ANALISIS TATANIAGA BERAS

dokumen-dokumen yang mirip
I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan


BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

VI SALURAN DAN FUNGSI TATANIAGA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Usahatani dan Pemasaran Kembang Kol

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik

81 Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009) 1 & 2

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT

TATA NIAGA SALAK PONDOH (Salacca edulis reinw) DI KECAMATAN PAGEDONGAN BANJARNEGARA ABSTRAK

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini

KAJIAN PENURUNAN KUALITAS GABAH-BERAS DILUAR KUALITAS PENDAHULUAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

IV. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara agraris di dunia, dimana sektor

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis 2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga

SISTEM PEMASARAN BERAS DI KECAMATAN CIBEBER, KABUPATEN CIANJUR

BAB IX ANALISIS PEMASARAN PEPAYA SPO DAN PEPAYA NON SPO. memindahkan suatu produk dari titik produsen ke titik konsumen.

Boks 1 PROFIL PETANI PADI DI MALUKU

PELAKSANAAN KEMITRAAN PT. MEDCO INTIDINAMIKA DENGAN PETANI PADI SEHAT

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang,

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang

III. KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH

III. KERANGKA PEMIKIRAN

4 PEMBANGUNAN MODEL. Gambar 13. Diagram sebab-akibat (causal loop) antar faktor sediaan beras. Bulog Jumlah penduduk. Pedagang pengumpul

STATISTIK HARGA PRODUSEN GABAH

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan bahan pangan pokok bagi penduduk Indonesia dan merupakan

ANALISIS TATANIAGA BERAS DI DESA KENDUREN, KECAMATAN WEDUNG, KABUPATEN DEMAK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Hewan Desa Suka Kecamatan. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang bersifat

ANALISIS PEMASARAN KEDELAI (Suatu Kasus di Desa Langkapsari Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis) Abstrak

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH

HASIL DAN PEMBAHASAN

KEBIJAKAN MENYANGGA ANJLOKNYA HARGA GABAH PADA PANEN RAYA BULAN FEBRUARI S/D APRIL 2007

VIII PENGENDALIAN PERSEDIAAN BERAS ORGANIK

ANALISIS TATANIAGA BERAS DI KECAMATAN ROGOJAMPI KABUPATEN BANYUWANGI

ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI

I. PENDAHULUAN. sebagai penyedia pangan yang cukup bagi penduduknya dan pendukung

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012

Boks 2. Pembentukan Harga dan Rantai Distribusi Beras di Kota Palangka Raya

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. petani responden menyebar antara tahun. No Umur (thn) Jumlah sampel (%) , ,

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan

ANALISIS TATANIAGA IKAN PATIN DI TINGKAT PEDAGANG BESAR PENERIMA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1984 Indonesia telah dapat berswaswembada beras. Namun, akhir-akhir ini

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1)

Lampiran 1. Data Usahatani Jahe Emprit Dengan Satuan Rp/Ha/Musim Tanam. Petani Klaster

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

VI ALOKASI PRODUK. Tabel 23. Sebaran Petani Berdasarkan Cara Panen di Kabupaten Karawang Tahun Petani Padi Ladang Cara Panen

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. untuk mengelola faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, dan modal yang

KAJIAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH-BERAS : Kasus Propinsi Jawa Barat

VI KAJIAN KEMITRAAN PETANI PADI SEHAT DESA CIBURUY DENGAN LEMBAGA PERTANIAN SEHAT DOMPET DHUAFA REPLUBIKA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KAJIAN KEBIJAKAN PERBERASAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. ditanam di lahan kering daerah pengunungan. Umur tanaman melinjo di desa ini

DAFTAR ISI.. DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR LAMPIRAN.

IV. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

III. METODE PENELITIAN. Petani buah naga adalah semua petani yang menanam dan mengelola buah. naga dengan tujuan memperoleh keuntungan maksimum.

VI. ANALISIS TATANIAGA NENAS BOGOR

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha pada Tahun * (Miliar Rupiah)

VII NILAI TAMBAH RANTAI PASOK BERAS ORGANIK

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Boks 2. Ketahanan Pangan dan Tata Niaga Beras di Sulawesi Tengah

IV. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Komoditas pangan masyarakat Indonesia yang dominan adalah beras yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB V PENUTUP. diuraikan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Melalui penelitian dan pengamatan langsung di lokasi penelitian terdapat

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengumpulan Data

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

LAPORAN AKHIR TA ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengambilan Responden

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

Transkripsi:

VI ANALISIS TATANIAGA BERAS Tataniaga beras yang ada di Indonesia melibatkan beberapa lembaga tataniaga yang saling berhubungan. Berdasarkan hasil pengamatan, lembagalembaga tataniaga yang ditemui di lokasi penelitian pada umumnya terdiri atas petani, tengkulak, RMU, pedagang grosir, pedagang ritel, dan Subdivre BULOG. Keberadaan lembaga-lembaga tataniaga tersebut beragam antar satu lokasi dengan lokasi penelitian lainnya. Hal ini mengakibatkan setiap lokasi penelitian memiliki saluran tataniaga, struktur, dan perilaku pasar yang berbeda-beda. 6.1. Analisis Saluran Tataniaga Beras Desa Kenduren Tataniaga beras di Desa Kenduren berawal dari gabah hasil panen petani yang kemudian ditebas oleh tengkulak daerah setempat dan menjualnya ke RMU. Dari RMU-RMU tersebut, beras kemudian dipasarkan melalui beberapa lembaga hingga konsumen akhir. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa 100 persen dari 30 responden petani menjual padi hasil panennya ke tengkulak atau pedagang pengumpul. Hal ini sesuai dengan Rusastra et al. (2001) dan Sutawi (2009) yang menyatakan bahwa pedagang pengumpul merupakan pembeli dominan dari hasil panen padi milik petani. Alasan utama mengapa petani menjual seluruh padinya kepada tengkulak adalah karena kebutuhan akan uang tunai dengan segera. Hal inilah yang menyebabkan harga gabah pada tingkat petani rendah dikarenakan posisi tawar mereka yang rendah dibandingkan dengan tengkulak. Setelah itu, gabah dijual kepada RMU setempat. Beras hasil giling dijual kepada grosir dan ritel. Grosir banyak menjual berasnya ke pedagang besar baik di dalam kota maupun luar kota. Biasanya banyak pembeli dari luar daerah yang mendatangi grosir Demak. Ritel menjual beras kepada konsumen akhir yang ada di daerah setempat. Secara umum saluran tataniaga di Desa Kenduren identik dengan saluran tataniaga dalam penelitian Aniro (2009) yang dilakukan di Kabupaten Cianjur yaitu terdiri dari petani, tengkulak, Gapoktan Sawargi, RMU beras, pabrik beras, distributor, dan retail. Perbedaan yang ada adalah dalam penelitian ini tidak

