BAB II KAJIAN PUSTAKA. bangunan sungai seperti abutment jembatan, pilar jembatan, crib sungai,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III LANDASAN TEORI. A. Gerusan Lokal

BAB III LANDASAN TEORI

MODEL PENGENDALIAN GERUSAN DI SEKITAR ABUTMEN DENGAN PEMASANGAN GROUNDSILL DAN ABUTMEN BERSAYAP

BAB III LANDASAN TEORI

Kata Kunci: Abutmen Spill-Through Abutment dan Vertical Wall Without Wing, Gerusan Lokal, Kedalaman Gerusan Relatif

BAB I PENDAHULUAN. perubahan morfologi pada bentuk tampang aliran. Perubahan ini bisa terjadi

BAB II LANDASAN TEORI

PENGARUH DEBIT TERHADAP POLA GERUSAN DI SEKITAR ABUTMEN JEMBATAN (UJI LABORATORIUM DENGAN SKALA MODEL JEMBATAN MEGAWATI)

BAB III LANDASAN TEORI

KAJIAN PERBANDINGAN POLA GERUSAN DI SEKITAR ABUTMEN ANTARA BENTUK TRIANGULAR SHAPED ABUTMENT DAN WING WALL ABUTMENT

PENGENDALIAN GERUSAN DI SEKITAR ABUTMEN JEMBATAN

BAB III LANDASAN TEORI

KAJIAN KEDALAMAN GERUSAN DISEKITAR ABUTMEN JEMBATAN TIPE WING WALL DAN SPILLTHROUGH TANPA PROTEKSI UNTUK SALURAN BERBENTUK MAJEMUK

ANALISIS GERUSAN LOKAL DI SEKITAR SEMI-CIRCULAR-END ABUTMENT DENGAN PERLINDUNGAN GROUNDSILL PADA FROUD NUMBER (Fr) 0,2

ANALISIS GERUSAN DI HILIR BENDUNG TIPE VLUGHTER (UJI MODEL LABORATORIUM)

PENGARUH KEDALAMAN ALIRAN TERHADAP PERILAKU GERUSAN LOKAL DI SEKITAR ABUTMEN JEMBATAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. terbentuk secara alami yang mempunyai fungsi sebagai saluran. Air yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akan memperpanjang aliran dan membentuk meander. Sungai dengan tikungan

ANALISIS GERUSAN DI HILIR BENDUNG TIPE USBR-IV (UJI MODEL DI LABORATORIUM)

PENGARUH BENTUK PILAR JEMBATAN TERHADAP POTENSI GERUSAN LOKAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akan memperpanjang aliran dan membentuk meander. Sungai dengan tikungan

GROUNDSILL REPLACEMENT ANALYSIS ANALISIS PENEMPATAN GROUNDSILL SEBAGAI PERLINDUNGAN ABUTMENT JEMBATAN TERHADAP GERUSAN LOKAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terutama bagi kehidupan manusia. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Jembatan adalah suatu konstruksi yang menghubungkan dua bagian jalan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Analisis Gradasi Butiran sampel 1. Persentase Kumulatif (%) Jumlah Massa Tertahan No.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. Sungai atau saluran terbuka menurut Triatmodjo (2003:103) adalah saluran

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

MEKANISME PERILAKU GERUSAN LOKAL PADA PILAR SEGIEMPAT DENGAN VARIASI DEBIT

DAFTAR PUSTAKA. Aisyah, S Pola Gerusan Lokal di Berbagai Bentuk Pilar Akibat Adanya

GERUSAN LOKAL 8/1/14 19:02. Teknik Sungai

NASKAH SEMINAR 1. ANALISIS MODEL FISIK TERHADAP GERUSAN LOKAL PADA PILAR JEMBATAN (Studi Kasus Pilar Kapsul dan Pilar Tajam Pada Aliran Subkritik)

UPAYA PENGENDALIAN GERUSAN DI SEKITAR ABUTMEN JEMBATAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II Tinjauan Pustaka

dimana: Fr = bilangan Froude U = kecepatan aliran (m/dtk) g = percepatan gravitasi (m/dtk 2 ) h = kedalaman aliran (m) Nilai U diperoleh dengan rumus:

KAJIAN GERUSAN LOKAL PADA AMBANG DASAR AKIBAT VARIASI Q (DEBIT), I (KEMIRINGAN) DAN T (WAKTU)

