Penanggulangan HIV/AIDS pada Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan

dokumen-dokumen yang mirip
Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun

BAB I PENDAHULUAN. dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena

Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit!

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 2013 menjelaskan. HIV atau Human Immunodefisiensi Virus merupakan virus

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

BAB I PENDAHULUAN. pada pembinaan kesehatan (Shaping the health of the nation), yaitu upaya kesehatan

Bab I Pendahuluan. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan narkotika di Indonesia menunjukkan gejala yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama sel T CD-4

BAB I PENDAHULUAN. meninggal akibat HIV/AIDS, selain itu lebih dari 6000 pemuda umur tahun

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS.

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

Implementasi Kebijakan dan Program AIDS pada Kelompok Pengguna Napza

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB V PEMBAHASAN. 1. Analisis Konteks dalam Program Skrining IMS dengan VCT di LP

1 Universitas Kristen Maranatha

Latar belakang, Skema & Implementasi SUFA (Strategic Use of Antiretroviral) di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

Mau sampai kapan saya metadon?: Memperkuat layanan program terapi rumatan metadon

ESTIMASI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI BALI TAHUN 2007

MODUL PEMBELAJARAN DAN PRAKTIKUM MANAJEMEN HIV AIDS DISUSUN OLEH TIM

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan sekaligus merupakan investasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

STRATEGI PENANGGULANGAN HIV/AIDS DAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA PADA LEMBAGA PEMASYARAKATAM DAN RUMAH TAHANAN NEGARA DI INDONESIA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

KOMISI PENANGGULANGAN AIDS

BAB 1 PENDAHULUAN. NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat

BAB I PENDAHULUAN. (NAPZA) atau yang lebih sering dikenal masyarakat dengan NARKOBA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan zat psiko aktif merupakan masalah yang sering terjadi di

MENUNAIKAN HAK PELAYANAN KESEHATAN NAPI DAN TAHANAN

Napza Suntik, HIV, & Harm Reduction

Proposal Penelitian Operasional. Evaluasi dan Intervensi Pengobatan Terapi Rumatan Metadon (PTRM)

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. hancurnya kehidupan rumah tangga serta penderitaan dan kesengsaraan yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

Panduan Umum PELAKSANAAN MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN PELAKSANAAN PROGRAM

HASIL LOKAKARYA REVIEW PENANGGULANGAN HIV & AIDS PROVINSI JAWA TENGAH

Jangan cuma Ragu? Ikut VCT, hidup lebih a p sti

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014

KEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN IMS. Subdit AIDS dan PMS DITJEN PP & PL, KEMENKES KUPANG, 4 September 2013

BUPATI PROBOLINGGO PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 25 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN PROBOLINGGO

BAB 1 : PENDAHULUAN. United Nation, New York, telah menerbitkan World Drugs Report 2015 yang

Lampiran 1 KUESIONER PERILAKU PENGGUNA NAPZA SUNTIK DI DALAM MENGIKUTI PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perlukah promosi test HIV pada pasangan populasi kunci dan serodiskordan?

PESAN POKOK APAKAH PEMERINTAH INDONESIA MAMPU MENGAKSELERASI PEMBIAYAAN OBAT-OBATAN STRATEGIC USE OF ANTIRETROVIRAL (SUFA)?

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

PETUNJUK PELAKSANAAN

HAMBATANDAN MANFAAT DALAM PROGRAM SKRINING INFEKSI ENULAR SEKSUAL DENGAN VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV-AIDS

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immuno Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan

PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN SIKAP WARGA BINAAN KASUS NARKOBA DALAM PENCEGAHAN HIV DAN AIDS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA SEMARANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan

Satiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT RI SELAKU KETUA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS NASIONAL NOMOR: 02 /PER/MENKO/KESRA/I/2007

Laporan Ketua Panitia Pelaksana Selaku Chief Rapporteur Dalam Acara Penutupan Pertemuan Nasional AIDS IV Pembukaan

Undangan pengajuan usulan penelitian HIV

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba dalam bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e.

ESTIMASI POPULASI DEWASA RAWAN TERINFEKSI HIV 2009

BAB II PENANGANAN KHUSUS TERHADAP NARAPIDANA YANG MENDERITA HIV/AIDS.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Berusaha Tenang Mampu mengendalikan emosi, jangan memojokan si-anak atau merasa tak berguna.

ARAH KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS PROVINSI DKI JAKARTA. Disampaikan Pada Acara :

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tantangan Intervensi Perubahan Perilaku dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia.