ditemukan peran Gapoktan atau Poktan yang memberikan fasilitas bagi petani. Dari sisi kelembagaan, tidak ada kelompok yang aktif dan mengoordinir petani dalam memasarkan hasil panennya. 6.1.1. Analisis Saluran Tataniaga dengan Konsumen Individu sebagai Konsumen Akhir Petani 100% 100% Tengkulak RMU 5,81% Konsumen Individu 65,12% Grosir 3,80% 10,90% 18,99% Ritel 100% Keterangan: =Aliran gabah =Aliran beras Gambar 4. Saluran Tataniaga Beras A Desa Kenduren Tahun 2011 Terdapat empat saluran tataniaga pada analisis saluran tataniaga dengan konsumen individu sebagai konsumen akhir. Analisis keempat saluran tersebut adalah sebagai berikut: 1) Saluran 1A: Petani Tengkulak RMU Grosir Ritel Konsumen Individu Saluran 1A menunjukkan penjualan gabah dalam bentuk GKP yang berasal dari petani kepada tengkulak. Petani menyalurkan 100 persen (227,7 ton) GKP kepada tengkulak. Tengkulak menjual 100 persen (1.565 ton) GKP yang diserap dari petani kepada RMU. Dari RMU, beras kemudian disalurkan sebesar 65,12 persen (179,2 ton) ke grosir yang menjadi pelanggan. Pada tingkat grosir, 18,99 persen (150 ton) beras dijual kepada ritel yang terdapat di pasar kabupaten 48

dan kecamatan. Ritel menjual seluruh beras atau 100 persen (16,70 ton) kepada konsumen individu. Dari penelusuran tersebut, secara keseluruhan volume perdagangan yang dapat diketahui memiliki pangsa pasar sebesar 17,58 persen dari total perdangan beras. Total kuantitas beras yang diperdagangkan pada saluran 1A adalah sebesar 2.138,6 ton. 2) Saluran 2A: Petani Tengkulak RMU Grosir Konsumen Individu Pada saluran 2A, petani masih memilih untuk menjual padi dalam bentuk GKP kepada tengkulak. Petani menjual 100 persen GKP (227,7 ton) kepada tengkulak. Tengkulak kemudian menjual gabah dalam bentuk GKP kepada RMU sebesar 100 persen (1.565 ton). RMU menjual beras kepada grosir sebesar 65,12 persen (179,2 ton). Dari grosir, 3,80 persen (30 ton), beras disalurkan kepada konsumen individu. Berdasarkan penelusuran pada saluran 2A, secara keseluruhan pangsa pasar perdagangan beras pada saluran ini adalah sebesar 16,24 persen dengan total kuantitas beras yang diperdagangkan sebesar 2.001,9 ton dari total perdagangan beras. 3) Saluran 3A: Petani Tengkulak RMU Ritel Konsumen Individu Pada saluran 3A, aliran perdagangan menunjukkan gabah dalam bentuk GKP yang berasal dari petani dijual kepada tengkulak. Petani menjual 100 persen beras (227,7 ton) kepada tengkulak. GKP dari tengkulak kemudian dijual kepada RMU sebesar 100 persen (1.565 ton). Di saluran ini, RMU menjual beras langsung kepada ritel sebesar 10,90 persen (30 ton). Dari RMU, ritel kemudian menjual beras sebesar 100 persen (16,70 ton) kepada konsumen individu. Secara keseluruhan, pada saluran 3A meraih pangsa pasar sebesar 15,17 persen dari total perdagangan yang ada. Total kuantitas beras yang diperdagangkan pada saluran 3A adalah sebesar 1.839,4 ton. 49

4) Saluran 4A: Petani tengkulak RMU Konsumen Individu Pada saluran 4A, GKP dari petani dijual kepada tengkulak dari daerah setempat. GKP dari tengkulak kemudian dijual keapada RMU dan RMU langsung menjual beras kepada konsumen individu. Beberapa warga yang tempat tinggalnya berdekatan dengan RMU lebih memilih membeli beras langsung kapada RMU tersebut karena harga beras di RMU lebih murah dari beras yang sudah sampai di pasar setempat. Petani menjual 100 persen (227,7 ton) GKP kepada tengkulak. Dari tengkulak, 100 persen (1.565 ton) gabah disalurkan kepada RMU. Beras dari RMU langsung disalurkan kepada konsumen individu sebesar 5,81 persen (16 ton). Secara keseluruhan, pangsa pasar beras yang mengalir melalui saluran 4A sebesar 14,78 persen dari total perdagangan. Total kuantitas beras yang diperdagangkan pada saluran 4A adalah sebesar 1.808,7 ton. 6.1.2. Analisis Saluran Tataniaga dengan Subdivre BULOG sebagai Konsumen Akhir Petani 100% Tengkulak 100% RMU 18,17% Subdivre BULOG 65,12% 77,21% Grosir Keterangan: =Aliran gabah =Aliran beras Gambar 5. Saluran Tataniaga Beras B Desa Kenduren Tahun 2011 1) Saluran 1B: Petani Tengkulak RMU Grosir Subdivre BULOG Pada saluran 1B, gabah dari petani disalurkan kepada tengkulak, dari tengkulak kepada RMU, RMU kepada grosir, dan grosir kepada Subdivre BULOG. Petani menjual 100 persen beras (227,7 ton) kepada tengkulak. Dari 50

tengkulak, 100 persen (1.565 ton) gabah disalurkan kepada RMU. RMU menyalurkan beras kepada grosir sebesar 65,12 persen (179,2 ton) dari total produksi beras. Beras dari grosir disalurkan kepada BULOG selaku Mitra Kerja sebesar 77,21 persen (610 ton) dari total beras yang diperdagangkan. Secara keseluruhan, dapat diketahui bahwa pada saluran I telah mengalir perdagangan beras sebesar 21,22 persen dengan kuantitas perdagangan sebesar 2.581,9 ton. Berdasarkan aliran perdagangan tersebut, saluran 1B memiliki volume perdagangan yang terbesar. Kontribusi perdagangan yang besar berasal dari beras yang dijual oleh RMU kepada grosir dan grosir kepada Subdivre BULOG Semarang. Total kuantitas beras yang diperdagangkan pada saluran 1B adalah sebesar 2.581,9 ton. Oleh karena itu, saluran ini layak untuk terus dikembangkan karena memberikan prospek pasar yang baik dalam menyerap produk yang diperjualbelikan lembaga tataniaga. Jika dilihat dari pangsa pasar dari total perdagangan grosir, grosir menjual sebagian besar beras kepada Subdivre BULOG. Hubungan kerjasama grosir dan Subdivre BULOG disebut dengan Mitra Kerja. BULOG membeli beras dari grosir dengan harga Rp 5.100,00 per kilogram. Harga tersebut berada di atas HPP yang ditetapkan yaitu Rp 5.060,00 per kilogram di luar kualitas pasar. HPP tersebut merupakan kebijakan internal Subdivre BULOG Semarang dalam rangka memberikan subsidi agar Mitra Kerja bersedia menjual beras mereka ke BULOG. Hal ini merupakan usaha BULOG dalam menjaga jumlah stok beras pemerintah untuk konsumsi nasional. Pemberian subsidi tersebut dilakukan karena HPP BULOG selalu berada di bawah harga pasar yaitu berkisar pada harga Rp 5.500,00 per kilogram. Hubungan grosir dengan BULOG telah berjalan selama tiga tahun dan menimbulkan ikatan kerja yang baik. Hal ini terbukti dengan grosir terus memberikan suplai berasnya kepada BULOG meskipun HPP selalu di bawah harga pasar. Jika dicermati lebih jauh, fungsi BULOG sebagai lembaga yang memberikan jaminan harga dan pasar kepada produsen dan dalam hal ini petani, belum terlaksana. Padahal apa yang tertuang dalam Instruksi Presiden mengenai Kebijakan perberasan, Inpres tersebut dengan jelas menugaskan BULOG untuk menjaga harga di tingkat produsen melalui pengadaan dalam negeri dengan 51

