I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 4. A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Relevansi Teori Boundary Making untuk abad 21

dokumen-dokumen yang mirip
I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 12

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 2. A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Teori Boundary Making tahap Alokasi dan Delimitasi

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 3

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 10

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 7

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 9. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan Aspek Geospasial dalam Metode Delimitasi Batas Maritim

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 6

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2

Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONFLIK CHILE-ARGENTINA PADA KASUS BEAGLE CHANNEL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Pada periode keempat ini Joint Parliamentary Commission berubah menjadi Mercosur Parliament yang secara resmi meminta delegasi dari tiap parlemen di n

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia

HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX. By Malahayati, SH, LLM

BAB I PENDAHULUAN. yaitu di daerah Preah Vihear yang terletak di Pegunungan Dangrek. Di

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kita. Konflik tersebut terjadi karena interaksi antar kedua negara atau lebih

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

BAB V KESIMPULAN. mencari mitra kerjasama di bidang pertahanan dan militer. Karena militer dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

Keterangan Pers Bersama Presiden RI dengan Perdana Menteri Perancis, Jakarta, 1 Juli 2011 Jumat, 01 Juli 2011

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat masih berupa non-intervensi. Namun ketika Perang Dunia Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Republik Perancis saat ini merupakan salah satu negara yang dapat

bilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

BAB I PENDAHULUAN. untuk menjaga keamanan nasional sekaligus memenuhi kepentingan nasional.

JURUSAN SOSIAL YOGYAKARTA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan dari manusia lainnya,

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 13

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR

RESUME SKRIPSI. Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak. bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar

BAB I PENDAHULUAN. India dan Pakistan merupakan dua negara yang terletak di antara Asia

APEK HUKUM WILAYAH NEGARA INDONESIA

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Yofa Fadillah Hikmah, 2016

BAB VI. 6.1 Kesimpulan Strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel pada masa Hafiz al-

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN DENMARK MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN PENANAMAN MODAL

memperoleh status, kehormatan, dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta pengaruhnya di arena global.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

BAB IV PENUTUP. tanah, luasan bidang tanah, dan batas batas wilayah bidang tanah. Pentingnya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Artikel hubungan internasional antara indonesia dengan negara lain. Artikel hubungan internasional antara indonesia dengan negara lain.

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SENGKETA INTERNASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan. Melindungi Hak-Hak

PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Kajian Strategi Batas Pengelolaan WIlayah Negara & Kawasan Perbatasan di 12 Provinsi

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memiliki nilai tawar kekuatan untuk menentukan suatu pemerintahan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA ACARA PENJELASAN PEKERJAAN (AANWIZJING)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Veygi Yusna, 2013

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 4 A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Relevansi Teori Boundary Making untuk abad 21 B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Relevansi Teori Boundary Making (1945) untuk abad 21 meliputi: 1) boundary-making dalam konteks sekarang, 2) kosa kata dalam batas wilayah, 3) boundary-making sebagai suatu pendekatan sistem, 4) pekerjaan lapangan dalam boundary-making, 5) sifat bilateral dari boundary-making, 6) pengaruh boundary-making di dalam hukum internasional dan penyelesaian sengketa, 7) boundary-making untuk abad 21. C. MEDIA AJAR : Handout D. METODE EVALUASI DAN PENILAIAN a. Kuis E. METODE AJAR: STAR : SCL (Student Centered Learning) + TCL (Teacher Centered Learning) F. AKTIVITAS MAHASISWA a. Memperhatikan, mencatat, membaca modul b.berdiskusi c. Mengerjakan soal kuis G. AKTIVITAS DOSEN DAN NAMA DOSEN a. Menjelaskan materi pokok bahasan b. Membuat soal kuis c. Memandu diskusi d. Nama Dosen : Sumaryo II. BAHAN AJAR Relevansi Teori Boundary Making (1945) untuk abad 21. Dalam waktu kurang lebih duapuluh tahun terakhir selama periode antara berakhirnya perang dingin sampai serangan teroris 9 September 2001 berkembang suatu pendapat yang menyatakan bahwa akibat perkembangan teknologi komunikasi, informasi dan transportasi serta dampak globalisasi ekonomi, maka arti penting keberadaan batas wilayah antar negara secara perlahan-lahan surut, sehingga seolah-olah kita hidup dalam dunia tanpa batas atau borderless world (Caflisch, 2006: 1; Newman, 2000: 69). Pandangan ini tidak sepenuhnya benar, bahkan keberadaan batas wilayah terutama batas wilayah antar negara tetap penting dalam membangun sistem hubungan internasional antar bangsa dan antar negara (Newman, 2000: 70). Keadaan yang sebenarnya menunjukkan bahwa di masa lalu batas wilayah berfungsi sebagai pemisah (barrier) terhadap semua bentuk pergerakan baik orang maupun barang, namun dalam dua dekade terakhir dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi maka fungsi batas tidak lagi dapat menahan arus pergerakan terutama informasi. Berita dan gambar-gambar dapat dengan mudah dikirim dari satu negara ke negara lain melalui satelit tanpa harus terhambat oleh adanya batas wilayah. Demikian juga dalam bidang 1