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 03 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA BEKASI

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan masyarakat yang yang dialami Indonesia saat ini sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah remaja usia tahun di Indonesia menurut data SUPAS 2005 yang

Isu Strategis Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS, Indonesia

Transkripsi:

Catatan Kebijakan # 2 Penanggulangan HIV/AIDS pada Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Apakah penting penanggulangan HIV di Rutan/Lapas Jumlah tahanan dan warga binaan dewasa di Indonesia hingga akhir tahun 2009 adalah 101.209 orang [1]. Jumlah warga binaan/tahanan yang ada di seluruh lapas/rutan di Indonesia telah melebihi dari kapasitas yang tersedia. Kelebihan kapasitas ini salah satu penyebabnya adalah semakin meningkatnya jumlah tahanan dan warga binaan narkoba hingga 30%[2]. Situasi ini telah memperburuk salah satu permasalahan utama di rutan/lapas yaitu kesehatan bagi warga binaan. Satu indikasi semakin beratnya permasalahan kesehatan di rutan/lapas adalah semakin banyaknya kasus-kasus kematian warga binaan/tahanan karena permasalahan kesehatan seperti HIV/AIDS, TBC, Hepatitis, infeksi saluran pernapasaan dan diare[3, 4]. Direktorat Bina Khusus Narkotika (Ditbinsustik), Ditjen Pemasyarakatan, Departeman Hukum dan HAM mencatat bahwa kasus kematian ini sebagian besar diduga karena HIV/AIDS dimana sebagian besar mereka yang meninggal memiliki latar belakang kasus narkoba [2, 3]. Tampaknya kecenderungan permasalahan ini tidak bisa dilepaskan dengan persoalan penyebaran HIV di kalangan pengguna napza suntik yang ada di masyarakat yang berkisar 50% [5]. Semakin banyaknya pengguna narkoba yang masuk ke penjara dengan demikian akan mendorong meningkatkan kasus-kasus HIV yang ditemukan di lapas/rutan. Meskipun demikian, penyebaran HIV ini tidak terjadi di luar penjara saja, tetapi penularan juga memungkinkan terjadi di dalam penjara karena prosentase penasun yang pernah dipenjara dan mengaku pernah menyuntik dipenjara berkisar antara 18% hingga 52%[6]. Dengan tidak adanya akses jarum suntik yang steril di penjara, maka tidak mengherankan pola berbagi jarum suntik menjadi hal yang umum dilakukan oleh warga binaan/tahanan untuk menggunakan narkoba. Selain itu juga diakui terdapat praktek-praktek hubungan seksual sesama penghuni lapas/rutan yang memungkinkan terjadinya penularan HIV diantara mereka [7]. Indikasi ini barangkali bisa dilihat pada hasil survei surveilans pada tahun 2003 hanya pada warga binaan yang baru masuk menunjukkan 5-10%, namun pada populasi seluruh warga binaan yang ada di tempat itu angka prevalensinya mencapai 30%. Angkaangka ini menunjukkan bahwa proses penularan HIV juga terjadi di dalam lapas[8]. Gambaran ini bisa menunjukkan bahwa penanggulangan HIV di lapas/rutan menjadi sebuah keharusan. Dengan mempertimbangkan situasi perilaku warga binaan maka penanggulangan HIV/AIDS di lapas/rutan harus