menyerap surplus yang dipasarkan petani selama periode panen berdasarkan HPP. Disamping untuk melindungi petani, pengadaan dalam negeri juga berperan sebagai jaminan pasar atas produksi petani. Namun dengan melihat kinerja BULOG di Desa Kenduren, fungsi tersebut belum dilaksanakan karena BULOG tidak menyentuh produksi petani, sedangkan kondisi petani dalam sebuah tataniaga beras tidak memiliki posisi tawar kuat. Di sisi lain, BULOG memberikan persyaratan yang wajib dipenuhi bagi pihak yang ingin bergabung menjadi Mitra Kerja, persyaratan umum tersebut antara lain memiliki modal usaha, memiliki penggilingan, mampu memenuhi persyaratan teknis beras yang diminta, dan lain sebagainya. Petani tentu saja kesulitan jika harus memenuhi persyaratan tersebut. Sehingga langkah realistis yang dapat ditempuh adalah dengan mengoordinir petani melalui sebuah organisasi yang legal. Organisasi yang dimaksud dapat berupa kelompok tani, gabungan kelompok tani, dan koperasi. Dengan mengoordinir gabah produksi petani melalui organisasi, segala persyaratan yang di wajibkan BULOG diharapkan dapat dipenuhi. Permasalahan yang saat ini muncul di lokasi penelitian adalah peran kelompok tani yang tidak aktif dan tidak mampu memerikan nilai lebih bagi anggotanya. Tindakan pertama yang harus dilakukan saat ini adalah dengan menghidupkan kembali fungsi kelompok tani agar dapat memberikan manfaat kepada para anggota khususnya dalam hal penjualan gabah hasil panen. 2) Saluran 2B: Petani Tengkulak RMU Subdivre BULOG Pada saluran 2B, GKP dari petani dijual kepada tengkulak, dari tengkulak keapada RMU, dan RMU kepada Subdivre BULOG. Petani menjual 100 persen (227,7 ton) hasil panennya berupa GKP kepada tengkulak setempat. Dari pihak tengkulak, 100 persen (1.565 ton) GKP kemudian disalurkan kepada RMU. GKP yang berasal dari RMU sebesar 18,17 persen (50 ton) dijual kepada Subdivre BULOG Semarang yang menjadi Mitra Kerja RMU tersebut. Berdasarkan penelusuran pada saluran 2B, secara keseluruhan pangsa pasar beras yang mengalir sebanyak 15,14 persen. Total kuantitas beras yang diperdagangkan pada saluran 2B adalah sebesar 1842,7 ton. 52

Seperti pada pembahasan saluran 1B, RMU pada saluran 2B merupakan Mitra Kerja dari BULOG. Namun perdagangan beras dari RMU pada saluran 2B tidak memiliki persentase pangsa pasar sebesar beras dari grosir kepada BULOG. Hal ini dikarekan tidak banyak RMU yang aktif di lokasi penelitian. RMU yang kontinyu berproduksi hanyalah RMU yang memiliki akses permodalan yang baik. Selain itu, lumpuhnya kegiatan RMU tersebut juga dipengaruhi oleh semakin banyaknya RMU keliling. RMU keliling yang telah banyak beroperasi di lokasi penelitian cukup menjadi ancaman bagi RMU setempat. 6.2. Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga Beras Desa Kenduren Dalam menyalurkan beras dari petani hingga konsumen, tataniaga di Kabupaten Demak melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Adapun lembaga tataniaga beras di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak yaitu petani, tengkulak, RMU, pedagang grosir, dan pedagang ritel. Lembaga-lembaga tataniaga tersebut menjalankan fungsi-fungsi tataniaga untuk memperlancar proses penyampaian beras kepada konsumen. Setiap lembaga mempunyai fungsi yang berbeda dengan lembaga lainnya. Secara umum fungsi tataniaga yang dilakukan lembaga tataniaga beras di Desa Kenduren terdiri atas fungsi pertukaran (fungsi pembelian dan penjualan), fungsi fisik (fungsi penyimpanan, fungsi pengolahan, fungsi pengangkutan), dan fungsi fasilitas (fungsi sortasi, fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan risiko, fungsi informasi pasar). Adapun lembaga dan fungsi tataniaga yang dilakukan dalam proses tataniaga beras di Desa Kenduren dapat dilihat pada Lampiran 3. Secara umum, petani hanya melakukan pertukaran saja yaitu dengan menjual beras kepada tengkulak. Tengkulak melakukan fungsi pertukaran (penjualan dan pembelian), fungsi fisik (angkut), dan fungsi fasilitas (penanggungan risiko dan informasi pasar). RMU melakukan fungsi pertukaran (penjualan dan pembelian), fungsi fisik (penyimpanan, pengolahan, pengangkutan), dan fungsi fasilitas (sortasi, penanggungan risiko, informasi pasar). Grosir melakukan fungsi pertukaran (penjualan dan pembelian), fungsi fisik (penyimpanan, pengangkutan), dan fungsi fasilitas (sortasi, penanggungan risiko, informasi pasar). Ritel melakukan fungsi pertukaran Hal ini sejalan dengan penelitian Aniro (2009) 53

dimana petani hanya melakukan fungsi pertukaran saja yaitu dengan menjual gabah kepada pembeli. Sedangkan tengkulak, Gapoktan Sawargi, RMU beras, dan pabrik beras selain melakukan fungsi pertukaran dan fungsi fisik (pengeringan, penggilingan/pengolahan, dan transportasi), juga melakukan fungsi pelancar yaitu permodalan, penanggungan risiko, dan informasi. Untuk distributor dan retail juga melakukan ketiga fungsi tersebut kecuali fungsi pengeringan dan penggilingan. 1) Fungsi Tataniaga di Tingkat Petani Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh petani yaitu fungsi penjualan. Fungsi tersebut dilakukan oleh petani dalam saluran A dan B. Seluruh petani menjual padinya kepada tengkulak. Petani tidak melakukan fisik seperti penyimpanan gabah yang ditujukan untuk dijual. Hanya sebagian kecil petani yang menyimpan padi untuk persediaan konsumsi dan kebutuhan sosial. Petani juga tidak melakukan funsgsi pengolahan karena semua padi ditebas sehingga fungsi pengangkutan juga tidak dilakukan karena tengkulak yang melakukan pengangkutan. Adapun fungsi fasilitas yang dilakukan petani yaitu fungsi penanggungan risiko dan fungsi informasi pasar. Risiko yang dihadapi oleh petani yaitu risiko penangguhan pembayaran oleh RMU, risiko penyusutan terhadap hasil panen, menurunnya harga jual beras di pasar, kualitas gabah yang rendah, dan adanya serangan hama/penyakit yang dapat menurunkan hasil panen. Sedangkan untuk fungsi insformasi pasar berupa informasi harga dan kualitas gabah yang diinginkan oleh konsumen dapat diketahui dari RMU yang berhubungan langsung dengan pedagang grosir di pasar. Namun informasi harga dan kualitas gabah tidak transparan, sehingga perubahan yang terjadi di pasar sering tidak tersampaikan dengan baik kepada petani. Fungsi fasilitas ini ditemukan pada petani di saluran A dan B. 2) Fungsi Tataniaga di Tingkat Tengkulak Tengkulak pada fungsi pertukaran jual dan beli dari saluran A dan B. Tengkulak membeli gabah seluruhnya dari petani dan menjual ke RMU. Semua tengkulak menggunakan sistem tebas untuk membeli gabah hasil panen petani. 54

