TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Pengembangan Wilayah Wilayah (region) adalah unit geografis dimana komponen-komponennya memiliki keterkaitan

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Provinsi Lampung memiliki kegiatan pembangunan yang berorientasikan pada potensi sumberdaya alam

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

TINJAUAN PUSTAKA. (Heady dan Jensen, 2001) penggunaan lahan paling efisien secara ekonomi adalah

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Lahan Sawah. memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief,

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

TINJAUAN PUSTAKA. dan daerah, sarana penumbuhan rasa kebersamaan (gotong royong), sarana

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

TINJAUAN PUSTAKA Agropolitan

TINJAUAN PUSTAKA Perencanaan Pembangunan Wilayah

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

I. PENDAHULUAN. bercocok tanam. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang

BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

ISSN DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

JURIDIKTI, Vol. 6 No. 1, April ISSN LIPI :

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan,

CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. komunitas mengubah ekosistem hutan atau lahan kering menjadi sawah adalah

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN BUPATI CIANJUR

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa.

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor unggulan dalam perekonomian Indonesia, hal ini

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Peranan Aplikasi GIS Dalam Perencanaan Pengembangan Pertanian

diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

LOGO Potens i Guna Lahan

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah (regional development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Pengembangan wilayah sangat diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya, dan geografis yang sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Pada dasarnya pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kondisi, potensi dan permasalahan wilayah yang bersangkutan (Riyadi, 2002) Dalam pengembangan wilayah, perlu terlebih dahulu dilakukan perencanaan penggunaan lahan yang strategis yang dapat memberikan keuntungan ekonomi wilayah (strategic land-use development planning). Perencanaan penggunaan lahan yang strategis bagi pembangunan merupakan salah satu kegiatan dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan (Sitorus, 2004). Hal ini penting untuk mengetahui potensi pengembangan wilayah, daya dukung dan manfaat ruang wilayah melalui proses inventarisasi dan penilaian keadaan/kondisi lahan, potensi, dan pembatas-pembatas suatu daerah tertentu (Djakapermana, 2010). Menurut Rustiadi et al. (2009) pembangunan harus dipandang sebagai proses multi dimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan indiviual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada didalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual. Menurut Anwar dan Rustiadi (2000) sektor prioritas merupakan sektor basis yang memiliki potensi optimal dalam pembangunan daerah. Sektor prioritas atau sektor strategis merupakan sektor yang memberikan sumbangan besar dalam

9 perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan aspek spasialnya, mengingat besarnya sumbangan sektor prioritas dalam perekonomian wilayah maka program pembangunan diarahkan kepada sektor ini untuk memperoleh hasil pembangunan yang optimal. Suatu perencanaan pembangunan selalu memerlukan adanya skala prioritas sebagai akibat keterbatasan sumberdaya yang tersedia, dimana dari sudut dimensi sektor pembangunan suatu skala prioritas didasarkan atas pemahaman bahwa : (1) setiap sektor memiliki sumbangan yang langsung maupun tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran-sasaran pembangunan baik penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional dan lain-lain, (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lain dengan karakteristik yang berbedabeda, dan (3) aktivitas sektoral menyebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas terpusat dan terkait dengan sebaran sumber daya alam, buatan (infrastruktur) dan sosial yang ada. Atas dasar pemikiran tersebut, disetiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis sebagai akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut memberikan dampak langsung dan tidak langsung secara signifikan, dimana dampak tidak langsung terwujud akibat perkembangan sektor tersebut berdampak bagi perkembangan sektor-sektor lain dan secara spasial berdampak luas di seluruh wilayah sasaran (Rustiadi et al. 2009). Pembangunan Pertanian Menurut Rustiadi et al. (2009) pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spasial serta antar pelaku pembangunan di dalam maupun antar daerah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis antar sektor pembanguan sehingga setiap program pembangunan sektoral selalu dilaksanakan dalam kerangka pembanguan wilayah. Tujuan utama dari program pembangunan pertanian adalah menaikkan produksi per ha dan per orang, serta berkesinambungan dalam jangka waktu yang lama. Pembangunan dalam arti ini mempunyai tujuan ekonomi dan tujuaan