ekonomi, dalam satu sistem pasar global maka arus pergerakan modal maupun pembayaran dapat dilakukan tanpa terhambat oleh batas wilayah negara. Sementara penentuan pajak dan tarif oleh suatu negara lebih untuk menunjukkan bahwa kedaulatan suatu negara itu tetap ada walauapun ada pergerakan ekonomi. Saat ini batas wilayah negara sudah lebih terbuka. Orang dan barang sudah lebih mudah berpindah dari satu negara ke negara lain. Melalui kerjasama lintas batas, batas wilayah lebih berfungsi sebagai suatu tempat untuk memfasilitasi pergerakan (connectivity) para pelintas batas dan barang dari satu negara ke negara lain tanpa terlalu banyak hambatan (Newman, 2000: 72). Keberadaan batas wilayah negara akan mempermudah orang dan barang melintas, akibatnya lokasi-lokasi untuk memfasilitasi pelintas batas harus diperbanyak. Keberadaan garis batas wilayah juga harus dipertegas di lapangan untuk lebih memberikan makna loyalitas kebangsaan, sehingga istilah borderless world sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Batas wilayah tetap perlu ada sebagai batas pemisah kedaulatan namun melalui kerjasama lintas batas fungsi batas lebih ditingkatkan untuk mempermudah pergerakan orang dan barang (Newman, 2000: 69; Donaldson dan William, 2008: 696). Untuk itu diperlukan manajemen perbatasan baik yang di satu sisi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mempermudah lintas batas, namun disisi lain harus tetap memperhatikan segi keamanan dan integritas kebangsaan. Setelah lebih dari enampuluh tahun bukunya Jones dipublikasikan (dipublikasi tahun 1945), apakah teori Boundary Making masih relevan untuk abad 21? Pada tahun 2008, John W. Donaldson dan Alison J. William melakukan analisis terhadap relevansi buku tersebut untuk saat ini. Pada Jones saat menulis buku tersebut adalah di bawah arahan Samuel Whittemore Boggs dan Isaiah Bowman, dua orang ahli geografi politik yang lain dari Amerika, sehingga menurut John W. Donaldson & Alison J. Williams (2008) buku tersebut sebenarnya merupakan kulminasi kerja dari tiga serangkai Jones, Boggs dan Bowma. Analisis dilakukan untuk beberapa hal sebagai berikut: 1. boundary-making dalam konteks sekarang, 2. kosa kata dalam batas wilayah, 3. boundary-making sebagai suatu pendekatan sistem, 4. pekerjaan lapangan dalam boundary-making, 5. sifat bilateral dari boundary-making, 6. pengaruh boundary-making di dalam hukum internasional dan penyelesaian sengketa, 7. boundary-making untuk abad 21. Dalam analisisnya dibahas terutama perihal situasi pada saat Jones menulis buku Boundary-Making bila dikaitkan dengan situasi saat ini terkait hukum internasional, pengetahuan dan praktek tentang batas wilayah serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Hasil analisis yang dilakukan oleh W. Donaldson dan Alison J. William ditulis dalam suatu makalah dengan judul: Delimitation and Demarcation: Analysing the Lagacy of Stephen B Jones s Boundary Making dan diterbitkan dalam jurnal Geopolitik, 13:4, 676-700. Berikut rangkuman beberapa hal penting yang merupakan hasil analisisnya: a. Boundary Making dalam konteks sekarang Teknik penentuan batas wilayah internasional sangatlah luar biasa kompleksnya meliputi berbagai aspek dan isu politik, hukum (legal) dan geografis dan terus berkembang seiring dengan waktu serta mengikuti konteks yang sangat bervariasi. Meskipun demikian, sejak Perang Dunia ke Dua, empat tahapan sekuensial dalam boundary making yang dikemukan oleh Jones, sekarang tinggal tahapan delimitasi dan demarkasi yang secara praktis digunakan sebagai pedoman dalam penentuan batas dan penyelesaian sengketa batas 2

