serta manfaat intangible antara lain : penghasil oksigen, pengatur siklus air, penyimpanan karbon, dan pengatur iklim mikro (Arif 2001). Pemanenan hutan kayu, khususnya di hutan alam selain menghasilkan kayu juga menyebabkan kerusakan pada hutan itu sendiri yang berpotensi menjadi emisi karbon. Isu perubahan iklim/pemanasan global yang mulai terasa akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (CO 2, CO, CH 4, NO 2 ) ke udara merupakan isu yang hangat diperbincangkan di dunia Internasional. Pemanasan global sendiri dapat diartikan sebagai naiknya temperatur muka bumi secara perlahan yang berakibat pada perubahan iklim secara global yang berdampak negatif pada keberlangsungan kehidupan makhluk hidup di muka bumi termasuk manusia. Tekad pemerintah Indonesia yang menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26%. Untuk merealisasikan target tersebut, maka semua sektor termasuk kehutanan harus memperhatikan emisi karbonnya, yaitu dengan cara melakukan pengelolaan yang baik dan menentukan kuantitas produksi yang optimal. Pemanenan hutan (penebangan dan penyaradan) yang dilakukan di hutan alam akan menimbulkan berbagai dampak yang tidak dapat dihindari, antara lain: kerusakan tegakan tinggal, keterbukaan lantai hutan, menurangi stok karbon, meningkatnya kepadatan tanah dan lain-lain. Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan hutan dapat berupa kerusakan tajuk, batang, banir/akar dan rebah/tumbang. Kerusakan yang terjadi memungkinkan tegakan tinggal tersebut tidak dapat kembali seperti semula (keadaan normal). Kerusakan tegakan tinggal yang terjadi disebabkan oleh tertimpanya pohon lain (pohon inti) oleh pohon yang

ditebang dan kegiatan penyaradan log yang selain merusak tegakan tinggal juga membuka lantai hutan. Penebangan harus memperhatikan besarnya intensitas penebangan yang akan dilakukan karena akan menyebabkan tingkat kerusakan yang berbeda-beda. Dalam penyaradan yang perlu dipertimbangkan yaitu : sistem penyaradan, kondisi jalan sarad, dan penggunaan alat sarad. Penggunaan bulldozer sebagai alat sarad juga berpengaruh besar dalam kerusakan tegakan tinggal terutama pada pohon-pohon yang masih berdiri tertabrak oleh bulldozer yang bermanuver saat penyaradan. Menurut Elias (1998) agar kerusakan akibat penebangan dan penyaradan kayu dapat ditekan serendah mungkin maka diperlukan sinkronisasi antara jaringan jalan sarad, arah penyaradan, dan arah rebah pohon. Arah rebah pohon yang baik untuk kelancaran penyaradan adalah yang berbentuk pola sirip ikan terhadap arah penyaradan. Penentuan arah rebah pohon sangat menentukan kerusakan yang terjadi. Pemanenan hutan di hutan alam tropis (Indonesia) menggunakan sistem silvikultur TPTI, dimana dalam penebangan kayu menggunakan batas/limit diameter dan jenis tertentu (jenis komersial). Pemanenan kayu yang diperbolehkan pada pohon jenis komersil yang memiliki diameter 40 cm. Penebangan dengan intensitas tinggi akan menimbulkan kerusakan tegakan tinggal yang besar. Oleh karena itu, kegiatan pemanenan harus dilakukan dengan rencana yang baik, sehingga tingkat kerusakan tegakan tinggal dapat diminimalisasi. Lokasi areal kerja PT. Salaki Summa Sejahtera berada di kawasan Cagar Biosfer yang telah ditetapkan oleh UNESCO yang harus menekan kerusakan serendah mungkin. Penerapan metode Reduce Impact Logging (RIL) adalah salah satu cara yang baik untuk menekan tingkat kerusakan akibat pemanenan. Setiap kegiatan pemanenan kayu akan menurangi stok karbon dalam hutan, karena tidak semua bagian pohon yang ditebang dapat dimanfaatkan. Bahkan sebagian besar akan ditinggalkan di dalam hutan, antara lain : tajuk, batang yang rusak, tunggak, pohon-pohon kecil yang rusak (kerusakan tegakan tinggal), tumbuhan bawah dan lain-lain yang nantinya dapat terdekomposisi dan berpotensi melepaskan karbon ke udara sehingga simpanan karbon tegakan hutan

mengalami penurunan. Lasco (2002) menyatakan bahwa aktifitas penebangan hutan untuk pemanenan kayu berperan dalam menurunkan simpanan karbon di atas permukaan tanah minimal sebesar 50%. Pada hutan tropis Asia penurunan simpanan karbon akibat aktivitas pemanenan kayu berkisar 22-67%, di Indonesia diperkirakan sebesar 38-75%. Untuk itu, penelitian tentang kerusakan tegakan tinggal, keterbukaan areal akibat penyaradan dan pendugaan emisi karbon potensial akibat pemanenan kayu secara mekanis di hutan alam tropis khususnya di Indonesia sangat penting dilakukan. Supaya dapat diketahui seberapa besar tingkat kerusakan tegakan tinggal, keterbukaan areal, dan emisi karbon potensial yang terjadi akibat dari pemanenan hutan kayu di hutan alam trofis pada berbagai intensitas penebangan. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi, menghitung dan menganalisis besarnya kerusakan tegakan tinggal (pohon berdiameter 20 cm) akibat pemanenan kayu. 2. Menghitung besarnya keterbukaan areal akibat penyaradan kayu. 3. Menghitung besarnya emisi karbon potensial akibat pemanenan kayu (penebangan dan penyaradan). 1.3 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mendapatkan informasi mengenai besarnya kerusakan tegakan tinggal, keterbukaan areal akibat penyaradan, dan emisi karbon potensial akibat pemanenan hasil hutan kayu di areal kerja IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera. 2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan kepada perusahaan untuk menetapkan sistem pemanenan yang baik agar tercipta pengelolaan hutan lestari.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Sivikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) Menurut Darjadi dan Harjono (1976) diacu dalam Indryanto (2008) sistem silvikultur adalah proses pemeliharaan, penebangan, pergantian suatu tegakan hutan untuk menghasilkan kayu atau hasil hutan lainnya dalam bentuk tertentu. Sistem silvikultur (Tebang Pilih Tanam Indonesia) TPTI adalah serangkaian tindakan yang dilakukan secara berencana terhadap tegakan tidak seumur untuk memacu pertumbuhan tegakan sesuai dengan keadaan hutan dan tapaknya, sehingga terbentuk tegakan tertata, yakni optimal dan lestari. Tujuan TPTI adalah terbentuknya struktur dan komposisi tegakan hutan alam tak seumur yang optimal dan lestari sesuai dengan sifat-sifat biologi dan keadaan tempat tumbuh aslinya. Hal ini ditandai dengan wujud tegakan yang mengandung jumlah pohon, tiang, permudaan jenis-jenis niagawi dengan mutu dan produktivitas tinggi, didampingi oleh sejumlah jenis pohon lainnya sehingga memenuhi tingkat keanekaragaman hayati yang diinginkan. Pelaksanaan sistem silvikultur TPTI dalam pengusahaan hutan dimaksudkan untuk mengatur kegiatan penebangan dan pembinaan hutan alam produksi yang mempunyai jumlah pohon inti minimal 25 pohon per hektar. Pohon inti adalah pohon jenis komersial berdiameter 20 cm yang akan membentuk tegakan utama yang akan ditebang pada rotasi tebangan berikutnya. Pohon inti yang ditunjuk, diutamakan terdiri dari pohon-pohon komersil yang sama dengan pohon yang ditebang. Seandainya jumlahnya masih kurang dari 25 pohon per hektar dapat ditambah dari jenis kayu lain (Departemen Kehutanan 1993). Sasaran sistem TPTI adalah tegakan hutan alam produksi tidak seumur dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Untuk mencapai tujuan pelaksanaan TPTI, Departemen Kehutanan (1993) membuat acuan sebagai berikut : 1. Pengaturan komposisi jenis pohon di dalam hutan yang diharapkan dapat lebih menguntungkan baik ditinjau dari segi ekologi maupun ekonomi.

2. Pengaturan struktur/kerapatan tegakan yang optimal di dalam hutan yang diharapkan dapat memberikan peningkatan produksi kayu bulat dari tegakan sebelumnya. 3. Terjaminnya fungsi hutan dalam rangka pengawetan tanah dan air. 4. Terjaminnya fungsi perlindungan hutan. Sistem silvikultur TPTI merupakan sistem yang paling sedikit mengubah ekosistem di hutan produksi yang merupakan hutan alam campuran tak seumur dibandingkan dengan sistem silvikultur lainnya. Sistem TPTI diharapkan menjadi modifikasi dari peristiwa alami di dalam hutan dengan cara menyingkirkan pohon-pohon yang tua agar ruang yang dipakai dapat dimanfaatkan oleh pohonpohon muda yang masih produktif (Departemen Kehutanan 1993). 2.2 Pemanenan Kayu Pemanenan kayu sebagai bentuk kegiatan pengelolaan hutan yang pada dasarnya merupakan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan untuk mengubah pohon dari hutan dan memindahkan ke tempat penggunaan/pengolahan dengan melalui tahapan perencanaan pembukaan wilayah hutan (PWH), pemotongan pohon, penyaradan, pengangkutan, dan pengujian sehingga bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan kebudayaan masyarakat berdasarkan prinsip kelestarian (Elias 1998). Ilmu dan teknologi terus berkembang terkait pemanenan hutan, sehingga memunculkan konsekuensi perubahan pendekatan manajemen hutan dari prinsip kelestarian hasil kepada prinsip pembangunan hutan lestari. Menurut Elias (2002) yang diacu dalam Amulqu (2008) arah perkembangan pemanenan kayu adalah sebagai berikut : 1. Pengertian pemanenan kayu mengalami perluasan yang lebih menekankan pada perencanaan sebelum pemanenan, supervisi teknik dan pencegahan kerusakan lebih lanjut. 2. Usaha memperpendek rantai tahapan pemanenan kayu. 3. Menerapkan sistem pemanenan kayu sesuai dengan klasifikasi fungsional lapangan di bidang kehutanan (pengembangan expert system). 4. Mengintegrasikan pengolahan kayu primer ke dalam tahapan pemanenan kayu.

5. Penciptakan peralatan pemanenan kayu dengan perhatian ditekankan pada keunggulan produktivitas tinggi, keunggulan biaya, menekan kerusakan lingkungan dan keselamatan kerja. Menurut Budiaman (2003), diacu dalam Almulqu (2008) komponen utama pemanenan kayu umumnya terdiri dari 5 kegiatan, yaitu : penebangan pohon, pembagian batang, penyaradan, pemuatan, dan pengangkutan. Selain itu pada tahapan tertentu misalnya penebangan terdapat kegiatan tambahan, yaitu : pemotongan ujung, pangkal kayu, dan pemotongan cabang. Sistem pemanenan yang banyak diterapkan pada saat ini di hutan alam adalah sistem mekanis. Sistem pemanenan mekanis merupakan sistem pemanenan kayu dengan menggunakan mesin-mesin pemanenan kayu dengan teknologi yang lebih maju. Dalam sistem pemanenan mekanis sejak dari tahap penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pembagian batang, serta penyaradan dan pengangkutan dilakukan secara mekanis. Sistem ini pada umumnya diterapkan pada pekerjaan yang berskala besar seperti pemanenan kayu di hutan alam. Dalam merekayasa sistem dan teknik pemanenan kayu selain aspek teknis, aspek sosial, ekonomis dan lingkungan juga harus dipertimbangkan terutama aspek penciptaan lapangan kerja baru (Elias 2002). Menurut Sessions (2007) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kegiatan pemanenan kayu di hutan alam tropis yaitu 1) Iklim, intensitas terjadinya hujan, kering dan lengas dalam satu tahun mempengaruhi pemilihan alat-alat yang akan digunakan, lamanya kegiatan dan produktivitas pekerja; 2) Topografi, topografi dalam hutan keadaannya bervariasi dari keadaan datar hingga berbukitbukit; 3) Tanah, tanah yang lunak dan basah memiliki daya dukung yang kurang baik terhadap pembuatan akses jalan darat sehingga membutuhkan perlakuan khusus dan pada akhirnya menimbulkan biaya yang besar; dan 4) Jenis/spesies, tajuk pohon bersifat rapat atau berdekatan dengan tajuk pohon lain yang dihubungkan oleh tumbuh-tumbuhan merambat dan liana. Pemanenan kayu di hutan alam harus direncanakan dengan baik dan optimal. Karena hutan tidak hanya sumber kayu yang berharga tetapi juga menyediakan berbagai hasil hutan bukan kayu (HHBK) serta yang utama jasa lingkungan, prinsip manajemen hutan lestari untuk memanen sumber daya hutan

alam (termasuk HHBK) tanpa mengorbankan nilai sosial dan ekologinya. Pemanenan secara mekanis, jika tidak terkendali dapat mengakibatkan efek merusak yang tinggi pada struktur hutan, komposisi dan kapasitas regenerasi. Meminimalkan efek kerusakan pemanenan kayu harus dilakukan karena menjadi salah satu persyaratan utama untuk mencapai pengelolaan hutan lestari. Selain itu, dapat diketahui bahwa mengurangi kerusakan akibat pemanenan pada hutan dan tanah dapat memperpendek panjang siklus penebangan karena dapat memastikan regenerasi alam yang lebih baik dan pertumbuhan jenis komersial yang diinginkan (Putz, 1994 diacu dalam Sist et al. 1997). Menurut Sularso (1996) cara/teknik pemanenan kayu terkendali yang berpedoman pada TPTI dan ketentuan yang ada, diharapkan dapat meningkatkan produksi kayu, mengurangi kerusakan tegakan tinggal, memperkecil rumpang akibat penebangan dan keterbukaan lantai hutan akibat penyaradan serta limbah pemanenan kayu. Cara ini dipakai sebagai upaya memperkecil dampak lingkungan dan tuntutan prinsip kelestarian untuk menyongsong berlakunya ecolabelling serta penangkalan kampanye anti penggunaan kayu tropis. Hutan alam yang dipanen dapat mengakibatkan penurunan baik secara kualitas (degradasi) maupun kuantitas (deforestasi). Degradasi hutan adalah penurunan kualitas hutan akibat adanya perlakuan yang bersifat merusak hutan tersebut, sehingga hutan mengalami penurunan kemampuannya. Terkait degradasi yang menimbulkan emisi karbon, UNFCCC (2001) menyatakan bahwa degradasi dapat didefinisikan sebagai penurunan stok karbon hutan yang masih termasuk sebagai lahan hutan, sedangkan IPCC (2006) mendefinisikan degradasi adalah emisi bersih akibat kegiatan manusia selama periode tertentu dari hutan yang menyebabkan berkurangnya tutupan tajuk tetapi belum disebut sebagai deforestasi. Laju deforestasi dan degradasi hutan di hutan tropis sudah sangat mengkhawatirkan yang berpengaruh terhadap proses penyerapan CO 2 dari atmosfir yang dapat mempengaruhi kondisi iklim global, sehingga menimbulkan efek gas rumah kaca (GRK). Pengurangan deforestasi dan degradasi hutan merupakan langkah ke depan untuk stabilisasi konsentrasi GRK. Deforestasi dari hutan tropis diperkirakan menyumbang 15-35% dari global emisi tahunan CO 2.

