Kata kunci: inventory, imperfect quality, inspection error, defect return, rework, salvage, lot size, JELS.

dokumen-dokumen yang mirip
PENGEMBANGAN MODEL JOINT ECONOMIC LOT SIZE DENGAN MEMPERTIMBANGKAN ADANYA PRODUK CACAT DAN BACKORDERING POLICY

BAB I PENDAHULUAN I-1

MODEL PERSEDIAAN PEMASOK-PEMBELI DENGAN PRODUK CACAT DAN KECEPATAN PRODUKSI TERKONTROL

PENGENDALIAN PERSEDIAAN DUA ESELON DENGAN MENGGUNAKAN METODE JOINT ECONOMIC LOT SIZE (JELS)

UKURAN LOT PRODUKSI DAN BUFFER STOCK PEMASOK UNTUK MERESPON PERMINTAAN PROBABILISTIK

MODEL PERSEDIAAN TERINTEGRASI PRODUSEN DAN PENGECER DENGAN KESALAHAN INSPEKSI, KENDALI WAKTU TUNGGU, DAN LEARNING IN PRODUCTION

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INTEGRASI LOT SIZING PADA PRODUSEN DAN DISTRIBUTOR UNTUK PRODUK YANG DIJUAL DENGAN GARANSI

Jl. Veteran 2 Malang

MODEL PERSEDIAAN TERINTEGRASI PADA SUPPLY CHAIN DENGAN MENGAKOMODASI KEBIJAKAN PEMBELIAN BAHAN BAKU

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

MODEL PERSEDIAAN TERINTEGRASI PADA SISTEM SUPPLY CHAIN YANG MELIBATKAN PEMASOK, PEMANUFAKTUR DAN PEMBELI

PENDEKATAN SEDERHANA UNTUK FORMULASI MODEL UKURAN LOT GABUNGAN SINGLE-VENDOR MULTI-BUYER

PERENCANAAN & PENGENDALIAN PRODUKSI TIN 4113

PENGARUH PENENTUAN JUMLAH PEMESANAN PADA BULLWHIP EFFECT

MODEL PERSEDIAAN TERINTEGRASI PRODUSEN DAN DISTRIBUTOR DENGAN KEBIJAKAN MANAJEMEN BIAYA EMISI KARBON DAN PROSES INSPEKSI

MODEL PROGRAM DINAMIS DALAM PENENTUAN LOT PEMESANAN DENGAN MEMPERTIMBANGKAN BATASAN MODAL

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

PENGEMBANGAN MODEL PERSEDIAAN PEMASOK- PEMBELI DENGAN MEMPERTIMBANGKAN KURVA BELAJAR, PRICE DEPENDENT DEMAND DAN BIAYA EMISI KARBON

ANALISIS SENSTIVITAS MODEL P(R,T) MULTI ITEM DENGAN ADANYA KENAIKAN HARGA

Model Optimisasi Ukuran Lot Produksi yang Mempertimbangkan Inspeksi Sampling dengan Kriteria Minimisasi Total Ongkos

PENGEMBANGAN MODEL PERSEDIAAN PERIODIC REVIEW DENGAN MEMPERTIMBANGKAN TINGKAT PERMINTAAN FUZZY, KESALAHAN INSPEKSI, DAN PARTIAL BACKORDER

PENENTUAN UKURAN LOT GABUNGAN UNTUK PEMBELI DAN PEMASOK TUNGGAL DAN USULAN SISTEM VENDOR MANAGED INVENTORY (VMI) PADA PT.PUTRA ALAM TEKNOLOGI

Penelitian TUGAS AKHIR

MODEL UKURAN LOT TERKOORDINASI PADA SISTEM RANTAI PASOK SINGLE- VENDOR MULTI-BUYER DENGAN MELIBATKAN PEMESANAN BAHAN BAKU

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Jurusan Teknik Industri Itenas No.04 Vol.03 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Oktober 2015

BAB 9 PENUTUP. Pada Bab ini mencakup kesimpulan yang diambil dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan saran untuk penelitian selanjutnya.

MODEL PERSEDIAAN SINGLE-ITEM DENGAN MEMPERTIMBANGKAN TINGKAT KADALUWARSA DAN PENGEMBALIAN PRODUK

JAZILATUR RIZQIYAH DEVIABAHARI Dosen Pembimbing : Prof. Ir. Suparno, MSIE., Ph.D PROPOSAL TUGAS AKHIR JURUSAN TEKNIK INDUSTRI ITS SURABAYA

Anadiora Eka Putri, Nughthoh Arfawi Kurdhi, dan Mania Roswitha Program Studi Matematika FMIPA UNS

Studi Perbandingan Ekpektasi Biaya Total Antara Kasus Bakcorder dan Lost Sales pada Model Persediaan Probabilistik

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

PENENTUAN JOINT ECONOMIC LOT SIZE PADA PEMASOK KURSI LIPAT DAN PEMBELINYA DENGAN PERMINTAAN PROBABILISTIK DAN LEAD TIME VARIABEL

BAB 2 LANDASAN TEORI

PENGENDALIAN PERSEDIAAN KOMPONEN CIRCUIT BREAKER DENGAN KEBIJAKAN CAN- ORDER (STUDI KASUS : PT. E-T-A INDONESIA)

Koordinasi Persediaan Rantai Pasok Desentralisasi dengan Lead Time yang Terkontrol dan Mekanisme Revenue Sharing

SKRIPSI PENENTUAN METODE LOT SIZING UNTUK MENGURANGI BULLWHIP EFFECT DAN TOTAL BIAYA PERSEDIAAN

Model Persediaan Just In Time (JIT) Terintegrasi dengan Mengakomodasi Kebijakan Material

PENGEMBANGAN MODEL PERSEDIAAN OBAT-OBATAN PADA INSTALASI FARMASI DI INTERNAL RUMAH SAKIT

PENGENDALIAN PERSEDIAAN BARANG DENGAN DEMAND DAN LEAD TIME YANG BERSIFAT PROBABILISTIK DI UD. SUMBER NIAGA

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN

Penentuan Kebijakan Order dengan Pendekatan Vendor Managed Inventory untuk Single Supplier, Multi Product

LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL VENDOR MANAGED INVENTORY DENGAN BANYAK RETAILER YANG MEMPERTIMBANGKAN KETIDAKPASTIAN LEAD TIMES

Evaluasi Strategi untuk Mengurangi Instabilitas Jadwal dan Dampaknya pada Rantai Pasok dengan Simulasi

PENGEMBANGAN MODEL PERSEDIAAN SINGLE VENDOR MULTI BUYER DENGAN KEBIJAKAN PENGIRIMAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Model Sistem Persediaan Dua Eselon Dengan Mempertimbangkan Interaksi Antar Fasilitas

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Perencanaan Jumlah Pembelian Bahan Baku Kimia di CV. Prima Maju Jaya dengan Mempertimbangkan Fluktuasi Harga

MANAJEMEN PERSEDIAAN

MODEL KEBIJAKAN CAN ORDER PADA DUA ESELON RANTAI PASOK DENGAN SISTEM VENDOR MANAGED INVENTORY

oleh ANADIORA EKA PUTRI M SKRIPSI ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains Matematika

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 1, No. 1(Sept. 2012) ISSN: A-579

ECONOMIC ORDER QUANTITY DAN PURCHASING PRICE UNTUK PRODUK DEFECT DAN BACKORDER KETIKA PEMERIKSAAN DARI BUYER KE SUPPLIER

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai peneltian terdahulu, penelitian sekarang, dan landasan teori sebagai dasar penelitian.