di berbagai belahan dunia. Dengan demikian menurut John W. Donaldson & Alison J. Williams (2008), paling tidak beberapa bagian isi bukunya Jones masih mempunyai pengaruh sampai saat ini. Bahkan, di zaman globalisasi saat ini, sistem negara secara internasional masih tetap didasarkan atas suatu sistem yang memiliki pengertian bahwa suatu negara adalah yang batas wilayah teritorialnya harus ditetapkan secara legal melalui kegiatan delimitasi dan secara fisik ditandai di lapangan melalui kegiatan demarkasi untuk memastikan terjadinya perdamaian dan stabilitas antar negara. Problematiknya adalah bahwa kelanjutan kegiatan delimitasi dan demarkasi sering memprovokasi timbulnya konflik atau sengketa batas antar negara di berbagai belahan dunia. Sebagai contoh adalah kasus sengketa batas yang sangat menonjol antara negara Eritrea dan negara Ethiopia di Afrika yang berlangsung sejak 1998 sampai 2000, telah menelan korban jiwa anatar 70.000 sampai 120.000 orang tentara dan penduduk sipil. Untuk penyelesaian yang menyeluruh akhirnya kedua negara sepakat membentuk Komisi Perbatasan ( Eritrea-Ethiopia Boundary Commission atau EEBC) pada 13 April 2002 yang ditugaskan untuk melakukan delimitasi ulang atas dasar perjanjian tahun 1900, 1902 dan 1908. EEBC kemudian melakukan delimitasi ulang atas dasar perjanjian 1900, 1902 dan 1908 menggunakan data saat ini berupa foto udara resolusi tinggi dan data DTM (Digital Terrain Model) dan akhirnya dapat menentukan 146 titik batas yang digambarkan pada peta skala 1 : 25.000 yang kualitasnya tinggi. Namun permasalahan yang muncul adalah fihak Ethiopia tetap menolak untuk menyetujui hasil delimitasi EEBC tersebut. Reinterpretasi yang dilakukan oleh EEBC tentang delimitasi pada perjanjian 1900, 1902 dan 1908 untuk melakukan demarkasi yang tidak berkompromi dengan pihak-pihak yang bersengketa, menimbulkan suatu pertanyaan bagaimana seharusnya proses boundary making harus dilakukan saat ini. Istilah dan pengertian delimitasi dan demarkasi yang dikemukakan oleh Jones saat ini secara menonjol telah digunakan di dalam yurisprudensi keputusan-keputusan masalah batas wilayah oleh Mahkamah Internasional, pengadilan arbitrase internasional dan teks hukum internasional serta resolusi-resolusi yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (sebagai contoh Resolusi No. 687 tahun 1991 terhadap batas antara Irak dan Kuwait). Hal ini menunjukkan bahwa betapapun Teori Boundary Making yang ditulis oleh Jones telah berakar kuat pada abad ke duapuluh. b. Kosa kata batas wilayah dalam boundary making Di dalam teorinya tentang boundary making, Jones berfikir melampaui pemikiran studi-studi tentang batas wilayah yang dilakukan oleh para ahli geografi politik sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Boggs dan Hartshorne yang juga ahli geografi politik Amerika. Jones dapat menjelaskan secara rinci sistematika proses boundary making dalam empat tahapan yaitu: 1) alokasi, 2) delimitasi, 3) demarkasi dan 4) administrasi. Kosa kata alokasi, delimitasi, demarkasi dan administrasi sangat membantu para praktisi dan akademisi batas wilayah pada situasi geopolitik selama perang dunia kedua. Jones menuliskan bahwa dalam kosa kata alokasi memberikan pengertian sebagai proses dimana suatu negara dapat memperoleh kedaultan teritorial dalam suatu wilayah, namun disisi lain Jones juga menyarankan bahwa batas wilayah yang telah diperoleh harus dipelihara (maintained) secara periodik setelah tahap demarkasi untuk tujuan administrasi. Di dalam bab yang terpanjang di dalam bukunya yang diberi judul Delimitation, Jones menjelaskan secara mendetail proses delimitasi. Pengertian delimitasi menurut Jones adalah: memilih letak suatu garis batas dan mendefinisikan garis tersebut di dalam suatu perjanjian atau dokumen formal lainnya. Dalam proses delimitasi, batas harus didefinisikan secara tertulis di dalam perjanjian bilateral sehingga delimitasi memiliki aspek legal. Jones dengan tegas menyatakan bahwa delimitasi merupakan proses dua tahap (two-stage process) 3