10 ekologi. Tujuan ekologi dan ekonomi bersifat saling menunjang tidak bersifat kompetitif. Pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan membutuhkan perhatian terhadap integritas dan sistem ekologi (Wiradisastra, 2006). Peran sektor pertanian yang merupakan dasar bagi kelangsungan pembangunan ekonomi berkelanjutan diharapkan mampu memberikan pemecahan permasalahan bagi bangsa Indonesia, hal tersebut dikarenakan sektor pertanian mempunyai empat fungsi yang sangat fundamental bagi pembanguan suatu bangsa yaitu (1) mencakup pangan dalam negeri, (2) penyediaan lapangan kerja dan usaha, (3) penyediaan bahan baku industri, dan (4) sebagai penghasil devisa bagi negara (Dillon, 2004). Komoditas Unggulan Menurut Badan Litbang Pertanian (2003), komoditas unggulan merupakan komoditas andalan yang memiliki posisi strategis untuk dikembangkan di suatu wilayah yang penetapannya didasarkan pada berbagai pertimbangan baik secara teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya, manusia, infrastruktur, dan kondisi sosial budaya setempat). Ditambahkan pula oleh (Bachrein, 2003) bahwa penetapan komoditas unggulan di suatu wilayah menjadi suatu keharusan dengan pertimbangan bahwa komoditas-komoditas yang mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas yang sama di wilayah lain adalah komoditas yang diusahakan secara efisien dari sisi teknologi dan sosial ekonomi serta memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Selain itu kemampuan suatu wilayah untuk memproduksi dan memasarkan komoditas yang sesuai dengan kondisi lahan dan iklim di wilayah tertentu juga sangat terbatas. Penentuan komoditas unggulan merupakan langkah awal menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapai globalisasi perdagangan (Hendayana, 2003). Menurut Bachrein (2003), penetapan komoditas unggulan perlu dilakukan sebagai acuan dalam penyusunan prioritas program pembangunan oleh penentu kebijakan mengingat berbagai keterbatasan sumberdaya yang dimiliki baik sumberdaya keuangan, sumberdaya manusia,

11 maupun sumberdaya lahan. Selain itu, keberhasilan pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan juga diharapkan akan lebih baik karena kegiatan yang dijalankan lebih terfokus pada program yang diprioritaskan. Batasan wilayah dalam penetapan komoditas unggulan biasanya merupakan wilayah administrasi baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kabupaten. Berbagai metode telah dikembangkan dan digunakan dalam penetapan komoditas unggulan daerah. Metode yang paling umum digunakan yaitu metode Location Quotient (LQ) (Hendayana, 2003). Metode ini lebih bersifat analisis dasar yang dapat memberikan gambaran tentang pemusatan aktifitas atau sektor basis saat ini. Selain metode LQ, Bachrein (2003) menambahkan perlunya analisis a lanjutan untuk mendapatkan komoditas unggulan daerah yaitu analisis supply, analisis ekonomi, dan analisis kualitatif keunikan komoditas. Analisis supply bertujuan untuk melihat kemampuan suatu wilayah dalam menyediakan berbagai komoditas yang dihasilkan berdasarkan trend produksi dan luas panen. Analisis keunggulan kompetitif untuk semua komoditas yang diunggulkan dilakukan dengan perhitungan rasio penerimaan/biaya (Revenue Cost Ratio). Analisis kualitatif dilakukan dengan memperhatikan orientasi pasar, daya saing, serta tingkat komersialisasi komoditas. Lahan Sawah Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang (galengan), saluran untuk manahan/menyalurkan air, ditanami padi sawah tanpa memandang darimana diperolehnya status lahan tersebut. Berdasarkan sumber air yang digunakan dan keadaan genangannya, lahan sawah dapat dibedakan menjadi: (1) lahan sawah irigasi dan (2) lahan sawah non irigasi. Lahan sawah irigasi terdiri dari lahan sawah irigasi teknis, lahan sawah irigasi setengah teknis, lahan sawah irigasi sederhana, lahan sawah irigasi desa/non PU tadah hujan, sawah lebak, dan sawah pasang surut. Lahan Sawah Non irigasi terdiri dari lahan sawah tadah hujan, lahan sawah pasang surut, lahan sawah lebak, polder dan sawah lainnya serta lahan sawah yang sementara tidak diusahakan. (BPS dan Departemen Pertanian, 2007). Lahan sawah memiliki fungsi yang sangat luas yang terkait dengan manfaat langsung, manfaat tidak langsung, dan manfaat bawaan. Manfaat