PERBANDINGAN GERUSAN LOKAL YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMEN DINDING VERTIKAL TANPA SAYAP DAN DENGAN SAYAP PADA SALURAN LURUS (EKSPERIMEN) TUGAS AKHIR

STUDI PENGGERUSAN LOKAL DISEKITAR PILAR JEMBATAN AKIBAT ALIRAN AIR DENGAN MENGGUNAKAN MODEL 2 DIMENSI

PENGARUH KECEPATAN ALIRAN TERHADAP GERUSAN LOKAL PADA PILAR JEMBATAN DENGAN PERLINDUNGAN GROUNDSILL

MEKANISME PERILAKU GERUSAN LOKAL PADA PILAR TUNGGAL DENGAN VARIASI DIAMETER

ANALISIS SUSUNAN TIRAI OPTIMAL SEBAGAI PROTEKSI PADA PILAR JEMBATAN DARI GERUSAN LOKAL

GERUSAN DI SEKITAR DUA PILAR JEMBATAN DAN UPAYA PENGENDALIANNYA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BED LOAD. 17-May-14. Transpor Sedimen

BAB III LANDASAN TEORI

PENGARUH VARIASI DEBIT ALIRAN TERHADAP GERUSAN MAKSIMAL DI BANGUNAN JEMBATAN DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM HEC-RAS

PENGARUH PENEMPATAN TIRAI SEGITIGA LURUS DAN SEGITIGA LENGKUNG TERHADAP KEDALAMAN GERUSAN LOKAL

NASKAH SEMINAR 1. ANALISIS MODEL MATEMATIK GERUSAN LOKAL PADA PILAR JEMBATAN DENGAN ALIRAN SUBKRITIK (Studi Kasus Pilar Kapsul dan Pilar Tajam)

PENGARUH PENEMPATAN TIRAI 3 BARIS LURUS DAN 3 BARIS LENGKUNG TERHADAP KEDALAMAN GERUSAN LOKAL

PENGARUH ARAH ALIRAN TERHADAP GERUSAN LOKAL DISEKITAR PILAR JEMBATAN. Skripsi

STUDI PENGARUH KRIB HULU TIPE IMPERMEABEL PADA GERUSAN DI BELOKAN SUNGAI (STUDI KASUS PANJANG KRIB 1/10 DAN 1/5 LEBAR SUNGAI) Jeni Paresa

POLA GERUSAN LOKAL PADA MODEL PILAR JEMBATAN LINGKARAN GANDA (DOUBLE CIRCULAR)

MODEL LABORATORIUM GERUSAN LOKAL PADA PILAR JEMBATAN TIPE CYLINDER GROUPED DENGAN PENGAMAN PILAR TIPE TIRAI PADA SUNGAI BERBELOK

BAB III METODE PENELITIAN. fakultas teknik Universitas Diponegoro Semarang. Penelitian yang dilakukan

TUGAS AKHIR PERBEDAAN POLA GERUSAN LOKAL DI SEKITAR PILAR JEMBATAN ANTARA PILAR SILINDER DENGAN ELLIPS

ANALISIS SEDIMENTASI DI MUARA SUNGAI PANASEN

ANALISIS MODEL FISIK GERUSAN LOKAL PADA PILAR JEMBATAN

DEGRADASI-AGRADASI DASAR SUNGAI

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Data Penelitian

ANALISIS GERUSAN LOKAL PADA PILAR JEMBATAN MENGGUNAKAN METODE CSU

STRATEGI PEMILIHAN PEREDAM ENERGI

ANALISIS BENTUK PILAR JEMBATAN TERHADAP POTENSI GERUSAN LOKAL (Studi kasus Model Pilar Penampang Persegi Panjang dan Ellips) Antón Ariyanto ABSTRACT

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Perencanaan Bangunan Air. 1. Umum

STUDI PENGARUH KELOMPOK TIANG TERHADAP GERUSAN THE EFFECT OF PIER GROUPS ON SCOUR STUDY HAMZAH AL IMRAN

ANALISIS BENTUK PILAR JEMBATAN TERHADAP POTENSI GERUSAN LOKAL (Model Pilar Berpenampang Bujur Sangkar, Bulat dan Jajaran Genjang) Oleh: Anton Ariyanto

Disampaikan pada Seminar Tugas Akhir 2. Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta NIM :