yaitu memilih garis batas dan mendefinisikan garis batas. Selain itu Jones juga mengingatkan agar dalam pemilihan dan pendefinisan garis batas harus sedapat mungkin mengurangi friksi sehingga menghasilkan suatu batas yang memberi peluang terbaik untuk dimulainya hubungan yang harmonis antara negara yang berbatasan. Di dalam bab selanjutnya, Jones menjelaskan tentang arti kata demarkasi yaitu penandaan secara fisik suatu batas di lapangan. Tetapi tentunya pengertian demarkasi tidak sesederhana hanya mencari lokasi untuk memasang pilar seperti yang tertulis dalam perjanjian atau tergambar di dalam peta, namun Jones menjelaskan bahwa demarkasi adalah suatu proses adaptasi dari batas yang sudah didelimitasi di dalam perjanjian ke dalam kondisi lokal di area perbatasan. Di dalam proses demarkasi diperlukan ahli-ahli teknis seperti kartografer, surveyor dan geogafer yang sering disebut demarkator. Karena itu para demarkator sebenarnya adalah sebagai penyesuai akhir (the final adjusment) garis batas hasil delimitasi ke kondisi realitas lapangan. Adler, R., (2001) memberi catatan bahwa teori boundary-making yang ditulis Jones merupakan tonggak sejarah yang sangat penting di dalam mendekatkan aspek-aspek teknis (demarkasi) ke aspek legal (delimitasi). c. Boundary-making sebagai suatu pendekatan sistematik Di dalam analisis yang dilakukan oleh John W. Donaldson & Alison J. Williams, disebutkan bahwa walaupun tahapan: alokasi, delimitasi, demarkasi, administrasi merupakan suatu ide yang ditulis atas dasar hasil gagasan Jones sendiri, namun gagasan tersebut merupakan suatu kerangka kerja yang sistematik yang mirip dengan yang dilakukan oleh ahli hukum internasional dari Perancis bernama Paul de Lapradelle dalam bukunya La Frointiere yang ditulis tahun 1928. Paul de Lapradelle menuliskan bahwa dalam penentuan batas wilayah meliputi tiga tahap yang sistematik yaitu persiapan (preparation), keputusan (decision) dan pelaksanaan (execution). Sebagai suatu kerangka kerja yang sistematik, maka Jones memberikan catatan penting yaitu: Karena boundary making adalah suatu proses yang berkesinambungan, mulai dari tahap awal alokasi sampai tahapan akhir administrasi, maka kesalahan di suatu tahapan akan berpengaruh pada tahapan berikutnya. Oleh sebab itu informasi yang benar tentang daerah perbatasan harus diketahui seawal mungkin di dalam proses boundary making. Informasi daerah perbatasan akan lebih baik kalau diperoleh dengan cara investigasi (survey) secara langsung di lapangan. d. Pekerjaan lapangan dalam boundary-making Jones menyarankan bahwa pekerjaan lapangan sebaiknya dilakukan dalam empat tahapan boundary making, terutama untuk tahap delimitasi, selama tahap demarkasi, selama penyelidikan kejadian-kejadian di perbatasan dan selama akan dilakukan keputusan dari sengketa batas. Namun sering ada anggapan bahwa pekerjaan lapangan hanya dilakukan ketika dimulai tahap demarkasi. Peta dan berbagai dokumen formal sudah dianggap cukup untuk alokasi teritorial dan delimitasi. Hal ini menurut Jones adalah sesuatu yang tidak memiliki dasar. Pengamatan lapangan penting dilakukan di dalam tahap pre-delimitasi yang akan menghasilkan suatu kepastian terhadap informasi yang diperlukan. Banyak contoh dari berbagai negara yang mengikuti rekomendasi dari Jones tentang perlunya melakukan survey lapangan sebagi bagian integral dalam proses boundary making. Menyusul hancurnya Uni Soviet dimana negara-negara yang sebelumnya tergabung dalam negara Uni Soviet kemudian menjadi negara merdeka, maka untuk menghindari perbedaan antara definisi tekstual batas wilayah administarsi sebelumnya dengan kondisi lapangan yang sebenarnya, maka beberapa negara di Asia Tengah segera melakukan survey lapangan selama delimitasi untuk menentukan batas negara setelah merdeka. Misalnya setelah merdeka pada bulan Desember 1991, Kazakhstan secara bilateral dengan negara-negara tetangganya yaitu Kyrgystan, Russia, Turkmenistan dan Uzbekistan segera membentuk komisi perbatasan dan melakukan delimitasi terhadap batas-batas administratif Uni Soviet sebelumnya. Dalam 4