Pada fungsi fisik, tengkulak hanya melakukan fungsi pengangkutan. Fungsi ini dilakukan pada saat membeli gabah ke sawah petani dan menjual ke RMU. Tidak ada tengkulak yang menyimpan maupun menggiling gabah. Pada fungsi fasilitas, tengkulak tidak melakukan sortasi. Tengkulak yang menebas sawah pada saat panen hanya menggunakan perkiraan mereka. Hal inilah yang membuat tengkulak juga menanggung risiko kerugian jika perkiraan mereka salah atau tidak sesuai kenyataan. 3) Fungsi Tataniaga di Tingkat RMU Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh penggilinggan berupa fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi pembelian dilakukan dengan membeli gabah yang telah ditebas tengkulak. Fungsi penjualan dilakukan dengan menjual beras kepada grosir, ritel, Subdivre BULOG, dan konsumen individu. Kerja sama dengan BULOG berupa ikatan kerja yang disebut Mitra Kerja. Fungsi fisik yang dilakukan RMU berupa fungsi penyimpanan, fungsi pengolahan, dan fungsi pengangkutan. Fungsi penyimpanan dilakukan oleh RMU terhadap GKG yang disiapkan sebagai stok dan beras hasil olahan yang menunggu untuk dipasarkan. Fungsi penyimpanan dilakukan oleh RMU yang ada pada saluran A dan B. Fungsi pengangkutan yaitu berupa pembelian gabah ke tengkulak yang berada di daerah yang sedang panen. Setelah digiling, beras disalurkan ke pedagang grosir dan ritel. Fungsi fasilitas yang dilakukan RMU berupa fungsi sortasi, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi fasilitas dapat ditemui pada RMU yang ada di saluran A dan B. Fungsi sortasi yaitu kegiatan pemilahan yang dilakukan terhadap gabah yang dibeli dari petani. Konsekuensi adanya kegiatan sortasi ini adalah perbedaan harga GKP untuk masing-masing kategori penyortiran. RMU menyortir GKP dari petani berdasarkan kadar air, biji mati, kadar hampa, dan umur panen. RMU juga melakukan sortasi terhadap beras yang dihasilkan. RMU menyortir beras berdasarkan derajat sosoh, derajat keputihan beras, kadar patahan, kadar menir, dan biji mati. Penyortiran GKP dilakukan pada saluran A dan B sedangkan penyortiran dilakukan pada seluruh saluran kecuali saluran A1. Fungsi 55

penanggungan risiko yang dihadapi oleh RMU berupa risiko penyusutan, kerusakan gabah dan beras selama proses pengangkutan, kerusakan gabah dan beras selama proses pengolahan, dan risiko turunnya harga jual beras di pasar karena kualitas beras yang tidak sesuai dengan keinginan konsumen dan melonjaknya produksi beras di pasar akibat panen raya. Fungsi penanggungan risiko dilakukan RMU pada saluran A dan B. Fungsi informasi pasar berupa informasi yang dapat diperoleh RMU dari pedagang grosir di pasar mengenai perkembangan harga beras dan kualitas yang diinginkan oleh konsumen. Fungsi informasi pasar ada di RMU yang ditemui di saluran A dan B. 4) Fungsi Tataniaga di Tingkat Grosir Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang grosir yaitu fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Pada saluran A1, A2, dan A3, pedagang grosir melakukan pembelian beras dari RMU. Fungsi penjualan dilakukan dengan menyalurkan beras kepada pedagang ritel, konsumen individu, dan BULOG. Fungsi fisik yang dilakukan pedagang grosir menyangkut fungsi pengangkutan dan penyimpanan. Fungsi pengangkutan dilakukan pada saat proses penjualan beras kepada pedagang ritel dan konsumen. Namun pada saat proses pembelian pedagang grosir tidak melakukan fungsi pengangkutan dikarenakan beras diantarkan langsung oleh RMU. Fungsi penyimpanan yaitu kegiatan penyimpanan beras oleh pedagang grosir di gudang atau tempat usahanya. Biasanya pedagang grosir menyimpan beras sebagai cadangan stok atau hanya sekedar singgah sebelum dijual kembali. Pedagang grosir tidak melakukan fungsi pengolahan lebih lanjut terhadap beras yang dibeli dari RMU. Fungsi fasilitas yang dilakukan pedagang grosir berupa fungsi sortasi, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi fasilitas dilakukan oleh pedagang grosir dapat ditemui pada saluran. Fungsi sortasi dilakukan pedagang grosir dengan melakukan pemilahan terhadap kualitas beras yang dibeli dari RMU. Hal ini berpengaruh terhadap harga beras pada masing-masing kategori kualitas. Fungsi penanggungan risiko pedagang grosir yaitu risiko penurunan kualitas beras yang disimpan dan risiko penurunan harga pasar. Namun fungsi penanggungan risiko oleh pedagang grosir dibebankan kepada RMU dengan 56

menekan harga beli beras. Fungsi informasi pasar berupa informasi yang dapat diperoleh RMU dari pedagang grosir di pasar mengenai perkembangan harga beras dan kualitas yang diinginkan oleh konsumen. 5) Fungsi Tataniaga di Tingkat Ritel Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang ritel yaitu fungsi pembelian dan penjualan. Pada saluran A, pedagang ritel melakukan pembelian beras dari pedagang grosir dan RMU. Fungsi penjualan dilakukan dengan menyalurkan beras langsung kepada konsumen individu. Fungsi fisik yang dilakukan pedagang ritel menyangkut fungsi pengangkutan dan penyimpanan. Proses pengangkutan dilakukan pada saat pembelian beras dari grosir. Namun pedagang ritel tidak melakukan fungsi pengangkutan ketika membeli beras dari RMU dikarenakan beras diantarkan langsung oleh RMU yaitu saluran A4. Fungsi penyimpanan menyangkut kegiatan penyimpanan beras oleh pedagang ritel di tempat usahanya. Fungsi penyimpanan dilakukan oleh pedagang ritel di setiap saluran tataniaga. Biasanya pedagang ritel menyimpan beras hanya sekedar singgah sebelum dijual kembali kepada konsumen. Pedagang ritel tidak melakukan fungsi pengolahan lebih lanjut terhadap beras yang dibeli dari pedagang grosir atau RMU. Fungsi fasilitas yang dilakukan pedagang ritel berupa fungsi sortasi, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi fasilitas dilakukan oleh pedagang ritel di saluran A1 dan A4. Fungsi sortasi dilakukan pedagang ritel dengan melakukan pemilahan terhadap beras yang dibeli dari RMU berdasarkan harga. Fungsi penanggungan risiko pedagang ritel yaitu risiko penurunan kualitas beras yang disimpan dan risiko penurunan harga pasar. Fungsi informasi pasar berupa informasi yang dapat diperoleh RMU dari pedagang ritel di pasar mengenai perkembangan harga beras dan kualitas yang diinginkan oleh konsumen. 6.3. Analisis Struktur Pasar Tataniaga Beras di Desa Kenduren Struktur pasar dapat diketahui dengan melihat antara jumlah penjual dan pembeli, heterogenitas produk yang dipasarkan, kondisi atau keadaan produk, kemudahan keluar dan masuk pasar, serta informasi mengenai perubahan harga 57