Diperkirakan sekitar 350-430 GtC (Giga ton Carbon) saat ini tersimpan di hutan tropis dan dapat diemisikan ke atmosfir melalui peningkatan deforestasi dan degradasi hutan (Laporte et al. 2008). Begitu juga dengan kondisi hutan alam tropis di Indonesia yang juga mengalami laju kerusakan yang tinggi setiap tahunnya. Menurut Lasco (2006) hutan yang tidak dipanen mempunyai stok karbon sebesar 258 ton C/ha, 34% stok karbonnya terdapat dalam bentuk karbon organik tanah. Kira-kira 98% stok karbon diatas tanah terdapat pada pohon yang DBH 19,5 cm. Setelah pemanenan hutan, stok karbon di atas tanah akan berkurang sekitar 50% (100 ton C/ha). Selama siklus tebang 35 tahun, hutan yang telah dipanen akan mengalami perningkatan stok karbon 1,4 ton C/ha. Pada penebangan berikutnya, hutan dapat kembali pulih sebesar 70% dari stok karbon awal. Sekitar 40% dari stok karbon pada kayu diubah menjadi kayu gergajian dan kayu lapis atau dijual sebagai log dan Sekitar 60% yang tinggal dilepaskan ke udara sebagai karbon dioksida (CO 2 ) melalui pembakaran dan dekomposisi. 2.3 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kerusakan tegakan tinggal adalah kerusakan akibat pemanenan kayu pada tegakan tinggal, kerusakan tersebut dapat berupa luka-luka pada pohon berdiri, tumbang, atau roboh, patah batang atau tajuk dan diperkirakan pohon tersebut tidak dapat lagi tumbuh dengan normal, kerusakan tanah dan lingkungan (Muhdi 2001). Teknik pemanenan sangat mempengaruhi besarnya kerusakan tegakan tinggal dalam areal pemanenan. Teknik conventional logging akan menyebabkan kerusakan yang sangat besar. Sedangkan teknik reduce impact logging (RIL) dapat menekan kerusakan tegakan tinggal tersebut. Menurut Elias (1995) teknik konvensional konvensional mengakibatkan kerusakan lingkungan yang berat, yang disebabkan penebangan yang kurang baik, teknik pelaksanaan yang salah dan lemah supervisi dan kontrol. Menurut Sularso (1996) penebangan dengan sistem TPTI menyebar dalam areal yang luas bergantung pada keberadaan/posisi kayu komersial yang ditebang. Kerusakan tegakan tinggal tidak dapat dihindari meski hanya menebang satu pohon, karena sebelum mencapai tanah pohon yang ditebang telah menghempas dan menimpa pohon-pohon lain serta permudaan pada strata di bawahnya (tiang

dan pohon, pancang serta semai). Semakin besar jumlah dan diameter pohon ditebang, terlebih lagi tidak didukung dengan cara pemanenan kayu yang mengikuti ketentuan/pedoman yang ada, atau mengandalkan pengalaman para logger saja akan meyebabkan semakin besar kerusakan tegakan tinggal, rumpang, keterbukaan lantai hutan yang mencapai ratusan meter persegi dan limbah pemanenan kayu. Kerusakan hutan akibat pemanenan langsung dapat berupa rusak, lukaluka, rebah pada tiang dan pohon berdiri akibat penebangan dan penyaradan kayu. Kerusakan tidak langsung berupa kerusakan tegakan tinggal yang tidak dapat dihindarkan dan keterbukaan lantai hutan akibat penyaradan (Sularso 1996). Sementara itu, menurut Sastrodimedjo dan Radja (1976) dampak dari kegiatan pemanenan kayu di hutan alam tropis salah satunya adalah dapat mengakibatkan kerusakan terhadap vegetasi yang ditinggalkan, antara lain kerusakan tegakan tinggal, seperti pada anakan, pancang, tiang dan pohon. Kemudian juga terjadi perubahan struktur dan komposisi serta jumlah jenis dalam hutan. Kerusakan tegakan tinggal adalah kerusakan yang terjadi pada bagian tegakan yang sebenarnya tidak termasuk dalam rencana untuk dipanen hasilnya pada waktu itu. Kerusakan-kerusakan itu, antara lain : pohon roboh, pohon berdiri tapi kulit rusak, batang pecah/belah, tajuknya rusak, dan dapat mengganggu perkembangan pohon atau bahkan tidak dapat tumbuh lagi ke keadaan normal/semula. Berikut bentuk dan tingkat kerusakan tegakan tinggal. Tabel 1 Beberapa bentuk dan tingkat kerusakan yang terjadi pada individu pohon Bentuk Kerusakan Kondisi Batang Tingkat Kerusakan Berat Sedang Ringan Patah batang - - Pecah batang - - Roboh, Miring < 45 Condong/miring > 45 - Luka batang > ½ Luka batang 1/4-1/2 Luka batang 1/4-1/2 panjang luka batang < 1,5 m Kondisi Tajuk > 50% rusak 30-50% rusak < 30% rusak Kondisi Banir/akar > 1/2 rusak/terpotong 1/3-1/2 rusak/terpotong <1/3 rusak/terpotong Sumber : Elias (1993)

Menurut Elias (1998) tingkat kerusakan vegetasi tegakan tinggal ditetapkan berdasarkan perbandingan antara jumlah pohon yang rusak akibat kegiatan pemanenan kayu dengan jumlah pohon yang terdapat di dalam areal tersebut sebelum pemanenan dikurangi jumlah pohon yang dipanen. Tingkat kerusakan dapat digolongkan atas tiga yaitu kerusakan berat apabila kerusakan tegakan tinggal lebih besar dari 50%, kerusakan sedang apabila 25-50%, dan kerusakan ringan apabila kurang dari 25%. Jumlah kerusakan tegakan tinggal dipengaruhi oleh besarnya intensitas pemanenan yang dilakukan. Menurut Feldpausch et al. (2005) meningkatan intensitas pamanenan dengan menambah jenis-jenis pemanenan atau mengurangi diameter minimum yang dipanen untuk menambah jumlah pohon yang dipanen dapat meningkatkan jumlah pohon yang rusak dan keterbukaan areal per hektar pemanenan. Kerusakan tegakan tinggal di hutan alam juga dapat diklasifikasikan menurut Feldpausch et al. (2005) sebagai berikut : Tabel 2 Klasifikasi kerusakan tegakan tinggal menurut Feldpausch et al. (2005) Kelas kerusakan I II III IV V VI VII VIII IX Deskripsi kerusakan Condong < 2 m kulit hilang > 2 m kulit hilang < 25% tajuk rusak > 25-50% tajuk rusak > 50-75% tajuk rusak > 75% tajuk rusak Patah batang Roboh Menurut Feldpausch et al. (2005) mengatakan bahwa kerusakan tinggal akibat pemanenan pada intensitas penebangan 1,1-2,6 pohon/ha hampir 50% mengalami batang patah dan roboh. Pohon yang mengalami kerusakan berat mencapai 60% (kelas VII, VIII, dan IX). Kerusakan dalam bentuk patah batang atau roboh terjadi pada kelas diameter menengah dengan DBH rata-rata 18 dan 19 cm. Tingkat kerusakan tegakan tinggal di hutan alam tropis sangat dipengaruhi oleh teknik pemanenan kayu yang digunakan. Sistem pemanenan tradisional atau yang lebih dikenal dengan conventional logging akan mengakibatkan tingkat

kerusakan yang besar. Sedangkan sistem pemanenan reduce impact logging dapat menekan kerusakan tegakan tinggal hampir 50% lebih kecil dibandingkan dengan teknik conventional logging. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa dampak pemanenan hutan alam di Indonesia diakibatkan oleh kegiatan penebangan dan penyaradan yang menyebabkan kerusakan tegakan tinggal sebesar 25-45% dan keterbukaan areal sebesar 20-35% (Elias 1998). 2.4 Keterbukaan Areal Akibat Penyaradan Menurut Murdiyarso et al. (1994) penebangan hutan akan menyebabkan terbukanya permukaan tanah dari radiasi dan cahaya matahari. Dampak langsung adalah meningkatnya suhu tanah dan turunnya kadar air tanah. Dampak langsung lainnya dari kegiatan penebangan hutan adalah menurunnya cadangan karbon atas permukaan (above-ground carbon stock) dan selanjutnya akan mengurangi/meyusutkan cadangan karbon bawah permukaan (below-ground carbon stock). Keterbukaan tanah atau lahan pada pemanenan kayu adalah terbukanya permukaan tanah karena lapisan serasah yang menutupi tanah terkelupas karena terdongkel oleh pohon-pohon yang ditebang dan yang roboh, terkikis dan tergusur oleh traktor sewaktu penyaradan, pembuatan jalan sarad, dan pembuatan tempat pengumpulan kayu sementara (TPn) (Amir 1996). Keterbukaan lantai hutan akibat penyaradan dapat dilihat dalam waktu yang agak lama, meski sebagian besar tertutup oleh tanaman herba dan pohonpohon muda. Vegetasinya sangat berbeda dengan hutan di sekitarnya dan sering kelihatan sebagai bakas roda atau jalan setapak yang terbuka di dalam hutan. Penggunaan mesin-mesin (alat berat) pada penyaradan mengekspos tanah terhadap proses fisik dan kimia yang kompleks, yang sebagian besar ditentukan oleh komposisi dan struktur tanah, flora dan fauna yang ada dalam tanah serta karakteristik mesin yang digunakan (Hendrison 1990, diacu dalam Sularso 1996). Menurut Elias et al. (1993), diacu dalam Sularso (1996) keterbukaan lantai hutan dan area hutan pada sistem silvikultur TPTI dengan intensitas pemanenan 5 11 pohon terlihat semakin banyak pohon komersial yang ditebang, maka semakin luas keterbukaan lantai hutan, terlebih lagi bila letak tumbuhnya pohon komersial tersebut menyebar. Rata-rata keterbukaan tanah karena penebangan satu pohon adalah 1,095% (109,6 m 2 ) dan untuk penyaradan rata-rata adalah 2,565%

(265,5 m 2 ) (Ruchanda 1993, diacu dalam Sularso 1996). Sedangkan menurut Elias (1993) diacu dalam Amir (1996) luas keterbukaan tanah akibat penebangan per pohon rata-rata 142,17 m 2 dan untuk penyaradan per pohon rata-rata 205,33 m 2. Keterbukaan tanah akibat penyaradan dan pembuatan jalan sarad adalah 14,19% per hektar, akibat penebangan 2,31% per hektar (Butar-Butar 1991, diacu dalam Amir 1996). 2.5 Biomassa dan Cara Pendugaannya Biomassa merupakan jumlah total dari bahan organik hidup yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per hektar (Brown 1997). Menurut Whitten et al. (1984) biomassa hutan adalah jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk seluruh atau sebagian tubuh organisme, produksi atau komunitas dan dinyatakan dalam berat kering per satuan luas (ton/ha). Dalam Smith et al. (2004) diacu dalam Kusuma (2009) disebutkan bahwa biomassa adalah massa dari bagian vegetasi yang masih hidup, yaitu : batang, cabang, tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim. Nekromassa merupakan masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan atau telah tumbang, tunggak, ranting, dan serasah yang terlapuk. Karbon rata-rata dalam komponen biomassa batang utama, cabang, akar, ranting, dan daun pohon A. mangium masing-masing sebesar 61,38%, 50,53%, 47,99%, 41,04%, dan 28,78%. Data ini menunjukkan adanya perbedaan kadar karbon dalam biomassa komponen-komponen pohon. Kadar karbon tertinggi terdapat dalam biomassa batang utama dan kadar karbon terendah terdapat dalam biomassa daun (Elias 2010). Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap karbondioksida dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Jumlah biomassa di dalam hutan adalah hasil dari perbedaan antara produksi melalui fotosintesis dengan konsumsi melalui respirasi dan proses penebangan (Whitten et al. 1984). Penghentian deforestasi, reduce impact logging (RIL), dan perbaikan pengelolaan hutan pada biomassa hidup (pohon) menjadi sorotan dalam pengurangan emisi karbon. Pohon adalah subjek dalam menyerap dan sekaligus stok karbon yang besar. Selain itu, pohon juga akan menyebabkan emisi yang

besar apabila dilakukan penebangan, terjadi degradasi dan deforestasi. Penebangan akan mengurangi biomassa hutan yang dapat berasal dari pohon yang ditebang, pohon yang rusak, dan tumbuhan bawah (biomassa diatas permukaan). Biomassa di atas permukaan tanah adalah berat bahan organik per unit area pada waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produktifitas, umur tegakan dan distribusi organik. Pendugaan biomassa hutan dibutuhkan untuk mengetahui perubahan cadangan karbon untuk tujuan lain. Pendugaan biomassa di atas permukaan tanah sangat penting untuk mengkaji cadangan karbon dan efek dari deforestasi dan penyimpanan karbon dalam keseimbangan karbon secara global (Ketterings et al. 2001) Menurut Brown (1997) ada dua pendekatan untuk menduga biomassa dari pohon, yaitu : pendekatan pertama berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian diubah menjadi kerapatan biomassa (ton/ha), sedangkan pendekatan kedua dengan menggunakan persamaan regresi biomassa atau lebih dikenal dengan persamaan allometrik. Persamaan allometrik digunakan untuk mempermudah pendugaan biomassa berdasarkan parameter pohon hidup dengan mengukur dimensi pohon atau tegakan yang mudah diukur, biasanya menggunakan diameter setinggi dada (DBH) sebagai dasar pendugaan. Metode ini menggunakan biomassa sebagai fungsi dari diameter pohon dengan persamaan sebagai berikut : Keterangan : Y = Biomassa pohon (kg) D = Diameter setinggi dada (130 cm) a dan b merupakan konstanta Biomassa di atas tanah (Y) = a D b Menurut Ketterings et al. (2001) metode yang paling akurat dalam pengukuran biomassa tegakan di atas permukaan tanah adalah dengan cara menimbang biomassa pohon secara langsung di lapangan. Tetapi metode tersebut membutuhkan banyak waktu, sangat merusak, dan pada umumnya terbatas pada area yang sempit serta ukuran pohon yang kecil. Pendugaan biomassa meggunakan metode non destructive dengan allometrik bisa lebih cepat dilaksanakan dan area yang lebih luas bisa dijadikan contoh. Persamaan

allometrik sering digunakan pada studi-studi ekologi dan inventarisasi hutan dalam menduga hubungan antara diameter setinggi dada (DBH) atau variabelvariabel lain yang mudah diukur dengan volume pohon atau biomassa pohon. Penetapan persamaan allometrik yang akan digunakan dalam pendugaan biomassa merupakan tahapan penting proses pendugaan biomassa. Setiap persamaan allometrik dikembangkan berdasarkan kondisi tegakan dan variasi jenis tertentu yang berbeda satu dengan yang lain. Penelitian Brown (1997) telah menghasilkan persamaan allometrik untuk menduga biomassa vegetasi di atas permukaan tanah di hutan alam tropis. Pada Tabel 3 disajikan beberapa persamaan allometrik yang telah dibuat untuk menduga biomassa di hutan alam tropis berdasarkan perbedaan curah hujan. Persamaan tersebut dikembangkan dari data 371 pohon dari 3 daerah tropis dengan rentang diameter antara 5-148 cm yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Tabel 3 Persamaan allometrik untuk menduga biomassa di hutan alam tropis berdasarkan zona iklim Zona Iklim Kering Lembab Persamaan Kisaran Dbh (cm) Jumlah Contoh Pohon Y = exp[-1,996 + 2,32 * ln(d)] 5 40 28 89 Y = 10^[-0,535 + log 10 (BA)] 3 30 191 94 R 2 (%) Y = 42,69 12,800(D) + 1,242(D 2 ) 84 5 148 170 Y = exp[-2,134 + 2,530 * ln(d)] 97 Basah Y = 21,297 6,953(D) + 0,740(D 2 ) 4 112 169 92 Sumber : Brown (1997) Keterangan : Y = Biomassa per pohon (kg) D = Diameter pohon setinggi dada (cm) BA = Basal area (cm 2 ) Persamaan tersebut diperuntukkan untuk tiga zona iklim yang berbeda, yaitu kering, lembab dan basah. Suatu tempat dikatakan masuk dalam zona kering apabila curah hujan lebih rendah dibandingkan dengan potensial evapotranspirasi (curah hujan <1500 mm/th dan periode kering selama beberapa bulan). Zona lembab adalah zona yang curah hujannya mendekati seimbang dengan potensial evapotranspirasi (curah hujan antara 1500-4000 mm/th dengan tanpa periode kering atau periode kering sangat pendek). Zona basah mempunyai curah hujan

yang lebih besar dari potensial evapotranspirasi (curah hujan >4000 mm/th dan tanpa periode kering). Dalam inventarisasi karbon hutan, terdapat setidaknya ada empat pool karbon (carbon pool) yang diperhitungkan. Keempat pool karbon tersebut yaitu : biomassa atas permukaan, biomassa bawah permukaan, bahan organik mati dan karbon organik tanah. Biomassa atas permukaan adalah semua material hidup di atas permukaan. Termasuk bagian dari pool karbon ini yaitu : batang, tunggul, cabang, kulit kayu, biji dan daun dari vegetasi baik dari strata pohon maupun dari strata tumbuhan bawah di lantai hutan. Biomassa bawah permukaan adalah semua biomassa dari akar tumbuhan yang hidup. Pengertian akar ini berlaku hingga ukuran diameter tertentu yang ditetapkan. Hal ini dilakukan sebab akar tumbuhan dengan diameter yang lebih kecil dari ketentuan cenderung sulit untuk dibedakan dengan bahan organik tanah dan serasah. Bahan organik mati meliputi kayu mati dan serasah. Serasah dinyatakan sebagai semua bahan organik mati dengan diameter yang lebih kecil dari diameter yang telah ditetapkan dengan berbagai tingkat dekomposisi yang terletak di permukaan tanah. Kayu mati adalah semua bahan organik mati yang tidak tercakup dalam serasah baik yang masih tegak maupun yang roboh di tanah, akar mati, dan tunggul dengan diameter lebih besar dari diameter yang telah ditetapkan. Karbon organik tanah mencakup karbon pada tanah mineral dan tanah organik termasuk gambut. Karbon di hutan alam dapat diduga dengan menggunakan pendugaan biomassa hutan. Brown (1997) menyatakan bahwa umumnya 50% dari biomassa hutan tersusun atas karbon. IPCC (2006) menyatakan bahwa konsentrasi karbon dalam bahan organik adalah sekitar 47%, dengan demikian estimasi jumlah karbon tersimpan dapat dihitung dengan mengalikan total berat massanya dengan konsentrasi karbon dengan cara total biomassa dikalikan dengan konsentrasi karbon dalam biomassa sebesar 0,47. Untuk memperhitungkan besarnya emisi karbon potensial akibat kegiatan pemanenan kayu maka dapat diduga dari besarnya biomassa hutan yang terdapat pada pohon yang dipanen/ditebang, pohon yang mengalami kerusakan akibat kegiatan penebangan dan dari pohon yang mengalami kerusakan akibat kegiatan penyaradan.

Total emisi karbon tahunan merupakan fungsi dari beberapa faktor, yaitu : 1) luas areal yang ditebang per tahun; 2) Jumlah kayu yang dipanen per unit area (ha) per tahun; 3) Jumlah limbah per hektar per tahun yang merupakan sisa penebangan, pohon yang rusak/mati akibat penebangan, kematian pohon akibat jalan sarad, jalan angkut, TPn, logyard; 4) Biomassa kayu yang dipakai lama sebagai produk kayu (GOFC-GOLD 2009).

