Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, Parulian P Aritonang (Pembimbing)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP STATUS SITA DAN EKSEKUSI JAMINAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DALAM HAL TERJADI KEPAILITAN SUATU PERUSAHAAN ASURANSI

PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEPENTINGAN PARA KREDITOR AKIBAT ACTIO PAULIANA DALAM HUKUM KEPAILITAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. Bakti, 2006), hlm. xv. 1 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.v, (Bandung:Citra Aditya

TANGGUNG JAWAB KURATOR DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT DI KABUPATEN BADUNG

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

WEWENANG KREDITOR SEPARATIS DALAM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN BERKENAAN DENGAN KEPAILITAN. Abstrak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kegiatan perekonomian yang berkesinambungan, banyak sekali

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR. Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan perundang-undangan yang

PENYELESAIAN SECARA HUKUM PERJANJIAN KREDIT PADA LEMBAGA PERBANKAN APABILA PIHAK DEBITUR MENINGGAL DUNIA

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

KEWENANGAN KREDITOR SEPARATIS TERHADAP EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN APABILA DEBITOR PAILIT Anton Ismoyo Aji, R.Suharto, Siti Malikhatun Badriyah Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR PENERIMA

TINJAUAN YURIDIS HAK KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN PERTAMA DALAM PELELANGAN BUDEL KEPAILITAN FENNI CIPTANI SARAGIH ABSTRACT

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB I. tidak dipakai. Sangat sedikit kasus-kasus yang ada saat itu yang mencoba memakai peraturan

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITOR

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA. Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam

KEWENANGAN PELAKSANAAN EKSEKUSI OLEH KREDITUR TERHADAP JAMINAN FIDUSIA DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

EKSEKUSI KREDIT MACET TERHADAP HAK TANGGUNGAN

KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI

BAB III JUDICIAL REVIEW TERHADAP KEWENANGAN KURATOR DALAM MENGURUS DAN MEMBERESKAN HARTA PAILIT

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

PENGARUH UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN UNDANG- UNDANG HAK TANGGUNGAN TERHADAP KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN APABILA DEBITUR PAILIT

AKIBAT HUKUM ATAS PUTUSAN PAILIT BAGI DEBITOR TERHADAP KREDITOR PEMEGANG HAK JAMINAN FIDUSIA TUAH BANGUN ABSTRACT

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

ANALISIS HUKUM TERHADAP PERMOHONAN PAILIT ATAS DEVELOPER

Penundaan kewajiban pembayaran utang

RESUME TESIS FUNGSI PENGECEKAN SERTIFIKAT SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan

TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP BENDA JAMINAN FIDUSIA YANG MUSNAH DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

PENGATURAN PENGALIHAN JAMINAN FIDUSIA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

BAB II KEPAILITAN PADA PERUSAHAAN PT. TELKOMSEL. TBK

Transkripsi:

KEDUDUKAN KREDITOR SEPARATIS SEBAGAI PEMEGANG HAK JAMINAN DALAM MELAKSANAKAN HAK EKSEKUTORIAL HARTA DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT (STUDI KASUS : PUTUSAN NOMOR 758L/PDT.SUS/2012) Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, Parulian P Aritonang (Pembimbing) Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, Depok, 16424, Indonesia Email : Ywindry@yahoo.co.id Abstrak Penelitian ini membahas mengenai kedudukan kreditor separatis dan pelaksanaan eksekusi yang diatur di dalam Undang-Undang Kepailitan Indonesia. Selanjutnya, dalam skripsi ini akan dibahas kedudukan Bank BTN sebagai kreditor separatis dan pelaksanaan eksekusi, upaya hukum yang dapat dilakukan, dan membahas apakah putusan Hakim Mahkamah Agung sudah sesuai dengan Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, sedangkan analisa datanya adalah metode kualitatif. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan Bank BTN kedudukannya sebagai kreditor separatis karena ada jaminan hak tanggungan, Pelaksanaan hak eksekusi harta jaminan debitor sebagai kreditur separatis dapat mengeksekusi harta pailit seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Upaya hukum yang dapat diajukan bank BTN dari awal pemberian kredit yaitu mengevaluasi calon nasabah dengan prinsip 5C, monitoring jaminan, berperan aktif dalam meminta surat pemberitahuan insolvensi untuk eksekusi yang ada persetujuan hakim pengawas, ketika mengetahui ada pihak ketiga dalam jaminan harta pailit adalah mengajukan permohonan kepada hakim pengawas untuk mengubah syarat penangguhan, melakukan Peninjauan Kembali. Serta dapat diketahu bahwa putusan hakim Mahkamah Agung pada tingkat kasasi kurang tepat. Kata kunci : Kreditor Separatis, Kurator, Eksekusi Position Creditors Separatists As Holder Guarantee The Rights To Implement Right Otherwise Executorial Bankrupt Debtor's Asset (Case Study: Decision No. 758L / Pdt.Sus / 2012) Abstract This research discuss the position of creditors separatist and execution are set out in the Insolvency Act Indonesia. Furthermore, in this paper will discuss the position of Bank BTN secure creditor and execution, legal remedies that can be done, and discuss whether the decision of the Supreme Court Justices are in accordance with the Insolvency Act No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment. This study uses normative juridical research, while data analysis is qualitative methods. From these results it can be concluded that the Bank BTN secure creditor position because it has a guarantee security rights, implementation of property rights guarantees execution debtor as secure creditor can execute the bankruptcy estate as if nothing happened bankruptcy. Remedy which may be filed BTN from the beginning of the loan is to evaluate the prospective customer with the principle 5C, assurance monitoring, active in requesting notification of the execution of the existing insolvency judge supervisory approval, when knowing there is a third party in the bankruptcy estate collateral is to apply to the supervisory judge to change the terms of the suspension, do Reconsideration. As well been known that the Supreme Court judge's decision on appeal is not quite right. Keywords: Creditors Separatists, Curator, Execution

