BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Founding fathers bangsa Indonesia telah memberikan ketegasan di dalam perumusan dasar pembentukan negara dimana Indonesia harus dibangun dan dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi secara utuh dan menyuluruh, yang kemudian dirumuskan dalam sila keempat Pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Dalam perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia telah melewati masa-masa pemerintahan yang memiliki corak kepemimpinan berbeda berawal dari masa orde lama (identik dengan kepemimpinan Presiden Soekarno), masa orde baru (identik dengan kepemimpinan Presiden Soeharto), dan masuk ke dalam satu masa yang dilatarbelakangi oleh satu pergerakan yang disebut reformarsi (kemudian disebut era reformasi). Pergerakan reformasi memberikan satu dampak yang luar biasa bagi sistem ketatanegaraan Indonesia, tahun 1998 pergerakan yang diusung oleh ribuan rakyat Indonesia mampu menggulingkan pemerintahan Presiden Soeharto yang dianggap mengarah kepada otoritarian penguasa dan mendorong adanya suatu perbaikan sistem ketatanegaraan melalui amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Munculnya era reformasi inilah lalu dianggap sebagai pencapaian luar biasa
dalam mewujudkan pemerintahan yang bersifat demokratis di masa-masa yang berikutnya. Pergerakan reformasi telah berhasil mendorong perubahan sistem ketatanegaran melalui amandemen UUD 1945. Pascaamandemen UUD 1945, sistem ketatanegaraan di Indonesia mengalami perubahan yang sangat signifikan, tujuan utama dari perubahan ini adalah menempatkan rakyat sebagai poros utama pemerintahan sebagai representasi penguatan demokrasi. Amandemen ketiga yang dilakukan pada tahun 2001, memunculkan Pasal 6A yang mengatur bahwa pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan melalui pemilihan umum dengan dipilih langsung oleh rakyat. Perubahan sistem pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden dalam rumusan pasal ini tentunya memiliki arti yang sangat dalam bagi implementasi nilai-nilai demokrasi yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Pemilihan umum (pemilu) tahun 2004 merupakan satu momentum besar bagi perwujudan cita-cita bangsa dalam menciptakan pemerintahan yang demokratis. Pada periode ini amanat Pasal 6A UUD 1945 dilaksanakan dengan untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilu di Indonesia, Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Pemilu 2004 dianggap sebagai keberhasilan bangsa menguatkan demokrasi di Indonesia dan menciptakan pemerintahan yang langsung berasal dari aspirasi rakyat. Pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden secara umum memang dapat dikatakan lebih bersifat demokratis jika dibandingkan dengan pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden oleh Majelis Permusyawaratan 2
Rakyat (MPR) karena mekanisme pelaksanaannya yang melibatkan rakyat secara langsung, Presiden dan Wakil Presiden dalam hal ini mendapatkan mandat langsung serta dukungan yang nyata sebagai satu bentuk interaksi langsung antara pemilih dan yang dipilih. Di sisi lain untuk menguatkan pandangan tersebut setidaknya terdapat 2 (dua) alasan mengapa pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden perlu untuk dilaksanakan. Pertama, pemilihan langsung lebih membuka pintu bagi tampilnya Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat. Kedua, untuk menjaga stabilitas pemerintahan agar tidak mudah dijatuhkan di tengah jalan sesuai dengan yang berlaku di dalam sistem presidensial. Berdasarkan pada pandangan dan alasan ini, menjadi satu hal yang logis jika kemudian muncul ekspektasi dari publik bahwa Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diharapkan mampu menciptakan pemerintahan negara yang demokratis dan lepas dari otoritarian penguasa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta dapat membangun kedaulatan rakyat yang seutuhnya. 5 Mekanisme pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat sebenarnya telah memberikan gambaran bahwa terjadi kontrak sosial antara pemilih dan yang dipilih di dalamnya, Presiden dan Wakil Presiden Presiden yang dipilih melalui pemilihan langsung akan mendapat mandat dan dukungan yang lebih nyata dari rakyat dan kemauan pemilih (volonte generale) 5 Moh. Mahfud MD, 2011, Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi, Ctk. II, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 137-139. 3
akan menjadi pegangan Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan kekuasaannya dalam mengelola negara. 6 Hubungan antara rakyat dan sistem pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden memiliki hubungan yang bersifat interdependensi, artinya kedua memiliki kedudukan yang saling berkaitan dan mempengaruhi kekuatan legitimasi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Sistem Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia pascaamandemen UUD 1945 sejatinya memberikan ruang yang sangat luas untuk setiap warga negara terhadap hak untuk memilih dan dipilih, di samping itu pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dapat dinyatakan sebagai pemenang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden jika mendapat dukungan lebih dari 50% (lima puluh persen) secara nasional dan harus mencapai 20% (dua puluh persen) di separuh keseluruhan provinsi yang ada di Indonesia. 7 Legitimasi keterpilihan pemenang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden ini dirumuskan di dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945, sehingga pemenang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih) mendapatkan legitimasi untuk menjalankan kekuasaannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang dijamin oleh konstitusi. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Rumusan ini 6 Dahlan Thaib, 2009, Ketatanegaraan Indonesia : Perspektif Konstitusional, Total Media, Yogyakarta, hlm. 115. 7 Moh. Mahfud MD, op. cit., hlm. 140. 4