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Propinsi Sumatera Barat. Penelitian dilakukan pada bulan Nopember 2011. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini yaitu : alat tulis, kalkulator, Phiband meter untuk mengukur diameter pohon, Hagahypsometer untuk mengukur tinggi pohon, pita meter untuk mengukur plot penelitian, kompas untuk menunjukkan arah, Global Positioning System (GPS) untuk mengetahui jalur penyaradan dan luasan keterbukaan areal, cat dan kuas untuk menandai pohon dalam jalur pengukuran dan pengamatan, patok untuk menandai batasbatas jalur dan petak pengamatan, seperangkat komputer dengan Software Microsoft Excel dan Mini Tab 14 untuk mengolah data, serta kamera untuk dokumentasi. Bahan yang digunakan, yaitu tegakan hutan, LHC, hasil ITSP ulang pada plot contoh, peta blok RKT 2011, peta pohon petak 264 dan 265 RKT 2011, dan tally sheet. 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Metode Kerja Langkah awal dalam melaksanakan penelitian ini adalah dengan cara menentukan petak tebang yang akan dilakukan penebangan. Petak yang terpilih dibuat plot berukuran 100 m x 100 m sebanyak 10 plot secara purposive sampling yang peletakannya secara diskontinyu sesuai jaringan jalan sarad dan lokasi mengikuti kegiatan pemanenan dalam petak tebang. Pendugaan emisi karbon akibat pemanenan kayu dilakukan dengan cara mengukur DBH pohon 20 cm sebagai parameter penduga pada persamaan allometrik yang disusun Brown (1997) baik yang ditebang/dipanen, pohon yang mengalami kerusakan berat akibat penebangan dan penyaradan. Kerusakan setelah penyaradan dilakukan dengan mengikuti jalur sarad pohon yang ditebang dan pengukuran keterbukaan

areal akibat pembangunan prasarana PWH (jalan sarad) dilakukan sesuai dengan peta areal kerja dan pengukuran langsung di lapangan. 3.3.2 Metode Pengumpulan Data Tahapan kerja yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut : 1. Menentukan plot contoh a. Melakukan observasi lokasi tebangan dengan melihat peta kerja IUPHHK HA yang masuk dalam RKT (Rencana Kerja Tahunan) yang akan dilakukan kegiatan penebangan. b. Menetapkan plot contoh dengan cara purposive sampling (pemilihan contoh secara sengaja dengan pertimbangan tertentu/mengikuti pola jalan sarad) sebanyak 10 plot dengan luas masing-masing plot sebesar 100 m x 100 m (1 ha). Plot yang akan diukur terletak pada petak yang akan dilakukan penebangan. Pembuatan plot dilakukan dengan metode jalur dengan ukuran 20 m x 100 m, seperti yang terlihat pada Gambar 1. 20 m 100 m 100 m Gambar 1 Bentuk dan ukuran petak contoh dalam penelitian. 2. Inventarisasi pohon pada plot contoh a. Memeriksa kebenaran LHC (Laporan Hasil Cruising) dengan cara mengambil beberapa pohon untuk dihitung ulang dan dicocokkan dengan data yang terdapat pada LHC.

b. Inventarisasi ulang pohon yang berdiameter lebih dari 20 cm pada plot contoh (10 plot). Mencatat nama/jenis pohon, nomor pohon, dan mengukur diameter setinggi dada (1,3 m di atas permukaan tanah), Tbc, dan bagi pohon-pohon berbanir diameter pohon diukur pada ketinggian 20 cm di atas banir. 3. Penebangan a. Memperkirakan arah rebah b. Menghitung dan mengukur jumlah, jenis, diameter, Tbc dan pohon yang ditebang/dipanen pada setiap plot. c. Menghitung dan mengukur jumlah, jenis, dan diameter, Tbc pohon yang rusak pada setiap plot akibat kegiatan penebangan. d. Menghitung dan mengukur bentuk kerusakan pohon : 1) Jenis kerusakan (rusak tajuk, luka batang, patah batang, pecah batang, roboh, miring, dan rusak banir) 2) Menghitung persentase kerusakan tegakan tinggal dengan cara membandingkan data jumlah pohon sebelum penebangan dengan sesudah penebangan. 3) Mengkategorikan/mengelompokan kerusakan yang akan dikelompokkan berdasarkan kategori kerusakan pohon yaitu kerusakan ringan, sedang atau berat. 4. Penyaradan a. Menghitung dan mengukur jumlah, jenis, dan diameter (DBh), Tbc pohon yang rusak pada setiap plot akibat kegiatan penyaradan. b. Menghitung persentase kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan penyaradan. 5. Jalan Sarad a. Mengukur panjang dan lebar jalan sarad lalu hitung luasnya sehingga mendapatkan keterbukaan areal akibat pembuatan jalan sarad. b. Melakukan tracking jalan sarad dengan menggunakan GPS dan pengukuran langsung di lapangan.

3.3.3 Data Sekunder Data sekunder yang diambil adalah berupa data potensi tegakan sebelum dilakukannya kegiatan penebangan yang diperoleh dari laporan hasil Cruising (LHC), hasil ITSP petak penelitian, data kondisi umum perusahaan, peta areal kerja pengusahaan hutan, peta RKT 2011, peta pohon petak tebang 264 dan 265 RKT 2011 dan daftar nama pohon yang berada di kawasan IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera. 3.4 Analisis Data 3.4.1 Perhitungan Volume Tegakan Perhitungan volume tegakan dilakukan untuk mengetahui besarnya potensi volume tegakan yang terdapat pada plot penelitian serta untuk mengetahui seberapa besar volume pemanenan yang dilakukan. Volume tegakan per hektar diperoleh dengan cara merata-ratakan volume tegakan yang terdapat pada seluruh plot penelitian dan volume tegakan tiap plot ditentukan melalui penjumlahan nilai volume pohon-pohon yang ditemukan pada plot tersebut. Untuk menentukan besarnya volume dilakukan dengan menggunakan rumus : V = ¼. π. D 2. H bc. f Keterangan : V = Volume tegakan (m 3 ) D = Diameter pohon (cm) H bc = Tinggi pohon bebas cabang (m) π = Phi (3,14) f = Faktor angka bentuk (0,7) 3.4.2 Perhitungan Biomassa dan Karbon Perhitungan biomassa yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan persamaan allometrik biomassa yang disusun oleh Brown (1997) yang diterapkan pada zona iklim lembab, sebagai berikut : Y = exp [-2,134 + 2,530 * ln(d)] Keterangan : Y = Biomassa per pohon (Kg) D = Diameter pohon setinggi dada (cm) Kandungan karbon di hutan alam dapat dihitung dengan menggunakan pendugaan biomassa hutan. Brown (1997) menyatakan bahwa umumnya 50% dari

biomassa hutan tersusun atas karbon sehingga dari hasil perhitungan biomassa dapat diubah kedalam bentuk karbon (ton C/ha) yaitu dengan mengalikan nilai biomassa dengan faktor konversi sebesar 0,5. Karbon (C) = B x 0,5 Keterangan : C = Jumlah karbon (ton C/ha) B = Biomassa (ton/ha) Untuk memperhitungkan besarnya emisi karbon potensial akibat kegiatan pemanenan kayu maka dapat diduga dari besarnya karbon yang terdapat pada pohon yang dipanen/ditebang, karbon pada pohon yang rusak akibat penebangan dan karbon pada pohon yang rusak akibat penyaradan. 3.4.3 Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal Beberapa tingkat bentuk kerusakan yang terjadi pada individu pohon menurut Elias (1993) sebagai berikut : 1. Tingkat kerusakan berat a. Patah batang. b. Pecah batang. c. Roboh, tumbang atau miring sudut <45 dengan permukaan tanah. d. Rusak tajuk (>50% tajuk rusak), juga didasarkan atas banyaknya cabang pembentuk tajuk patah. e. Luka batang/rusak kulit (>1/2 keliling pohon atau 300-600 cm kulit mengalami kerusakan). f. Rusak banir/akar (>1/2 banir atau perakaran rusak/terpotong). 2. Tingkat kerusakan sedang a. Rusak tajuk (30-50% tajuk rusak atau 1/6 bagian tajuk mengalami kerusakan). b. Luka batang/rusak kulit (1/4-1/2 keliling pohon rusak atau 150-300 cm kulit rusak). c. Rusak banir/akar (1/3-1/2 banir/akar rusak atau terpotong). d. Condong atau miring (pohon miring membentuk sudut >45 dengan tanah).

3. Tingkat kerusakan ringan a. Rusak tajuk (<30% tajuk rusak). b. Luka batang/rusak kulit (1/4-1/2 keliling dan panjang luka <1,5 m atau kerusakan sampai kambium dengan lebar lebih dari 5 cm, lebih kurang sepanjang garis sejajar sumbu longitudinal dari batang). c. Rusak banir/akar (<1/4 banir rusak atau perakaran terpotong). Kerusakan tegakan tinggal dihitung berdasarkan persentase jumlah pohon yang rusak terhadap jumlah pohon yang seharusnya tinggal dan sehat. Untuk menghitung tingkat kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan dan penyaradan kayu digunakan rumus : K = R P Q 100% Keterangan : K = Tingkat kerusakan tegakan tinggal (%) R = Jumlah pohon yang mengalami kerusakan (pohon/ha) P = Jumlah pohon 20 cm up sebelum penebangan (pohon/ha) Q = Jumlah pohon yang ditebang (pohon/ha) Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan di hutan alam juga dapat dikelompokan berdasarkan Feldpausch et al. (2005), sebagai berikut: 1. Kelas I : condong 2. Kelas II : < 2 m kulit hilang 3. Kelas III : > 2 m kulit hilang 4. Kelas IV : < 25% tajuk rusak 5. Kelas V : > 25-50% tajuk rusak 6. Kelas VI : > 50-75% tajuk rusak 7. Kelas VII : > 75% tajuk rusak 8. Kelas VIII : Patah batang 9. Kelas IX : Roboh 3.4.4 Perhitungan Keterbukaan Areal Akibat Penyaradan Perhitungan keterbukaan areal berasal dari pembuatan jalan sarad pada petak tebangan. Keterbukaan lahan akibat penyaradan adalah luas tanah yang terbuka akibat kegiatan penyaradan pohon yang dilewati oleh bulldozer atau lalu lintas bulldozer menuju lokasi penyaradan. Keterbukaan lahan akibat penyaradan ditentukan dengan mengukur panjang dan lebar jalan sarad pada petak tebangan kemudian dihitung luas jalan sarad tersebut. Penelusuran jalur sarad dilakukan

dengan menggunakan GPS dan meteran. Persentase keterbukaan areal akibat penyaradan dihitung dengan rumus: K = L F 100% Keterangan : K = Persentase keterbukaan areal (%) L = Luas areal yang terbuka (m 2 ) F = Luas aral yang dilayani oleh jalan sarad (m 2 ) 3.4.5 Analisis Hubungan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerusakan Tegakan Tinggal dan Emisi Karbon Potensial Untuk mengetahui pengaruh kegiatan pemanenan kayu terhadap terjadinya kerusakan tegakan tinggal dan emisi karbon potensial, maka dilakukan analisis regresi. Faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap kerusakan tegakan tinggal, yaitu : kelerengan, kerapatan tegakan hutan dan intensitas pemanenan yang dilakukan. Semakin tinggi intensitas pemanenan maka akan semakin besar nilai kerusakannya. Persamaan regresi linier hubungan antara kelerengan, kerapatan tegakan dan intensitas pemanenan terhadap besarnya kerusakan tegakan tinggal dinyatakan dalam persamaan regresi sebagai berikut : Ŷ = b 0 + b 1 X 1 + b 2 X 2 + b 3 X 3 Keterangan : Ŷ = Kerusakan tegakan tinggal (%) X 1 = Kerusakan tegakan tinggal (%) X 2 = Kerapatan tegakan (pohon/ha) X 3 = Kelerengan (%) b 0, b 1,b 2,b 3 merupakan koefisien regresi Faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap besarnya emisi karbon potensial adalah potensi awal tegakan sebelum pemanenan dan intensitas pemanenan yang dilakukan, dan kelerengan. Semakin besar intensitas pemanenan yang dilakukan maka akan semakin besar pula emisi karbon potensial yang ditimbulkan. Persamaan regresi linier hubungan antara potensi awal tegakan sebelum pemanenan dan intensitas pemanenan terhadap besarnya emisi karbon potensial dinyatakan dalam persamaan regresi sebagai berikut :

Ŷ = b 0 + b 1 X 1 + b 2 X 2 Keterangan : Ŷ = Emisi karbon potensial (ton C/ha) X 1 = Intensitas pemanenan (m 3 /ha) X 2 = Potensi awal tegakan sebelum pemanenan (m 3 /ha) b 0, b 1,b 2 merupakan koefisien regresi Analisis data dilakukan dengan menggunakan SoftWare Mini Tab 14. Untuk mengetahui pengaruh peubah X 1, X 2 dan X 3 terhadap persamaan regresi yang dihasilkan, maka dilakukan analisis ragam dan pengujian hipotesis.

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan Areal konsesi hutan PT. Salaki Summa Sejahtera merupakan areal bekas tebangan dari PT. Tjirebon Agung yang berdasarkan SK IUPHHK Nomor 195/Kpts/Um4/1973 memiliki luas areal pemanfaatan 70.000 ha yang berakhir pada tanggal 31 Agustus 1993. PT. Salaki Summa Sejahtera mengajukan permohonan untuk melakukan konsesi hutan/iuphhk di areal tersebut seluas 48.000 ha setelah dikurangi areal konservasi (perluasan Taman Nasional Siberut seluas ±20.000 ha). Berdasarkan surat rekomendasi dari Bupati Kepulauan Mentawai Nomor 552.11/392/Perek-2000 tanggal 9 Nopember 2000 dan surat rekomendasi dari Gubernur Sumatera Barat Nomor 525.26/1465/Perek-2000 tanggal 20 Nopember 2000 mendapat persetujuan pencadangan areal IUPHHK seluas 48.000 ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 102/Menhut-IV/2001 tanggal 30 Januari 2001 dan telaahan yang dilakukan oleh Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan dan Areal Kebun dengan Nomor 136/VIII/KP-4.2.1/2001 yang dihitung ulang dengan planimetris pencadangan areal seluas 49.440 ha yang merupakan areal bebas kepemilikan perusahaan atau tidak tumpang tindih dengan perusahaan lain. Perijinan kajian AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) telah dilakukan dengan menggunakan acuan pada peta pencadangan areal yang telah disahkan Gubernur Sumatera Barat SK.660.1.227.2001 tanggal 18 Juli 2001. Secara administrasi ijin IUPHHK diperoleh, maka diterbitkan SK IUPHHK melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 413/Menhut-II/04 tanggal 19 Oktober 2004 yang berisikan tentang Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) hutan alam atas nama PT. Salaki Summa Sejahtera di Propinsi Sumatera Barat seluas 48.420 ha.

4.2 Letak dan Luas PT. Salaki Summa Sejahtera memiliki luas kawasan hutan sekitar 48.420 ha yang termasuk ke dalam kelompok hutan Siberut. Berdasarkan pembagian wilayah secara administrasi pemerintahan, terletak di dalam wilayah Kecamatan Siberut Utara dan Siberut Barat, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Propinsi Sumatera Barat. Secara geografis wilayah PT. Salaki Summa Sejahtera terletak diantara 98 40 Bujur Timur (BT) sampai dengan 99 15 Bujur Timur (BT) dan 00 95 Lintang Selatan (LS) sampai dengan 01 15 Lintang Selatan (LS). Batas areal kerja PT. Salaki Summa Sejahtera adalah sebagai berikut: 1. Sebelah Utara : Areal Penggunaan Lain (APL) dan Samudera Indonesia 2. Sebelah Timur : Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) dan Areal Penggunaan Lahan Lain (APL) 3. Sebelah Selatan : Taman Nasional Siberut, Hutan Produksi, dan eks HPH Koperasi Andalas Madani Universitas Adalas (UNAND) 4. Sebelah Barat : Samudera Indonesia Berdasarkan Peta Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Sumatera Barat lembar 0614, 0615, dan 0714 skala 1:250.000, areal kerja PT. Salaki Summa Sejahtera termasuk ke dalam fungsi Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 48.420 Ha. Pulau Siberut dengan luas sekitar 403.300 ha memiliki Hutan Produksi sekitar 43% dari total luasnya. Kawasan Lindung yang terdiri dari Hutan Suaka Alam Wisata (HSWA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) yang ditetapkan mencapai 51% dari luas Pulau Siberut yang sebelumnya adalah fungsi hutan HPT, HL dan sebagian HP. Taman Nasional Siberut memiliki luasan 190.500 ha yang merupakan bagian dari Kawasan Suaka Alam, sedangkan sisanya merupakan kawasan budidaya non kehutanan. 4.3 Kondisi Fisik 4.3.1 Topografi dan Kemiringan Lapangan Kondisi topografi areal IUPHHK PT. Salaki Summa Sejahtera diperoleh dari deliniasi Citra Radar (DEM SRTM) dengan skala 1:25.000. Konfigurasi