pasar. Struktur pasar dapat menjelaskan pengambilan keputusan oleh suatu lembaga tataniaga. Secara umum kondisi struktur pasar yang terjadi pada sistem tataniaga beras di Desa Kenduren adalah persaingan tidak sempurna karena hanya terdapat satu lembaga tataniaga (tengkulak) yang membeli gabah hasil panen petani serta terdapat banyak penjual di setiap saluran dan tingkat lembaga tataniaga lainnya. 1) Struktur Pasar di Tingkat Petani Struktur pasar yang dihadapi oleh petani di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak, Jawa Barat merupakan pasar persaingan tidak sempurna yaitu pasar oligopsoni murni karena hanya terdapat beberapa lembaga tataniaga yang menjadi pembeli gabah hasil panen sedangkan terdapat banyak petani padi yang ingin menjual hasil panennya. Diilihat dari aspek heterogenitas produk yang diperdagangkan, gabah hasil panen petani bersifat homogen karena petani hanya menjual dalam GKP kepada tengkulak. Kondisi hambatan masuk pasar dari sisi petani cukup rendah. Hal ini dikarenakan dalam memasarkan hasil panennya petani tidak terikat dengan RMU tertentu. Petani bebas menjual hasil panennya kepada RMU mana saja yang paling menguntungkan baginya. Selain itu, karena lahan pertanian yang masih luas membuat pertanian padi masih diandalkan menjadi mata pencaharian utama. Sedangkan hambatan keluar masuk pasar dari sisi petani tinggi. Kesulitan pertama adalah masalah teknis budidaya padi dimana petani sangat sulit untuk mengubah peruntukan sawah untuk padi menjadi lahan untuk komoditas lainnya. Selain itu, petani juga harus selalu menjual hasil panennya pada tengkulak untuk memenuhi biaya tanam musim berikutnya. Di tingkat petani, informasi perubahan harga biasanya diperoleh dari tengkulak yang membeli hasil panennya. Informasi tersebut akan dengan mudah menyebar di sesama petani. Sehingga harga di tingkat petani cenderung seragam dan tidak ada perbedaan yang signifikan. 58

2) Struktur Pasar di Tingkat Tengkulak Di tingkat tengkulak atau penebas pada sistem tataniaga beras, struktur pasar yang dihadapi bersifat pasar persaingan tidak sempurna. Jika dikaitkan antara tengkulak dengan petani maka struktur pasar di tingkat tengkulak cenderung bersifat oligopsoni dimana hanya terdapat beberapa pembeli gabah hasil panen padi dan begitu banyak petani. Apabila dikaitkan antara tengkulak dengan RMU maka struktur di tingkat tengkulak cenderung bersifat oligopoli diferensiasi. Hal ini ditunjukan dengan keberadaan jumlah penjual yaitu tengkulak lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pembeli yaitu RMU. Sedangkan, produk yang dipertukarkan bersifat berbeda yaitu GKP dan GKG. 3) Struktur Pasar di Tingkat RMU Struktur pasar yang dihadapi oleh RMU cenderung bersifat pasar persaingan tidak sempurna. Apabila dikaitkan antara RMU dengan petani maka struktur pasar di tingkat RMU cenderung bersifat oligopsoni dimana hanya terdapat beberapa pembeli gabah hasil panen padi. Struktur pasar ini digambarkan oleh beberapa pembeli gabah yaitu RMU dan banyak penjual gabah yaitu para petani padi. Kondisi ini juga ditunjang dengan produk gabah yang dipertukarkan bersifat homogen dan hambatan keluar masuk dari sisi RMU sebagai pembeli cukup rendah karena RMU bebas menentukan untuk membeli atau tidak hasil panen petani. Apabila dikaitkan antara RMU dengan pedagang grosir dan pedagang ritel di pasar maka struktur pasar di tingkat pedagang pengumpul cenderung bersifat oligopoli. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan jumlah penjual yaitu RMU lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pembeli yaitu pedagang grosir dan pedagang ritel. Hambatan keluar masuk RMU cukup tinggi. Hal ini dikarenakan RMU dan grosir sudah ada kepercayaan yang tinggi untuk memasarkan beras dari RMU. Produk yang dipertukarkan bersifat homogen yaitu beras yang telah disortir berdasarkan kualitasnya. Namun, RMU menghadapi struktur pasar yang monopsoni ketika dihadapkan dengan Subdivre BULOG Semarang. Hal ini dikarenakan Subdivre BULOG Semarang merupakan satu-satunya lembaga 59

tataniaga yang bertujuan untuk menjaga kebutuhan cadangan beras pemerintah. Hambatan keluar masuk RMU tinggi karena RMU telah terikat kontrak dengan Subdivre BULOG Semarang untuk memasok gabah dengan jumlah tertentu ketika menjadi Mitra Kerja. RMU merupakan lembaga tataniaga yang dapat mempengaruhi harga pasar bersama dengan pedagang grosir. RMU memperoleh informasi harga melalui pihak grosir dan Subdivre BULOG Semarang. Informasi ini mudah diakses sehingga umumnya harga yang ditetapkan RMU terhadap petani dan tengkulak maupun grosir luar daerah seragam. Namun RMU tidak dapat mempengaruhi tingkat harga di Subdivre BULOG Semarang. Hal ini dikarenakan harga pembelian Subdivre BULOG Semarang bersifat tetap dan merupakan kebijakan dari pemerintah. 4) Struktur Pasar di Tingkat Grosir Pedagang grosir menghadapi strukur pasar yang cenderung oligopoli ketika berhadapan dengan RMU dimana pedagang grosir berlaku sebagai pembeli dan RMU berlaku sebagai penjual. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah RMU yang menjual beras kepada pedagang grosir. Pedagang grosir ini memiliki kemampuan untuk mempengaruhi harga beras karena pedagang grosir mampu memprediksi harga beras berdasarkan jumlah pasokan setiap periode dengan banyaknya permintaan dari pedagang ritel dan konsumen. Pedagang grosir menghadapi strukur oligopoli ketika berhadapan dengan pedagang ritel dan konsumen dimana pedagang grosir berlaku sebagai penjual dan pedagang ritel dan konsumen berlaku sebagai pembeli. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa pedagang grosir yang menjual beras kepada banyak pedagang ritel dan konsumen. Disamping itu, produk yang dipertukarkan pun bersifat homogen yaitu berupa beras. Hambatan keluar masuk pasar bagi pedagang grosir tidak terlalu sulit. Hal ini dikarenakan dengan modal yang kuat dan kemampuan mengakses pasar seseorang dapat menjadi pedagang grosir. Grosir merupakan lembaga tataniaga yang dapat mempengaruhi harga pasar bersama dengan RMU. Grosir memperoleh informasi harga dengan memperhatikan harga dasar di Subdivre BULOG Semarang dan kondisi 60