Usulan Model Persediaan Dengan Metode Hadley- Within Dan Chiu Approximation Dengan Mempertimbangkan Pengembalian Pada Produk Farmasi Di RSUD Kardinah

Model Penentuan Lot Pemesanan Dengan Mempertimbangkan Unit Diskon dan Batasan Kapasitas Gudang dengan Program Dinamis

PENGENDALIAN PERSEDIAAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE ECONOMIC ORDER QUANTITY DAN SILVER MEAL ALGORITHM (STUDI KASUS PT SAI)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XV Program Studi MMT-ITS, Surabaya 4 Pebruari 2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Jurusan Teknik Industri Itenas No.04 Vol.03 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Oktober 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Penjadwalan Pemesanan Bahan Baku untuk meminimasi Ruang Penyimpanan di Raw Material Warehouse Lamp Factory PT. Philips Indonesia

Model Optimisasi Lot Produksi Pada Sistem Produksi yang Mengalami Deteriorasi dengan Kriteria Minimisasi Total Ongkos *

BAB 2 LANDASAN TEORI

PENENTUAN SOLUSI OPTIMAL PERSEDIAAN PROBABILISTIK MENGGUNAKAN SIMULASI MONTE CARLO. Dian Ratu Pritama ABSTRACT

USULAN PERENCANAAN PRODUKSI DAN PERSEDIAAN TERINTEGRASI PT P&P LEMBAH KARET TUGAS AKHIR. Oleh FERDIAN REFTA AFRA YUDHA

MODEL OPTIMISASI LOT PRODUKSI DENGAN PERTIMBANGAN BIAYA KUALITAS PADA SISTEM PRODUKSI MULTISTAGE

KONSEP TRADISIONAL. Kirim. Retail. Vendor. Order (q & T) Make q & T Decision

Sistem Pengendalian Persediaan Dengan Permintaan Dan Pasokan Tidak Pasti (Studi Kasus Pada PT.XYZ)

BAB 4 FORMULASI MODEL

USULAN KEBIJAKAN PERSEDIAAN KATEGORI OBAT KERAS DAN OBAT BEBAS PADA APOTEK 12 PT

Jl. Prof. H. Soedarto, S.H. Tembalang Semarang.

Data untuk Perhitungan Biaya Kirim Data untuk Perhitungan Biaya Simpan Pembeli Data untuk Perhitungan Biaya

Jurusan Teknik Industri Itenas No.01 Vol.4 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Januari 2016

PEMILIHAN KONTRAKTOR PERBAIKAN ROTOR DI PEMBANGKIT LISTRIK PT XYZ DENGAN MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS DAN GOAL PROGRAMMING

MANAGEMEN INVENTORI UNTUK MENGANTISIPASI RENCANA KENAIKAN HARGA YANG DIKETAHUI (KNOW PRICE INCREASES) DENGAN KETERBATASAN MODAL KERJA

Model Sistem Persediaan Probabilistik Multi Item pada Pendistribusian Multi Eselon Dengan Potongan Harga

MODEL PERSEDIAAN TERINTEGRASI PRODUSEN DAN DISTRIBUTOR DENGAN INFLASI DAN INVESTASI UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PROSES PRODUKSI

Model Penentuan Ukuran Batch dan Buffer Stock Dengan Mempertimbangkan Perubahan Order Awal

Pemodelan Rencana Promosi dan Kebijakan Persediaan untuk Mendapatkan Profit Sharing Supply Chain yang Optimal

MANAJEMEN PERSEDIAAN. Ir. Rini Anggraini MM. Modul ke: Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Program Studi MANAJEMEN.

Mata Kuliah Pemodelan & Simulasi. Riani Lubis. Program Studi Teknik Informatika Universitas Komputer Indonesia

MODEL JOINT ECONOMIC LOT SIZE PADA RANTAI PASOK

PENGEMBANGAN MODEL JOINT ECONOMIC LOT SIZING PADA PUSH DAN PULL DENGAN REMANUFAKTUR

PERBAIKAN SISTEM PERSEDIAAN GUDANG KARPET MENGGUNAKAN ECONOMIC ORDER INTERVAL PROBABILISTIC MODEL

MODEL PERSEDIAAN PEMASOK-PEMBELI DENGAN MEMPERTIMBANGKAN REPAIRABLE ITEM, INSPECTION ERROR, DAN LOT PENGIRIMAN YANG BERBEDA

PENGEMBANGAN MODEL INTEGRASI PRODUKSI-PERSEDIAAN SINGLE VENDOR SINGLE BUYER KONDISI PROBABILISTIK DENGAN ADANYA LOSSING FLEXIBILITY COSTS

PENENTUAN UKURAN LOT GABUNGAN DENGAN BARGAINING GAME DAN CONSIGNMENT UNTUK PEMANUFAKTUR DAN PEMBELI TUNGGAL

RANCANGAN SISTEM PERSEDIAAN BAHAN BAKU KERTAS MENGGUNAKAN MODEL PERSEDIAAN STOKASTIK JOINT REPLENISHMENT DI PT KARYA KITA *

Manajemen Operasi Aulia Ishak, ST, MT

IMPLEMENTASI PENGENDALIAN SEDIAAN DENGAN MODEL EOQ PADA TOKO NASIONAL MAKASSAR

Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIV Program Studi MMT-ITS, Surabaya 23 Januari 2016

ANALISIS RISIKO TIPE I (PRODUSEN) DAN RISIKO TIPE II (KONSUMEN) DALAM KERJASAMA RANTAI PASOK. Nama Mahasiswa : Afriani Sulastinah NRP :

Studi Kasus Perbandingan antara Lot-for-Lot dan Economic Order Quantity Sebagai Metode Perencanaan Penyediaan Bahan Baku