lapangan areal PT. Salaki Summa Sejahtera berbeda-beda. Persentase pada daerah datar dengan kemiringan lereng 0-8% sebesar 11% atau seluas 5.134 ha. Daerah landai dengan kemiringan lereng 8-15% sebesar 34% atau seluas 16.261 ha, daerah yang agak curam dengan kemiringan 15-25% sebesar 39% atau seluas 19.083 ha, daerah curam dengan kemiringan 25-40% sebesar 14% atau seluas 6.905 ha, dan daerah yang sangat curam dengan kemiringan >40% sebesar 2% atau seluas 1.037 ha. Ketinggian kawasan IUPHHK PT. Salaki Summa Sejahtera berada pada 50-340 mdpl. 4.3.2 Tanah dan Hidrologi Jenis tanah di areal IUPHHK PT. Salaki Summa Sejahtera diperoleh berdasarkan Peta Tanah Sistem Lahan/Kesesuian Lahan, lembar 0614 dan 0615, skala 1:250.000 Provinsi Sumatera Barat dari Pusat Penelitian Tanah dan Pengembangan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, tahun 1987. Jenis tanah dalam kawasan hutan PT. Salaki Summa Sejahtera terdiri dari jenis tanah Podsolik merah kuning 37% atau seluas 18.056 ha, Latosol 32% atau seluas 15.290 ha, dan Aluvial 31% atau seluas 15.074 ha. Areal IUPHHK PT. Salaki Summa Sejahtera termasuk dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Sigep dan DAS Sikabaluan dengan beberapa Daerah Aliran Sungai yaitu DAS Sigep, Sikabaluan, Takungan, Tabekat, Kamumu, Pollainan, Togilitte, Tateku, Simabae dengan cabang-cabang anak sungainya. Sungai Sigep memiliki kedalaman 1-5 m dengan lebar sungai ±15 m. Sungai Sikabaluan ratarata kedalamannya 3 m dengan lebar ±20 m. Aliran sungai-sungai pada areal kerja IUPHHK PT. Salaki Summa Sejahtera mengalir sepanjang tahun. Alur-alur yang hanya mengalir pada musim hujan juga banyak dijumpai dikawasan tersebut. 4.3.3 Iklim Pulau Siberut terletak pada equatorial yang dikelilingi Samudera Hindia dengan kondisi udara yang selalu panas dan lembab. Kondisi iklim ini menyebabkan perubahan cuaca sangat dipengaruhi oleh sirkulasi musim tropis muson dan pengarahan konvergensi intertropis. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson secara umum areal PT. Salaki Summa Sejahtera termasuk dalam iklim tipe A, yakni iklim tropis dengan curah hujan merata

sepanjang tahun. Data curah hujan diperoleh dari Stasiun Metereologi Sicincin, Padang Pariaman (data pengukuran Sikakap) memiliki 11,7 bulan basah dan 0,3 bulan kering dengan nilai Q = 2,65 dan IH (Intensitas Hujan) = 18,24 mm/hh dengan curah hujan rata-rata 386,21 mm/bulan dan curah hujan minimum yang terjadi pada bulan Juni (269,4 mm/bulan) maksimum pada bulan November (478,3 mm/bulan). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 837/Kpts/Um/11/1980, intensitas hujan diatas termasuk ke dalam klasifikasi rendah dengan score 20. 4.3.4 Kondisi vegetasi Menurut perhitungan digitasi peta penutupan lahan yang bersumber dari Peta Citra Landsat TM +7 Band 542 Path 128 Row 61 liputan tanggal 12 Mei 2006 dan 5 Agustus 2005, serta hasil interpretasi ulang dari survai potensi IHMB yang dilakukan pada bulan November 2007 terutama pada daerah tertutup awan dengan memperkirakan adanya aksebilitas penebangan kayu di sepanjang Sungai Sigep maka kondisi penutupan lahan areal IUPHHK PT Salaki Summa Sejahtera yang total luasnya ±48.420 ha terdiri dari hutan primer seluas ±2.491 ha (5%), hutan bekas tebangan seluas ±42.823 ha (89%), dan non hutan 3.106 ha (6%) 4.3.5 Potensi Tegakan Pada PT. Salaki Summa Sejahtera kelas penutupan lahan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : kelas hutan primer, kelas hutan bekas tebangan, dan kelas bukan hutan. Pada kelas hutan primer, fungsi hutan produksi tetap memiliki luasan 1.244 ha dengan buffer zone Taman Nasional Siberut seluas 1.247 ha atau sekitar 5% dari luas total PT. Salaki Summa Sejahtera. Potensi rata-rata per hektar untuk seluruh jenis pohon, yaitu : kelas diameter 20-49 cm sebesar 302,26 m 3 /ha (263,21 batang/ha), kelas diameter 50-59 cm sebesar 182,91 m 3 /ha (38,74 batang/ha), dan untuk kelas diameter 60 cm sebesar 145,54 m 3 /ha (24,21 batang/ha). Kelas hutan bekas tebangan, fungsi hutan produksi tetap memiliki luasan 37.874 ha atau sekitar 89% dari luas total PT. Salaki Summa Sejahtera dengan buffer zone Taman Nasional Siberut seluas 1.949 ha. Potensi rata-rata per hektar untuk seluruh jenis pohon, yaitu : kelas diameter 20-49 cm sebesar 207,07 m 3 /ha

(260,79 batang/ha), kelas diameter 50-59 cm sebesar 87,03 m 3 /ha (20,08 batang/ha). Sementara untuk kelas bukan hutan, fungsi hutan produksi tetap memiliki luasan 3.063 ha dengan buffer zone Taman Nasional Siberut Mentawai seluas 43 ha atau sekitar 6% dari luas total PT. Salaki Summa Sejahtera. Pada umumnya penutupan lahan areal kerja PT. Salaki Summa Sejahtera didominasi oleh pohon-pohon jenis kayu Meranti. Selain Meranti, jenis yang banyak ditemukan, yaitu : Keruing, Katuka, Gut-gut, Ungra, Peiki, Alosit, Tumu, Polenggu dan Dalatkau. Dari sepuluh jenis pohon yang dominan hampir seluruhnya termasuk ke dalam kayu komersil.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Tegakan Sebelum Pemanenan Kegiatan ITSP (Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan) dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan hutan sebelum dilakukannya penebangan. Hasil ITSP plot penelitian menunjukkan kerapatan pohon yang berdiameter lebih dari 20 cm sebanyak 118,6±18,55 pohon/ha. Luas bidang dasar tegakan (LBDS) 12,77 m 2 /ha-25,85 m 2 /ha dengan rata-rata 17,75±4,28 m 2 /ha. Luas bidang dasar dipengaruhi oleh jumlah dan besarnya ukuran diameter setiap pohon yang terdapat pada plot penelitian. Semakin besar jumlah dan ukuran diameter pohon maka semakin besar pula luas bidang dasarnya. Potensi plot penelitian berdasarkan ITSP dapat dilihat dari besarnya volume yang terdapat pada plot penelitian yaitu : 159,40 m 3 /ha-384,35m 3 /ha dengan rata-rata 284,03±71,71m 3 /ha. Kerapatan tegakan untuk pohon inti (DBH 20 cm) dalam tegakan sebesar 97,2 pohon/ha dan Dipterocarpaceae sebesar 31,40 pohon/ha. Berdasarkan klasifikasi kelas diameternya, maka kerapatan tegakan pohon yang paling tinggi berada pada kelas diameter 20-29 cm sebesar 48,50±10,41 pohon/ha dan yang terendah pada kelas diameter 90-99 cm sebesar 1,60±1,17 pohon/ha. Semakin tinggi kerapatan pohon tidak selalu mengakibatkan semakin besar pula potensi volumenya. Meskipun kerapatan pohon paling tinggi berada pada plot 1 namun potensi volume yang paling besar justru berada pada plot 3 yang memiliki potensi volume sebesar 384,35 m 3 /ha. Hal ini disebabkan keadaan pohon-pohon pada plot 3 yang memiliki diameter dan tinggi yang lebih besar dibandingkan plot 1. Potensi volume terendah berada pada plot 2, yaitu : 159,40 m 3 /ha karena di plot 2 ini memiliki kerapatan pohon pada kelas diameter besar ( 50 cm up) yang lebih kecil dibanding plot-plot penelitian lainnya. Data kondisi tegakan pada plot penelitian sebelum dilakukannya kegiatan pemanenan kayu pada plot penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kondisi tegakan sebelum dilakukannya kegiatan pemanenan kayu pada plot penelitian No Plot Kerapatan Tegakan Awal (phn/ha) per Kelas Diameter (cm) 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 70-79 80-89 90-99 100 up Jumlah LBDS (m2) VOL (m 3 ) 1 60 37 24 18 4 0 3 0 3 149 19,99 253,64 2 37 39 17 3 3 3 2 1 1 106 12,77 159,40 3 35 25 28 11 6 5 1 2 9 122 25,85 384,35 4 39 26 24 6 3 4 1 1 1 105 13,31 165,35 5 45 17 15 6 3 7 2 1 1 97 13,97 192,14 6 41 32 23 4 2 4 2 1 2 111 15,42 208,15 7 63 31 30 8 1 1 2 3 7 146 22,61 314,62 8 55 25 19 8 4 3 0 4 6 124 19,79 299,34 9 59 33 16 10 3 1 1 2 3 128 16,44 227,33 10 51 12 14 4 3 4 3 1 6 98 17,40 275,96 Rata-rata 48,50 27,70 21,00 7,80 3,20 3,20 1,70 1,60 3,90 118,6 17,75 248,03 St dev 10,41 8,50 5,60 4,44 1,32 2,10 0,95 1,17 2,88 18,55 4,28 71,72

Jenis Dipterocarpaceae adalah salah satu jenis kayu komersial yang dipanen di IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera dengan kerapatan sebesar 50,00±16,33 pohon/ha, 67,06% dari LBDS tegakan (11,77±3,90 m 2 /ha) dan 63,17% dari volume tegakan (179,45±67,40 m 3 /ha. Kerapatan tertinggi untuk jenis Dipterocarpaceae terdapat kelas diameter 20-29 cm yaitu 30,60% (15,3±7,69 pohon/ha) dan terendah pada kelas 80-89 cm dan 90-99 cm sebesar 3% (1,5±0,85 pohon/ha). Tegakan hutan ini didominasi oleh Dipterocarpaceae karena kerapatan Dipterocarpaceae hampir mencapai 50%. Luas bidang dasar pada pohon inti dalam tegakan sebesar 7,81 m 2 /ha dan jenis Dipterocarpaceae sebesar 2,62 m 2 /ha. Potensi/volume pohon inti dalam tegakan akan terus bertambah sesuai dengan pertumbuhan riap pertahunnya. Luas bidang dasar dasar yang paling besar terdapat pada kelas diameter 100 cm up sebesar (3,88 ±2,89 m 2 /ha) untuk tegakan maupun untuk jenis Dipterocarpaceae. Luas bidang dasar paling rendah terdapat pada kelas diameter 80-89 cm sebesar 0,92±0,51 m 2 /ha untuk tegakan dan pada Dipterocarpaceae sebesar 0,68±0,34 m 2 /ha pada kelas diameter 20-29 cm. Luas bidang dasar ini dipengaruhi oleh jumlah pohon dalam per hektar dan besarnya diameter setinggi dada (DBH) pada setiap pohon. Semakin besar jumlah pohon dan semakin besar DBH pohon per hektar, maka luas bidang dasarnya akan semakin besar. Volume tegakan pada pohon inti sebesar 83,59 m 3 /ha yang hanya 1/3 dari potensi tegakan dan Dipterocarpaceae sebesar 29,39 m 3 /ha yang hanya 1/6 dari potensi total Dipterocarpaceae. Volume tegakan yang paling besar terdapat pada kelas diameter 100 cm up sebesar 27,10% (67,22±53,00 m 3 /ha) dan paling kecil pada kelas diameter 80-89 cm sebesar 6,25% (15,53±8,34 m 3 /ha). Sedangkan untuk jenis Dipterocarpaceae saja memiliki volume yang paling besar yaitu kelas diameter 100 cm up sebesar 35,29% (63,34±56,03 m 3 /ha) dan yang paling kecil terdapat pada kelas diameter 20-29 sebesar 3,57% (6,41±3,70 m 3 /ha). Volume tegakan dan Dipterocarpaceae dipengaruhi oleh besar diameter, panjang bebas cabang, dan jumlah pohon per ha. Walaupun jumlah pohon pada kelas diameter 20-29 cm lebih banyak dari kelas diameter lainnya, akan tetapi memiliki diameter dan panjang bebas cabang yang lebih rendah dibandingkan kelas diameter lainnya, sehingga volumenya yang terkecil.

Stok karbon tegakan sebelum dilakukan pemanenan sebesar 120,14±37,66 ton C/ha dan stok karbon untuk jenis Dipterocapaceae saja sebesar 72,38% (87,35±33,17 ton C/ha) dari stok total karbon tegakan. Stok karbon terbesar dalam tegakan terdapat pada kelas diameter 100 cm up sebesar 29,78% (35,94±26,93 ton C/ha) dan yang paling kecil terdapat pada kelas diameter 60-69 cm sebesar 5,59% (6,75±3,24 ton C/ha). Stok karbon untuk jenis Dipterocarpaceae yang paling besar terdapat pada kelas diameter 100 cm up sebesar 41,14% (35,94±26,93 ton C/ha) dan paling kecil terdapat pada kelas diameter 20-29 cm sebesar 3,17% (2,77±1,41 ton C/ha). Stok karbon sebagian besar terletak pada pohon layak tebang dengan DBH 50 cm. Untuk stok karbon tegakan pada pohon layak tebang mencapai 81,26 ton C/ha dan untuk Dipterocarpaceae mencapai 74,17 ton C/ha. Stok karbon pada pohon inti dalam tegakan sebesar 38,88 ton C/ha dan Dipterocarpaceae sebesar 13,17 ton C/ha. Stok karbon pada pohon inti sebesar 32,36% dari potensi simpanan karbon tegakan dan akan terus bertambah sesuai dengan riap pertumbuhan diameter per tahunnya. Dari nilai ini dapat diketahui simpanan karbon sebagian besar terdapat pada pohon layak tebang sebesar 67,63%, sehingga besarnya pengurangan stok karbon pada tegakan hutan akibat pemanenan sangat ditentukan besarnya intensitas pemanenan yang diterapkan. Dari total stok karbon per hektar sebagian besar merupakan simpanan karbon pada Dipterocarpaceae sebesar 72,70%. Hal ini dikarenakan pohon-pohon besar atau layak tebang dalam tegakan hutan pada umumnya merupakan jenis Dipterocarpaceae. Stok karbon dalam tegakan hutan selain dipengaruhi oleh ukuran diameter juga dipengaruhi oleh banyaknya jumlah pohon pada tegakan tersebut (kerapatan pohon/ha). Semakin besar diameter pohon dan kerapatan pohon per hektar dalam tegakan maka stok karbon semakin besar pula dan begitu sebaliknya.

Tabel 5 Rata-rata potensi tegakan sebelum penebangan per kelas diameter pada plot penelitian Kriteria Kelas Diameter (cm) 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 70-79 80-89 90-99 100 up Total Rata-rata kerapatan pohon (phn/ha) 48,50 27,70 21,00 7,80 3,20 3,20 1,70 1,60 3,90 118,6 Standar deviasi 10,41 8,50 5,60 4,44 1,32 2,10 0,95 1,17 2,88 18,55 Rata-rata kerapatan Depterocarpaceae (phn/ha) 15,30 8,30 7,80 5,90 3,00 2,80 1,50 1,50 3,90 50,00 Standar deviasi 7,69 5,21 3,82 3,38 1,05 1,99 0,85 1,27 2,88 16,33 Rata-rata luas bidang dasar tegakan (m 2 /ha) 2,10 2,44 3,27 1,71 1,00 1,34 0,92 1,11 3,88 17,75 Standar deviasi 0,41 0,76 0,84 1,05 0,46 0,87 0,51 0,84 2,89 4,28 Rata-rata luas bidang dasar Dipterocarpaceae (m 2 /ha) 0,68 0,73 1,21 1,30 0,93 1,18 0,81 1,04 3,88 11,77 Standar deviasi 0,34 0,45 0,57 0,78 0,37 0,83 0,47 0,91 2,89 3,90 Rata-rata volume tegakan (m 3 /ha) 19,43 25,88 38,28 25,33 15,92 21,81 15,53 18,62 67,22 248,03 Standar deviasi 4,63 7,48 9,32 14,78 6,85 13,62 8,34 14,41 53,00 71,72 Rata-rata volume Dipterocarpaceae (m 3 /ha) 6,41 7,94 15,04 20,22 14,99 19,62 13,94 17,96 63,34 179,45 Standar deviasi 3,70 4,60 6,52 12,57 5,91 13,12 8,00 15,16 56,03 67,40 Rata-rata karbon tegakan /ha (ton C/ha) 8,53 11,87 18,48 10,58 6,75 9,83 7,18 10,98 35,94 120,14 Standar deviasi 1,64 3,73 4,73 6,66 3,24 6,38 3,99 10,37 26,93 37,66 Rata-rata karbon Dipterocarpaceae/ha (ton C/ha) 2,77 3,56 6,84 8,07 6,29 8,72 6,38 8,77 35,94 87,35 Standar deviasi 1,41 2,18 3,19 4,90 2,62 6,13 3,68 7,67 26,93 33,17