PENELITIAN KARAKTERISTIK BLOK BETON TERKUNCI UNTUK PENGENDALIAN GERUSAN LOKAL DAN DEGRADASI DASAR SUNGAI

MODEL LABORATORIUM PENGARUH VARIASI SUDUT ARAH PENGAMAN PILAR TERHADAP KEDALAMAN GERUSAN LOKAL PADA JEMBATAN DENGAN PILAR CYLINDER GROUPED

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I Pendahuluan Latar Belakang

BAB III LANDASAN TEORI

EFEKTIVITAS BENTUK ABUTMEN TERHADAP GERUSAN DI SEKITAR ABUTMEN JEMBATAN (ABUTMENT SHAPE EFFECTIVITY ON BRIDGE ABUTMENT LOCAL SCOURING)

Pudyono, Sunik. Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono 167 Malang ABSTRAK

PENGARUH POLA ALIRAN DAN PENGGERUSAN LOKAL DI SEKITAR PILAR JEMBATAN DENGAN MODEL DUA DIMENSI ABSTRAK

MEKANISME GERUSAN LOKAL PADA PILAR SILINDER TUNGGAL DENGAN VARIASI DEBIT

STUDI KECEPATAN JATUH SEDIMEN DI PANTAI BERLUMPUR (STUDI KASUS LOKASI PANTAI BUNGA BATUBARA SUMATERA UTARA)

AWAL GERAK BUTIR SEDIMEN

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI

Tugas akhir. Untuk memenuhi sebagai persyaratan mencapai gelar sarjana S-1 Teknik Sipil. diajukan oleh :

Tata cara perhitungan tinggi muka air sungai dengan cara pias berdasarkan rumus Manning

ANALISIS NUMERIK GERUSAN LOKAL PADA PILAR

KAJIAN PERILAKU DEBIT ALAT UKUR AMBANG LEBAR TERHADAP PROFIL ALIRAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

Bab III HIDROLIKA. Sub Kompetensi. Memberikan pengetahuan tentang hubungan analisis hidrolika dalam perencanaan drainase

PRINSIP DASAR HIDROLIKA

PENGARUH PENEMPATAN TIRAI SATU BARIS PADA PILAR JEMBATAN TERHADAP KEDALAMAN GERUSAN

ANALISIS HIDROLIKA BANGUNAN KRIB PERMEABEL PADA SALURAN TANAH (UJI MODEL LABORATORIUM)

ANALISIS ANGKUTAN SEDIMEN TOTAL SUNGAI PERCUT KABUPATEN DELI SERDANG

MODEL ANALISIS ALIRAN PADA SALURAN TERBUKA DENGAN BENTUK PENAMPANG TRAPESIUM PENDAHULUAN

STUDI PENGARUH BANJIR LAHAR DINGIN TERHADAP PERUBAHAN KARAKTERISTIK MATERIAL DASAR SUNGAI

Tujuan Pembelajaran Umum Setelah membaca modul mahasiswa memahami kegunaan Energi Spesifik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAMPAK PENYEMPITAN PENAMPANG SUNGAI TERHADAP KONDISI ALIRAN (Studi Kasus Pada Sungai Krueng Pase)

MODEL BANGUNAN PENDUKUNG PINTU AIR PAK TANI BERBAHAN JENIS KAYU DAN BAN SEBAGAI PINTU IRIGASI

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

TRANSPOR SEDIMEN SUSPENSI (SUSPENDED LOAD TRANSPORT)

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

Transkripsi:

5 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teoritik 1. Gerusan Proses erosi dan deposisi di sungai pada umumnya terjadi karena perubahan pola aliran, terutama pada sungai alluvial. Perubahan tersebut terjadi karena adanya rintangan pada aliran sungai, berupa rintangan bangunan sungai seperti abutment jembatan, pilar jembatan, rib sungai, revetment dan sebagainya. Bangunan semaam ini dipandang dapat mengubah geometri alur serta pola aliran selanjutnya diikuti dengan terjadinya gerusan lokal di dekat bangunan (Legono: 199). 2. Maam-maam Gerusan Menurut Legono (199), gerusan dibedakan menjadi: a. Gerusan umum di alur sungai, gerusan ini tidak berkaitan sama sekali dengan terdapat atau tidaknya bangunan sungai. Gerusan ini disebabkan oleh energi dari aliran sungai. b. Gerusan terlokalisir di alur sungai, terjadi karena penyempitan alur sungai, sehingga aliran menjadi lebih terpusat.. Gerusan lokal disekitar bangunan, terjadi karena pola aliran lokal disekitar bangunan sungai. Gerusan dari jenis b dan selanjutnya dapat dibedakan menjadi gerusan dengan air bersih (lear water sour) maupun gerusan dengan air bersedimen (live bed sour). Gerusan dengan air bersih berkaitan dengan 5