PENDAHULUAN Dalam menjalani kehidupan ini hampir sebagian besar orang baik orang perorangan maupun badan hukum pernah berhubungan dengan utang. Utang yang merupakan kewajiban bagi debitur wajib dipenuhi atau dilunasi, namun demikian ada kalanya debitur tidak memenuhi kewajiban atau debitur berhenti membayar utangnya. Keadaan berhenti membayar utang dapat terjadi karena tidak mampu membayar atau tidak mau membayar. 1 Baik karena alasan debitur tidak mampu membayar ataupun tidak mau membayar akibatnya adalah sama yaitu kreditur akan mengalami kerugian karena tidak dipenuhi piutangnya. Dengan tidak dipenuhinya kewajiban debitur kepada kreditur berarti ada sengketa diantara debitur dan kreditur. Ada banyak cara untuk menyelesaikan sengketa berkaitan dengan keadaan berhenti membayar oleh debitur. Kepailitan merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa tersebut di samping cara-cara penyelesaian yang lain. Dalam konteks kepailitan dikenal adanya prinsip Paritas Creditorum dan prinsip Pari Passu Prorata Parte. Berdasarkan kedua prinsip tersebut, pembagian harta debitor untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditor dilakukan tidak sekedar sama rata, melainkan juga disesuaikan dengan proporsinya. Singkatnya, kreditor yang memiliki tagihan lebih besar akan mendapatkan porsi pembayaran yang lebih besar dari pada kreditor yang tagihannya lebih kecil. Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte menemukan relevansinya dalam kondisi harta debitor yang akan dibagi lebih kecil dibanding dengan jumlah utang-utang debitor. Dalam hukum, kreditor-kreditor tertentu yang didahulukan haknya disebut kreditor-kreditor preferen atau secured creditors, sedangkan kreditor-kreditor lainnya itu disebut kreditor-kreditor konkuren atau unsecured creditors. 2 Hal ini juga ditegaskan dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang mengatakan Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor yang tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah 1 Man S. Sastrawidjaja,2006, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, hlm.2. 2 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Grafiti, Jakarta, hlm.5.

jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan. Pengadilan, naik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. 3 Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang dimaksud dengan kreditur adalah baik kreditur konkuren, kreditur preferen maupun kreditur separatis. Yang dimaksud kreditur separatis adalah kreditur pemegang jaminan kebendaan seperti pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek dan agunan kebendaan lainnya. 4 Dalam hal inilah dipahami bahwa kreditur separatislah yang harus didahulukan dalam pelunasan hutang debitur karena kreditur separatis pemegang jaminan kebendaan. Dasar hukum jaminan adalah perjanjian pemberian jaminan kebendaan antara debitor dan kreditor dengan tujuan menjamin pemenuhan, pelaksanaan atau pembayaran suatu kewajiban, prestasi atau utang debitor kepada kreditor. Betapa tidak adilnya seorang kreditor yang memegang jaminan kebendaan diperlakukan sama dengan seorang kreditor yang tidak memegang jaminan kebendaan. Padahal maksud adanya lembaga jaminan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang jaminan. Jika pada akhirnya disamakan kedudukan hukumnya antara kreditor pemegang jaminan kebendaan dan unsecured creditor, maka adanya lembaga hukum jaminan menjadi tidak bermakna lagi. Demikian pula dengan kreditor yang oleh undang-undang diberikan keistimewaan dalam pelunasan piutangnya. Jika kedudukannya disamakan dengan kreditor yang tidak diberikan preferensi oleh undang-undang, maka tidak ada gunanya undang-undang melakukan pengaturan tersebut. 5 Bila tidak ada cara untuk mempertemukan kepentingan masing-masing, maka dipastikan akan terjadi benturan kepentingan antara hukum kepailitan dan hukum jaminan. Dalam praktek kepailitan yang terjadi di Indonesia, jarang sekali ditemui kreditor separatis yang melaksanakan sendiri hak eksekutorial terhadap jaminan kebendaan yang dimilikinya. Walaupun Undang-Undang Kepailitan memberikan peluang untuk itu, namun kenyataannya tidak mudah diterapkan. Salah satu kendalanya adalah karena 3 Indonesia, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU No 37 Tahun 2004, LN No. 131 Tahun 2004, TLN 3778, Ps 2 ayat (1). 4 Sudargo Gautama, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, Citra Aditya Bakti, Jakarta, hlm.75. 5 J.Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.281.