MODEL OPTIMASI ECONOMIC ORDER QUANTITY DENGAN SISTEM PARSIAL BACKORDER DAN INCREMENTAL DISCOUNT

SKRIPSI MODEL PERSEDIAAN DENGAN PERMINTAAN BERGANTUNG PADA PERSEDIAAN, FAKTOR DETERIORASI, DAN RETUR

Transkripsi:

PENGEMBANGAN MODEL INTEGRASI LOT SIZING PADA PRODUSEN DAN DISTRIBUTOR DENGAN MEMPERTIMBANGKAN ADANYA IMPERFECT QUALITY ITEM, TWO WAY IMPERFECT INSPECTION, DAN SALES RETURN Sukma Prastika Sari dan Nani Kurniati Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 Email: zahrani.ilmi@yahoo.com ; nanikur@ie.its.ac.id Abstrak Pada manajemen persediaan tradisional, ukuran lot produksi oleh produsen dan ukuran lot pemesanan oleh pembeli ditentukan secara independen. Pendekatan ini, bisa menimbulkan kemungkinan ukuran produksi ekonomis produsen tidak sama dengan ukuran pemesanan pembeli. Untuk itu diperlukan suatu model penentuan lot yang mampu mengintegrasikan kepentingan antara produsen dan pembeli, dikenal dengan istilah Joint Economic Lot Size (JELS). Untuk mengetahui apakah kualitas sebuah produk baik atau tidak, maka dibutuhkan proses inspeksi yang dilakukan oleh produsen. Dalam proses inspeksi terdapat kemungkinan terjadinya error sehingga terjadi kesalahan dalam pengklasifikasian produk. Adanya error inspeksi II akan menyebabkan pengembalian barang rusak (defect sales return) dari pembeli. Di tempat produsen, defect return dan defect item akan di-rework dan di-salvage. Adanya aktivitas inspeksi, sales return, dan rework akan menambah komponen biaya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk membuat model penentuan ukuran lot produsen dan pembeli dengan mempertimbangkan adanya imperfect quality product, Two Way Imperfect Inspection (error inspection) dan sales return. Dari hasil perhitungan diketahui bahwa total biaya gabungan pada sistem independen lebih besar dibanding sistem joint dan total biaya gabungan sistem joint rework lebih besar dibanding sistem joint standar. Kata kunci: inventory, imperfect quality, inspection error, defect return, rework, salvage, lot size, JELS. ABSTRACT In the traditional inventory management, production and ordering lot sizing are determined independently. It can make economic production lot size not equal with economic ordering lot size. Because of this condition, it need to determine integration lot sizing model both of them which can measured their need. Lot sizing model which considering together need is called Joint Economic Lot Size (JELS). Inspection, is done by producer for knowing what is the quality of the product. In inspection process there s an error and can be misclassification product. An error type II will generate defect sales return from distributor. In the producer, defect sales return and defect item will be reworked and salvage. Inspection process, sales return, and reworked process will add cost component. Based on this condition, this research wiling to make lot sizing integration model between producer and distributor with considering of imperfect quality product, two way imperfect inspection, and sales return. From the calculation result, total cost with independent system is higher than joint system, and the total cost with rework joint system is higher than standar joint system. Keyword: inventory, imperfect quality, inspection error, defect return, rework, salvage, lot size, JELS 1. Pendahuluan Tantangan dan persaingan dalam dunia bisnis saat ini semakin berat dan ketat. Pada mulanya persaingan hanya terjadi antara perusahaan dengan perusahaan, dan terus berkembang hingga terjadi persaingan antar rantai pasok (supply chain). Salah satu cara perusahaan untuk mengatasi hal ini adalah dengan menerapkan prinsip supply chain management yang baik dengan tujuan untuk meminimumkan ongkos yang dikeluarkan, terutama ongkos inventori. Berdasarkan literatur Thomas dan Griffin (1996), diketahui bahwa untuk meminimasi total ongkos inventori gabungan dalam supply chain seharusnya perlu memperhatikan kepentingan bersama yaitu dengan cara meminimasi total 1

biaya antara produsen dan distributor. Penentuan ukuran lot yang optimal dengan memperhatikan kepentingan bersama dikenal dengan istilah Joint Economic Lot Size (JELS). Penelitian mengenai penentuan ukuran lot dengan mengintegrasikan antara produsen dan distributor telah banyak dibahas dalam penelitian sebelumnya seperti penelitian yang dilakukan Lu (1995). Dalam modelnya, dihasilkan suatu model integrasi antara produsen dan distributor. Hasil dari penelitian tersebut adalah model untuk menentukan ukuran lot yang optimal dengan mempertimbangkan ukuran lot produksi produsen dan lot pemesanan produk dari distributor. Penelitian tersebut terbatas pada asumsi bahwa semua item barang hasil produksi produsen dalam keadaan baik (nondefect/perfect quality). Namun pada kenyataannya, ketidaksesuaian produk (imperfect quality) sangat sulit untuk dihilangkan dalam proses produksi. Terdapat beberapa penelitian mengenai penentuan ukuran lot yang mempertimbangkan adanya imperfect quality pada produk. Penelitian tentang ukuran lot produksi dengan mempertimbangkan imperfect production dilakukan oleh Salameh dan Jaber (2000). Dalam modelnya, Salameh dan Jaber membuat model kuantitas produksi yang optimal dengan memperhatikan adanya imperfect quality item. Penelitian mengenai penanganan defect item dilakukan oleh Jamal dan Sarker (2004), model dibuat untuk menentukan lot produksi dengan menerapkan proses reworking pada imperfect product. Reworking dilakukan dengan asumsi untuk menghilangkan defect dengan harapan product imperfect (defect) tersebut dapat dijual dengan harga yang sama dengan produk nondefect. Penelitian dikembangkan oleh Yoo et al (2009). Penelitian ini mempertimbangkan adanya kesalahan dalam proses inspeksi produk, pengembalian barang defect akibat error inspeksi, kemungkinan barang di-rework, serta biaya yang ditanggung akibat pelaksanaan inspeksi dan pengembalian barang yaitu biaya inspeksi, biaya pengembalian barang, biaya pinalti, dan biaya rework. Penelitian mengenai penentuan lot dengan mempertimbangkan imperfect quality yang disebutkan di atas tidak mempertimbangkan adanya integrasi antara produsen dan distributor. Penelitian yang mempertimbangkan adanya rantai pasok dan imperfect quality product dilakukan oleh Nurzaman (2008). Penelitian ini menghasilkan model matematis untuk menentukan ukuran lot gabungan pemasok, pemanufaktur, dan pembeli dengan mempertimbangkan proses produksi yang tidak sempurna. Penelitian dilanjutkan oleh Rachmania (2011), model yang dihasilkan adalah pengembangan model Khan et al (2010). Dalam modelnya, dihasilkan ukuran lot gabungan pemasok, pemanufaktur, dan pembeli dengan mempertimbangkan proses produksi yang tidak sempurna dan inspection error. Item defect dan error tipe 2 yang dikembalikan oleh konsumen, semuanya dijual dengan harga lebih murah (salvage). Pengembalian barang rusak dan efek biaya yang ditimbulkannya tidak diperhitungkan dalam komponen biaya. Dalam kenyataannya, perusahaan tidak serta merta akan menjual semua item defect dan hasil pengembalian barang rusak akibat error inspeksi dengan harga yang lebih murah (salvage). Beberapa kemungkinan item tersebut bisa diperbaiki melalui proses rework. Selain itu, aktivitas pengembalian barang juga memicu biaya pengembalian dan biaya pinalti oleh produsen (Yoo at al, 2009). Mengingat bahwa biaya penyimpanan inventori adalah komponen terbesar dalam biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan (Chopra dan Meindl, 2004 dalam Yoo et all, 2009), dan banyak perusahaan yang memiliki nilai persediaan melebihi 25% dari keseluruhan asset (Pujawan, 2005) maka akan sangat baik untuk membedakan besar biaya penyimpanan (holding cost) sesuai dengan biaya operasional untuk penanganan masingmasing tipe item yang berbeda (defect item, nondefect item, returned item, worked item). Dalam penelitian Tugas Akhir ini akan dibuat sebuah model integrasi produsen dan distributor dengan mempertimbangkan adanya Imperfect Quality Item, Two Way Imperfect Inspection, dan Sales Return. Model matematis integrasi lot sizing dikembangkan dengan merujuk pada jurnal Lu (1995) dan Yoo et al (2009). Manfaat yang diharapkan dari adanya penelitian ini adalah mampu menghasilkan model joint economic lot size yang lebih menggambarkan kondisi nyata dan mampu menentukan joint economic lot size antara produsen dan distributor yang optimal dengan mempertimbangkan adanya adanya imperfect quality item, two way imperfect inspection, dan sales return. 2