mengarah pada dua kegiatan utama. Pertama, kegiatan pencegahan penularan dari warga binaan yang satu kepada yang lain, termasuk di dalamnya adalah perawatan narkoba. Kedua, adalah perawatan bagi warga binaan yang telah terinfeksi HIV sehingga bisa mengurangi tingkat kesakitan dan kematian dari warga binaan[4]. Meski demikian, kegiatan ini hanya akan bisa dilakukan dengan efektif jika terdapat kebijakan atau peraturan yang memberikan ruang terlaksananya kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV/AIDS di rutan/lapas. Apakah ada kaitan antara upaya penanggulangan HIV di Rutan/Lapas dengan masyarakat? Permasalahan HIV di lapas/rutan tidak dapat dipisahkan dari permasalahan HIV yang ada di masyarakat karena pola penyebaran yang tampak di lapas/rutan dipengaruhi oleh pola penyebaran yang ada di masyarakat[9]. Semakin banyaknya warga binaan/tahanan yang terinfeksi HIV disebabkan karena penyebaran yang meluas pada pengguna narkoba suntik di masyarakat. Demikian juga sebaliknya, sebagian besar warga binaan/tahanan ini akan kembali lagi ke masyarakat setelah masa hukumannya selesai sehingga juga mempunyai potensi bagi mantan tahanan/warga binaan yang telah terinfeksi untuk menularkan ke orang lain melalui kegiatan seksual maupun penggunaan narkoba yang tidak aman. Oleh karenanya, upaya penanggulangan yang ada di lapas/rutan tidak bisa dipisahkan dari upaya penanggulangan yang dilakukan di masyarakat. Bagaimana penahanan bisa mempengaruhi perilaku berisiko? Warga binaan/tahanan mungkin telah terlibat dalam kegiatan berisiko tertular HIV sebelum masuk rutan/lapas dan melanjutkannya di dalam rutan/lapas. Kegiatan ini misalnya kegiatan seksual (suka rela atau paksaan), penggunaan narkoba, atau pembuata tattoo[4, 6, 7, 9]. Tetapi perilaku ini menjadi lebih berisiko ketika berada di rutan/lapas karena tidak adanya akses terhadap jarum suntik steril, kondom atau alatalat pencegahan yang lain. Demikian keluar dari lapas/rutan dan masuk kembali ke masyarakat merupakan satu merupakan masa yang sulit bagi seseorang dan ini bisa mendorong seseorang untuk melakukan perilaku yang berisiko[10]. Orang yang baru saja lepas bisa saja merayakan kebebasannya dengan berbagi perilaku yang terkait dengan penularan HIV misalnya dengan minum, menggunakan narkoba atau melakukan kegiatan seks. Tidak sedikit orang yang keluar dari penjara kembali lagi ke penjara karena kembali melakukan kegiatan yang sama dengan kegiatan yang membuat dia dipenjara. Apa yang sudah dilakukan selama ini? Prinsip umum dari penanggulangan HIV di lapas/rutan seperti yang telah digariskan oleh WHO dalam pedoman penanggulangan HIV di penjara bahwa semua warga binaan/tahanan memiliki hak untuk memperoleh perawatan kesehaan termasuk upaya-upaya pencegahan yang sama seperti yang tersedia di masyarakat tanpa adanya diskriminasi [11]. Menyikapi mendesakknya dilakukannya program bagi warga binaan/tahanan ini maka Dirjen Pemasyarakatan telah mengembangkan rencana stategis penanggulanan HIV/AIDS di rutan/lapas bekerja sama dengan system kesehatan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) [12]. Secara umum kegiatan yang telah dilakukan bisa dikategorikan menjadi dua yaitu: pertama, kegiatan penanggulangan secara langsung ditujukan kepada paa warga binaan/tahanan. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain: Pendidikan pencegahan. Tujuan dari kegiatan pendidikan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran warga binaan