jangka waktu pelaksanaan hak eksekutorial tersebut sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Sebagian praktisi hukum kepailitan berpendirian bahwa hak eksekusi kreditor separatis dimulai sejak debitor pailit dinyatakan dalam keadaan insolvensi hingga paling lambat dua bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi. 6 Artinya, kesempatan kreditor separatis melaksanakan hak eksekutorialnya hanya dua bulan. Limitasi jangka waktu ini didasarkan pada pemahaman yang sepotong terhadap pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Disisi lain terlihat bahwa penyelesaian melalui lembaga kepailitan ini diharapkan dapat memberikan keamanan dan menjamin terlaksananya kepentingan pihak-pihak yang berkepentingan yaitu debitur dan kreditur. Namun demikian harapan penyelesaian utang piutang melalui lembaga kepailitan dapat menjamin kepentingan para pihak, ada kemungkinan kurang dirasakan sepenuhnya oleh kreditur separatis. Hal ini disebabkan karena adanya pengaturan tentang pembatasan hanya selama dua bulan untuk mengeksekusi harta debitor pailit, terhadap hal ini dianggap bahwa hak-hak kreditur separatis kurang dilindungi kedudukannya. Ketentuan yang mengatur hak-hak kreditur separatis antara lain diatur dalam Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 59 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Terkait dengan tema kedudukan kreditor separatis maupun mengenai kepailitan yang telah penulis uraikan, dalam praktek penulis menemukan suatu kasus yang menarik mengenai kedudukan kreditor separatis terkait dalam hal pelaksaan eksekutorial harta debitur pailit. Kasus ini diawali dengan bahwa PT. Mitra Safir Sejahtera telah diputus pailit oleh majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 28 Febuari 2012. Dalam hal kasus ini PT. Bank Tabungan Negara merupakan kreditur separatis sebab PT. Bank Tabungan Negara memiliki barang jaminan dan surat-surat asli dari debitur pailit. Dalam kasus ini kurator menafsirkan atas ketentuan Pasal 292 Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bahwa putusan pernyataan pailit mengakibatkan harta debitor langsung berada dalam insolvensi, sehingga menurut kurator masa insolvensi PT. Mitra Safir Sejahtera sudah 6 Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.68.

dimulai sejak penetapan pailit oleh majelis hakim pengadilan Niaga tanggal 28 Febuari 2012 dan akibatnya hak eksekusi PT. Bank Tabungan Negara otomatis telah berakhir 28 April 2012. Kurator PT. Mitra Safir Sejahtera telah mengingatkan kepada PT. Bank Tabungan Negara bahwa ada masa insolvensi selama dua bulan untuk kreditur separatis melaksanakan hak eksekusi melalui surat nomor 014/AKH-IN-AS/MSS- PAILIT/VI/2012, terhitung sejak tanggal 28 Februari 2012 sampai dengan tanggal 28 April 2012 hak eksekusi Bank BTN. Namun yang terjadi selama dua bulan PT. Bank Tabungan Negara tidak menggunakan haknya atau telah lewat waktu untuk menjual lelang atas barang jaminan dari debitor pailit dan setelah lewat batas waktunya untuk eksekusi PT. Bank Tabungan Negara tetap menahan boedel pailit PT. Mitra Safir Sejahtera dan akan melakukan lelang pada tanggal 12 Juni 2012. Alasan Bank BTN tidak mengeksekusi harta pailit adalah bahwa surat untuk eksekusi Nomor 14/AKH-IN-AS/MSS-PAILIT/III/2012 yang dikirimkan oleh kurator tanpa persetujuan hakim pengawas, sehingga menurut bank BTN hal tersebut merupakan perbuatan melawan hukum karena dalam pelaksanaan tugasnya kurator telah melampaui wewenangnya yaitu kurator memproduksi keputusan sendiri tanpa persetujuan dan sepengetahuan hakim pengawas. Kemudian alasan kedua yaitu Bank BTN mengikuti Pasal 56 ayat (1) mengenai penangguhan eksekusi 90 hari, karena ternyata jaminan berupa perumahan graha roda di Tangerang merupakan lahan sengketa yang melibatkan orang ketiga sehinga sesuai Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan harus ditangguhkan 90 hari, serta alasan terakhir Bank BTN tidak mengeksekusi adalah karena mengikuti Pasal 178 ayat (1) bahwa penentuan agenda Rapat Pencocokan Piutang dan Verivikasi yaitu 11 April 2012, sehingga jangka waktu paling lambat berakhir hak eksekusi Bank BTN 13 Juni 2012. Dalam hal ini majelis hakim menolak permohonan kasasi dari PT. Bank Tabungan Negara karena alasan kasasi tidak dapat dibenarkan. Dari gambaran kasus tersebut, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai kedudukan kreditor separatis dalam eksekusi harta jaminan debitor pailit dan sejak kapan kreditur separatis dapat mengeksekusi harta debitor pailit, sehingga penulis mengangkat topik penelitian ini dengan judul Kedudukan Kreditor Separatis Sebagai Pemegang Hak Jaminan Dalam