tahap delimitasi ini, komisi perbatasan yang dibentuk meneliti dokumen legal, membentuk kelompok-kelompok kerja, melakukan konsultasi dengan penduduk lokal di wilayah perbatasan dan membentuk tim teknis untuk survey lapangan dan melakukan survey baru menggunakan citra dengan teknologi Remote Sensing untuk daerah-daerah yang tidak dapat dijangkau. Kegiatan lapangan yang dilakukan setelah terjadinya konflik tentu sangat sulit dilakukan dan bisa sangat berbahaya bagi personil tim survey yang terlibat. Para diplomat dan arbitrator sering enggan untuk melakukan survey lapangan pada situasi pasca konflik sebab merasa perlu segera mempercepat penyelesaian konflik untuk meminimalkan resiko konflik baru. Namun Jones tetap mengingatkan bahwa: pertama, alasan mempercepat penyelesaian adalah tidak lebih penting dari penyelesaian yang permanen. Kedua, dengan mengetahui secara pasti kondisi lapangan melalui survey lapangan akan menghemat waktu dalam proses bernegosiasi dan tahap demarkasi. Ketiga, kegiatan survey lapangan sebenarnya tidak memerlukan waktu lama. e. Sifat bilateral dari boundary-making Di dalam bukunya, Jones menjelaskan bahwa proses boundary making pada dasarnya merupakan kegiatan yang memiliki konsep yang bersifat kontraktual (contractual concept), artinya bahwa antara dua negara harus sepakat terhadap suatu garis batas dan tetap mempertahankan kedudukannya setelah terjadi kesepakatan. Di dalam boundary making penentuan garis batas tidak boleh dilakukan secara sepihak (unilateral), kecuali untuk limit batas maritim. Limit batas maritim adalah batas terluar zona maritim sebuah negara (laut teritorial, zona tambahan, ZEE, landas kontinen) yang lebarnya diukur dari garis pangkal. Pada dasarnya limit batas maritim ini ditentukan secara unilateral (sepihak), jika tidak ada tumpang tindih dengan negara lain. Penetuan limit batas maritm dilakukan oleh suatu negara yang letaknya di tengah samudera dan jauh sekali dari negara-negara lain, maka negara tersebut bisa menentukan batas terluar zona maritimnya secara sepihak tanpa harus berurusan dengan negara tetangga (Antunes, N.S.M., 2000). f. Boundary-making pada abad 21. Walaupun boundary making yang ditulis oleh Jones masih relevan di abad dua puluh, namun sebenarnya dunia sedang berubah sejak tahun 1945. Teknologi maju untuk penentuan posisi seperti Global Positioning System (GPS) terus berkembang dan dapat mengubah baik peralatan maupun metode yang digunakan dalam proses delimitasi, demarkasi maupun adminstrasi batas wilayah. Di awal dan pertengahan abad dua puluh, teknologi foto udara memang banyak digunakan di dalam proses boundary making, namun di abad dua puluh satu telah berkembang teknologi satelit untuk mendapatkan citra dengan resolusi tinggi. Disamping itu perkembangan teknologi komputer juga telah membawa abad dua puluh satu ini pada era teknologi dijital. Kemajuan teknologi transportasi khusunya helikopter telah sangat membantu tugas komisi perbatasan untuk melakukan akses ke daerah perbatasan yang jauh dan sulit dijangkau dengan perjalanan darat. Jumlah penduduk di kawasan perbatasan di berbagai belahan dunia terus bertambah, pelintas batas baik orang maupun barang baik yang legal maupun tidak legal juga terus bertambah, sehingga aspek keamanan maupun kesejahteraan di perbatasan tentu menjadi hal yang penting yang harus menjadi perhatian. Faktor-faktor tersebut menuntut kegiatan boundary making batas internasional dikelola secara moderen. Selama periode antara berakhirnya perang dingin sampai serangan teroris 9 September, munculnya pandangan dunia tanpa batas (world borderless) mulai berakar. Berpegang teguh dalam prinsip pasar bebas dimana tidak ada pembatasan terhadap aliran orang dan barang untuk melintasi batas negara, telah merubah konsep pandangan terhadap 5