permintaan dan penawaran beras di pasar. Informasi ini cukup sulit diperoleh karena membutuhkan perhitungan yang cermat. Namun grosir tidak dapat mempengaruhi tingkat harga di Subdivre BULOG Semarang. Hal ini dikarenakan harga pembelian Subdivre BULOG Semarang bersifat tetap dan merupakan kebijakan pemerintah. 5) Struktur Pasar di Tingkat Ritel Struktur pasar yang terjadi di tingkat pedagang ritel adalah cenderung bersaing sempurna baik saat menghadapi pedagang grosir maupun konsumen. Hal ini dikarenakan jumlah pedagang ritel yang berlaku sebagai penjual dan jumlah konsumen yang berlaku sebagai pembeli cukup banyak. Begitu pula pedagang grosir yang berperan sebagi penjual dan pedagang ritel sebagai pembeli cukup banyak jumlahnya. Selain itu, produk yang dipertukarkan cenderung bersifat homogen, dan pedagang ritel tidak dapat mempengaruhi harga. Informasi pasar mengenai harga yang terjadi di tingkat pedagang ritel diperoleh dari pedagang grosir dan pedagang ritel lainnya. Sehingga arus informasi dapat dengan mudah diperoleh pedagang ritel. Hambatan keluar masuk pasar cenderung rendah karena tidak adanya peraturan atau ikatan khusus untuk menjadi pedagang ritel. 6.4. Perilaku Pasar Tataniaga Beras di Desa Kenduren Perilaku pasar merupakan sebagai suatu pola atau tingkah laku dari lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga-lembaga tersebut melakukan aktivitas penjualan dan pembelian serta penentuan keputusan-keputusan dalam menghadapi struktur pasar tersebut. Selain itu, perilaku pasar juga diartikan sebagai strategi produksi dan konsumsi dari lembaga tataniaga dalam struktur pasar tertentu yang meliputi praktik pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga, sistem pembayaran dalam transaksi, serta kerjasama antar lembaga tataniaga. Secara umum praktik pembelian dan penjualan di Kabupaten Demak dipengaruhi oleh ikatan antar lembaga yaitu ikatan pelanggan, ikatan kekeluargaan, dan ikatan modal. 61

6.4.1. Praktik Pembelian dan Penjualan 1) Praktik Pembelian dan Penjualan di Tingkat Petani Petani menjual gabah hasil panen mereka kepada tengkulak. Semua petani yang menjual hasil panennya pada tengkulak menggunakan sistem tebas. Sistem ini jika dipahami sebenarnya akan merugikan petani. Hal ini karena tengkulak melakukan sistem tebas hanya dengan menggunakan perkiraan. Tidak ada perhitungan dengan pasti berapa berat padi yang ditebas. Sehingga jika perkiraan tengkulak lebih rendah dari berat sebenarnya, maka sistem ini telah merugikan petani. Namun tidak hanya merugikan petani saja. Terkadang tungkulak juga dapat mengalami kerugian jika perkiraan mereka yang salah dimana berat hasil sesungguhnya ternyata di bawah perkiraan. Hingga saat ini kebanyakan petani masih menggantungkan dirinya pada tengkulak untuk menjual hasil panennya. Penyebabnya masih berkutat pada masalah modal dimana petani ingin segera menjual padinya untuk mendapatkan uang tunai. 2) Praktik Pembelian dan Penjualan di Tingkat Tengkulak Tengkulak masih menempati posisi tawar yang labih tinggi di atas petani. Artinya, petani masih tergantung pada tengkulak untuk menjual hasil panennya. Seperti yang telah diuraikan pada bagian praktik pembelian dan penjualan petani, tengkulak membeli padi hasil panen menggunakan sistem tebas. Tengkulak mendatangi sawah petani yang siap panen dan melakukan panen menggunakan fasilitas dari tengkulak. Kegiatan penjualan tengkulak dilakukan pada RMU. 3) Praktik Pembelian dan Penjualan di Tingkat RMU Praktik pembelian beras yang dilakukan RMU dilakukan dengan tengkulak-tengkulak dan beberapa petani yang langsung menjual gabah panennya. Beberapa RMU memiliki mesin giling yang sudah terintegrasi dimana mesin ini dapat menjalankan beberapa tahap dalam RMU seperti pemecahan kulit hingga shinning (pemolesan) dalam satu kali proses giling. Sehingga produktivitas RMU yang memiliki mesin ini jauh lebih tinggi dibandingkan RMU dengan mesin yang tidak terintegrasi. 62

Praktik penjualan beras yang dilakukan RMU adalah menjual beras kepada grosir, ritel, BULOG, dan konsumen akhir. RMU yang menjadi Mitra Kerja BULOG adalah RMU yang memiliki kapasitas produksi yang besar dan produksi yang kontinyu. Kondisi RMU yang ada di lapang tidak semua baik. Dapat ditemukan beberapa RMU yang berhenti beroperasi karena kesulitan modal untuk membeli gabah. 4) Praktik Pembelian dan Penjualan di Tingkat Grosir Grosir melakukan pembelian beras melaui RMU. Beberapa grosir memiliki mesin shinning (pemutih) dimana mesin tersebut digunakan untuk memutihkan beras yang dibeli dari RMU karena grosir juga menerima beras dari RMU dengan berkualitas rendah. Selain untuk memperbaiki kualitas beras, mesin tersebut juga ditujukan untuk menghasilkan beras kulaitas super dengan harga yang tinggi. Praktik penjualan beras yang dilakukan grosir adalah melalui ritel dan Subdivre BULOG. Grosir yang menyalurkan berasnya kepada Subdivre BULOG adalah grosir yang memiliki kapasitas gudang yang besar dimana perputaran perdangan beras setiap harinya sangat besar. Penjualan dari grosir kepada Subdivre BULOG Semarang dilakukan melalui suatu kontrak kerjasama pengadaan cadangan beras pemerintah yang disebut Mitra Kerja. Sehingga kuantitas, kualitas, dan harga GKG yang disalurkan sudah ditetapkan sebelumnya oleh Subdivre BULOG Semarang. Beras yang dibeli Subdivre BULOG adalah beras yang ditujukan sebagai stok pemerintah yang disebut Cadangan Beras Pemerintah (CBP). 5) Praktik Pembelian dan Penjualan di Tingkat Pedagang Ritel Praktik pembelian pada tingkat pedagang pengecer atau retail dilakukan dengan grosir dan RMU. Penjualan yang dilakukan pedagang pengecer dilakukan dengan konsumen akhir. Ritel-ritel yang menjual beras merupakan pedagang kelontong yang tidak mengkhususkan beras sebagai produk utama. 63

6.4.2. Sistem Penentuan Harga dalam Transaksi Sistem penentuan harga dalam sistem tataniaga beras di Desa Kenduren sebagian besar dilakukan dengan cara tawar menawar. Namun, dalam sistem tataniaga beras yang melibatkan Subdivre BULOG keputusan penetapan harga oleh pemerintah. Prosedur ini dilakukan dengan melakukan kontrak pengadaan yang dibuat setiap satu tahun sekali. Di tingkat petani harga gabah hasil panen ditentukan oleh lembaga yang lebih tinggi (tengkulak, RMU, dan grosir), karena tengkulak, RMU, dan grosir lebih menguasai informasi pasar beras dibandingkan para petani. Penentuan harga antara RMU dan grosir dalam praktiknya melalui perhitungan dari masing-masing biaya pertahapan pengolahan gabah hingga beras dikemas, biaya pengiriman, ditambahkan besarnya insentif bagi RMU. Namun pada akhirnya harga yang terbentuk merupakan hasil dari tawar-menawar antara RMU dengan grosir dengan mempertimbangkan harga pasar. Sistem penetapan harga di tingkat grosir dilakukan dengan penetapan harga tetap per kilogram untuk beras. Pedagang grosir memiliki kemampuan untuk menentukan harga bagi pembelinya (ritel dan konsumen individu) yang diperoleh dari harga beli ditambah dengan biaya pemasaran dan keuntungan. Sistem penetapan harga di tingkat ritel dilakukan dengan penetapan harga tetap per kilogram untuk beras oleh pedagang ritel yang diperoleh dari harga beli ditambah dengan biaya pemasaran dan keuntungan. 6.4.3. Sistem Pembayaran yang Digunakan dalam Transaksi Sistem pembayaran yang digunakan oleh lembaga tataniaga beras di Kabupaten Demak antara lain sebagai berikut : 1) Sistem Pembayaran Tunai Sistem pembayaran tunai dilakukan pada sebagian besar transaksi oleh lembaga tataniaga. Sistem pembayaran ini akan lebih sering digunakan ketika musim paceklik karena jumlah pasokan yang sedikit sehingga semua lembaga bersaing untuk mendapatkannya. Lembaga tataniaga yang menggunakan sistem pembayaran ini antara lain: petani kepada tengkulak, konsumen individu kepada 64