Melaksanakan Hak Eksekutorial Harta Debitor Yang Dinyatakan Pailit (Studi Kasus : Putusan Nomor 758 L/Pdt.Sus/2012). RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana kedudukan kreditor separatis dan pelaksanaan hak eksekusi harta jaminan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailtan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang? 2. Bagaimana upaya hukum kreditur separatis dalam melaksanakan haknya terhadap putusan pailit P.T Mitra Safir Sejahtera? 3. Apakah putusan Hakim Mahkamah Agung sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. TUJUAN PENELITIAN 1. Menjelaskan kedudukan kreditor separatis dan pelaksanaan waktu mulai berlakunya hak kreditor separatis sebagai pemegang hak jaminan dalam melaksanakan hak eksekusi harta debitor yang pailit sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 2. Menjelaskan upaya hukum kreditur separatis dalam melaksanakan haknya terhadap putusan pailit PT. Mitra Safir Sejahtera. 3. Menjelasakan apakah putusan hakim Mahkamah Agung sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif akan berdasarkan kepada bahan kepustakaan dan juga peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kedudukan kreditor separatis sebagai

pemegang hak jaminan dalam melaksanakan hak eksekutorial harta debitor yang dinyatakan pailit. Bentuk penelitian tersebut dipilih oleh penulis untuk memberikan paparan normatif yang berkaitan dengan hukum yang terkait dalam melakukan penelitian ini. Adapun tipologi penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan kreditor separatis dan pelaksanaan waktu mulai berlakunya hak kreditor separatis sebagai pemegang hak jaminan dalam melaksanakan hak eksekusi harta debitor yang pailit sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menjelaskan upaya hukum kreditur separatis dalam melaksanakan haknya terhadap putusan pailit PT. Mitra Safir Sejahtera dan Penelitian juga akan memberikan penjelasan mengenai apakah putusan hakim Mahkamah Agung sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Selanjutnya jenis data yang dipergunakan penulis adalah data sekunder, yakni dengan data yang diperoleh dari kepustakaan. Dalam memperoleh data penulis akan mengambil dari berbagai literatur berupa buku teks, jurnal, skripsi maupun tesis. Pembahasan dengan data sekunder dilakukan dengan mendatangi perpustakaan, pusat dokumentasi, dan dari bahan pustaka yang dimiliki oleh penulis. Adapun jenis bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer diantaranya yaitu Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bahan hukum sekunder yaitu merupakan bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer, antara lain merupakan buku, jurnal kuliah, artikel ilmiah, skripsi dan juga tesis. 7 Dalam melakukan penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen atau penelusuran kepustakaan, yaitu dengan melakukan analisis isi sehingga ditemukan pesan dan maksud yang terkandung di dalam dokumen-dokumen tersebut. 7 Sri Mamudji,et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2005),hlm.30-31

Pengolahan data dilakukan guna mengadakan sistemasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis, dengan menarik asas-asas hukum dan juga menelaah sistematika peraturan perundang-undangan. Penelitian ini akan disajikan berupa laporan penelitian dalam bentuk deskriptif analitis, yang mana dilakukan dengan cara mengumpulkan data, menyusun, mengklasifikasi serta menganalisa data-data yang diperoleh. Dengan demikian diperoleh penjelasan secara utuh guna memahami kedudukan kreditor separatis dan pelaksanaan waktu mulai berlakunya hak kreditor separatis sebagai pemegang hak jaminan dalam melaksanakan hak eksekusi harta debitor yang pailit sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, upaya hukum kreditur separatis dalam melaksanakan haknya terhadap putusan pailit PT. Mitra Safir Sejahtera dan menjelaskan apakah putusan hakim Mahkamah Agung sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. PEMBAHASAN Kreditor separatis adalah kreditor yang memiliki jaminan utang kebendaan atau hak jaminan kebendaan seperti pemegang hak tanggungan, hipotek, gadai, fidusia, dan lain-lain. Dikatakan separatis yang berkonotasi pemisahan karena kedudukan kreditor tersebut memang dipisahkan dari kreditor lainnya, dalam arti dia dapat menjual dan mengambil sendiri dari hasil penjualan yang terpisah dengan harta pailit pada umumnya. Dengan adanya kata seolah-olah dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, maka harta separatis tersebut tetap masuk dalam harta budel pailit meskipun dipisahkan dengan harta pailit yang lain. Jadi tidak benar jika dikatakan bahwa harta separatis tidak termasuk dalam harta budel pailit. 8 Bank Tabungan Negara (BTN) yang menerima jaminan hak tanggungan dari PT. Mitra Safir Sejahtera, berkedudukan sebagai kreditor separatis, yang separatisnya dilindungi oleh Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan. Hak Separatis dari Bank Tabungan 8 Munir Fuady,Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek. Cet IV, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2010), hal.97.