12 langsung berhubungan dengan perihal penyediaan pangan, penyediaan kesempatan kerja bidang pertanian, penyediaan sumber pendapatan bagi daerah, sarana penumbuhan rasa kebersamaan (gotong royong), sarana pelestarian kebudayaan tradisional, sarana pencegahan urbanisasi, serta sarana pariwisata. Manfaat tidak langsung terkait dengan fungsinya sebagai salah satu wahana pelestari lingkungan. Manfaat bawaan terkait dengan fungsinya sebagai sarana pendidikan, dan sarana untuk mempertahankan keragaman hayati (Rahmanto et al. 2004). Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian. Pemerintah didorong untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan untuk membiayai infrastruktur dan pelayanan publik sementara pada saat yang sama mencoba untuk membatasi penggunaan lahan pertanian. Dengan demikian alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari akibat kecenderungan tersebut (Lichtenberg dan Ding, 2008). Iqbal dan Sumaryanto, (2007) mengatakan bahwa jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh : (1). Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih inggi, (2) Daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan, (3) Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya, infrastruktur wilayah persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering, dan (4) Pembangunan sarana dan prasarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan. Berdasarkan sintesis data dan informasi dari sejumlah hasil penelitian dan data yang dipublikasikan oleh sejumlah lembaga terkait, diperkirakan luas lahan sawah yang terkonversi tidak kurang dari 110.000 hektar/tahun. Namun demikian,

13 sampai saat ini belum ada data yang akurat tentang besaran alih fungsi lahan sawah tersebut. Hal ini terkait dengan pemantauan dan pencatatannya yang belum terlembagakan dengan baik. Kendala yang dihadapi terletak pada terbatasnya anggaran untuk melaksanakan kegiatan tersebut dan kesulitan untuk menyamakan metode pengukuran dari berbagai lembaga terkait karena perbedaan sudut pandang dan kepentingan. Perbedaan tersebut terkait dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing lembaga yang bersangkutan (Bappenas, 2010). Evaluasi Sumberdaya Lahan Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi termasuk keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuannya secara potensial akan a berpegaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976). Dari keempat faktor fisik tersebut, tanah memegang peranan sangat penting dalam mendukung pembangunan pertanian. Data mengenai tanah tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan survei dan pemetaan tanah dengan tujuan untuk mendelineasi penyebaran, mengetahui karakteristik dan potensi pemanfaatannya (Soil Survey Division Staff, 1993). Pemanfaatan lahan merupakan proses yang dinamis dari pola dan aktivitas manusia. Manusia memerlukan bahan pangan, air, energi dan minyak serta infrastruktur perumahan dan fasilitas publik. Kegiatan pemenuhan kebutuhan tersebut menuntut tersedianya lahan. Namun karena ketersediaan tanah relatif tetap, kelangkaan lahan akan terjadi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan tingkat konsumsinya. Dalam kaitan ini, respon terhadap lahan dapat berupa (a) ekstensifikasi, bila masih mungkin ketersediaan lahan yang bersifat elastis, (b) intensifikasi, dengan ketersediaan lahan yang tidak elastis dan digantikan perannya oleh tekonologi, dan (c) kombinasi kedua hal tersebut. Terhadap keseimbangan antara permintaan dan penawaran lahan, sistem umpan balik penggunaan lahan dapat mengalir dalam dua arah, yaitu menghasilkan perbaikan kesejahteraan atau justru menurunkan produktivitas dan mengganggu keberlanjutan produksi (Nasoetion, 1995). Peningkatan kebutuhan akan lahan ini telah mengakibatkan terjadinya persaingan penggunaan lahan sektor pertanian