pedagang ritel, grosir, dan RMU; pedagang ritel kepada grosir dan RMU; dan Subdivre BULOG kepada grosir dan RMU. 2) Sistem Tunda Bayar Sistem pembayaran tunda bayar dilakukan oleh beberapa lembaga tataniaga yang terlibat di Desa Kenduren. Sistem pembayaran ini disepakati antara kedua lembaga tataniaga. Mekanisme pembayarannya yaitu pembeli akan membayar setelah tiga hingga tujuh hari setelah bagah/beras diterima. Sistem pembayaran ini biasanya dilakukan pada saat musim panen raya yaitu ketika pasokan beras melimpah sehingga posisi penjual menjadi lebih lemah dibandingkan pembeli. Lembaga tataniaga yang menggunakan sistem pembayaran ini antara lain grosir kepada RMU; dan sebagian tengkulak kepada petani. 6.4.4. Kerjasama antar Lembaga Tataniaga Beras Meski telah dibentuk kelompok tani maupun gapoktan, bentuk kerjasama yang dilakukan oleh petani padi belum terkordinasi dengan baik. Hal ini terbukti dengan tidak adanya kordinasi ketika petani menjual hasil panennya. Petani menjualnya secara sendiri-sendiri kepada tengkulak. Sehingga besaran harga akan sangat dipengaruhi oleh tengkulak dan petani cenderung hanya sebagai penerima harga (price-taker). Selain itu, petani juga tidak memiliki kerjasama tertentu dengan lembaga-lembaga tataniaga lainnya. Kerjasama yang terjadi diantara sesama RMU biasanya terjadi ketika akan menentukan harga beli hasil panen petani. Para RMU biasanya akan saling menghubungi dan menentukan harga tertinggi untuk pembelian gabah. Hal ini mungkin dilakukan karena jumlah RMU yang lebih sedikit dibandingkan jumlah petani (pasar oligopsoni). Kemudian RMU dan grosir juga memiliki kerjasama dengan Subdivre BULOG sebagai Mitra Kerja. 6.5. Analisis Biaya dan Marjin Tataniaga Ukuran dan jenis biaya tataniaga yang dikeluarkan setiap lembaga tataniaga berbeda-beda. Pada tingkat petani, tidak terdapat biaya tataniaga karena 65

petani menjual padi menggunakan sistem tebas. Sedangkan biaya yang dimiliki petani adalah biaya produksi usahatani padi dimana biaya ini digunakan untuk mengetahui keuntungan yang petani dapatkan. Biaya yang dikeluarkan oleh tengkulak antara lain meliputi biaya transportasi, kemasan, survei, dan penyusutan. Pada tingkat RMU biaya tataniaga lebih besar dan banyak jenisnya meliputi, biaya transportasi, pengeringan, RMU, kemsan, survei, dan penyusutan. Biaya tataniaga pada grosir antara lain biaya transportasi, tenaga kerja, dan kemasan. Selanjutnya, biaya transportasi dan pengemasan merupakan jenis biaya tataniaga pada ritel. Marjin tataniaga pada setiap saluran sistem tataniaga beras dapat dilihat pada Lampiran 5. Analisis marjin tataniaga beras di Kabupaten Demak digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi sistem tataniaga beras. Marjin tataniaga beras memiliki arti sebagai selisih harga antara harga yang diterima petani padi dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen beras. Perhitungan marjin tataniaga menggunakan komponen biaya tataniaga dan keuntungan. 6.5.1. Analisis Biaya dan Marjin Tataniaga pada Saluran A 1) Analisis Marjin Tataniaga Saluran 1A Total marjin tataniaga pada saluran 1A pada saluran tataniaga A adalah sebesar Rp 2.364,00 per kilogram. Total marjin tataniaga tersebut berasal dari tengkulak sebesar Rp 1.091,00, RMU sebesar Rp 773,00 per kilogram, grosir sebesar Rp 300,00 per kilogram, dan ritel sebesar Rp 200,00 per kilogram. Keuntungan total sebesar Rp 3.442,00 berada pada saluran tataniaga 1A. Total keuntungan tersebut berasal dari petani sebesar Rp 1.691,00 per kilogram, tengkulak Rp 923,00 per kilogram, RMU Rp 443,00 per kilogram, grosir Rp 200,00, dan ritel Rp 185,00 per kilogram. 2) Analisis Marjin Tataniaga 2A Total marjin tataniaga pada saluran 2A sebesar Rp 2.164,00. Adapun kontribusi marjin tataniaga yang diperoleh tengkulak pada saluran 2A sebesar 66

sebesar Rp 1.091,00, RMU sebesar Rp 773,00 per kilogram, dan grosir sebesar Rp 300,00 per kilogram. Besarnya keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp 1.691,00 per kilogram, tengkulak Rp 906,00 per kilogram, RMU Rp 435,00 per kilogram, dan grosir Rp 200,00. Sehingga pada saluran 2A terdapat total keuntungan Rp 3.232,00. 3) Analisis Marjin Tataniaga Saluran 3A Total marjin tataniaga pada saluran 3A sebesar Rp 2.354,00. Adapun kontribusi marjin tataniaga yang diperoleh tengkulak pada saluran 3A sebesar Rp 1.091,00, RMU sebesar Rp 973,00 per kilogram, dan ritel sebesar Rp 290,00 kilogram. Besarnya keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp 1.691,00 per kilogram, tengkulak Rp 923,00 per kilogram, RMU Rp 643,00 per kilogram, dan ritel Rp 285,00. Sehingga pada saluran 3A terdapat total keuntungan Rp 3.542,00. 4) Analisis Marjin Tataniaga Saluran 4A Total marjin tataniaga pada saluran 4A sebesar Rp 2.064. Adapun kontribusi marjin tataniaga yang diperoleh tengkulak pada saluran 4 adalah sebesar Rp 1.091,00 per kilogram dan RMU sebesar Rp 973,00 per kilogram. Saluran 4A memiliki besar margin terkecil diantara yang lain, sehingga dapat disimpulkan bahwa saluran 4A merupakan saluran yang paling efisien. Besarnya keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp 1.691,00 per kilogram, tengkulak Rp 933,00 per kilogram dan RMU Rp 643,00 per kilogram. Sehingga pada saluran 4A terdapat total keuntungan Rp 3.267,00. 6.5.2. Analisis Biaya dan Marjin Tataniaga pada Saluran B 1) Analisis Marjin Tataniaga Saluran 1B Total marjin tataniaga pada saluran 1B sebesar Rp 1.464,00. Adapun kontribusi marjin tataniaga yang diperoleh tengkulak pada saluran 1B sebesar sebesar Rp 1.091,00, RMU sebesar Rp 273,00 per kilogram, grosir sebesar Rp 100,00 per kilogram. Besarnya keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp 1.691,00 per kilogram, tengkulak Rp 931,00 per kilogram, RMU Rp 83,00 per 67