mengisyaratkan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dapat menjadi peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden jika diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik, namun konstitusi tidak memberikan ketentuan partai politik atau gabungan partai politik yang mana yang dapat mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden memberikan ketentuan bahwa partai politik atau gabungan partai politik yang dapat mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik yang telah memenuhi presidential threshold. Ketentuan mengenai presidential threshold dirumuskan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan presidential threshold pada mulanya adalah ketentuan yang sederhana dalam penerapannya di pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, pada periode tahun 2004, 2009, dan 2014 penetapan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) menjadi satu hal yang mudah untuk diketahui karena pada periode ini pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pemilihan umum legislatif, 5
artinya untuk melihat terpenuhi atau tidaknya presidential threshold hanya tinggal dilihat saja perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik di pemilihan umum legislatif apakah telah memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR. Angka ini pun nantinya akan mempengaruhi pengambilan sikap partai politik peserta pemilu apakah akan mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tanpa koalisi atau harus menjalin koalisi dengan partai politik lain supaya terpenuhinya presidential threshold. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 memutuskan bahwa pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara serentak bersamaan dengan pemilihan umum legislatif, pemilu serentak baru akan dilaksanakan pada periode tahun 2019, dengan kata lain tidak ada pemisahan waktu dalam pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dan pemilihan umum legislatif pada tahun 2019. Mahkamah Konstitusi memutus berdasarkan pada permohonan yang diajukan oleh Effendy Ghazali, dalam permohonannya Effendy Ghazali memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji materiil terhadap pasal Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008. Berdasarkan pada permohonan tersebut Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Effendy Ghazali dan menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang- 6
Undang Nomor 42 Tahun 2008 tidak berlaku dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, dengan catatan putusan a quo berlaku untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden 2019. Mahkamah Konstitusi pun memberikan simulasi bagaimana pemilu serentak akan dilaksanakan, dalam pemilu serentak nantinya akan terdapat 5 (lima) kotak yaitu kotak I untuk DPR, kotak II untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kotak III untuk Presiden dan Wakil Presiden, kotak IV untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi), dan kotak V untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD Kabupaten/Kota). Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 masih tetap berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat artinya bagi Mahkamah Konstitusi penerapan presidential threshold di dalam pemilu serentak masih dianggap sebagai ketentuan yang relevan. Sebenarnya Effendy Ghazali dalam permohonannya menyatakan bahwa dengan diberlakukannya pemilu secara serentak, Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang mengatur mengenai presidential threshold secara otomatis harus dinyatakan tidak berlaku, karena penerapan presidential threshold dalam pemilu serentak adalah sesuatu yang tidak relevan. Dalam permohonannya Effendy Ghazali menegaskan bahwa pengajuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden seharusnya menggunakan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, tidak menggunakan ketentuan presidential threshold. Beberapa waktu kemudian, setelah putusan permohonan uji materiil yang diajukan Effendy Ghazali dibacakan, Mahkamah Konstitusi membacakan 7
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XI/2013 yang dimohonkan oleh Yusril Ihza Mahendra. Dalam permohonannya Yusril memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan penafsiran konstitusional terhadap pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Yang menjadi pokok permohonan Yusril adalah mengenai penghapusan ketentuan presidential threshold sebagai syarat partai politik atau gabungan partai politik dapat mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Yusril berpandangan bahwa presidential threshold adalah satu ketentuan yang melanggar hak konstitusional seseorang untuk mencalonkan diri sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di samping itu UUD 1945 tidak mengatur mengenai hal tersebut, bagi Yusril ketentuan presidential threshold bertentangan dengan konstitusi. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 108/PUU-XI/2013 tetap konsisten dengan putusan sebelumnya (Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013) dimana tetap mempertahankan ketentuan presidential threshold dalam pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Terdapat satu hal yang positif jika melihat 2 (dua) Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yaitu Mahkamah Konstitusi secara konsisten dengan pandangan dan pertimbangannya dalam mempertahankan presidential threshold, namun nyatanyakonsistensi putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan presidential threshold sebenarnya menimbulkan polemik baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, khususnya dalam sistem pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. Pemilihan umum Presiden dan Wakil 8