2. Metodologi Penelitian Bab ini akan menjelaskan langkahlangkah terstruktur yang dilakukan dalam melakukan penelitian ini. Langkah-langkah ini digunakan sebagai acuan sehingga penelitian dapat berjalan secara sistematis sesuai dengan tujuan dan waktu penelitian. Pada tahapan identifikasi dan perumusan masalah dilakukan preliminary study literature, identifikasi dan perumusan masalah, studi literatur, penetapan tujuan penelitian. Pada tahapan ini, peneliti merumuskan permasalahan yang akan diteliti yaitu menghasilkan model integrasi lot sizing produsen dan distributor dengan mempertimbangkan adanya Imperfect Quality Item, Two Way Imperfect Inspection, dan Sales Return. tahap selanjutnya adalah tahap pembuatan model. Terdapat beberapa langkah dalam tahap ini yaitu karakterisasi model, identifikasi komponen model, pembuatan model konseptual, dan pembuatan model matematis. Setelah dihasilkan model matematis maka dilanjutkan dengan tahap selanjutnya yaitu tahap pengujian model. Terdapat beberapa pengujian yang dilakukan yaitu uji konveksitas, uji numerik, dan uji sensitivitas. Tahap terakhir adalah malakukan tahap analisis dan kesimpulan dari hasil uji sensitivitas dan analisis perbandingan model yang dikembangkan dan model eksisting. 3. Pengembangan Model Pada bab ini dilakukan pengembangan model dari model eksisting, yaitu model joint integrasi Lu (1995) dan Yoo et all (2009). 3.1 Karakterisasi Model Berikut ini adalah karakterisasi model yang dikembangkan. Produsen Qp Screened items Pembeli 2 = [(1-p)q1+p][1-r]Qp Keterangan: Imperfect item Defect Prob = p Lot produksi, Qp = nqd Lot Pemesanan = Qd Inspeksi Asli defect = P(1-q2)Qp Error tipe I = (1-p)q1Qp Rework Prob = r Nondefect Prob = 1-p Imperfect inspection Serviceable items Asli non defect = (1-p)(1-q1)Qp Error tipe II = pq2qp Reworked items = [(1-p)q1+p]rQp Returned items pq2qp Produsen Sales return Pembeli 1 Qd Pembeli Gambar 3.1 Karakterisasi Sistem yang dikembangkan 3.2 Kriteria kinerja Fungsi tujuan dari model yang akan dikembangkan adalah meminimalisasi total biaya gabungan (TBG) yaitu total biaya produsen (TBP) ditambah dengan total biaya distributor (TBD). Min TBG = biaya setup produksi + biaya produksi + biaya inspeksi + biaya pengembalian (return cost) + biaya rework + biaya pinalti + biaya simpan produk oleh produsen + biaya pembelian + biaya pemesanan oleh distributor + biaya simpan produk oleh distributor. 3.3 Variabel Keputusan Variabel keputusan dari model yang dikembangkan adalah sebagai berikut : Ukuran lot pemesanan produk oleh distributor (Q d ) Bilangan integer yang menunjukkan frekuensi pengiriman (n) Ukuran lot produksi oleh produsen (Q p ) Inventori produk yang dibeli Qd(1-pq2) / 2 pq2qp Defect sales return 3.4 Parameter Parameter-parameter yang digunakan dalam model adalah sebagai berikut : D = demand rate distributor P = production dan inspection rate R = rework rate p = probabilitas defect q 1 = probabilitas error tipe I q 2 = probabilitas error tipe II r = probabilitas rework s = production cost per unit i = inspection cost per unit 3