5.2 Kegiatan Pemanenan 5.2.1 Deskripsi Umum Kegiatan Pemanenan Sistem pemanenan hasil hutan kayu yang diterapkan pada PT. Salaki Summa Sejahtera adalah sistem pemanenan secara mekanis. Secara garis besar kegiatan pemanenan terdiri dari kegiatan perencanaan PWH, penebangan, pembagian batang, penyaradan, muat dan bongkar, pengumpulan log dan pengukuran di TPn, pengangkutan, dan penimbunan kayu di TPK atau log pond. Proses penebangan di PT. Salaki Summa Sejahtera dilakukan oleh regu chainsaw dengan sistem borongan. Setiap regu chainsaw menebang pada batas luas kepemilikan suku, bukan atas luas petak tebang (Indriyati 2010). Operator chainsaw dibantu oleh seorang helper. Sebelum kegiatan penebangan biasanya operator melihat keadaan pohon untuk menentukan boleh atau tidaknya pohon tersebut ditebang. Ketentuan itu dilihat dari ukuran diameter dan bentuk batang. Batas limit diameter pohon layak tebang menurut sistem Silvikultur TPTI 40 cm, tapi penebangan yang dilakukan di IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera yaitu diameter 50 cm. Pada umumnya Operator chainsaw tidak mau menebang pohon layak tebang yang berdiameter 50 cm, tapi yang ditebang adalah pohon layak tebang yang berdiameter lebih dari 60 cm. Hal ini karena pertimbangan diameter ujung log yang diameter 60 cm tidak akan kurang dari 50 cm dan penebangan pohon yang berdiameter kecil maka akan menghasilkan kubikasi yang rendah pula sehingga kurang ekonomis bagi mereka (Indriyati 2010). Pada blok tebang RKT 2011 ini banyak dilakukan penebangan di areal punggung. Ini dikarenakan topografinya yang bergelombang pada kelas kelerengan tertentu. Oleh sebab itu, penentuan arah rebah pohon sangat penting karena apabila salah dalam merebahkan pohon maka pohon tersebut bisa jatuh ke lembah/jurang yang membuat log susah disarad dan bahkan tidak bisa disarad. Tentu saja ini akan merugikan pihak perusahaan dan juga operator chainsaw. Sehingga, pembuatan jalan sarad pada umumnya mengikuti punggung. Penentuan arah rebah mempertimbangkan kemiringan pohon, bentuk tajuk, posisi pohon inti dan akar yang melilit pohon. Di petak tebang, dilakukan pembagian batang. Sesuai dengan pertimbangan dengan kemampuan alat sarad yang digunakan, karena log yang berdiameter besar dan panjang lebih dari 15

meter akan sulit ditarik oleh traktor. Sering juga dijumpai putusnya kabel seling akibat digunakan dalam menyarad log yang berdiameter besar dan panjang (Indriyati 2010). Kegiatan penyaradan dilakukan dengan menggunakan bulldozer Cat D7G dimana jenis D7G ini memiliki 6 silinder yang dapat menghasilkan tenaga sebesar 200 tenaga kuda. Berat dari bulldozer ini kira-kira 18 ton. Ukuran lebar blade dari bulldozer ini 4 meter dan memiliki winch pada bagian belakangnya yang dugunakan untuk meyarad kayu. Panjang winch berkisar 20 meter. Daya jelajah efektif bulldozer ini pada umumnya mencapai 500 meter. Apabila digunakan pada jarak lebih dari 500 meter maka tidak efektif, efisien dan ekomomis. Oleh sebab itu, apabila jarak sarad lebih dari 500 meter dilakukan pembuatan TPn baru. Kegiatan penyaradan dimulai dengan bulldozer membuka jalan sarad. Pemilihan sistem yang digunakan pada penyaradan tergantung pada topografi lapangan dan operator bulldozer. Proses penyaradan selain dilakukan oleh satu bulldozer setiap petaknya, juga dilakukan double skidding. Double skidding adalah cara penyaradan menggunakan dua bulldozer dalam satu petak tebang secara bersamasama dengan tujuan membagi volume log yang siap disarad. Setiap satu operator bulldozer dibantu oleh satu orang helper yang bertugas melihat kemungkinan bulldozer untuk dapat membuka jalan sarad, mengaitkan choker log yang siap sarad dan membatu proses penyaradan samapai ke TPn. Pengangkutan dilakukan setelah proses penyaradan dan dilakukan pemuatan di TPn. Alat angkut yang digunakan yaitu logging truk Scania dan Nissan. Faktor cuaca sangat mempengaruhi dalam pengangkutan log karena sering kali terjadi hujan. Apabila turun hujan maka proses pengangkutan dihentikan karena jalan dari TPn ke Log pond tidak dirancang untuk segala cuaca (kering atau hujan). Muat bongkar dilakukan di TPn dan Log pond dengan menggunakan Loader. Pemuatan dilakukan di TPn dan TPn antara sedangkan pembongkaran dilakukan di TPn antara dan Log pond, kemudian dilakukan perakitan kayu dari Log pond ke poton/tongkang. 5.2.2 Intensitas Pemanenan Kegiatan ITSP yang dilakukan pada plot penelitian juga dapat digunakan untuk mengetahui besarnya potensi pohon layak tebang yang terdapat pada plot

penelitian tersebut. Hal ini dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan intensitas pemanenan pada kegiatan pemanenan kayu. Potensi pohon yang layak tebang pada plot penelitian adalah sebesar 15,59% dari kerapatan tegakan (18,5±14,67 pohon/ha) dengan potensi volumenya sebesar 157,28±63,03 m 3 /ha. Pohon-pohon yang termasuk ke dalam kategori layak tebang ini merupakan pohon-pohon komersial ( jenis Diterocarpaceae) yang berdiameter lebih dari 50 cm. Penebangan dilakukan pada petak contoh memiliki kelerengan yang berbedabeda yaitu dari 16% sampai 40%. Besarnya intensitas pemanenan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Intensitas pemanenan pada plot penelitian Plot Kelerengan Kerapatan Pohon layak tebang Pohon yang ditebang Vol Vol (%) (phn/ha) Jumlah Vol Jumlah ITSP Log (phn/ha) (m 3 ) (phn/ha) (m 3 ) (m 3 ) 1 40 149 24 139,27 11 79,52 88,52 2 34 106 11 68,78 4 32,09 35,62 3 26.5 122 26 274,00 10 157,24 170,44 4 25 105 16 95,49 11 68,07 64,11 5 38 97 16 121,00 6 27,05 30,60 6 37 111 14 124,07 5 34,24 34,82 7 27 146 21 197,03 8 96,35 74,39 8 21 124 21 204,68 10 98,21 98,33 9 24 128 16 133,42 7 66,57 65,78 10 16 98 20 215,05 14 151,04 125,55 Jumlah 1186 185 1572,79 86 810,39 788,16 Ratarata 28,85 118,60 18,50 157,28 8,60 81,03 78,81 St dev 7,99 18,55 4,67 63,03 3,13 46,09 44,20 Dari Tabel 6 dapat dilihat perbedaan intensitas penebangan pada setiap plot. Hal ini dikarenakan perbedaan jumlah pohon layak tebang pada setiap plot, topografi plot penelitian dan kondisi pohon layak tebang. Volume log pada plot penelitian 30,60-170,44 m 3 /ha. Ada kecenderungan volume ITSP lebih besar dibandingkan volume log. Hal ini dikarenakan adanya pemotongan pada log yang disebabkan terjadinya kerusakan, seperti pecah dan patah batang. Dari total volume pohon yang dipanen menurut hasil ITSP sebesar 81,03±46,09 m 3 /ha dengan volume aktual/log 78,81±44,20 m 3 /ha, maka dapat diketahui bahwa kegiatan pemanenan ini tergolong baik karena volume yang dipanen 50,10 % dari

volume layak tebang jauh lebih kecil dari jatah tebang yang telah diperbolehkan sebesar 56%. Volume tebangan ini 31,77% dari volume total tegakan awal. Intensitas penebangan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah 4-14 pohon/ha (32,09-157,24 m 3 /ha) dan rata-rata 8,60±3,13 pohon/ha (81,08 m 3 /ha dan 24,12% dari luas bidang dasar), dimana intensitas penebangan tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian Wayana (2011) di Kalimantan Tengah yang intensitas pemanenannya 11,70 pohon/ha dan penelitian Sist (1997) di Kalimantan Timur dengan intensitas pemanenan 10,70 pohon/ha. Penelitian lain hutan alam tropis lainnya di bagian selatan Amazon yang dilakukan Feldpausch et al. (2005) dengan intensitas pemanenannya berkisar 1,1-2,6 pohon/ha. Tabel 7 Pengurangan luas bidang dasar pada RIL DBH 50 cm Plot Pohon tebangan Luas bidang dasar yang hilang Volume (phn/ha) (% dari dari tegakan awal) (m 3 /ha) 1 11 22,92 79,52 2 4 14,39 32,09 3 10 29,25 157,24 4 11 31,35 68,07 5 6 11,31 27,05 6 5 12,20 34,24 7 8 24,06 96,35 8 10 27,58 98,21 9 7 23,33 66,57 10 14 44,84 151,04 Rata-rata 8,60 24,12 81,03 St dev 3,13 10,13 46,09 Dari Tabel 7 intensitas penebangan 8,60 pohon/ha dengan volume tebangan 81,10 m 3 /ha, maka LBDS tegakan berkurang 24,12%. Kehilangan LBDS ini lebih besar dari penelitian Sist (1997) di Kalimantan Timur dengan limit diameter sama (DBH 50 cm) dan intensitas penebangan 10,7 pohon/ha mengalami pengurangan LBDS sebesar 17,5%. Perbedaan ini dikarenakan perbedaan kerapatan tegakan per ha yang lebih besar (530,70 pohon/ha) pada lokasi penelitiannya (Kalimantan Timur).

5.3 Kerusakan Tegakan Pasca Pemanenan 5.3.1 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan dan Penyaradan Kerusakan tegakan tinggal merupakan perbandingan antara pohon yang rusak akibat pemanenan kayu dengan pohon yang tidak ikut dalam rencana penebangan. Persentase kerusakan tegakan tinggal adalah perbandingan antara jumlah pohon yang rusak dengan jumlah pohon awal sebelum pemanenan yang dikurangi dengan jumlah pohon yang ditebang. Pada intensitas pemanenan dan kerapatan yang berbeda maka akan menimbulkan kerusakan yang berbeda pula. Persentase kerusakan tegakan tinggal pada berbagai intensitas penebangan dapat dilihat pada Gambar 2. Kerusakan tegakan tinggal (%) 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0 3 6 9 12 15 Intensitas pemanenan (phn/ha) Gambar 2 Hubungan persentase kerusakan tegakan tinggal pada berbagai intensitas penebangan. Pada Gambar 2 terlihat bahwa intensitas pemanenan yang tinggi cenderung mengakibatkan kerusakan tinggal yang besar. Untuk intensitas pemanenan yang sama juga mengalami persentase kerusakan yang berbeda (intensitas penebangan 10 dan 11 pohon/ha). Persentase kerusakan apabila ditebang 10 pohon per ha sebesar 29,82-32,14% dan penebangan 11 pohon/ha sebesar 30,43-32,98%. Perbedaaan persentase kerusakan pada setiap plot karena kerapatan tegakan awal setiap plot berbeda. Persentase kerusakan tegakan tinggal rata-rata sebesar 28,55±6,69%. Kerusakan tegakan tinggal terjadi karena tertimpanya pohon inti pada tegakan oleh pohon tebangan. Rebahnya pohon tebangan menyebabkan kerusakan pada pohon-pohon di sekitarnya. Kegiatan

penyaradan juga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kerusakan tegakan tinggal. Kerusakan akibat penyaradan berasal dari pohon yang mengalami kerusakan ketika pembuatan jalan sarad dan pohon yang mengalami kerusakan ketika bulldozer bermanuver dalam menyarad log yang telah ditebang. Kerusakan tegakan tinggal itu sendiri terbagi menjadi beberapa tingkat kerusakan yaitu kerusakan tingkat ringan, sedang dan berat. Persentase tingkat kerusakan tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan dan penyaradan Berat Tingkat kerusakan Persentase kerusakan per kelas diameter (%) 20-29 30-39 40-49 50 up (cm) (cm) (cm) (cm) Total 1. Rusak tajuk >50% 2,18 1,18 0,18-3,82 2. Luka batang >1/2 D - - - - - 3. Patah batang 2,27 1,00 0,64-3,91 4. Pecah batang 0,45 0,18-0,18 0,82 5. Roboh 4,27 1,55 0,36 0,18 6,09 6. Miring < 45 0,18 0,09 - - 0,27 7. Rusak banir >1/2 D 0,09 - - - 0,09 Jumlah 9,45 3,97 1,22 0,36 15,00 Sedang 1. Rusak tajuk 30-50% 2,55 1,64 0,55-4,64 2. Luka batang 1/4-1/2 batang 2,36 1,18 0,45-4,00 3. Rusak banir 1/3-1/2 0,45-0,08-0,55 4. Miring > 45 0,18 0,09 - - 0,27 Jumlah 5,45 2,94 1,03-9,45 Ringan 1. Rusak tajuk <30% 1,82 1,27 0,82-3,91 2. Luka batang 0,09 - - - 0,09 3. Rusak banir < ¼ - - 0,09-0,09 Jumlah 1,91 1,27 0,91-4,09 Total 16,81 8,21 3,16 0,36 28,55 Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa bentuk kerusakan yang paling besar terjadi pada kelas diameter 20-29 cm sebesar 16,81%, kelas diameter 30-39 cm sebesar 8,21%, kelas diameter 40-49 cm sebesar 3,16%, dan kelas diameter 50 cm up sebesar 0,36%. Dari tabel di atas, dapat dinyatakan bahwa dalam pemanenan hutan alam, semakin kecil kelas diameter tegakan tinggal maka kerusakan akan semakin besar. Hal ini dikeranakan besarnya kerapatan pohon yang berdiameter

kecil dan memiliki daya tahan yang rendah terhadap pohon-pohon yang menimpanya saat penebangan. Berikut diagram kerusakan tegakan tinggal pada masing-masing kelas diameter. Jumlah Kerusakan (Phn/Ha) 16 14 12 10 8 6 4 2 0 20-29 30-39 40-49 50 up Kelas Diameter (cm) Berat Sedang Ringan Gambar 3 Kerusakan tegakan tinggal per kelas diameter. Ket: Jumlah kerusakan (batang±standar deviasi) akibat pemanenan pada intensitas pemanenan 8,60 pohon/ha. Pada Gambar 3 terlihat bahwa tingkat kerusakan berat, sedang, dan ringan secara berturut pada tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan dan penyaradan sebesar 16,50 pohon/ha, 10,4 pohon/ha dan 4,5 pohon/ha. Kerusakan berat banyak terjadi pada kelas diameter pohon 20-29 cm sebanyak 10,1 pohon/ha dan paling sedikit pada kelas 50 cm up sebanyak 0,36 pohon/ha. Rata-rata intensitas pemanenan pada plot penelitian adalah 8,60 pohon/ha yang mengakibatkan kerusakan pada tegakan tinggal sebanyak 31,40 pohon/ha yang terdiri dari kerusakan berat 16,5 pohon/ha, sedang 10,4 pohon/ha, dan ringan 4,5 pohon/ha. Hal ini berarti bahwa setiap penebangan 1 pohon/ha mengakibatkan kerusakan sebanyak 3,65 pohon/ha, yang terdiri dari kerusakan berat sebesar 1,92 pohon/ha, kerusakan sedang 1,2 pohon/ha dan kerusakan ringan 0,52 pohon/ha pada tegakan tinggal. Penelitian Wayana (2011) menyatakan kegiatan pemanenan kayu dengan intensitas pemanenan sebesar 11,70 pohon/ha mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal sebesar 29,90 pohon/ha yang terdiri dari tingkat kerusakan berat 14,20 pohon/ha, tingkat kerusakan sedang 7,40 pohon/ha dan tingkat kerusakan ringan

8,30 pohon/ha pada kerusakan tegakan tinggal dengan diameter 20 cm. Penebangan 1 pohon/ha mengakibatkan kerusakan sebanyak 2,55 pohon/ha yang terdiri dari kerusakan berat sebesar 1,21 pohon/ha, kerusakan sedang 0,63 pohon/ha dan kerusakan ringan 0,71 pohon/ha pada tegakan tinggal. Hasil penelitian ini memiliki kerusakan yang jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan Penelitian Aryono (2010) yang menyatakan dari kegiatan pemanenan 1 pohon/ha pada tegakan rapat maka akan mengakibatkan 19 pohon/ha mengalami kerusakan berat dan dari pemanenan 1 pohon/ha pada tegakan rawang akan mengakibatkan 17 pohon/ha mengalami kerusakan berat pada kerusakan tegakan tinggal dengan diameter 10 cm. Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu banyak terjadi pada pohon-pohon kelas diameter kecil (20-29 cm). Kerusakan tegakan tinggal ini dikarenakan pohon yang berdiameter kecil memiliki kerapatan yang lebih besar dan berada di bawah pohon besar sehingga saat pohon yang ditebang rebah banyak yang tertimpa. Pohon berdiameter kecil tidak cukup kuat untuk menahan pohon yang menimpanya. Begitu juga pada saat penyaradan log, pohon berdiameter kecil akan mudah rusak bila tertabrak bulldozer dan log yang memiliki ukuran jauh lebih besar. Berikut data persentase kerusakan tegakan tinggal tingkat berat disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Kerusakan tegakan tinggal tingkat kerusakan berat Plot Kerapatan (phn/ha) Intensitas penebangan (phn/ha) Persentase kerusakan berat per kelas diameter (%) 20-29 30-39 40-49 50 up Jumlah 1 149 11 10,14 4,35 - - 14,49 2 106 4 10,78 3,92 1,96-16,67 3 122 10 12,50 1,96 1,79 1,79 18,03 4 105 11 6,38 5,32 3,19-14,89 5 97 6 9,89 4,40 - - 14,29 6 111 5 4,72 4,72 0,94-10,38 7 146 8 5,07 5,07 1,45-11,59 8 124 10 9,65 3,51 0,88-14,04 9 128 7 7,44 1,65 0,83 1,65 11,57 10 98 14 17,86 4,76 1,19-23,81 Rata-rata 118,60 8,60 9,44 3,97 1,22 0,34 15,00 St dev 18,55 3,13 3,91 1,25 0,95 0,73 3,89