Negara (BTN) memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari kreditor konkuren. Kedudukan lebih tinggi yang dimaksud adalah Bank Tabungan Negara (BTN) memiliki hak atas pemenuhan piutang secara preferen, yang berarti pemenuhan pembayaran piutang Bank Tabungan Negara (BTN) didahulukan dari kreditor konkuren. Dimana jaminan kebendaan berupa hak tanggungan yang diberikan oleh PT. Mitra Safir Sejahtera kepada Bank Tabungan Negara (BTN) berupa : a) Tanah dan bangunan yang terletak di Desa Bitung Jaya. Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten (dikenal dengan Pembangunan Proyek Perumahan Graha Roda Mutiara ), dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan. b) Tanah dan Bangunan yang terletak di Desa Sukasari, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang, Provinsi Banten (dikenal dengan Pembangunan Ruko ), dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan. Mengenai pelaksanaan eksekusi harta jaminan, di dalam teorinya eksekusi kreditor pemegang hak agunan atas kebendaan ditangguhkan untuk jangka waktu 90 hari sejak tanggal putusan pailit ditetapkan. Menurut Undang-Undang Kepailitan, Penangguhan dimaksud bertujuan, antara lain untuk: I. Memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian; atau II. Memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; atau III. Memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal. Penjelasan Pasal 56 Ayat (1) UU Kepailitan menjelaskan: Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan, dan baik kreditor maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas benda yang menjadi agunan. Pranata hukum yang disebut sebagai penangguhan eksekusi jaminan utang (stay atau cool down period atau legal moratorium), terjadi karena hukum (by the operation of law), tanpa perlu diminta sebelumnya oleh kurator. Sungguhpun hak untuk mengeksekusi jaminan utang ada ditangan kreditor separatis, kreditor separatis tersebut tidak dapat mengeksekusinya. Untuk masa tertentu, ia masih berada dalam masa tunggu, setelah masa tunggu tersebut berlalu, ia baru diperkenankan untuk mengeksekusi jaminan utangnya. Hak eksekusi kreditor separatis dimulai sejak debitor pailit dinyatakan dalam

keadaan insolvensi hingga paling lambat 2 bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi. Artinya, kesempatan kreditor preferen melaksanakan hak eksekutorialnya hanya 2 bulan. Namun apabila telah lewat batas waktu yang telah ditentukan eksekusi tidak terpenuhi maka kreditur harus menyerahkan barang yang menjadi agunan kepada kurator untuk selanjutnya dijual di depan umum ataupun dilakukan dengan izin Hakim Pengawas. Dalam Kasus ini Bank BTN tidak mengikuti ketentuan pada Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan untuk mengeksekusi harta pailit, walaupun pihak kurator telah mengingatkan kepada pihak Bank BTN tentang masa insolvensi selama 2 bulan yaitu semenjak tanggal 28 Febuari 2012 sampai dengan 28 April 2012 yaitu melalui surat nomor 014/AKH-IN-AS/MSS-PAILIT/VI/2012 tanggal 8 Maret 2012 dimana isinya mengenai pemberitahuan masa insolvensi bagi Bank BTN sebagai kreditor separatis untuk melaksanakan hak eksekusi terhitung sejak tanggal 28 Febuari 2012 sampai dengan tanggal 28 April 2012. Akan tetapi pihak Bank Tabungan Negara mengikuti ketentuan penangguhan eksekusi sesuai dengan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan. Hal yang menjadi dasar hukum pihak Bank BTN untuk tidak mengeksekusi harta pailit PT. Mitra Safir Sejahtera padahal kedudukannya sebagai kreditor separatis yang pertama adalah bahwa surat pemberitahuan masa insolvensi bagi Bank BTN sebagai kreditur separatis untuk melaksanakan hak eksekusi yang dikirimkan oleh kurator tanpa persetujuan hakim pengawas. Kedua, Bank BTN mengikuti Pasal 56 ayat (1) mengenai penangguhan eksekusi 90 hari, karena ternyata jaminan berupa perumahan graha roda di Tangerang merupakan lahan sengketa yang melibatkan pihak ketiga sehingga sesuai Pasal 56 ayat (1) UUK harus ditangguhkan 90 hari. Terakhir yaitu bahwa Bank BTN mengikuti Pasal 178 ayat (1), bahwa penentuan agenda Rapat Pencocokan Piutang dan Verivikasi yaitu 11 April 2012, sehingga jangka waktu paling lambat berakhir hak eksekusi Bank BTN 13 Juni 2012. Penulis dalam hal kasus ini berpendapat bahwa kurator telah melebihi kewenangannya dalam memberikan surat eksekusi kepada kreditor dalam hal ini Bank BTN tanpa melalui persetujuan hakim pengawas, karena pada dasarnya semua hal yang berkaitan dengan pemberesan harta pailit kurator harus memberitahu dan meminta persetujuan kepada hakim pengawas.