suatu dimana dasar sungai atau saluran di sebelah hulu bangunan dalam keadaan diam (tidak ada material yang terangkut) atau seara teoritik <, sedangkan gerusan dengan air bersediman terjadi disertai dengan adanya angkutan sedimen, akibat aliran dalam saluran yang menyebabkan material dasar bergerak atau seara teoritik > (Legono: 199). 6 3. Mekanisme Gerusan Menurut Legono (199), gerusan yang terjadi di sekitar abutmen jembatan merupakan akibat dari sistem pusaran (vortex system) yang timbul karena aliran dirintangi oleh abutment tersebut. Sistem pusaran yang menyebabkan adanya lubang gerusan tersebut dimulai dari sebelah hulu abutmen yaitu saat mulai munulnya komponen aliran dari arah bawah. Selanjutnya pada bagian bawah komponen tersebut, aliran akan berbalik arah menjadi vertikal yang kemudian diikuti dengan terbawanya material dasar sehinggga terbentuk aliran spiral di daerah gerusan. Menurut Breusers dan Raudkivi (1991), proses gerusan dimulai pada saat partikel yang terbawa bergerak mengikuti pola aliran dari bagian hulu kebagian hilir saluran. Pada keepatan tinggi, partikel yang terbawa akan semakin banyak dan lubang gerusan akan semakin besar baik ukuran maupun kedalamanya. Kedalaman gerusan maksimum akan terapai pada saat keepatan aliran menapai keepatan kritik. Berikut ini adalah hubungan antara kedalaman gerusan terhadap waktu (gambar 1) dan hubungan antara kedalaman gerusan dengan keepatan geser (gambar 2).

7 Gambar 1. Hubungan Kedalaman Gerusan dengan Waktu (Breusers dan Raudkivi: 1991) Gambar 2. Hubungan Kedalaman Gerusan dengan Keepatan Geser (Breusers dan Raudkivi: 1991) Dijelaskan lebih lanjut bahwa keepatan gerusan relatif tetap meskipun terjadi peningkatan keepatan yang berhubungan dengan transpor sedimen, baik yang masuk maupun yang keluar lubang gerusan. Jadi kedalaman rata-rata gerusan pada kondisi seimbang (eguilibrium sour dept, Y s ), dengan sendirinya menjadi lebih keil dari kedalaman gerusan maksimum. Menurut Larsen (1952) dalam Legono (199), sifat alami gerusan mempunyai fenomena sebagai berikut : a. Besar gerusan akan sama dengan selisih antara jumlah material yang ditranspor keluar daerah gerusan dengan jumlah material yang ditranspor masuk kedalam daerah gerusan.

8 b. Besar gerusan akan berkurang apabila penampang basah didaerah gerusan bertambah (misal: karena erosi).. Untuk kondisi aliran akan terjadi suatu keadaan gerusan yang disebut gerusan batas, besarnya akan asimtotik terhadap waktu. 4. Awal Gerak Butiran Menurut Ranga Raju (1986), suatu saluran terbuka yang mempunyai sedimen lepas (loose sediment) diatur pada kemiringan tertentu dimana aliran seragam terjadi pada debit yang berbeda. Sebagai akibatnya, pada debit yang rendah ketika kedalaman dan tegangan geser keil, partikel sedimen akan berhenti dan aliran itu sama dengan yang ada pada saluran batas kukuh. Apabila debit seara berangsur bertambah, suatu tahap diapai apabila sedikit partikel pada dasar yang bergerak seara terputus-putus. Keadaan ini dinamakan kadaaan kritis (ritial ondition) keadaan gerak awal (inipent motion ondition) Selain dari batasan yang menunjukkan permulaan gerak sedimen, keadaan kritis mempengaruhi desain saluran peka erosi (erotible hanels) yang mengangkut air dan pada dasarnya mempengaruhi susunan endapan lumpur di dalam waduk. Dengan demikian ada manfaat memahami seara seksama kondisi hidraulika yang mengawali gerak pada dasar yang mempunyai sedimen yang diketahui karakternya. 5. Abutment Abutment merupakan salah satu bagian konstruksi jembatan yang terletak dipangkal jembatan. Tipe geometri abutmen bermaam-maam,