14 dengan sektor lain di luar pertanian (non pertanian). Dalam kondisi ini diharapkan setiap keputusan penggunaan lahan hendaklah merupakan hasil dari suatu perencanaan tataguna lahan. Perencanaan yang baik akan menempatkan sumberdaya lahan ke dalam penggunaan yang lebih produktif dan pada waktu yang sama melestarikannya untuk kepentingan di masa yang akan datang. Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna lahan. Inti evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan ditetapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Selanjutnya Djaenudin et al. (2003) menyebutkan bahwa evalusi lahan merupakan suatu pendekatan atau cara menilai potensi sumberdaya lahan. Hasil evaluasi lahan memberikan informasi dan arahan penggunaan lahan serta nilai produksi yang mungkin diperoleh. Pada dasarnya evaluasi lahan dilakukan dengan cara mencocokkan (matching) antara kualitas lahan (land qualities) dan karakteristik lahan (land characteristics) dengan persyaratan tumbuh tanaman (land use requirement). Kesesuaian lahan ádalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Lebih spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri dari iklim, tanah, topografi, hidrologi dan/atau drainase sesuai untuk status usahatani atau komoditas tertentu yang produktif (Djaenudin et al. 2003). Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya sebagai berikut : Ordo, keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan yang tergolong tidak sesuai (N). Kelas, adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo, dimana pada tingkat kelas lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu ; sangat sesuai s (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. Sub-kelas, adalah a tingkat dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi sub-kelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi

15 faktor pembatas terberat. Faktor pembatas ini sebaiknya dibatasi jumlahnya, maksimum dua pembatas. Tergantung peranan faktor pembatas pada masingmasing sub-kelas, kemungkinan kelas kesesuaian lahan yang dihasilkan ini bisa diperbaiki dan ditingkatkan kelasnya sesuai masukan yang diperlukan. Unit, adalah tingkat dalam sub-kelas kesesuaian lahan yang didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Semua unit yang berada dalam satu sub-kelas mempunyai tingkatan yang sama dalam kelas. Unit yang satu berbeda dari unit yang lainnya dalam sifat-sifat atau aspek tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan sering merupakan pembedaan tingkat detil dari faktor pembatasnya. Dengan diketahuinya pembatas tingkat unit tersebut memudahkan penafsiran secara detil dalam perencanaan usahatani. Berdasarkan FAO (1976) ada dua pendekatan yang dapat ditempuh dalam melakukan evaluasi lahan, yaitu pendekatan dua tahapan (two stage approach) dan pendekatan paralel (parallel approach). Pendekatan dua tahap adalah proses evaluasi dilakukan secara bertahap, pertama evaluasi secara fisik dan kedua evaluasi secara ekonomi. Pendekatan ini biasanya untuk inventarisasi sumberdaya lahan secara makro dan studi potensi produksi. Dalam pendekatan paralel kegiatan evaluasi lahan secara fisik dan ekonomi dilakukan bersamaan (paralel) atau dengan kata lain analisis ekonomi sosial dari jenis penggunaan lahan dilakukan secara serempak bersamaan dengan pengujian faktor-faktor fisik. Pendekatan ini umumnya menguntungkan untuk suatu acuan yang spesifik dalam kaitannya dengan proyek pengembangan lahan pada tingkat semi detil dan detil dan diharapkan hasil yang lebih pasti dalam waktu singkat. Ciri dari proses evaluasi lahan adalah tahapan di mana persyaratan yang dibutuhkan suatu penggunaan lahan dibandingkan dengan kualitas lahan. Fungsi dari evaluasi lahan adalah memberikan pengertian tentang hubungan antara kondisi lahan dan penggunaannya serta memberikan kepada perencana perbandingan serta alternatif pilihan penggunaan yang diharapkan berhasil (FAO, 1976). Hasil evaluasi lahan juga dapat merumuskan rencana pemanfaatan lahan yang ekonomis, diterima secara sosial dan ramah lingkungan (Sathish dan Niranjana, 2010).

16 Perencanaan penentuan wilayah pengembangan tertentu dalam proses evaluasi lahan dapat dilakukan melalui Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Untuk keperluan tersebut maka perlu diketahui peta-peta seperti; peta lereng, peta status lahan dan peta penutupan lahan. Operasi selanjutnya adalah menumpangtindihkan (overlay) berbagai peta tersebut sehingga dapat diperolah lokasi yang sesuai dengan persyaratan komoditas yang bersangkutan (Barus dan Wiradisastra, 2000). Dalam rangka untuk memastikan efektivitas perencanaan penggunaan lahan, informasi tentang kualitas tanah dan karakteristik lahan memainkan peranan penting. Penerapan teknologi informasi adalah salah satu solusi terbaik di bidang perencanaan penggunaan lahan dimana basis data unit tanah dipertimbangkan terlebih dahulu. Database unit tanah terdiri dari data spasial dan data atribut, yang keduanya harus mengikuti standar (Quan et al. 2007).