Alasan Bank BTN tidak langsung mengeksekusi harta pailit yang kedua ialah karena adanya pihak ketiga dalam jaminan harta pailit. Dalam prakteknya pihak ketiga ini bukanlah berurusan dengan bank, sehingga pihak ketiga ini haruslah berurusan dengan kurator, karena hubungan bilateral pihak ketiga adalah debitor/kurator pihak ketiga, sehingga Pasal 56 ayat (1) terpenuhi yaitu apabila ada pihak ketiga yang meminta menuntut hartanya berada dalam penguasaan debitor atau kurator maka eksekusi kreditor ditangguhkan 90 hari, hal ini sesuai dengan penjelasan pasal 56 ayat (1) agar kurator dapat melaksanakan tugasnya secara maksimal untuk menyelesaikan pihak ketiga yang ada pada jaminan Bank BTN. Dalam kasus ini seharusnya Bank BTN tidak bisa secara sepihak mengambil keputusan bahwa dapat secara langsung menangguhkan eksekusi tanpa memberitahukan kepada kurator maupun hakim pengawas, meskipun Undang-Undang Kepailitan memfasilitasi hal tersebut dalam Pasal 56 ayat (1). Seharusnya Bank BTN yang merasa eksekusi harta pailitnya harus ditangguhkan 90 hari, karena ada pihak ketiga di dalam jaminan tersebut yang juga menuntut bagiannya, Bank BTN tidak dengan sendirinya menangguhkan eksekusi namun hal yang harus dilakukan oleh pihak Bank BTN adalah mengajukan permohonan kepada kurator untuk mengubah syarat penangguhan atau syarat bahwa karena adanya pihak ketiga maka harus dilakukan Penangguhan eksekusi, dan apabila kurator menolak permohonan untuk mengubah bahwa eksekusi harus dilakukan penangguhan, maka Bank BTN dapat mengajukan permohonan kepada hakim pengawas, dan dalam waktu paling lambat satu hari setelah permohonan kepada kurator diterima nantinya hakim pengawas wajib memerintahkan kurator untuk segera memanggil dengan surat tercatat atau kurir, kreditor atau pihak ketiga untuk di dengar pada sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut. Dalam hal ini pengawas wajib memberikan penetapan atas permohonan dalam waktu paling lambat 10 hari setelah permohonan kepada kurator dan nantinya hakim pengawas akan mempertimbangkan bahwa perlindungan kepentingan kreditor dan pihak ketiga yang dimaksud, hal ini sudah diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Kepailitan. Dan mengenai mengenai surat pemberitahuan insolvensi tanpa persetujuan hakim pengawas pada pasal 189 ayat (1), seharusnya kreditor lebih aktif memintanya kepada kurator, dimana kreditor seharusnya bukan hanya menunggu namun juga harus aktif meminta kepada kurator maupun hakim