t = return cost per unit l = pinalty cost per unit w = rework cost per unit h = fraksi holding cost A p = setup cost produksi O d = biaya pemesanan distributor h d = inventori holding cost barang jadi oleh distributor H = harga beli per unit = h 1 = inventori holding cost screened items h 2 = inventori holding cost returned items h 3 = inventori holding cost item being reworked h 4 = inventori holding cost serviceable dan reworked items a = probabilitas returned + screened = [p + (1-p)q 1 ] b = probabilitas serviceable = [pq 2 + (1-p)(1-q 1 )] c = probabilitas screened = [p(1-q 2 ) + (1-p)q 1 ] d = probabilitas returned = pq 2 3.5 Formulasi Model Matematis Gambaran profil inventori secara umum sebagai berikut: Inventori Produsen (serviceable dan rework items) 3.5.1 Biaya Total Produsen Meliputi biaya setup, biaya produksi, biaya inspeksi, biaya pengembalian (return cost), biaya rework, biaya pinalti, dan biaya simpan produk di produsen. Biaya Setup Produksi (1) Biaya produksi (2) Biaya inspeksi (3) Biaya pengembalian (return cost) (4) Biaya rework (5) Biaya pinalti (6) Biaya penyimpanan produk oleh produsen Biaya penyimpanan produk oleh produsen ini dibedakan menurut jenis item yang disimpan. Dari kondisi yang terjadi, terdapat beberapa jenis item yang akan disimpan. Inventori serviceable dan rework items Serviceable items adalah produk yang lolos inspeksi karena tergolongkan dalam produk non defect. Sedangkan rework items adalah item hasil rework. Keduanya digunakan untuk memenuhi demand. Berikut adalah profil inventori serviceable dan rework items: Inventori Produsen (serviceable dan rework items) (Qp) H F G E arqp Produksi dan inspeksi Rework Inventori distributor bqp Inventori screened items Demand dikonsumsi Inventori returned items Inventori item being reworked Inspeksi Waktu pengembalian barang (return) Rework Gambar 3.1 Pola Inventori Produsen (serviceable dan reworked items, screened items, returned items, dan item being reworked) dan Inventori Distributor Inventori distributor (Qd) A Qd/P B C D Qp/P (b+ar)qd/d arqp/r (b+ar)qp/d Gambar 3.2 Profil Inventori Produsen (Serviceable dan Rework Item) dan Profil Inventori Distributor A Qd 4

Besar biaya penyimpanan serviceable dan reworked items: Qp A3 Dimana Y = (7) Inventori produk defect (screened item) Screened item adalah item yang tergolongkan menjadi produk defect selama inspeksi. Berikut adalah profil inventori dari item defect: Qp Qp/P Gambar 3.3 Profil Inventori Screened Items Dimana A 1 = screened item = [p(1-q 2 ) + (1- p)q 1 ]Q p = cq p Sehingga besarnya biaya penyimpanan produk defect (8) Inventori produk yang dikembalikan (returned items) Returned items berasal dari pengembalian barang yang telah terjual ke distributor akibat adanya error tipe 2 saat produsen melakukan inspeksi.. Profil inventori dari returned items adalah: Qp A1 T = arqp/r Gambar 3.5Profil Inventori Item being Reworked Dimana A3 = [p + (1-p)q 1 ] rq p = arq p Besar biaya penyimpanan item being reworked ) (10) 3.5.2 Total Biaya Distributor Biaya total yang ditanggung distributor terdiri dari biaya pemesanan dan biaya penyimpanan produk oleh distributor. Biaya pembelian produk (11) Biaya pemesanan Produk oleh Distributor (12) Biaya penyimpanan Produk oleh Distributor (13) 3.5.3 Total Biaya Gabungan Total biaya gabungan merupakan penjumlahan dari semua biaya total produsen dan biaya total distributor. Formulasi matematis dari total biaya gabungan ditunjukkan oleh persamaan berikut: A2 T = (b+ar)qp/d Gambar 3.4 Profil Inventori Returned Items Dimana A2 = returned items = pq 2 Q p = dq p Sehingga besarnya biaya penyimpanan returned items (9) Inventori produk yang akan di-rework (items being reworked) Inventori ini berasal dari reworked item. Adanya proses rework pada reworked item menyebabkan pengurangan pada inventori reworked item. Berikut adalah profil inventori dari item being reworked: (14) 3.5.4 Solusi Model Solusi variabel keputusan n didapat dari iterasi n = 1 sampai n = i+1 yang menyebabkan nilai TBG menjadi minimum. solusi variabel Q d didapat dari turunan pertama TBG terhadap Q d = 0. (15) 5

Dimana Z = (16) Sedangkan solusi variabel Q p = n x Q d (17) 3.5.5 Uji Konveksitas Uji konveksitas digunakan untuk membuktikan bahwa nilai yang didapatkan dari fungsi matematis terletak di dalam batas fungsi konveks. Uji konveksitas dilakukan dengan melakukan tes deferensiasi (turunan) kedua pada persamaan total biaya gabungan. Apabila hasil deferensiasi tersebut lebih besar dari nol, maka fungsi tersebut merupakan fungsi konveks sehingga mempunyai nilai minimum. Perhitungan deferensiasi kedua dari persamaan total biaya gabungan ditunjukkan oleh persamaan: (18) Dari persamaan tersebut, faktor yang menyebabkan negatif adalah nilai d = pq 2 dimana p dan q 2 adalah probabilitas yang besarnya kurang dari 1. Nilai 1-d akan positif sehingga nilai turunan kedua dari total biaya gabungan juga akan positif (>0). Hal ini menandakan bahwa persamaan total biaya gabungan merupakan fungsi konveks dan mempunyai nilai minimum 3.5.6 Uji Numerik Nilai parameter diambil dari jurnal Lu (1995) dan Yoo et all (2009). Parameter numerik yang digunakan antara lain: D = 1000 unit/tahun P = 3200 unit/tahun R = 2560 unit/tahun p = 0.02 q 1 = 0.02 q 2 = 0.05 r = 0.4 s = 25 $/unit i = 0.5 $/unit t = 3 $/unit l = 15 $/unit w = 5 $/unit h = 0.2/yahun A v = 400 $/tiap kali setup O d = 25 $/kali pesan h d = 5 $/unit H = 25 a = 0.0396 b = 0.9614 c = 0.0386 d = 0.001 Dengan memasukkan nilai parameter tersebut dalam persamaan diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 3.1 Tabel Contoh Perhitungan Numerik n Qd TBG 1 327 52598 2 186 52418 3 133 52390* 4 104 52403 5 86 52431 Dari hasil tersebut diketahui nilai n yang menyebabkan TBG menjadi minimum adalah n = 3 kali Qd = 133 unit sehingga nilai Qp = 399 unit dengan TBG = $52390. 4. Analisis dan Pembahasan Pada bab ini dilakukan analisis pada uji sensitivitas dan pembandingan dengan model eksisting. 4.1 Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui perilaku model terhadap perubahan-perubahan nilai parameter. Dalam model ini analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui pengaruh perubahan nilai parameter terhadap besar lot pengiriman (Q d ), lot produksi (Q p ), dan total biaya gabungan (TBG). Adapun parameter yang diuji adalah probabilitas defect (p), probabilitas error tipe I (q 1 ), probabilitas error tipe II (q 2 ), holding cost distributor (h d ), order cost distributor (O d ), dan setup cost produsen (A p ). Berikut adalah hasil uji sensitivitas dengan nilai parameter yang diturunkan 25% dan dinaikkan 100%. 6