9 diantaranya wing wall abutment (WW), spill-through abutment (ST), triangular-shaped abutment, semi iruler-end abutment (SCE) (Breusers dan Raudkivi: 1991). 1. Wing wall abutment 2.Triangular-shaped abutment 3. Semi Cirular end abutment 4. Spill through abutment Gambar 3. Maam-maam Model Abutmen (Breusers dan Raudkivi: 1991) 6. Gerusan Di Sekitar Abutmen Pola aliran disekitar abutmen jembatan merupakan akibat dari adanya sistem pusaran (vortex system) yang timbul karena aliran dirintangi oleh abutmen tersebut. Pola aliran yang menyebabkan lubang gerusan tersebut bermula dari sebelah hulu abutmen yaitu ketika terdapat pola arus kebawah

1 Dalam keadaan tersebut di dekat bawah komponen keepatan aliran akan berbalik vertikal, dan aliran tersebut diikuti dengan terbawanya material dasar sehingga terbentuk aliran spiral di daerah lubang gerusan (Legono: 199). Kondisi aliran yang membentuk pusaran tersebut berdampak terjadinya pengikisan dasar sungai di sekitar bangunan, yaitu dengan terbawa atau terangkutnya material dasar sungai di sekitar bangunan yang akan berakibat timbulnya lubang gerusan. Peristiwa ini berlangsung sampai terjadi keseimbangan yang tergantung pada media yang bergerak, kondisi aliran lear water atau live-bed. Gambar 4. Pola Arus di Sekitar Abutmen Jembatan (Breusers dan Raudkivi: 1991) B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kedalaman Gerusan 1. Keepatan Aliran Rata-rata Menurut Chow (1989), keepatan aliran rata-rata merupakan perbandingan antar debit aliran yang melewati saluran (Q ) dengan luas tampang basah saluran ( A ) seperti persamaan di bawah ini:

11 Q V = = A Q B. Y...(1) dengan : V = keepatan aliran rata-rata, m/ det Y B = kedalaman aliran, m = lebar saluran, m Q = debit aliran l / det A = luas tampang aliran, 2 m 2. Bilangan Froude Menurut Chow (1989) bilangan Froude aliran ( F ) dapat digunakan dalam menentukan bentuk aliran dan bentuk konfigurasi dasar saluran. Persamaan yang digunakan sebagai berikut : V F =...(2) g. Y ) ( dengan : V = keepatan aliran rata-rata, m/ det Y = kedalaman aliran, m g F = perepatan gravitasi, = bilangan Froude 2 m/ det Bilangan Froude untuk saluran terbuka dinyatakan sebagai berikut : a. F < 1, aliran yang terjadi adalah aliran sub kritis b. F = 1, aliran yang terjadi adalah aliran kritis, dan. F > 1, aliran yang terjadi adalah aliran super kritis

12 3. Keepatan Geser dan Tegangan Geser Menurut Breuser & Raudkivi (1991), dimensi analisis untuk menentukan beberapa parameter tak berdimensi dan ditetapkan dalam bentuk diagram pergerakan awal (inipient motion). Melalui grafik Shield, R e dengan mengetahui angka Reynold ( ) butiran atau diameter butiran ( d ), maka pada nilai tegangan geser kritis ( ) dapat diketahui. Bila tegangan geser dasar aliran berada diatas nilai kritiknya maka butiran sedimen bergerak, atau dengan kata lain: butiran tidak bergerak = butiran dasar mulai akan bergerak butiran dasar bergerak Gambar 5. Grafik Shields ( Breusers dan Raudkivi: 1991) Grafik Shield mendefinisikan gerak awal menjadi persamaan berikut: θ = ρ gd = 2 u*...(3) gδd dengan : θ = koefisien Shield = tegangan geser kritik

13 ρ s g u * = berat jenis butiran = perepatan gravitasi = keepatan geser Δ = ρ ρ s ρ w w Keepatan geser : u = ( g. R. )...(4) * S Tegangan geser : = u. )...(5) ( 2 * ρ