batas wilayah negara. Meskipun demikian sejak peristiwa 9 September, kebijakan tentang keamanan menempatkan batas wilayah negara sebagai suatu tempat yang berfungsi untuk menjaga kemanan negara yang bersangkutan. Dari uraian di atas, sebagian besar teori boundary making yang ditulis Jones masih tetap relevan untuk abad dua puluh satu. Perkembangan teknologi dan situasi geopolitik dunia akan memberikan informasi yang memadai untuk mengelola batas wilayah negara secara lebih efektif dan efisien. Akhirnya analisis yang dilakukan oleh W. Donaldson dan Alison J. William menyebutkan bahwa yang perlu menjadi perhatian adalah kemungkinan teori boundarymaking direvisi untuk memastikan bahwa teori tersebut dapat selalu digunakan untuk pencegahan dan penyelesaian (resolusi) konflik yang banyak terjadi di abad ke duapuluh satu. III. EVALUASI 1. Bagaimana pendapat anda terhadap boundary-making dalam konteks sekarang boundary-making untuk abad 21. 2. Jelaskan kosa kata dalam batas wilayah yang paling menonjol dan paling berpengaruh secara praktis dalam teori Boundary Making Jones 3. Jelaskan boundary-making sebagai suatu pendekatan sistem, 4. Pada tahapan apa saja pekerjaan lapangan diperlukan dalam boundary-making, 5. Jelaskan pengertian sifat bilateral dari boundary-making, 6. Berikan contoh pengaruh boundary-making di dalam hukum internasional dan penyelesaian sengketa, Jawaban soal evaluasi akan didiskusikan di kelas DAFTAR BACAAN (REFERENSI): 1. Donaldson, J.W & Williams, A.J., 2008, Delimitation and Demarcation: Analysing the Legacy of Stephen B. Jones's : Boundary-Making, Geopolitics, 13:4, 676-700, Publisher: Routledge, To link to this article:http://dx.doi.org/10.1080/14650040802275503 2. Jones,B.,S., 2000, Boundary Making, A Handbooks for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners, William S. Hein & Co.Inc., Buffalo, New York. 6