Berdasarkan Tabel 9 persentase tingkat kerusakan berat 15,00%, dimana kerusakan berat banyak terjadi pada kelas diameter 20-29 cm sebesar 9,44% dan yang terkecil pada kelas 50 cm up sebesar 0,34%. Penelitian Wayana (2011) mengatakan bahwa kerusakan berat pada pemanenan hutan pada intensitas penebangan 11,70 pohon/ha mengakibatkan kerusakan berat pada penebangan 8,72% dan penyaradan 4,40%. Kerusakan berat pada tegakan tinggal akan berakibat pohon tersebut tidak dapat kembali pulih atau mati. Jadi pada saat menebang pohon, pohon yang berdiameter kecil harus diperhatikan dengan menentukan arah rebah terbaik yang memiliki kerapatan pohon kecil rendah sehingga dapat mengurangi besarnya kerusakan pada pohon berdiameter kecil (20-29 cm). Bentuk kerusakan yang paling sering ditimbulkan akibat kegiatan penebangan adalah bentuk kerusakan rusak tajuk sebesar 43,31% dan roboh sebesar 22,29%. Kerusakan ini disebabkan oleh banyaknya liana yang saling melilit dan besarnya hempasan ketika pohon yang ditebang menimpa individu pohon lainnya. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Elias (1995) dimana kerusakan terbesar akibat penebangan terdapat pada bentuk rusak tajuk sebesar 49,45% dan patah batang sebesar 23,08%. Pada penelitian Wayana (2011) kerusakan terbesar akibat penebangan terdapat pada bentuk kerusakan tajuk sebesar 57,53% dan patah batang sebesar 16,72%. Kerusakan tegakan tinggal dapat juga dikelompokan berdasarkan bentuk kerusakannya (Tabel 10). Tabel 10 Bentuk kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan dan penyaradan Bentuk Kerusakan Jumlah Pohon Menurut Tingkat Kerusakan Persentase Ringan Sedang Berat Jumlah (%) Rusak Tajuk 43 51 42 136 43,31 Luka Batang 1 44-45 14,33 Patah Batang - - 43 43 13,69 Pecah Batang - - 9 9 2,87 Roboh,Miring<45 - - 70 70 22,29 Condong,Miring>45-3 - 3 0,96 Rusak Banir 1 6 1 8 2,55 Total 45 104 165 314 100 Rata-rata 4,50 10,40 16,50 31,40 Persentase 14,33 33,12 52,55 100

Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa tingkat kerusakan yang paling tinggi terjadi pada kerusakan tingkat berat sebesar 52,55%, tingkat sedang 33,12%, dan tingkat ringan 14,33%. Berdasarkan bentuk kerusakan banyak terjadi pada rusak tajuk sebesar 43,41% dan roboh/miring <45 sebesar 22,29%. Wayana (2011) menyatakan kerusakan akibat penebangan yang paling tinggi juga terdapat pada tingkat kerusakan berat sebesar 47,49%. Pada tingkat kerusakan berat akibat kegiatan penebangan dan penyaradan, bentuk kerusakan yang paling sering terjadi adalah bentuk kerusakan roboh/miring <45 yakni sebesar 22,29% (70 pohon). Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu di hutan alam dapat juga dikelompokkan berdasarkan Feldpausch et al. (2005) sebagai berikut: Tabel 11 Klasifikasi kerusakan tegakan tinggal menurut Feldpausch et al. (2005) Kelas kerusakan Deskripsi kerusakan Pohon rusak per ha tebangan (phn/ha) Persentase kerusakan (%) Pohon rusak per pohon tebangan DBH rata-rata I Condong 0,3 0,96 0,03 27,00±3,46 II < 2 m kulit hilang 2,5 7,96 0,29 23,12±12,80 III > 2 m kulit hilang 0,9 2,87 0,12 20,52±11,30 IV < 25% tajuk rusak 5,6 17,83 0,65 32,45±4,79 V > 25-50% tajuk rusak 5,5 17,20 0,64 29,39±4,45 VI > 50-75% tajuk rusak 2,8 8,92 0,33 23,73±9,20 VII > 75% tajuk rusak 1,5 4,78 0,17 19,43±13,83 VIII Patah batang 5,2 16,56 0,60 28,36±4,86 IX Roboh 7,0 22,29 0,81 28,41±3,31 Jumlah 31,40 100 3,65 25,82±4,63 Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui kerusakan tegakan tinggal banyak terjadi pada pohon kecil yang berdiameter 19,43-32,45 cm. Kerusakan yang terbesar adalah roboh yang mencapai 7 pohon/ha dan yang yang terkecil yakni condong sebanyak 0,3 pohon/ha. Pohon-pohon yang mengalami patah batang dan roboh mencapai 40,45% atau sama dengan 5,2 pohon mengalami patah batang dan 7 pohon mengalami roboh disetiap pemanenan denagan intensitas penebangan 8,60 pohon/ha. Menurut Feldpausch et al. (2005) pohon yang mengalami kerusakan berat adalah pohon yang mengalami kerusakan tajuk yang mencapai ¾ bagian, patah batang, dan roboh (kelas VII, VII, dan IX). Kerusakan berat yang

tejadi pada intensitas pemanenan 4-14 pohon/ha sebesar 45,23%. Persentase kerusakan berat ini lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil penelitian Feldpausch et al. (2005) di bagian selatan Amazon yang mencapai 60% pada intensitas penebangan rata-rata 1,1-2,6 pohon/ha. Perbedaan ini dikarenakan pada penelitian ini menghitung kerusakan tegakan tinggal dengan DBH 20 cm, sedangkan Feldpausch et al. (2005) dengan DBH 10 cm. Bila dibandingkan antara klasifikasi kerusakan menurut Elias (1993) terdapat beberapa perbedaan diantaranya pada kerusakan tajuk dan luka batang. Dimana klasifikasi Elias (1993) menentukan kerusakan tajuk berdasarkan tingkat berat >50%, sedang 30-50%, dan ringan <30%. Feldpausch (2005) mengelompokan kerusakan tajuk < 25%, 25-50%, 50-75%, dan >75% (kelas IV- VII). Selanjutnya, pada luka batang/kulit terkelupas Elias (1993) menentukan kerusakan berdasarkan besarnya kehilangan kulit terhadap diameter pohon, sedangkan Feldpaush (2005) menentukan kerusakan berdasarkan panjang kulit terkelupas saja. Faktor yang mempengaruhi kerusakan tegakan tinggal yaitu : intensitas pemanenan, kerapatan tegakan, dan kelerengan. Kerusakan tegakan tinggal bergantung pada semakin tinggi intensitas pemanenan maka akan semakin besar nilai kerusakannya. Sementara kelerengan dan kerapatan tidak terlalu besar pengaruhnya pada nilai kerusakan tegakan tinggal. Persamaan regresi linier hubungan antara intensitas pemanenan, kerapatan tegakan dan kelerengan terhadap besarnya kerusakan tegakan tinggal dinyatakan dalam persamaan regresi sebagai berikut : Ŷ = 21,2 + 1,98 X 1 0,0698 X 2 0,041 X 3 (R 2 = 83,10%) Keterangan : Ŷ = Kerusakan tegakan tinggal (%) X 1 = Intensitas pemanenan (pohon/ha) X 2 = Kerapatan tegakan (pohon/ha) X 3 = Kelerengan (%) Koefisien determinasi yang diperoleh adalah 83,10%, artinya sebesar 83,10% dari keragaman kerusakan tegakan tinggal dapat dijelaskan oleh intensitas pemanenan, kerapatan tegakan dan kelerengan. Sedangkan sisanya dapat dijelaskan oleh faktor-faktor lain. Berdasarkan nilai koefisien determinasi

ini, maka dapat disimpulkan bahwa model dugaan yang didapatkan cukup baik karena mampu menerangkan peubah respon dengan baik. Tabel 12 Analisis ragam hubungan kerusakan tegakan tinggal dengan kerapatan tegakan dan intensitas pemanenan Sumber Derajat Kuadrat Jumlah Kuadrat Keragaman Bebas Tengah F Hitung Regresi 3 372,71 124,24 9,86 0,010 Galat 6 75,60 12,60 Total 9 448,31 Jika dilihat dari nilai P sebesar 0,010 yang diperoleh dari ketiga peubah terhadap kerusakan tegakan tinggal dimana nilainya lebih kecil dari alpha yang ditentukan (0,05) dan dari nilai F hitung yang lebih besar dibandingkan F tabel sehingga dapat disimpulkan bahwa kerusakan tegakan tinggal memiliki hubungan yang nyata dengan mininimal satu peubah penduga. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan tiap peubah penduga terhadap besarnya kerusakan tegakan tinggal maka dilakukan uji t yang dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Hubungan antar peubah dengan besarnya kerusakan tegakan tinggal Peubah Penduga t Hitung P Intensitas Pemanenan 4,12** 0,006 Kerapatan Tegakan -1,06 tn 0,332 Kelererengan -0,21 tn 0,837 ** sangat nyata pada P<0,01 tn tidak nyata Berdasarkan hasil pengujian dapat diketahui bahwa faktor yang sangat nyata mempengaruhi kerusakan tegakan tinggal adalah intensitas pemanenan yang dilakukan, dimana nilai P nya lebih kecil dari nilai alpha yang ditentukan dan nilai t-hitung nya yang lebih besar dari pada nilai t-tabel. Kerapatan tegakan tidak lagi berpengaruh nyata terhadap besarnya kerusakan tegakan tinggal setelah dijelaskan oleh intensitas pemanenan (P<0,01). Kesimpulan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Elias (2002) yang menyatakan kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan dan penyaradan per satuan luas sangat tergantung dari intensitas pemanenan. Semakin tinggi intensitas pemanenan maka kerusakan tegakan tinggal akan makin meningkat. Namun bukan berarti kerapatan tegakan P

dan kelerengan tidak berpengaruh terhadap kerusakan tegakan tinggal yang terjadi. 5.3.2 Kondisi Tegakan Pasca Pemanenan Setelah pemanenan dengan intensitas 8,60 pohon/ha dengan volume log 78,81 m 3 /ha, maka akan menyebabkan 31,4 pohon akan mengalami kerusakan dengan volume 33,69 m 3 /ha yang 16,50 pohon/ha disekitarnya mengalami rusak berat dengan volume 7,43-22,48 m 3 /ha dengan rata-rata 11,56 m 3 /ha. Pemanenan yang dilakukan mengurangi potensi tegakan sebesar 90,37 m 3 /ha atau 36,43% dari potensi awal tegakan. Sisa potensi tegakan sebesar 157,66±39,62 m 3 /ha atau 63,56% dari potensi tegakan sebelum pemanenan. Dengan adanya pohon yang ditebang memanen 1 m 3 /ha akan merusak 0,43 m 3 /ha. Pada kerusakan berat memanen 1 m 3 /ha akan merusak 0,15 m 3 /ha pohon di sekitarnya. Potensi tegakan setelah pemanenan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Potensi tegakan pasca pemanenan Plot Intensitas pemanenan (phn/ha) Volume sebelum pemanenan (m 3 /ha) Volume setelah pemanenan (m 3 /ha) Ditebang Rusak berat Sisa 1 11 253,64 88,52 11,75 153,37 2 4 159,40 35,62 10,31 113,47 3 10 384,35 170,44 22,48 191,43 4 11 165,35 64,11 10,83 90,41 5 6 192,14 30,60 7,43 154,12 6 5 208,15 34,82 7,76 165,65 7 8 314,62 74,39 12,39 227,84 8 10 299,34 98,33 10,45 190,57 9 7 227,33 65,78 10,28 151,27 10 14 275,96 125,55 11,92 138,49 Rata-rata 8,60 248,03 78,81 11,56 157,66 St dev 3,13 71,72 44,20 4,17 39,62 Kerapatan tegakan tinggal di dalam hutan pasca pemanenan adalah jumlah pohon awal dikurangi dengan pohon yang ditebang dan yang mengalami tingkat kerusakan berat. Perubahan kerapatan tegakan pasca pemanenan dapat dilihat pada Gambar 4.

Kerapatan (pohon/ha) 140 120 100 80 60 40 20 Ditebang Rusak Kerapatan Tegakan Tinggal kerapatan awal 0 Sebelum penebangan Pasca penebangan Gambar 4 Kerapatan pohon sebelum dan pasca pemanenan kayu. Sebelum dilakukan kegiatan pemanenan kerapatan rata-rata tegakan hutan 118,6 pohon/ha. Setelah dilakukan kegitatan pemanenan dengan penebangan ratarata 8,6 pohon/ha maka 31,4 pohon disekitarnya akan rusak, 16,5 diantaranya mengalami kerusakan berat yang berpotensi mati. Sisa kerapatan tegakan tinggal di dalam hutan sebesar 78,6 pohon/ha atau 66,27% dari kerapatan tegakan awal. Volume yang dipanen sebesar 31,18% dan yang mengalami kerusakan sebesar 13,58% dari volume awal tegakan. Berikut perubahan volune tegakan pasca pemanenan dapat dilihat pada Gambar 5. 300 250 Volume (m 3 /ha) 200 150 100 50 rusak dipanen sisa stok awal 0 Sebelum pemanenan Pasca pemanenan Gambar 5 Volume tegakan sebelum dan pasca pemanenan kayu.

5.3.3 Keterbukaan Areal Akibat Jalan Sarad Keterbukaan tanah atau lahan pada pemanenan kayu adalah terbukanya permukaan tanah karena lapisan serasah yang menutupi tanah terkelupas karena terdongkel oleh pohon-pohon yang ditebang dan roboh, terkikis dan tergusur oleh traktor sewaktu penyaradan, pembuatan jalan sarad, dan pembuatan tempat pengumpulan kayu sementara (Amir 1996). Keterbukaan areal adalah salah satu bentuk kerusakan lantai tanah hutan akibat pembuatan jalan sarad yang disebabkan oleh tanah yang terbuka karena dilewati oleh bulldozer atau lalu lintas bulldozer ketika melakukan penyaradan kayu ataupun untuk membuka jalan agar kayu mudah disarad. Keterbukaan areal akibat pembuatan jalan sarad dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Keterbukaan areal akibat penyaradan Plot Luas Keterbukaan Areal Akibat Penyaradan (m 2 ) (%) 1 759,77 7,60 2 399,50 4,00 3 842,08 8,42 4 680,80 6,81 5 569,00 5,69 6 537,23 5,37 7 360,41 3,60 8 431,42 4,31 9 949,05 9,49 10 662,40 6,62 Rata-rata 620,34 6,20 Standar deviasi 195,40 1,95 Keterbukaan areal akibat pembuatan jalan sarad pada plot penelitian ratarata adalah sebesar 620,34 m 2 /ha atau 6,20%. Keterbukaan areal akibat penyaradan pada intensitas penebangan 8,6 pohon/ha sebesar 360,41 m 2-949,05 m 2. Keterbukaan areal yang terjadi akibat pembuatan jalan sarad dan aktivitas penyaradan log dalam petak tebang. Perbedaan besarnya keterbukaan areal dikarenakan bedanya intensitas penebangan dan manuver-manuver traktor selama melakukan proses penyaradan. Dari Tabel 15 di atas dapat dinyatakan bahwa untuk menyarad 1 pohon tebangan maka akan terbuka areal sebesar 72,13 m 2. Besarnya keterbukaan areal yang terjadi pada plot penelitian menunjukkan hasil

yang lebih kecil bila dibandingkan penelitian Elias (2002) dengan rata-rata keterbukaan areal yang terjadi pada masing-masing plot sebesar 872,5 m 2 /ha atau 8,72% dan penelitian Wayana (2011) dengan rata-rata keterbukaan real yang terjadi sebesar 1018,89 m 2 /ha atau 10,18%. Luas keterbukan areal akibat penyaradan (m 2 ) 1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Intensitas penebangan (phn/ha) Gambar 6 Hubungan luas keterbukaan areal akibat penyaradan pada berbagai intensitas pemanenan. Dari Gambar 6 dapat diketahui keterbukaan areal akibat penebangan dengan intensitas yang tinggi maka keterbukaan areal akibat penyaradan cenderung besar. Hal ini dikarenakan pembuatan jalan sarad yang menyesuaikan posisi pohon yang ditebang dan tingginya intensitas lalu lintas bulldozer dalam hutan saat penyaradan. Besarnya keterbukaan areal pada masing-masing plot memiliki luasan yang berbeda-beda, disebabkan berbagai faktor yaitu faktor kondisi topografi lapangan, kerapatan tegakan, intensitas penebangan dan faktor lain seperti operator bulldozer yang memiliki pengetahuan yang terbatas dikarenakan tidak dibekali dengan peta pohon sehingga ketika ingin melakukan penyaradan harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan operator chainsaw untuk mendapatkan informasi lokasi pohon yang telah ditebang atau terkadang operator bulldozer langsung masuk kedalam petak tebangan untuk mencari sendiri lokasi pohon yang telah ditebang.