tentang penularan HIV dan cara-cara praktis untuk menghindari penularannya. Kegiatan pendidikan ini bisa dilakukan oleh staf dari lapas/rutan atau dari pihak luar seperti dinas kesehatan atau lembaga swadaya masyarakat. Namun yang paling penting dari proses pendidikan ini adalah keterlibatan warga binaan di dalam memberikan informasi kepada sesame warga binaan. Sebagai gambaran, hingga Desember 2009 sekitar 60 ribu warga binaan di 34 lapas/rutan di Indonesia telah terpapar beberapa kegiatan pemberian informasi yang diberikan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat di enam propinsi[13]. Untuk menguatkan mendukung penyebaran berbagai jenis informasi tersebut, telah juga dilatih juga sejumlah warga binaan sebagai pendidik sebaya. Meski merupakan kegiatan yang sangat penting untuk dilakukan, kegiatan pendidikan ini dinilai masih belum mencukupi untuk mendorong perubahan perilaku berisiko para warga binaan. Kegiatan pendidikan perlu dilengkapi dengan kemudahan untuk mengakses alat-alat pencegahan[7, 9]. Konseling dan testing untuk HIV. Kegiatan ini memungkinkan sekali untuk ditawarkan kepada warga binaan lapas/rutan sebagai pintu masuk untuk melakukan pencegahan dan perawatan HIV. Layanan ini juga dilengkapi dengan layanan komprehensif konseling pra-tes termasuk proses meminta persetujuan untuk melakkan tes tersebut (inform consent) yang menjelaskan tentang berbagai kemungkinan yang timbul diakibatkan oleh hasil test tersebut. Sebagai sebuah sarana untuk melakukan perawatan, maka layanan ini juga dilengkapi dengan layanan perawatan dan dukungan bagi mereka yang memiliki hasil tes positif. Sebanyak 15 lapas telah melakukan pelayanan komprehensif ini dan warga binaan yang telah memanfaatkan layanan ini sebanyak lebih dari 4.285 orang hingga Juli 2009 [14]). Perawatan dan dukungan kepada warga binaan yang telah terinfeksi HIV. Ketersediaan terapi antiretroviral (ART) telah terbukti bisa menurunkan angka mortalitas dari orang yang hidup dengan HIV (ODHA)[9, 14, 15]. Demikian juga angka mortalitas dari warga binaan yang telah terinfeksi HIV juga bisa dikurangi dengan adanya layanan ART ini di lapas/rutan. Selain itu juga telah terbukti bahwa jika disediakan akses terhadap terapi, warga binaan memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi atau bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang ada di komunitas [9]. Meski masih terbatas, layanan ini telah dilakukan oleh sekitar 10 lapas/rutan dengan melakukan jejaring dengan RSUD atau puskesmas terdekat. Selain itu telah dilakukan berbagai macam pelatihan perawatan, dukungan dan pengobatan kepada staf lapas/rutan serta pengembangan pedoman (SOP) untuk manajemen kasus dan pengobatan [3]. Perawatan Ketergantungan Narkoba. Upaya pengurangan risiko terhadap penularan HIV bisa juga dilakukan dengan melakukan pelayanan perawatan narkoba.pelayanan ini bisa mengambil dua bentuk. Pertama adalah upaya untuk membebaskan warga binaan terhadap ketergantungan narkoba dengan mengembangkan program terapi rehabilitasi berbasis medis, social atau keagamaan. Sejauh ini 14 rutan/lapas telah memiliki program terapi dan rehabilitasi berbasis pendekatan social dan keagamaan [3]. Sementara itu, disejumlah rutan/lapas telah dibentuk sejumlah kelompok dukungan warga binaan untuk menjauhkan dari keinginan menggunakan narkoba (narcotic anonymous). Bentuk perawatan yang kedua adalah terapi substitusi oral dimana ketergantungan terhadap narkoba dialihkan dengan menggunakan zat lain yang dikelola secara medis. Diharapkan dengan program pengalihan ini, kehidupan warga binaan yang mengalami ketergantungan narkoba bisa lebih stabil dan bisa berfungsi dengan baik. Hingga tahun 2008 sebanyak 1.079 warga binaan telah