pengawas mengenai surat pemberitahuan masa insolvensi untuk melaksanakan hak eksekusi dengan persetujuan hakim pengawas, karena hal ini akan berpengaruh pada saat kreditor akan melelang harta pailit, dimana membutuhkan persetujuan hakim pengawas. Penulis juga berpendapat bahwa alasan ketiga Bank BTN untuk tidak mengeksekusi harta pailit karena mengikuti ketentuan Pasal 178 ayat (1) yaitu dimana bank BTN dapat mengeksekusi sesudah rapat pencocokan piutang, menurut penulis Bank BTN tidak perlu menunggu rapat pencocokan piutang untuk dapat mengeksekusi harta pailit karena kedudukannya sebagai kreditor separatis sudah diketahui sejak Bank BTN mengajukan tagihan kepada kurator dan kurator telah melakukan pencatatan asset-asset dari PT. Mitra Safir Sejahtera yang ada pada Bank BTN, sehingga dengan demikian Bank BTN yang telah menyatakan dirinya sebagai kreditor separatis dapat membuktikan keabsahan piutang dan tagihan debitor utangnya telah ada dan kurator juga tidak ada masalah mengenai jumlah atau nilai piutang atau tagihan tersebut, sehingga Bank BTN seharusnya bisa saja melakukan eksekusi langsung. Dan juga bila mengikuti Pasal 55 ayat (1) dijelaskan bahwa Kreditor separatis dapat mengeksekusi harta pailit seolah-olah tidak terjadi kepailitan, sehingga Bank BTN karena kedudukannya sebagai separatis dapat langsung mengesekusi harta pailit tanpa menunggu rapat pencocokan piutang, namun eksekusi tersebut haruslah atas persetujuan hakim pengawas dan kurator. Melihat dari masalah pailitnya PT.Mitra Safir Sejahtera ini, maka upaya hukum yang dapat diajukan bank dari awal yaitu bahwa pada saat Bank BTN memproses pemberian Kredit kepada debitor PT. Mitra Safir Sejahtera, idealnya dalam suatu proses pemberian kredit perbankan, legal officer Bank BTN seharusnya lebih banyak aktif dan berperan mulai pada saat analisa pendahuluan sampai pada pencairannya. Selebihnya, akan lebih banyak ditangani oleh pejabat perkreditan yang oleh perbankan modern saat ini dikenal dengan Account Officer. Sedangkan apabila kredit yang diberikan tersebut menjadi bermasalah, maka akan diserahkan dan diambil alih oleh suatu bagian yang dikenal dengan Settlement Departemen. Dalam kasus Bank BTN ini terlihat bahwa petugas kredit yang kurang hati hati dalam memberi kredit ke debitur juga pihak manajemen yang kurang memahami mengenai manajemen resiko kredit sehingga kredit ini bisa disebut juga kredit yang macet. Manajemen hanya percaya kepada petugas kredit dan hanya melihat jaminan kredit mencukupi apa tidak dan bila jaminan kredit sangat

mencukupi, manajemen langsung menyetujui permohonan kredit tersebut. Padahal seharusnya legal officer Bank BTN harus menggunakan pertimbangan yang lazim digunakan untuk mengevaluasi calon nasabah yang sering disebut dengan prinsip 5C atau the five 5C principles dan prinsip ini harus dipegang dan di mengerti serta dilaksanakan oleh petugas kredit ataupun legal officer, Prinsip 5 C itu antara lain adalah caracter (karakter), collateral (jaminan kredit), capacity (kapasitas), capital (modal), condition economy. Prinsip dasar ini merupakan prinsip awal sebelum pencairan kredit walaupun sebenarnya banyak aspek lain yang mendukung dan sangat berpengaruh terhadap analisa dan hal tersebut sangat umum dilakukan namun demikian hal diatas hanya sebagai filter awal dalam menyeleksi customer yang akan meminjam uang dari bank. Peraturan Bank Indonesia juga telah menerapkan bahwa dalam pemberian kredit, Bank harus mengikuti Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah ( Know Your Customer Principles). Dalam menerapkan prinsip mengenal nasabah dijelasakan bahwa Bank wajib: a. Menetapkan kebijakan penerimaan Nasabah; b. Menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi Nasabah; c. Menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi Nasabah; d. Menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Dan juga sebelum melakukan hubungan usaha dengan Nasabah, Bank wajib meminta informasi mengenai: a. Identitas calon Nasabah; b. Maksud dan tujuan hubungan usaha yang akan dilakukan calon Nasabah dengan Bank; c. Informasi lain yang memungkinkan Bank untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah; dan d. Identitas pihak lain, dalam hal calon Nasabah bertindak untuk dan atas nama pihak lain.