5.4 Emisi Karbon Potensial 5.4.1 Potensi Simpanan Karbon Sebelum Pemanenan Besarnya potensi simpanan karbon yang terdapat pada plot penelitian sebelum dilakukannya kegiatan pemanenan kayu dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Stok karbon sebelum pemanenan pada plot penelitian Plot Kerapatan tegakan (phn/ha) Karbon (ton C/ha) 1 149 126,13 2 106 75,71 3 122 187,93 4 105 80,08 5 97 91,47 6 111 99,13 7 146 172,50 8 124 136,85 9 128 105,11 10 98 126,51 Rata-rata 118,60 120,14 Standar deviasi 8,55 37,66 Pada Tabel 16 terlihat bahwa potensi stok karbon sebesar 75,71-187,93 ton C/ha dengan rata-rata potensi stok karbon pada plot penelitian adalah 120,14±37,66 ton C/ha. Besarnya potensi stok karbon dipengaruhi oleh kerapatan pohon/ha dan ukuran diameter pohon yang terdapat pada plot penelitian, semakin tinggi kerapatan dan besar ukuran diameter pohon maka akan semakin besar pula potensi simpanan karbonnya. Aryono (2010) menyatakan bahwa potensi stok karbon pada hutan alam tropis di Provinsi Kalimantan Tengah (IUPHHK HA PT. Erna Djuliawati) untuk tegakan rapat adalah 154,37 ton C/ha, sedangkan untuk tegakan rawang adalah 122,06 ton C/ha. Hasil penelitian Kusuma (2009) di Kalimantan Barat menyebutkan bahwa potensi karbon pada hutan primer adalah 123,16 ton C/ha sedangkan pada areal bekas tebangan (LOA) tahun 1983 adalah 93,44 ton C/ha. Hasil penelitian Junaedi (2007) di IUPHHK HA PT. Sari Bumi Kusuma, Provinsi Kalimantan Tengah menyatakan bahwa hutan tropis dataran rendah areal bekas tebangan menyimpan massa karbon di atas permukaan tanah sebesar 57,68-107,71 ton C/ha dan di hutan primer sebesar 229,33 ton C/ha. Penelitian Feldpausch et al.

(2005) di bagian selatan Amazon menyebutkan bahwa potensi simpanan karbon di atas permukaan tanah adalah 138,10 ton C/ha. Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa hutan tropis di Indonesia diperkirakan mempunyai cadangan karbon berkisar antara 161-300 ton C/ha (Murdiyarso et al 1994). Lasco (2002) melakukan review berbagai studi mengenai cadangan karbon di Asia Tenggara, ditemukan bahwa cadangan karbon di hutan tropis Asia berkisar antara 40-250 ton C/ha untuk vegetasi dan 50-120 ton C/ha untuk tanah. 5.4.2 Sumber Emisi dan Besar Emisi Karbon Potensial Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu Emisi karbon potensial akibat kegiatan pemanenan kayu bersumber dari kegiatan penebangan dan penyaradan kayu. Emisi karbon potensial akibat kegiatan penebangan berasal dari jumlah karbon yang hilang dari kegiatan penebangan pohon dan jumlah karbon yang hilang dari pohon yang mengalami kerusakan akibat kegiatan penebangan tersebut sedangkan emisi karbon potensial akibat kegiatan penyaradan berasal dari jumlah karbon yang hilang dari pohon yang mengalami kerusakan akibat kegiatan penyaradan. Pendugaan biomassa di atas permukaan tanah dilakukan dengan menggunakan persamaan allometrik yang hanya menggunakan DBH sebagai parameter penduga. Menurut Basuki at al. (2009) yang menyusun persamaan allometrik yang hampir sama (Model 1) yang hanya menggunakan DBH sebagai parameter penduga mengatakan bahwa persamaan allometrik ini yang paling pantas untuk hutan Dipterocarpaceae terutama untuk hutan alam tropis. Hal serupa pada kondisi yang berbeda, menurut Rusolono (2006) menyatakan bahwa pendugaan cadangan karbon dengan pendekatan struktur tegakan horizontal (distribusi pohon berdasar kelas diameter) cukup terandalkan untuk menjelaskan persediaan karbon (R 2 =80%) untuk tegakan agroforestry murni. 5.4.2.1 Emisi Karbon Potensial Pohon yang Ditebang Kegiatan penebangan pohon merupakan salah satu sumber terjadinya emisi karbon potensial dalam kegiatan pemanenan kayu di hutan alam tropis. Kegiatan penebangan pohon yang telah dilakukan menyebabkan terjadinya pengurangan stok karbon di dalam hutan, dimana pengurangan simpanan karbon tersebut

berpotensi menimbulkan emisi karbon ke udara. Besarnya emisi karbon potensial akibat kegiatan penebangan dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Emisi karbon potensial dari pohon yang ditebang Plot Intensitas Penebangan (phn/ha) Karbon(ton C/ha) 1 11 42,85 2 4 21,31 3 10 74,91 4 11 31,10 5 6 26,01 6 5 29,80 7 8 46,34 8 10 44,90 9 7 31,83 10 14 65,08 Rata-rata 8,60 41,41 Standar deviasi 3,13 17,30 Dari Tabel 17 diketahui bahwa intensitas penebangan 4-14 pohon/ha. Emisi karbon potensial akibat pohon tebangan 21,31-74,91 C/ha dengan rata-rata sebesar 41,41±17,30 ton C/ha, dimana besarnya dipengaruhi oleh jumlah pohon yang ditebang dan besarnya diameter pohon ditebang pada plot tersebut. Hasil penelitian Aryono (2010) di Kalimantan Tengah menyebutkan bahwa kegiatan penebangan pohon pada tegakan rapat mengakibatkan pengurangan simpanan karbon sebesar 53,42 ton C/ha dan pada tegakan rawang pengurangan simpanan karbon sebesar 26,16 ton C/ha. Penelitian Wayana (2010) menyebutkan bahwa pada intensitas penebangan 11,70 pohon/ha menyebutkan emisi karbon sebesar 34,53 ton C/ha. Selain dipengaruhi intensitas penebangan, emisi karbon potensial juga dipengaruhi oleh ukuran diameter pohon yang ditebang. Meskipun intensitas penebangan pada plot 10 paling besar namun emisi karbon potensial yang paling besar terjadi pada plot 3. Ini disebabkan karena pohon tebangan pada plot 3 memiliki diameter yang lebih besar dibandingkan pada plot 10. Emisi karbon potensial yang berasal dari pohon yang ditebang tidak seluruhnya akan menjadi emisi karbon karena pohon yang ditebang tersebut masih akan dimanfaatkan lagi menjadi produk-produk olahan kayu. Emisi karbon potensial terjadi hanya pada limbah sisa penebangan pohon yang terdiri dari

potongan tajuk dan tunggak. Berikut emisi karbon limbah akibat penebangan disajikan dalam Tabel 18. Tabel 18 Karbon limbah akibat penebangan Plot Intensitas Penebangan Karbon Limbah Penebangan (ton (phn/ha) C/ha) 1 11 7,89 2 4 8,66 3 10 10,24 4 11 6,72 5 6 13,93 6 5 16,49 7 8 16,96 8 10 6,41 9 7 7,50 10 14 20,49 Rata-rata 8,60 11,53 Standar Deviasi 3,13 5,04 Dari Tabel 18 menunjukan bahwa besarnya emisi karbon akibat limbah penebangan. Emisi karbon limbah pemanenan sebesar 11,53 ton C/ha. Limbah ini akan menjadi emisi karbon karena tidak termanfaatkan/ditinggalkan di dalam hutan yang nantinya terdekomposisi dan melepaskan karbon ke atmosfir. 5.4.2.2 Emisi Karbon Potensial dari Kerusakan Pohon Akibat Penebangan dan Penyaradan Dalam kegiatan penebangan, emisi karbon potensial tidak hanya berasal dari pohon yang ditebang saja namun juga berasal dari pohon yang mengalami kerusakan berat akibat kegiatan penebangan pohon tersebut. Tingkat kerusakan yang terjadi diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yaitu : kerusakan tingkat ringan, kerusakan tingkat sedang dan kerusakan tingkat berat. Namun perhitungan emisi karbon potensial hanya dilakukan untuk kategori pohon yang mengalami tingkat kerusakan berat saja karena nantinya pohon tersebut akan mati dan berpotensi menimbulkan emisi karbon, sedangkan untuk kategori pohon yang mengalami kerusakan ringan dan sedang tidak diperhitungkan karena pohon tersebut masih dapat hidup dan masih mampu menyerap ataupun menyimpan karbon, sehingga tidak berpotensi menimbulkan emisi karbon. Besarnya emisi

karbon potensial dari pohon yang rusak akibat kegiatan penebangan dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Emisi karbon potensial pohon rusak akibat penebangan dan penyaradan Plot Pohon rusak berat (phn/ha) Karbon (ton C/ha) 1 20 5,50 2 17 4,92 3 25 10,81 4 13 5,40 5 13 3,37 6 11 3,58 7 16 5,82 8 16 4,31 9 14 4,48 10 20 5,08 Rata-rata 16,50 5,33 Standar deviasi 4,20 2,09 Pada Tabel 19 terlihat bahwa kerusakan akibat kegiatan penebangan dan penyaradan 11-25 pohon/ha. Emisi karbon potensial yang berasal dari pohon yang mengalami kerusakan akibat kegiatan penebangan dan penyaradan adalah sebesar 3,37-10,81 ton C/ha dengan rata-rata 5,33±2,09 ton C/ha. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ricardo (2008) di Papua Barat yang menyatakan jumlah karbon yang hilang pada tegakan tinggal yang rusak akibat penebangan dengan menggunakan teknik CL (Conventional Logging) sebesar 33,40 ton C/ha sedangkan dengan menggunakan teknik RIL (Reduced Impact Logging) sebesar 27,94 ton C/ha. Penelitian Feldpausch et al. (2005) menyebutkan jumlah karbon yang hilang pada tegakan tinggal yang rusak akibat penebangan adalah 3,20 ton C/ha dan penyaradan sebesar 0,60 ton C/ha. Perbedaan hasil ini disebabkan karena besarnya intensitas penebangan yang dilakukan berbeda-beda dan disebabkan juga oleh perbedaan jumlah pohon yang mengalami kerusakan akibat kegiatan penebangan tersebut. Emisi karbon potensial dari pohon rusak dari kegiatan pemanenan jauh lebih kecil dibandingkan dengan pohon tebangan. Hal ini dikarenakan perbedaan ukuran diameter. Dimana pohon tebangan memiliki diameter jauh lebih besar dari pohon yang mengalami kerusakan. Sehingga memiliki biomassa/simpanan

karbon yang jauh lebih besar dibandingkan dengan biomassa/simpanan karbon pada pohon rusak akibat pemanenan. Faktor yang mempengaruhi emisi karbon potensial yaitu intensitas pemanenan dan potensi awal tegakan sebelum pemanenan. Semakin tinggi intensitas pemanenan dan potensi awal tegakan sebelum pemanenan maka akan semakin besar pula emisi karbon potensial yang ditimbulkan. Persamaan regresi linier berganda hubungan antara intensitas pemanenan dan potensi awal tegakan sebelum pemanenan terhadap besarnya emisi karbon potensial dinyatakan dalam persamaan regresi sebagai berikut : Ŷ = - 19,2 + 2,13 X 1 + 0,192 X 2 (R 2 = 88,80%) Keterangan : Ŷ = Emisi karbon potensial (ton C/ha) X 1 = Intensitas pemanenan (m 3 /ha) = Potensi awal tegakan sebelum pemanenan (m 3 /ha) X 2 Koefisien determinasi yang diperoleh adalah 88,80%, artinya sebesar 88,80% dari keragaman emisi karbon potensial dapat dijelaskan oleh intensitas pemanenan dan potensi awal tegakan sebelum pemanenan yang dilakukan, sedangkan sisanya dapat dijelaskan oleh faktor-faktor lain. Berdasarkan nilai koefisien determinasi ini, maka dapat disimpulkan bahwa model dugaan yang didapatkan cukup baik karena mampu menerangkan peubah respon dengan baik. Tabel 20 Analisis ragam hubungan emisi karbon potensial dengan potensi awal tegakan dan intensitas pemanenan Sumber Derajat Kuadrat Jumlah Kuadrat Keragaman Bebas Tengah F Hitung Regresi 2 2680,10 1430,10 27,80 0,000 Galat 7 360,00 51,40 Total 9 3220,20 Jika dilihat dari nilai P sebesar 0,000 yang diperoleh dari kedua peubah terhadap emisi karbon potensial dimana nilainya lebih kecil dari nilai alpha 0,05 maupun 0,001 dan dari nilai F hitung yang lebih besar dibandingkan F tabel sehingga dapat disimpulkan bahwa emisi karbon potensial memiliki hubungan yang nyata dengan mininimal satu peubah penduga. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan tiap peubah penduga terhadap besarnya emisi karbon potensial maka dilakukan uji-t yang dapat dilihat pada Tabel 21. P

Tabel 21 Hubungan antar peubah dengan besarnya emisi karbon potensial Peubah Penduga t Hitung P Intensitas pemanenan 2,49* 0,041 Potensi awal tegakan sebelum pemanenan 5,13** 0,001 **sangat nyata pada P<0,01 *nyata pada P<0,05 Berdasarkan hasil pengujian dapat diketahui bahwa faktor yang sangat nyata mempengaruhi emisi karbon potensial adalah Potensi awal tegakan sebelum pemanenan yang berpengaruh sangat nyata dapat dilihat dari nilai P nya lebih kecil dari nilai alpha yang ditentukan dan juga nilai t-hitung nya yang lebih besar dari pada nilai t-tabel. Intensitas pemanenan juga memiliki pengaruh nyata terhadap besarnya emisi karbon potensial (P<0,05). 5.4.3 Perubahan Simpanan Karbon Pada Tegakan Kegiatan pemanenan pohon-pohon komersial mengakibatkan terjadinya penurunan biomassa dalam tegakan hutan, hal ini juga berarti terjadinya pengurangan simpanan karbon di dalam hutan tersebut. Pengurangan stok karbon di hutan berasal dari pohon yang mengalami rusak berat dan pohon yang ditebang. Pohon yang ditebang dengan intensitas pemanenan 8,60 pohon/ha memiliki simpanan biomassa dan karbon yang lebih besar dibandingkan pada pohon yang mengalami kerusakan berat. Pengurangan stok karbon yang terjadi disajikan pada Gambar 7. 140 120 Karbon (ton C/ha) 100 80 60 40 20 rusak dipanen sisa stok awal 0 Sebelum pemanenan Setelah pemanenan Gambar 7 Perubahan stok karbon sebelum dan pasca pemanenan kayu.

Pada Gambar 7 menunjukkan bahwa setelah dilakukannya kegiatan pemanenan kayu, potensi pengurangan stok karbon yang terjadi adalah 46,74 ton C/ha atau sebesar 38,90%. Pengurangan simpanan karbon ini berasal dari karbon yang hilang dari pohon yang dipanen sebesar 41,41 ton C/ha dan karbon yang hilang dari kerusakan pohon akibat pemanenan kayu sebesar 5,33 ton C/ha, sehingga dilapangan masih terdapat stok karbon tegakan tinggal sebesar 73,40 ton C/ha. Hasil tersebut secara umum nilainya lebih rendah apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Aryono (2010) yang menyatakan bahwa kegiatan pemanenan kayu mengakibatkan pengurangan simpanan karbon sebesar 54,86% (84,69 ton C/ha) pada tegakan rapat dan 41,89% (51,13 ton C/ha) pada tegakan rawang. Hasil penelitian Putz et al. (2008) menyatakan bahwa pemanenan secara konvensional dan RIL dengan siklus tebang 30 tahun di Malaysia mengakibatkan pengurangan simpanan karbon masing-masing 50,70% (108 ton C/ha) dan 36,62% (78 ton C/ha), sedangkan pemanenan secara konvensional dan RIL dengan siklus tebang 30 tahun di Brazil mengakibatkan pengurangan simpanan karbon masing-masing 10,22% (19 ton C/ha) dan 6,45% (12 ton C/ha). Pengurangan stok karbon tersebut berpotensi menjadi emisi karbon. Menurut Brown et al. (2004) terdapat dua penyebab terjadinya pengurangan simpanan karbon di dalam hutan dengan adanya kegiatan pemanenan yaitu dekomposisi dari sisa tegakan yang ditinggalkan di dalam hutan dengan kerusakan berat dan dekomposisi dari kayu yang telah diolah menjadi suatu produk. Kayu yang telah diolah menjadi suatu produk akan menjadi emisi dengan jangka waktu yang lebih lama (tergantung dari umur/masa pakai produk) dibandingkan dengan pohon-pohon yang ditinggalkan dalam keadaan rusak berat di dalam hutan melalui proses dekomposisi, namun limbah dari proses pengolahan kayu menjadi suatu produk juga berpotensi menjadi emisi dengan jangka waktu yang lebih cepat.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Kerusakan tegakan tinggal yang terjadi akibat pemanenan kayu pada intensitas pemanenan 8,6 pohon/ha sebesar 31,40 pohon/ha yang dapat dikelompokkan menjadi kerusakan berat 52,55%, sedang 33,12%, dan ringan 14,33%. 2. Keterbukaan areal akibat penyaradan pada intensitas penebangan 8,6 pohon/ha sebesar 6,20%. 3. Emisi karbon potensial akibat pemanenan kayu berasal dari jumlah karbon yang hilang dari pohon yang ditebang dan mengalami kerusakan akibat penebangan dan penyaradan. Besarnya emisi karbon potensial kayu adalah 46,74 ton C/ha. Emisi yang nyata terjadi berasal dari limbah penebangan dan pohon yang rusak berat sebesar 16,86 ton C/ha. 6.2 Saran Diperlukan penelitian lanjutan mengenai besarnya emisi karbon aktual akibat kegiatan pemanenan kayu yang berasal dari biomassa tertinggal dalam hutan karena tidak semua bagian pohon yang dipanen langsung menjadi emisi karena dimanfaatkan menjadi produk-produk olahan kayu.