Tabel 4.1 Hasil Uji Sensitivitas 4.1.1 Pengaruh Probabilitas defect Kenaikan probabilitas defect akan direspon produsen dengan menurunkan lot produksi dengan harapan dapat mengurangi jumlah produk defect yang dihasilkan. Pengurangan pada lot produksi berakibat pada pengurangan lot pengiriman. Dari segi biaya, peningkatan probabilitas defect hingga 100% menyebabkan pertambahan biaya pada produsen sebesar 0.094%, penambahan biaya pada produsen ini akibat adanya peningkatan biaya setup produksi karena lot produksi yang menurun sehingga frekuensi produksi akan meningkat. Selain itu, kenaikan total biaya produsen juga didukung oleh kenaikan biaya return cost, rework cost, dan biaya pinalti. Hal ini karena peningkatan nilai p yang menyebabkan jumlah item yang mengalami hal tersebut meningkat. Adapun pada biaya distributor total biaya menurun secara tidak signifikan yaitu sebesar 0.004%. penurunan biaya pada distributor ini akibat menurunnya biaya simpan akibat lot pengiriman dari produsen yang sedikit. Secara keseluruhan, kenaikan pada probabilitas defect (p) menyebabkan kenaikan biaya total gabungan meningkat sebesar 0.045%. sehingga dapat disimpulkan bahwa kenaikan probabilitas defect akan menyebabkan peningkatan pada biaya total gabungan produsen dan distributor. 4.1.2 Pengaruh Probabilitas Error Tipe I Error tipe I adalah menggolongkan item berkualitas baik dalam item berkualitas jelek. Mengetahui nilai probabilitasnya meningkat maka produsen akan berusaha menurunkan lot produksinya sehingga item yang masuk dalam kategori ini dapat diminimalisir jumlahnya, sehingga kenaikan probabilitas error tipe I akan berakibat penurunan pada lot produksi dan pengiriman. Penambahan probabilitas error tipe I hingga 100% menyebabkan pertambahan biaya pada produsen sebesar 0.055%, penambahan biaya itu disumbang terbesar oleh biaya setup dan biaya rework, sedangkan komponen biaya produsen yang lain mengalami penurunan yang tidak lebih besar daripada pengurangan kedua komponen biaya tersebut. Kenaikan biaya rework disebabkan adanya kenaikan pada nilai q 1 yang merupakan probabilitas penentu dalam jumlah item yang akan di-rework (jumlah item yang di-rework = [(1-p)q 1 + p]rq p ). Adapun pada biaya distributor total biaya menurun secara tidak signifikan yaitu sebesar 0.004%. Penurunan terjadi pada biaya simpan distributor akibat lot pengiriman yang semakin menurun. Secara keseluruhan, kenaikan pada probabilitas error tipe I (q 1 ) menyebabkan kenaikan biaya total gabungan meningkat sebesar 0.026%. sehingga dapat disimpulkan bahwa kenaikan probabiitas error tipe I akan menyebabkan peningkatan pada biaya total gabungan produsen dan distributor. 4.1.3 Pengaruh Probabilitas Error Tipe II Berdasarkan tabel tersebut diketahui dengan adanya peningkatan nilai q 2 maka lot produksi seakin menurun. Error tipe II adalah menggolongkan item berkualitas jelek dalam item berkualitas baik. Namun hal yang terlihat baik ini sebenarnya akan merugikan produsen di kemudian hari akibat adanya aktivitas pengembalian yang berujung pada tambahantambahan biaya lain (return cost, penalty cost, holding cost returned items) sehingga produsen akan berusaha mengurangi jumlah item yang akan tergolongkan akibat adanya error II dalam inspeksi dengan menurunkan lot produksinya. Kenaikan probabilitas error tipe II akan berakibat penurunan pada lot produksi dan pengiriman. penambahan probabilitas error tipe II hingga 100% menyebabkan pertambahan biaya pada produsen sebesar 0.041%, 7

penambahan biaya tersebut diakibatkan naiknya jumlah item yang dikembalikan sehingga berdampak pada return dan pinalty cost, selain itu biaya simpan produksi juga mengalami kenaikan akibat naiknya biaya holding cost returned item. Adapun pada biaya distributor total biaya menurun secara tidak signifikan yaitu sebesar 0.003%. Penurunan terjadi pada biaya simpan distributor akibat lot pengiriman yang semakin menurun. Secara keseluruhan, kenaikan pada probabilitas error tipe II (q 2 ) menyebabkan kenaikan biaya total gabungan meningkat sebesar 0.019%. sehingga dapat disimpulkan bahwa kenaikan probabiitas error tipe II akan menyebabkan peningkatan pada biaya total gabungan produsen dan distributor. 4.1.4 Pengaruh Probabilitas Rework Terjadi penurunan lot produksi seiring dengan pertambahan probabilitas rework. Jumlah item yang di-rework = [(1-p)q 1 + p]rq p. Kenaikan pada nilai r akan direspon produsen dengan menurunkan jumlah lot produksi dengan tujuan menurunkan jumlah item yang akan di-rework. Penurunan pada lot produksi menyebabkan frekuensi setup menjadi meningkat sehingga setup cost akan bertambah. Peningkatan pada nilai r juga menyebabkan peningkatan pada biaya rework dan inventori cost untuk reworked item dan item being reworked. Hal tersebut menyebabkan total biaya produsen semakin meningkat. Lot produksi yang sedikit berakibat lot pengiriman juga semakin sedikit jumlahnya, hal ini menyebabkan biaya simpan pada distributor menjadi berkurang. penambahan probabilitas rework hingga 100% menyebabkan pertambahan biaya pada produsen sebesar 0.296%. Adapun pada biaya distributor total biaya menurun secara tidak signifikan yaitu sebesar 0.016%. Penurunan terjadi pada biaya simpan distributor akibat lot pengiriman yang semakin menurun. Secara keseluruhan, kenaikan pada probabilitas rework (r) menyebabkan kenaikan biaya total gabungan meningkat sebesar 0.145%. sehingga dapat disimpulkan bahwa kenaikan probabiitas rework akan menyebabkan peningkatan pada biaya total gabungan produsen dan distributor. 4.1.5 Pengaruh Holding Cost Distributor (h d ) Kenaikan pada holding cost per unit akan direspon oleh sistem joint dengan menurunkan lot pengiriman oleh produsen sehingga distributor tidak akan terlalu banyak menyimpan barang. Akibat jumlah lot pengiriman yang sedikit ini maka frekuensi pengiriman (n) akan semakin sering. Keadaan ini secara otomatis akan meningkatkan lot produksi di sisi produsen. penambahan holding cost distributor hingga 100% menyebabkan pertambahan biaya yang tidak signifikant pada produsen sebesar 0.207%. Adapun pada biaya distributor total biaya meningkat drastis sebesar 98.716%. Kenaikan terjadi pada harga beli dan biaya order sedangkan pada biaya holding cost mengalami penurunan akibat lot yang disimpan sedikit. Holding cost mengalami kenaikan seiring dengan naiknya harga beli sehingga saat diujikan holding cost yang naik maka juga akan menaikkan biaya pembelian. Kenaikan pada order cost disebabkan lot pengiriman yang sedikit sehingga intensitas pemesanan akan semakin banyak. Secara keseluruhan, kenaikan pada holding cost distributor (h d ) menyebabkan kenaikan biaya total gabungan meningkat sebesar 48.192%. sehingga dapat disimpulkan bahwa kenaikan holding cost distributor akan menyebabkan peningkatan pada biaya total gabungan produsen dan distributor. 4.1.6 Pengaruh Order Cost Distributor (O d ) Order cost adalah biaya yang dikeluarkan distributor akibat melakukan pemesanan ke produsen. Dari tabel tersebut terlihat bahwa semakin besar biaya pemesanan maka total biaya persediaan yang ditanggung oleh distributor semakin besar. Peningkatan biaya pemesanan (order) akan direspon oleh distributor dengan menurunkan frekuensi pemesanan. Penurunan frekuensi pemesanan tersebut akan berakibat pada naiknya lot pengiriman. Dengan semakin naiknya lot pengiriman, maka persediaan distributor akan meningkat sehingga dapat disimpulkan bahwa kenaikan biaya order akan berakibat pada naiknya biaya penyimpanan dan pemesanan tahunan pada distributor yang akhirnya memberikan kontribusi pada meningkatnya biaya yang ditanggung distributor. Pada sisi produsen, naiknya biaya pemesanan distributor akan menyebabkan total biaya produsen 8