Presiden yang dilaksanakan serentak dengan pemilihan umum legislatif berimplikasi pada komplektisitas penerapan presidential threshold, jika melihat simulasi pemilu serentak yang disertakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 antitesis yang muncul dari mekanisme ini adalah, presidential threshold yang mana yang akan ditetapkan sebagai ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilu serentak, padahal antara pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dan pemilihan umum legislatif dilaksanakan pada 1 (satu) tanggal/waktu. Berdasarkan pada latar belakang masalah inilah kemudian penulis mengangkat judul PRESIDENTIAL THRESHOLD DALAM PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN PASCAPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada subbab latar belakang, rumusan masalah yang akan dikaji dan dianalisis oleh penulis adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana dasar argumentasi hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013? 2. Bagaimana implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU- XI/2013 terhadap ketentuan presidential threshold pada pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden 2019? 9
C. Tujuan Penulisan Tujuan yang ingin dihasilkan dari penulisan ini antara lain adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengkaji dan menganalisis apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 sehingga penulis dapat mendapatkan jawaban dari pertanyaan mengapa hakim Mahkamah Konstitusi tetap mempertahankan penerapan presidential threshold dalam pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden 2019. 2. Untuk mengetahui dan menemukan jawaban mengenai bagaimana implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 terhadap penerapan presidential threshold dalam pengaturannya di dalam peraturan perundang-undangan dan penerapannya di dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden 2019. D. Manfaat Penulisan Penulisan yang dilakukan ini diharapkan akan memberikan manfaat baik bagi dunia pendidikan di bidang ilmu hukum secara umum, secara khusus penulis mengharapkan bahwa penulisan ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis, yaitu untuk kalangan akademisi, dosen, penulis, dan mahasiswa dapat mengetahui dan memahami ketentuan presidential threshold dalam pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil 10
Presiden di Indonesia yang pada tahun 2019 nanti akan dilaksanakan secara serentak dengan pemilihan umum legislatif, sehingga penulisan ini dapat digunakan sebagai referensi penulisan karya ilmiah di kemudian hari dan referensi dalam kegiatan belajar mengajar yang relevan dengan permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini. 2. Manfaat secara praktis dari penulisan ini, yaitu : i. Untuk aparat penegak hukum, penulisan ini dapat digunakan sebagai petunjuk dan bahan pertimbangan dalam mengkonstruksikan aturan (dalam hal ini undang-undang) yang berkaitan dengan Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden sehingga dapat menempatkan kedudukan secara yuridis terkait dengan presidential threshold. ii. Untuk masyarakat, penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan informasi aktual untuk membentuk masyarakat yang cerdas hukum. E. Keaslian Penulisan Penulis dalam hal ini telah melakukan penelusuran terhadap penulisan hukum di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan tidak menemukan penulisan hukum yang berjudul PRESIDENTIAL THRESHOLD DALAM PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN PASCAPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013. Penulisan ini merupakan penulisan yang 11
membahas mengenai implikasi yang muncul terkait dengan ketentuan presidential threshold pascaputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU- XI/2013 yang memutuskan pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilangsungkan serentak dengan pemilihan umum legislatif, sehingga dapat dilihat dengan jelas bahwa objek penulisan dalam penulisan ini adalah presidential threshold. Penulisan ini berbeda dengan penulisan skripsi yang dilakukan oleh Syarif Fatahillah yang berjudul URGENSI PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN DPR, DPD, DPRD (LEGESLATIF) SECARA SERENTAK DALAM PRAKTIK KETATANEGARAAN DI INDONESIA (2013). Penulisan skripsi yang ditulis Syarif Fatahillah ini memiliki objek penulisan adalah urgensi dari pelaksanaan pemilu Presiden dan legislatif secara serentak. Penulis mengangkat mengenai persoalan urgensi pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan pemilihan umum legeslatif secara serentak dan bagaimana kemungkinan keduanya dapat dilaksanakan secara serentak dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Penulis kemudian membahasnya secara umum dengan metode analisis tinjauan peraturan perundang-undangan dan menitikberatkan pada kajian konstitusi, dalam hal ini penulis mencoba melihat, jika pemilu Presiden dan legislatif dilakukan secara serentak bagaimana keabsahan pelaksanaan pemilu itu menurut UUD 1945, konstitusional atau tidak. Perbedaan lain yang menunjukkan bahwa penulisan ini berbeda dengan penulisan skripsi tersbut bahwa penulisan ini merupakan penulisan yang dilakukan pascaputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2014, sehingga dalam membahas dan menganalisis penulis menggunakan putusan 12
tersebut, sedangkan penulisan skripsi dilaksanakan sebelum adanya putusan sehingga dalam penulisan skrispsi itu membahas mengenai kemungkinan pemilu serentak dilakukan di Indonesia, jika pemilu serentak dilakukan bagaimana keabsahan pemilu serentak menurut UUD 1945. 13