DAFTAR PUSTAKA Amir HB.1996. Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu dengan sistem silvikultur tebang jalur tanam Indonesia (TPTI) (studi kasus di areal uji coba tebang jalur tanam Indonesia PT.Sumalindo Lestari Jaya IV Kalimantan Timur) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Almulqu AA. 2008. Dampak pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur tebang pilih tanam jalur (TPTJ) terhadap potensi kandungan karbon dalam tanah di hutan alam tropika (Studi kasus di areal IUPHHK PT. Sari Bumi kusuma, Kalimantan Tengah) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Arif A. 2001. Hutan dan Kehutanan.Yogyakarta: Kanisius. Aryono CF. 2010. Potensi simpanan karbon dan perubahannya pada sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur (studi kasus di konsesi hutan PT. Erna Djuliawati, Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Basuki TM, Van Laake PE, Skidmore AK, Hussin YA. 2009. Allometric equation for estimating the about-ground biomass in tropical lawland dipterocarp forest. Forest Ecology and Management 257: 1684-1694. Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest: A Primer. FAO Forestry Paper. USA. 134: 10-13. Brown S et al. 2004. Impact of Selective Logging on the Carbon Stocks of Tropical Forest: Republic Congo as A Case Studies. Winrock International. Chave J at al. 2005. Tree Alometry and Improved Estimation of Balance in Tropical Fores.Oecologia (2005) 145:87-99. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1993. Pedoman dan Petunjuk Teknis Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Jakarta: Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. Elias. 1993. Kerusakan tegakan tinggal pada hutan tropika basah akibat pemanenan kayu dengan sistem TPTI. Rimba Indonesia 29 (3-4) : 32-38. Elias. 1995. A case study on forest harvesting damages, structure and composition dynamic changes in the residual stand for dipterocarp forests in East Kalimantan, Indonesia. Paper presented in IUFRO XX World Congress, 6-12 August 1995, Tampere, Finland. Elias. 1998. Pembukaan Wilayah Hutan. Bogor: IPB Press.

Elias. 1998. Reduced Impact Logging in the Tropical Natural Forest in Indonesia. Forest Harvesting Case Study. Rome: Food AgricultureOrganization of the United Nation. Elias. 2002. Reduced Impact Logging. Buku I. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB Press. Elias, Wistara NJ, Dewi M, Purwitasari H. 2010. Model persamaan massa karbon akar pohon dan root-shoot ratio massa karbon equation model of tree root carbon mass and root-shoot carbon mass ratio. J Manaj Hut Trop 16(3):113-117. Feldpausch TR, Jirka S, Passos CA, Jasper F, Riha SJ. 2005. When big trees fall: demage and carbon export by reduce impact logging in Southern Amazonia. Forest Ecology and Management 219 199-215. [GOFC-GOLD] Global Observation of Forest and Land Cover Dynamics. 2009. A Source Book of Methods and Procedures for Monitoring and Reporting Anthropogenic Greenhouse Gas Emissions and Removals Caused by Deforestation, Gain and Losses of Carbon Stocks in Forests remaining forests, and Forestation. Indriyati IN. 2010. Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan hutan di PT. Salaki Summa Sejahtera Pulau Siberut, Sumatera Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Indryanto. 2008. Pengantar Budi Daya Hutan. Jakarta: Bumi Aksara. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Prepared by the National Greenhouse Gas Inventories Programme, Egglestone HS, Buendia L, Miwa K, Ngara T and Tanabe K (eds). Published: IGES, Japan. Junaedi A. 2007. Dampak pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur tebang pilih tanam jalur (TPTJ) terhadap potensi kandungan karbon dalam vegetasi hutan alam tropika (studi kasus di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah). [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ketterings QM, Coe R, Van Noordwijk M, Ambagau Y, Palm CA. 2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting above-ground tree biomass in mixed secondary forests. Forest Ecology and Management 146: 199-209. Kusuma GA. 2009. Pendugaan potensi karbon di atas permukaan tanah pada tegakan hutan hujan tropis bekas tebangan (LOA 1983) (studi kasus IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Laporte N et al. 2008. Reducing CO 2 emissions from deforestation and degradation in the democratic Republic of Congo: A First Look. USA: The Woods Hole Research Center. Lasco RD. 2002. Forest carbon budget in Southeast Asia following harvesting and land cover change. Science in China (series C) 45: 55-64. Lasco RD et al. 2006. Carbon Stocks Assesment of A Selectively Logged Dipterocarp Forest and Wood Processing Mill in The Philipines. Jounal Tropical Forest Science 18 (4) : 166-172. Muhdi. 2001. Studi kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu dengan teknik pemanenan kayu berdampak rendah dan konvensional di hutan alam (studi kasus di areal HPH PT Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Murdiyarso D, Hairiah, Van Noordjwik M. 1994. Modelling and measuring soil organics matter dynamics and greenhouse gas emission after forest conversion. Report of A Workshop Training Course, Bogor: 8-15 August 1994. Putz FE et al. 2008. Improved tropical forest management for carbon retention. PLOS Biology 6(7): 1368-1369 Ricardo. 2008. Perbandingan jumlah karbon tegakan pohon yang rusak akibat penebangan dengan menggunakan teknik RIL (Reduced Impact Logging) dan CL (Conventional Logging) pada IUPHHK PT. Arfak Indra Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Rusolono T.2006. Model pendugaan persediaan karbon tegakan agroforestry untuk pengelolaan hutan milik melalui skema perdagangan karbon[disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sessions J. 2007. Tropical Forestry : Harvesting Operations in The Tropics. Heidelberg. Springer. Sist P, Nolan T, Bertault JG, Dykstra D.1997. Harvesting intensity versus sustainability in indonesia. Forest Ecology and Management 108: 251-260. Sastrodimedjo S dan S. Radja.1976. Aspek-aspek eksploitasi hutan di bidang potensi hutan pada pengusahaan hutan. Paper pada lokakarya intensifikasi pemungutan hasil hutan dan pemanfaatannya. Surabaya. Sularso H. 1996. Analisis kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu terkendali dan konvensional pada system tebang pilih tanam Indonesia (TPTI). [tesis] Pascasarjana. IPB. [UNFCCC] United Nations Framework Convention on Climate Change. 2001. The Marrakesh Accords and The Marrakesh Declaration. UNFCCC/CP/2001/13/Add.1. UNFCCC.

Wayana PA. 2011. Pendugaan emisi karbon potensial akibat pemanenan kayu secara mekanis pada hutan alam tropis (studi kasus di IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Whitten A, Anwar D, Hisyam N. 1984. The Ecologycal of Sumatra. Gadjah Mada University Press.

LAMPIRAN

Lampiran 1 Kondisi tegakan sebelum pemanenan dan kerusakan akibat pemanenan Plot Intensitas Pohon sebelum penebangan (phn/ha) Pohon rusak (phn/ha) Total Kerusakan Penebangan 20-29 30-39 40-49 50 up Jumlah 20-29 30-39 40-49 50 up Jumlah (phn/ha) (cm) (cm) (cm) (cm) (cm) (cm) (cm) (cm) (%) (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) (j) 1 11 60 37 24 28 149 27 9 6-42 30,43 2 4 37 39 17 13 106 12 7 2-20 19,61 3 10 35 25 28 34 122 20 10 4 4 36 32,14 4 11 39 26 24 16 105 11 12 8-31 32,98 5 6 45 17 15 20 97 13 6 0-19 20,88 6 5 41 32 23 15 111 11 14 5-30 28,30 7 8 63 31 30 22 146 21 12 4-37 26,81 8 10 55 25 19 25 124 20 10 4-34 29,82 9 7 59 33 16 20 128 19 6 1 2 28 23,14 10 14 51 12 14 21 98 30 6 1-37 44,05 Total 86 485 277 210 214 1186 184 93 33 4 314 28,55 Rata-rata 8,60 48,50 27,70 21 21,40 118,60 18,40 9,30 3,30 0,40 31,40 28,55 St dev 3,13 10,40 8,49 5,59 6,32 18,54 6,65 3,09 2,26 0,84 7,45 7,05 65

Lampiran 2 Kondisi tegakan sebelum dan pasca pemanenan Plot 1 2 3 4 5 6 7 Jumlah pohon per hektar (phn/ha) Kondisi Kelas diameter (cm) Total 20-29 30-39 40-49 50 up Sebelum pemanenan 60 37 24 28 149 pohon layak panen - - - 24 24 Pohon yang dipanen - - - 11 11 Kerusakan akibat penebangan dan penyaradan 27 9 6-42 Pasca pemanenan 33 28 18 17 96 Sebelum pemanenan 37 39 17 13 106 pohon layak panen - - - 11 11 Pohon yang dipanen - - - 4 4 Kerusakan akibat penebangan dan penyaradan 11 7 2-20 Pasca pemanenan 26 32 15 9 82 Sebelum pemanenan 35 25 28 34 122 pohon layak panen - - - 26 26 Pohon yang dipanen - - - 10 10 Kerusakan akibat penebangan dan penyaradan 20 10 4 2 36 Pasca pemanenan 15 15 24 22 76 Sebelum pemanenan 39 26 24 16 105 pohon layak panen - - - 16 16 Pohon yang dipanen - - - 11 11 Kerusakan akibat penebangan dan penyaradan 11 12 8-31 Pasca pemanenan 28 14 16 5 63 Sebelum pemanenan 45 17 15 20 97 pohon layak panen - - - 16 16 Pohon yang dipanen - - - 6 6 Kerusakan akibat penebangan dan penyaradan 13 6 - - 19 Pasca pemanenan 32 11 15 14 72 Sebelum pemanenan 41 32 23 15 111 pohon layak panen - - - 14 14 Pohon yang dipanen - - - 5 5 Kerusakan akibat penebangan dan penyaradan 11 14 5-30 Pasca pemanenan 30 18 18 10 76 Sebelum pemanenan 63 31 30 22 146 pohon layak panen - - - 21 21 Pohon yang dipanen - - - 8 8 Kerusakan akibat penebangan dan penyaradan 21 12 4-37 Pasca pemanenan 42 19 26 14 101

Lampiran 2 (Lanjutan) Plot 8 9 10 Jumlah pohon per hektar (phn/ha) Kondisi Kelas diameter (cm) Total 20-29 30-39 40-49 50 up Sebelum pemanenan 55 25 19 25 124 pohon layak panen - - - 21 21 Pohon yang dipanen - - - 10 10 Kerusakan akibat penebangan dan penyaradan 20 10 4-34 Pasca pemanenan 35 15 15 15 80 Sebelum pemanenan 59 33 16 20 128 pohon layak panen - - - 16 16 Pohon yang dipanen - - - 7 7 Kerusakan akibat penebangan dan penyaradan 19 6 1 2 28 Pasca pemanenan 40 27 15 11 93 Sebelum pemanenan 51 12 14 21 98 pohon layak panen - - - 20 20 Pohon yang dipanen - - - 14 14 Kerusakan akibat penebangan dan penyaradan 30 6 1-37 Pasca pemanenan 21 6 13 7 47 Lampiran 3 Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan tingkat berat Persentase kerusakan berat per kelas diameter Intensitas Kerapatan (%) Plot Penebangan Jumlah (phn/ha) 30-39 40-49 (phn/ha) 20-29 cm 50 cm up cm cm 1 149 11 10,14 4,35 - - 14,49 2 106 4 10,78 3,92 1,96-16,67 3 122 10 12,50 1,96 1,79 1,79 18,03 4 105 11 6,38 5,32 3,19-14,89 5 97 6 9,89 4,40 - - 14,29 6 111 5 4,72 4,72 0,94-10,38 7 146 8 5,07 5,07 1,45-11,59 8 124 10 9,65 3,51 0,88-14,04 9 128 7 7,44 1,65 0,83 1,65 11,57 10 98 14 17,86 4,76 1,19-23,81 Ratarata 118,60 8,60 9,44 3,97 1,22 0,34 14,98 St dev 18,55 3,13 3,91 1,25 0,95 0,73 3,89

Lampiran 4 Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan tingkat sedang Persentase kerusakan sedang per kelas diameter Intensitas Kerapatan (%) Plot Penebangan Jumlah (phn/ha) 30-39 40-49 (phn/ha) 20-29 cm 50 cm up cm cm 1 149 11 8,70 1,45 4,35-14,49 2 106 4-2,94 - - 2,94 3 122 10 2,94 1,96 - - 4,90 4 105 11 2,13 5,32 3,19-10,64 5 97 6 3,30 2,20 - - 5,49 6 111 5 1,89 5,66 1,89-9,43 7 146 8 6,52 2,90 0,72-10,14 8 124 10 7,02 4,39 - - 11,40 9 128 7 4,96 3,31 - - 8,26 Lampiran 5 Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan pada tingkat ringan Persentase kerusakan sedang per kelas diameter Intensitas Kerapatan (%) Plot Penebangan Jumlah (phn/ha) 30-39 40-49 (phn/ha) 20-29 cm 50 cm up cm cm 1 149 11 0,72 0,72 - - 1,45 2 106 4 - - - - - 3 122 10 2,68 0,89 1,79-5,36 4 105 11 2,13 3,19 2,13-7,45 5 97 6 - - - - - 6 111 5 2,83 2,83 1,89-7,55 7 146 8 3,62 0,72 0,72-5,07 8 124 10 0,88 0,88 2,63-4,39 9 128 7 3,31 0,83 - - 4,13 10 98 14 16,67 - - - 16,67 Ratarata 118,60 8,60 5,45 2,94 1,03-9,44 St dev 18,54 3,13 4,76 1,75 1,59-4,25 10 98 14 3,57 2,38 - - 5,95 Ratarata 118,60 8,60 1,97 1,24 0,92-4,13 St dev 18,54 3,13 1,44 1,13 1,07-2,78

Lampiran 6 Simpanan karbon plot penelitian sebelum dan pasca pemanenan Plot 1 2 3 4 5 6 7 Karbon per hektar ( Ton C/ha) Emisi Karbon Kondisi Kelas diameter (cm) Total 40- Potensial 20-29 30-39 50 up 49 (ton C/ha) Sebelum pemanenan 10,82 15,97 20,84 78,50 126,13 Pohon yang dipanen - - - 34,49 34,49 Kerusakan akibat penebangan dan penyaradan 2,97 2,53 - - 5,50 Pasca pemanenan 7,85 13,44 20,84 44,00 39,99 86,14 Sebelum pemanenan 7,18 16,66 14,08 37,79 75,71 Pohon yang dipanen - - - 14,17 14,17 Kerusakan akibat penebangan dan penyaradan 2,13 1,36 1,42-4,92 Pasca pemanenan 5,05 15,30 12,65 23,61 19,09 56,62 Sebelum pemanenan 6,92 11,43 24,79 144,79 187,93 Pohon yang dipanen - - - 74,91 74,91 Kerusakan akibat penebangan dan penyaradan 2,83 4,37 1,01 2,61 10,81 Pasca pemanenan 4,09 7,06 23,78 67,28 85,72 102,21 Sebelum pemanenan 6,93 11,25 19,68 42,21 80,08 Pohon yang dipanen - - - 31,10 31,10 Kerusakan akibat penebangan dan penyaradan 1,24 1,45 2,71-5,40 Pasca pemanenan 5,69 9,81 16,97 11,11 36,51 43,57 Sebelum pemanenan 7,23 6,47 14,42 63,34 91,47 Pohon yang dipanen - - - 10,34 10,34 Kerusakan akibat penebangan dan penyaradan 1,70 1,67 - - 3,37 Pasca pemanenan 5,53 4,80 14,42 53,00 13,71 77,75 Sebelum pemanenan 7,52 13,28 20,64 57,69 99,13 Pohon yang dipanen - - - 13,70 13,70 Kerusakan akibat penebangan dan penyaradan 1,02 1,89 0,67-3,58 Pasca pemanenan 6,50 11,39 19,97 44,00 17,27 81,86 Sebelum pemanenan 10,99 13,67 26,49 121,35 172,50 Pohon yang dipanen - - - 46,34 46,34 Kerusakan akibat penebangan dan penyaradan 1,20 3,05 1,56-5,82 Pasca pemanenan 9,79 10,62 24,92 75,01 52,16 120,34

Lampiran 6 (Lanjutan) Plot 8 9 10 Karbon per hektar ( Ton C/ha) Emisi Karbon Kondisi Kelas diameter (cm) Total 30-40- Potensial 20-29 50 up 39 49 (ton C/ha) Sebelum pemanenan 8,98 10,26 16.19 101,42 136,85 Pohon yang dipanen - - - 44,90 44,90 Kerusakan akibat penebangan dan penyaradan 2,00 1,41 0.90-4,31 Pasca pemanenan 6,98 8,85 15.29 56.52 49,21 87,64 Sebelum pemanenan 10.24 14,33 14,81 65.72 105,11 Pohon yang dipanen - - - 31.83 31,83 Kerusakan akibat penebangan dan penyaradan 1,84 0,79 0,67 1.18 4.48 Pasca pemanenan 8,40 13,54 14,14 32.71 36,31 68,80 Sebelum pemanenan 8,47 5,41 12,86 99.78 126,51 Pohon yang dipanen - - - 65.08 65,08 Kerusakan akibat penebangan dan penyaradan 2,92 0,82 1,34-5,08 Pasca pemanenan 5,54 4,58 11,52 34.70 70,16 56,35

Lampiran 7 Patah tajuk akibat pemanenan Lampiran 8 Patah batang akibat pemanenan

Lampiran 9 Luka batang akibat pemanenan Lampiran 10 Rusak banir akibar pemanenan

Lampiran 11 Pecah batang akibat pemanenan Lampiran 12 Roboh akibat pemanenan

Lampiran 13 Peta Kawasan IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera.

Lampiran 14 Peta Blok RKT 2011 IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera

Lampiran 15 Peta Plot Penelitian Pada Petak 265 RKT 2011

Lampiran 16 Peta Plot Penelitian Pada Petak 264 RKT 2011