memanfaatkan layanan di empat lapas di Denpasar, Jakarta dan Bandung[14]. Sementara itu hingga September 2009 empat lapas/rutan yang memiliki layanan jumlah pasien aktif sebanyak 65 warga binaan [15]. Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa berbagai keuntungan pengembangan program substitusi di lapas ini antara lain: memungkinkan untuk memberikan kelanjutan pelayanan yang telah diterima oleh warga binaan sebelum masuk ke lapas, mengurangi angka kematian pada warga binaan yang disebabkan oleh overdosis, memungkinkan untuk melanjutkan perawatan lanjutan setelah pembebasan, mengurangi kemungkinan untuk kembali ke lapas (residivisme)[9, 16]. Jenis kegiatan yang kedua, adalah kegiatan yang lebih berorientasi untuk membangun lingkungan yang mendukung bagi kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV di lapas. Kegiatan ini antara lain pengembangan kebijakan dan pedoman bagi upaya penanggulangan di lapas. Kebijakan atau regulasi yang telah dikembangkan oleh Direktorat Jendral Pemasyarakatan antara lain Stranas Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba di Lapas/Rutan, Rencana Induk Penguatan Sistem dan Penyediaan Layanan Klinis Terkait HIV/AIDS di Lapas/Rutan, Petunjuk Pelaksana Teknis Layanan Dukungan dan Pengobatan HIV/AIDS di Lapas/Rutan, SOP Pelaksanaan Metadon di Lapas/Rutan, Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan Tentang Monitoring dan Evaluasi Program Penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/Rutan[3, 14]. Selain itu upaya pengembangan kapasitas sumber daya manusia di lingkungan lapas/rutan juga telah dilakukan antara lain lokakarya tentang penanggulangan AIDS bagi kalapas/karutan, pelatihan untuk pelatih komunikasi perubahan perilaku (KPP), pelatihan pelayanan klinis (IMAI), pelatihan konselor, pelatihan tentang adiksi dan pelatihan tenaga laboratorium[3]. Kebijakan apa yang perlu dikembangkan untuk memperkuat Program ini? Hingga saat ini belum ada sebuah evaluasi untuk melihat efektivitas program penanggulangan HIV/AIDS di lapas/rutan. Tetapi dengan mengacu efektivitas program penanggulangan lapas/rutan yang dikembangkan oleh WHO, maka bisa dilihat bahwa program yang sekarang ini telah menuju arah yang positif mengingat dua persyaratan efektivitas program yaitu adanya strategi pencegahan yang efektif dan strategi structural dan strategi medis telah dikembangkan di dalam perencanaan strategis penanggulangan HIV/AIDS di lapas[9]. Meski demikian, ada beberapa kegiatan yang terbukti efektif untuk mengurangi risiko belum dilakukan misalnya pendistribusian kondom dan jarum suntuk steril, pengembangan program pra pembebasan dan program transisi. Kerja sama antara system pemasyarakatan, system kesehatan masyarakat (dinas kesehatan, puskesmas, rumah sakit, LSM, pusat terapi rehabilitasi narkoba) dan warga binaan/tahanan merupakan hal paling penting di dalam mewujudkan model penanggulangan HIV/AIDS yang efektif. Kerja sama ini juga memungkinkan untuk menangani dengan efektif permasalahan kesehatan masyarakat pada satu sisi, dan pada sisi yang lain juga memberikan pemahaman tentang permasalahan keamanan dan prioritas di dalam pembinaan warga binaan/tahanan. 1. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia - Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Statistik Pemasyarakatan. 2010 [cited 2010 2/3/2010]; Available from: http://www.ditjenpas.go.id/?option=com_st atistik. 2. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia - Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Data UPT PAS. 2007 [cited 2010 2/3/2010]; Available from: http://lapas.aidsina.org/modules.php?name=profile&op=view profile&pid=3.

3. Direktorat Jendral Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Laporan Eksekutif: Program Penanggulangan HIV & AIDS Lapas/Rutan di Indonesia. 2007, 4. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia - Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba pada Lapas/Rutan di Indonesia (Sebuah Analisa). 2006, 5. Departemen Kesehatan, Analisis Kecenderungan Perilaku Berisiko Terhadap HIV Di Indonesia:Laporan Survei Terpadu Biologi dan Perilaku Tahun 2007. 2009: 6. Badan Pusat Statistik (BPS) and Departemen Kesehatan, Situasi Perilaku Berisiko tertular HIV di Indonesia :Hasil SSP Tahun 2004-2005. 2005. 7. Dolan, K., HIV Risk Behaviour, transmission and prevention in Indonesian prisons: Rapid Siatuation Assessment (RSA). 2005, Burnet Institute, Centre for Harm Reduction. 8. Sharma, M., et al., A situation update on HIV epidemics among people who inject drugs and national responses in South-East Asia Region. AIDS, 2009. 23(00). 9. WHO, UNAIDS, and UNODC, Effectiveness of interventions to address HIV in prisons (Evidence for Action Technical Papers). 2007, Geneva. 10. Zack, B. and K. Kramer, What is the role of prisons and jails in HIV prevention? Fact Sheet, Center for AIDS Prevention Studies (CAPS), University of California at San Francisco, 2009. 11. WHO and UNAIDS, WHO Guideline on HIV Infection and AIDS in Prisons. 1993, Geneva. 12. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia - Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Strategi Penanggulangan HIV-AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba pada Lapas dan Rutan, 2005-2009 2005, 13. Program Aksi Stop AIDS (ASA) Family Health International/Indonesia, IDU Intervention: Output-Level Results 2006-2009. 2010, 14. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014. 2009, 15. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Laporan Triwulan Situasi Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sd 31 Desember 2009. 2010: 16. WHO, UNAIDS, and UNODC, Interventions to address HIV in prisons: Drug dependence treatments (Evidence for Action Technical Papers). 2007, Geneve. Komunikasi lebih lanjut dapat menghubungi: Pusat Penelitian HIV/AIDS (PPH) Unika Atma Jaya Gedung K-2, Lt. 3, Ruang 303 Jl. Jenderal Sudirman 51 Jakarta Pusat Telp/Fax: 021-57854227 Email: hiv@atmajaya.ac.id Website: www.arc-atmajaya.org