cenderung menurun. Hal ini disebabkan menurunnya jumlah setup produksi dan tingkat persediaannya. penambahan order cost distributor hingga 100% menyebabkan penurunan terhadap biaya pada produsen sebesar 0.249%. Adapun pada biaya distributor total biaya meningkat sebesar 0.883%. Secara keseluruhan, kenaikan pada order cost distributor (O d ) menyebabkan kenaikan biaya total gabungan meningkat sebesar 0.303%. sehingga dapat disimpulkan bahwa kenaikan order cost distributor akan menyebabkan peningkatan pada biaya total gabungan. 4.1.7 Pengaruh Setup Cost Produsen (A p ) Kenaikan biaya setup produksi akan direspon produsen dengan menurunkan jumlah setup produksi. Produsen berharap dengan penurunan jumlah setup akan mengurangi beban produsen terhadap kenaikan biaya setup produksi. Dengan jumlah setup yang semakin sedikit maka semakin baik jika dalam satu kali setup, jumlah produk yang diproduksi semakin besar sehingga semakin ekonomis. Hal ini mengakibatkan jumlah lot produksi semakin naik. Kenaikan pada lot produksi ini berakibat pada kenaikan pada semua komponen biaya yang harus ditanggung oleh produsen dan distributor. penambahan setup cost hingga 100% menyebabkan kenaikan terhadap biaya pada produsen sebesar 3.071%. Adapun pada biaya distributor total biaya meningkat tidak signifikan sebesar 0.032%. Secara keseluruhan, kenaikan pada setup cost distributor (A p ) menyebabkan kenaikan biaya total gabungan meningkat sebesar 1.591%. sehingga dapat disimpulkan bahwa kenaikan setup cost distributor akan menyebabkan peningkatan pada biaya total gabungan. 4.2 Perbandingan Model dengan Model Eksisting Dalam subbab ini akan dilakukan pembandingan antara model yang dikembangkan dengan model eksisting. Pembandingan pertama dilakukan antara model yang dikembangkan dengan model joint tanpa ada kondisi imperfect item, imperfect inspection, dan sales return. Pembandingan kedua dilakukan antara model yang dikembangkan dengan model penentuan lot jika penentuan dilakukan secara independent. 4.2.1 Perbandingan Model yang dikembangkan dengan Model Joint No Rework Model joint no rework adalah model joint standar tanpa kondisi apapun sebagimana yang dimodelkan lu (1995). Berikut adalah hasil perbandingannya: Tabel 4.2 Perbandingan Model Joint Rework dengan Model Joint No Rework Berdasarkan tabel 4.2diketahui bahwa dengan adanya kondisi imperfect item, imperfect inspection, dan sales return akan menurunkan jumlah lot produksi dan pengiriman. Dengan adanya probabilitas defect, error dalam inspeksi, dan rework maka produsen akan berusaha mengurangi jumlah lot produksi sehingga jumlah item yang tergolongkan defect, returned, dan rework dapat berkurang. Kondisi tersebut juga menyebabkan adanya kenaikan pada total biaya yang harus ditanggung oleh produsen dan distributor sehingga total biaya gabungan dalam sistem juga akan meningkat. Dari sisi produsen, joint rework menyebabkan peningkatan biaya setup akibat lot produksi yang lebih kecil dibanding joint no rework. Joint rework juga menimbulkan adanya biaya tambahan seperti biaya inspeksi, biaya return, biaya rework, dan biaya pinalti. Sedangkan dari sisi produsen, joint rework mempunyai total biaya simpan distributor yang lebih besar karena lot pengiriman yang lebih banyak. Secara keseluruhan, joint rework mempunyai total biaya gabungan yang lebih tinggi dibanding joint no rework. 4.2.2 Perbandingan Model yang dikembangkan dengan Model Independent Perbandingan model independent adalah pembuatan keputusan lot pemesanan dan lot produksi yang ditentukan secara sendirisendiri. Lot pemesanan ditentukan oeh perusahaan melalui pencarian turunan pertama Qd terhadap total biaya produsen saja. Berikut adalah hasil perbandingan model joint dengan independent. 9