kilogram, dan grosir Rp 100,00. Sehingga pada saluran 1B terdapat total keuntungan Rp 2.805,00. 2) Analisis Marjin Tataniaga Saluran 2B Total marjin tataniaga pada saluran 2B sebesar Rp 1.464. Adapun kontribusi marjin tataniaga yang diperoleh tengkulak pada saluran 2B sebesar sebesar Rp 1.091,00 per kilogram dan RMU sebesar Rp 373,00 per kilogram. Besarnya keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp 1.691,00 per kilogram, tengkulak Rp 923,00 per kilogram dan RMU Rp 35,00 per kilogram. Sehingga pada saluran 2 terdapat total keuntungan Rp 2.649,00. Marjin tataniaga pada saluran 2 sama besar seperti pada saluran 1. Sehingga dapat disimpulkan bahwa saluran 1B dan 2B merupakan saluran yang paling efisien secara keseluruhan. 6.6. Analisis Farmer s Share Analisis farmer s share merupakan perbandingan antara harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir. Analisis farmer s share digunakan sebagai salah satu indikator untuk menentukan efisiensi operasional sistem tataniaga suatu produk atau komoditas. Biasanya analisis farmer s share dinyatakan dalam bentuk presentase. Analisis farmer s share berkebalikan dengan marjin tataniaga dalam besarnya nilai. Semakin tinggi marjin tataniaga suatu produk atau komoditi berarti bagian yang diterima petani semakin rendah. 68

Tabel 9. Farmer s Share pada Setiap Saluran Tataniaga A di Desa Kenduren Tahun 2011 Saluran Pemasaran Harga beras di tingkat petani (Rp/Kg)* Harga di Tingkat Konsumen (Rp/kg) Farmer s share (%) 1 3.636 6.000 61 2 3.636 6.000 61 3 3.636 5.700 64 4 3.636 5.700 64 * Harga jual beras didapat dari harga gabah dibagi rendemen (55%). Tabel 10. Farmer s Share pada Setiap Saluran Tataniaga B di Desa Kenduren Tahun 2011 Saluran Pemasaran Harga beras di tingkat petani (Rp/Kg)* Harga di Tingkat Konsumen (Rp/kg) Farmer s share (%) 1 3.636 5.100 71 2 3.636 5.100 71 * Harga jual beras didapat dari harga gabah dibagi rendemen (55%). Berdasarkan Tabel 9 dan Tabel 10, dapat diketahui bahwa saluran B memiliki farmer s share terbesar sebesar 71 persen. Saluran B merupakan saluran dengan total margin terendah. Hal ini sesuai dengan teori bahwa semakin kecil margin, akan membuat nilai farmer s share semakin besar. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa saluran B memberikan manfaat terbesar bagi petani. Sehingga dapat disimpulkan bahwa saluran B adalah saluran yang paling efisien. BULOG secara tidak langsung memberikan nilai lebih bagi petani. Dalam hal ini BULOG bertindak sebagai lembaga yang menjadi penyeimbang harga di pasar. 6.7. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Biaya tataniaga memiliki pengertian sebagai biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dalam sistem tataniaga beras yang menyalurkan gabah hasil panen petani padi organik hingga menjadi beras organik yang sampai kepada konsumen akhir. Sedangkan keuntungan tataniaga merupakan selisih harga jual dengan biaya yang dikeluarkan selama proses tataniaga beras berlangsung. Perbandingan atau rasio antara besarnya keuntungan dengan biaya tataniaga dapat menunjukan efesiensi operasional tataniaga dari suatu komoditas. Saluran 69

tataniaga dapat dinyatakan efisien apabila penyebaran nilai rasio keuntungan terhadap biaya di setiap lembaga tataniaga merata. Hal ini berarti setiap biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan yang tidak jauh berbeda antara masing-masing lembaga tataniaga yang ada pada saluran tataniaga tersebut. Adapun rasio keuntungan dan biaya tataniaga beras di Desa Kenduren dapat dilihat pada Lampiran 6. Pembahasan analisis rasio keuntungan terhadap biaya adalah sebagai berikut. 6.7.1. Analisis Keuntungan Terhadap Biaya Saluran A 1) Analisis Keuntungan Terhadap Biaya Saluran 1 Saluran 1A memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 2,86 yang berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp 2,86. Rasio keuntungan dan biaya pada ritel yaitu sebesar 12,33. Nilai rasio keuntungan dengan biaya yang terdapat pada setiap lembaga dimana tengkulak memiliki nilai 5,49; RMU sebesar 1,34; dan grosir sebesar 2,00. 2) Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Saluran 2 Saluran 2A memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 2,47 yang berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp 2,47. Pada saluran 2A, rasio keuntungan terbesar dimiliki oleh tengkulak yaitu sebesar 5,49. Rasio pada RMU sebesar 1,29 dan grosir sebesar 2,00. 3) Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Saluran 3 Saluran 3A memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 3,64 yang berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp 3,64. Nilai rasio ini adalah yang terbesar dibandingkan saluran yang lain. Tengkulak menghasilkan nilai rasio sebesar 5,49, RMU sebesar 1,95, dan ritel sebesar 28,50. Ritel menghasilkan nilai yang paling besar karena pada saluran 3A ritel membeli beras dari RMU dimana harga beras lebih murah dan biaya tataniaga ritel yang kecil. 70

Meskipun total rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran 3A merupakan yang terbesar, namun jika dilihat dari persebaran nilai rasio tiap lembaga terdapat selisih yang jauh antara ritel dengan tengkulak dan RMU. Meski demikian dapat disimpulkan bahwa saluran pemasaran beras di Kabupaten Demak yang paling efisien adalah saluran 3A secara keseluruhan. 4) Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Saluran 4 Saluran 4A memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 3,23 yang berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp 3,23. Tengkulak menghasilkan nilai rasio sebesar 5,90 dan RMU sebesar 1,95. Jika dilihat dari persebaran nilai rasio, saluran 4A dapat dikatakan cukup efisien. Nilai rasio yang dimiliki tengkulak dan RMU cukup merata jika dibandingkan dengan saluran 4A dimana terdapat ritel yang nilai rasionya terlampau jauh jika dibandingkan tengkulak dan RMU. 6.7.1. Analisis Keuntungan Terhadap Biaya Saluran B 1) Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Saluran 1 Saluran 1B memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 2,90 yang berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp 2,90. Pada lembaga grosir, biaya tataniaganya tidak dapat diketahui karena beras dijual kepada Subdivre BULOG dimana seluruh kegiatan pada proses penjualan ditanggung Subdivre BULOG seperti transportasi dan kemasan. Jika dipandang dari ketiga pendekatan dalam menentukan saluran pemasaran yang efisien, diketahui bahwa saluran pemasaran 1 lebih efisien dibandingkan dengan saluran 2B. 2) Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Saluran 2 Saluran 2B memiliki total rasio keuntungan dan biaya sebesar 1,89 yang berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp 1,89. Tengkulak menghasilkan nilai rasio sebesar 5,49 dan RMU sebesar 0,10. Pada lembaga grosir, nilai rasio keuntungan terhadap biaya tidak dapat dihitung dikarenakan grosir di sini menyaluran 71

berasnya kepada Subdivre BULOG. Nilai rasio tidak diketahui karena pada grosir tidak mengeluarkan biaya-biaya pemasaran karena kegiatan ketika pembelian beras sepenuhnya ditanggung Subdivre BULOG seperti biaya transportasi dan kemasan. 72