Tabel 4.3 Perbandingan Model Joint Rework dengan Model Independent Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa dengan adanya pengambilan keputusan penentuan lot secara independent selalu memberikan total biaya produsen, distributor, dan gabungan yang lebih besar dibanding kebijakan secara joint. Dari sisi biaya produsen, nilai TBP kondisi joint lebih hemat dibanding kondisi independent, hal ini karena biaya setup kondisi joint lebih murah dibanding setup kondisi independent, ini disebabkan karena lot produksi kodisi joint lebih besar. Dari sisi distributor, nilai TBD kondisi independent lebih hemat dibanding kondsi joint, hal ini disebabkan biaya simpan yang besar akibat lot pengiriman kondisi joint yang leih besar dibanding kondisi independent. Nilai n yang optimal pada kebijakan joint dan independent memiliki nilai n yang sama yaitu sebanyak 2 kali. Hal ini menunjukkan bahwa lot produksi produsen sebanyak dua kali lot pemesanan distributor. Dalam kebijakan joint, untuk lot produksi produsen sebesar 1522 unit dan lot pemesanan distributor sebesar 761 unit. Jumlah biaya untuk produksi dan pemesanan tersebut menghasilkan total biaya gabungan sebesar $ 2509859, Sedangkan untuk pengambilan keputusan secara independent, lot produksi produsen sebesar 1414 unit dan lot pemesanan distributor sebesar 707 unit. Jumlah biaya untuk produksi dan pemesanan tersebut menghasilkan total biaya gabungan sebesar $ 2511997. Dari kedua kebijakan terlihat bahwa hasil yang diberikan oleh joint lebih baik, yaitu memproduksi dan memesan lebih banyak unit akan tetapi biaya gabungan yang harus ditanggung oleh produsen dan distributor lebih kecil dibandingkan dengan kebijakan independent. 5. Kesimpulan dan Saran Bab ini berisikan kesimpulan yang didapatkan dari penelitian yang dilakukan. Selain itu, dalam bab ini juga diberikan saransaran yang dapat dilakukan untuk penelitian selanjutnya. 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Model yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah model penentuan ukuran lot dengan mempertimbangkan adanya kondisi imperfect item, imperfect inspection, dan sales return Model matematis tersebut ditunjukkan pada persamaan 3.15 dan 3.17 2. Adanya imperfect item, imperfect inspection, dan sales return meningkatkan total biaya sebanyak 0.96%. 3. Peningkatan nilai pada parameter probabilitas defect (p), probabilitas error tipe I (q 1 ), probabilitas error tipe II (q 2 ), probabilitas rework (r), holding cost distributor (h d ), order cost distributor (O d ), dan setup cost produsen (A p ) berpengaruh terhadap jumlah lot pengiriman (Q d ), lot produksi (Q p ), dan peningkatan terhadap total biaya gabungan (TBG). Peningkatan nilai probabilitas defect (p), probabilitas error tipe I (q 1 ), probabilitas error tipe II (q 2 ), dan probabilitas rework (r) menyebabkan nilai Q d dan Q p yang semakin menurun dan TBG yang semakin meningkat. Peningkatan nilai holding cost distributor (h d ) menyebabkan nilai Q d yang semakin menurun, nilai Q p dan TBG yang semakin meningkat. Peningkatan nilai order cost distributor (O d ) menyebabkan nilai Q d dan TBG yang semakin meningkat dan nilai Q p yang semakin menurun. Peningkatan nilai setup cost produsen (A p ) menyebabkan nilai Q d, Q p, dan TBG yang semakin meningkat. 5.2 Saran Model yang dibuat saat ini mempertimbangkan adanya imperfect item, imperfect inspection, dan sales return. Untuk penelitian selanjutnya, model yang sudah ada dapat dikembangkan misalnya dengan 10

menambahkan kondisi backlogging (lost sales atau/dan backorder). Dapat juga dikembangkan dengan melibatkan pembeli kedua (distributor kedua) yang melakukan pembelian pada produsen dengan discounted price. 6. Daftar Pustaka Jamal, A.M.M., Sarker, Bhaba R., dan Mondal, Sanjay. 2004. Optimal manufacturing batch size with rework process at a single-stage production system. Computers & Industrial Engineering 47 pp. 77 89, accessed 25 February 2011, <www.elsevier.com/locate/ijpe>. Lu, L. 1995. A one-vendor multi-buyer integrated inventory model. European Journal of Operational Research 81 pp. 312 323, accessed 2 March 2011, <www.elsevier.com/locate/ijpe>. Montgomery, Douglas C., 2009. Introduction to Statistical Quality Control: A Modern Introduction International Student Version, Sixth Edition. John willey & Sons (Asia) Pte. Ltd. Nurshanti, Ika. 2009. Pengembangan Model Joint Economic Lot Sizing pada Pull dan Push dengan Remanufakturing. Surabaya : Tugas Akhir Teknik Industri ITS, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Nurzaman, Nataya. 2008. Model Penentuan Ukuran Lot Gabungan Pemasok- Pemanufaktur-Distributor dengan Mempertimbangkan Proses Produksi yang Tidak Sempurna. Surabaya: Tugas Akhir Teknik Industri ITS, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Pujawan, I Nyoman. 2005. Supply Chain Management. Surabaya : Guna Widya. Rachman, Ayu Amalia. 2009. Model Penentuan Ukuran Lot Gabungan Ekonomis Pemasok-Pemanufaktur-Distributor dengan Mengontrol Lead pada Ukuran Pengiriman Sama dan Berbeda. Surabaya : Tugas Akhir Teknik Industri ITS, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Rachmania, Rizky. 2011. Pengembangan Model Joint Economic Lot Size dengan Mempertimbangkan Adanya Imperfect Quality Product dan Inspection Error. Surabaya: Tugas Akhir Teknik Industri ITS, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Sajadieh, Mohsen S., Jokar, Mohammad R Akbari., dan Modarres, Mohammad. 2009. Developing a coordinated vendor buyer model in two-stage supply chains with stochastic lead-times. Computers & Operations Research 36 pp. 2484 2489, accessed 11 February 2011, <www.elsevier.com/locate/ijpe>. Sari, Diana Puspita. 2008. Optimasi Joint Economic Lot Size dalam Sistem Persediaan Supplier-Buyer Ketika Terdapat Penawaran Decremental Temporary Discount. Surabaya : Thesis Teknik Industri ITS, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Tersine, Richard J. 1994. Principles of inventory and materials management, Fourth Edition. New Jersey : Prentice- Hall, Inc. Thomas, Douglas J., dan Griffin, Paul M. 1996. Coordinated supply chain management. European Journal of Operational Research 94 pp.1-15, accessed 11 March 2011, <www.elsevier.com/locate/ijpe>. Walpole/Myers. 1995. Ilmu peluang dan statistika untuk insinyur dan ilmuwan; terjemahan RK Sembiring, Penerbit ITB, Bandung. Yoo, Seung Ho., Kim, DaeSoo., dan Park, Myung-Sub. 2009. Economic production quantity model with imperfect-quality items, two-way imperfect inspection and sales return. Production Economics 121 pp.255 265, accessed 1 February 2011, <www.elsevier.com/locate/ijpe>. Yuniarti, Rahmi. 2008. Integrasi Lot Sizing pada Produsen dan Distributor untuk Produk yang dijual Dengan Garansi. Surabaya : Thesis Teknik Industri ITS, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. 11