Dalam Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia mengenai prinsip mengenal customer dijelaskan bahwa Bank wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah Bank. Ketentuan-ketentuan ini seharusnya Bank BTN sudah harus ikuti dari awal pemberian kredit kepada debitor PT. Mitra Safir Sejahtera karena hal yang paling mendasar untuk mencegah timbulnya kredit bermasalah atau kredit macet adalah setelah pencairan kredit dimana bila kredit dicairkan bukan berarti masalah selesai justru sebaliknya, masalah akan dihadapi bank sampai lunasnya pemberian kredit tersebut. Oleh karena itu seharusnya dari awal Bank BTN harus secara intens monitoring debitur PT. Mitra Safir Sejahtera agar dalam penggunaan uang tidak melenceng dari rencana semula sesuai dengan permohonan kredit dan juga seharusnya Bank BTN mengunjungi debitur pada periode tertentu atau secara teratur, memantau perkembangan pembayaran angsuran setiap bulannya dan apabila terjadi kelambatan segera dicari penyebabnya serta Bank harus aktif meminta laporan keuangan setiap tiga bulan sekali dari debitur. Bila debitur dalam angsuran pembayaran setiap bulan sering mengalami keterlambatan hendaknya cukup waspada dan perlu monitor lebih aktif. Upaya Hukum Bank BTN saat proses pembuatan akta hak tanggungan sebagai jaminan kredit kepada debitor PT. Mitra Safir Sejahtera sebaiknya Bank BTN harus lebih berhati-hati walaupun pada awalnya tidak ada pihak ketiga, namun pada akhirnya terikatnya pihak ketiga dalam kasus ini. Dapat diketahui hak tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang tertentu yang dibebankan pada hak atas tanah, baik termasuk mapun tidak termasuk benda-benda yang ada di atas tanah tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, pemegang hak tanggungan mana diberikan hak untuk diutamakan/ didahulukan terhadap kreditor-kreditor lainnya. Untuk itu harusnya Bank BTN memeriksa dan meyakini keadaannya adalah apakah tanah tersebut tidak sementara dibebani dengan hak tanggungan oleh pihak atau kreditur lainnya. Apabila diatas tanah tersebut terdapat pembebanan hak tanggungan, maka pada saat eksekusinya nanti pihak bank tidak akan didahulukan pembayarannya. Hal-hal yang harus diperiksa dan diyakini kebenarannya dan keadaannya adalah keadaan tanah, luas, bentuk, batasbatas dan objek yang ada di atas tanah tersebut, berdasarkan sertifikat/tanda bukti hak atas tanah yang akan dijadikan jaminan kredit tersebut. Memeriksa kebenaran, keaslian

dan keabsahan sertifikat tanda bukti hak atas tanah tersebut pada kantor Badan Pertanahan Nasional dan memastikan bahwa tidak ada sengketa dan tidak sementara dibebani dengan hak tanggungan atau dialihkan dengan hak-hak sementara. Menurut penulis dalam hal adanya konsumen yang menjadi pihak ketiga sehingga menghambat eksekusi harta pailit PT. Mitra Safir Sejahtera memanglah kurangnya prinsip kehatihatian Bank BTN. Dari awal ketika membuat akta pemberian Hak Tanggungan tidak ada masalah namun ketika PT. MSS pailit dan eksekusi ternyata ada konsumen yang menyatakan bahwa mereka telah membeli tanah untuk pembangunan proyek perumahan, dalam hal ini BTN kurang monitoring debitur PT.Mitra Safir Sejahtera pada periode tertentu atau secara teratur untuk melihat perkembangan PT. Mitra Safir Sejahtera, maka terjadilah itikad buruk debitor untuk menjual hak tanggungan tersebut kepada pihak ketiga. Di dalam kasus dijelaskan bahwa kurator mengirimkan surat Nomor 14/AKH-IN- AS/MSS-PAILIT/III/2012 tanggal 8 Maret 2012, perihal surat pemberitahuan masa insolvensi untuk melaksanakan hak eksekusi, dimana atas penetapan masa insolvensi tersebut tanpa persetujuan hakim pengawas dan tertuju kepada karyawan yang tidak berkompeten. Memang pada faktanya hal ini merupakan salah satu kesalahan kurator sebab Pasal 189 ayat (1) UUK-PKPU menyatakan kurator wajib menyusun suatu daftar pembagian. Daftar pembagian tersebut harus dimintakan persetujuan oleh kurator kepada hakim pengawas. Dan juga dapat dilihat bahwa betapa pentingnya persetujuan hakim pengawas dalam daftar pembagian budel pailit sebab Pasal 192 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan menyatakan daftar pembagian yang telah disetujui oleh hakim pengawas wajib disediakan di kepaniteraan pengadilan agar dapat dilihat oleh para kreditor selama tenggang waktu yang ditetapkan oleh hakim pengawas pada waktu daftar tesebut disetujui. Berapa lama waktu bagi penyediaan daftar pembagian piutang yang telah disetujui oleh hakim pengawas di kepaniteraan pengadilan niaga, harus ditetapkan oleh hakim pengawas, Undang-Undang Kepailitan tidak menentukan jangka waktu tersebut. Jadi sekalipun tidak ditentukan oleh Undang-Undang Kepailitan, sebaiknya salinan daftar pembagian piutang tersebut ditempatkan pula di kantor kurator, agar dapat dilihat oleh para kreditor selama tenggang waktu yang telah ditetapkan oleh hakim pengawas sebagaimana dimaksud diatas. Oleh karena itu menurut penulis upaya Hukum Bank BTN

saat mengetahui PT. Mitra Safir Sejahtera Pailit dan Kurator memberikan surat pemberitahuan masa insolvensi untuk melaksanakan hak eksekusi tanpa persetujuan hakim pengawas yaitu Bank BTN tidak boleh hanya menunggu surat pemberitahuan untuk eksekusi yang ada persetujuan hakim pengawas dan langsung dengan sepihak menangguhkan eksekusi, karena Bank BTN sebagai kreditor separatis harus berperan aktif, hal ini karena Bank BTN memiliki hak yang didahulukan dalam mengeksekusi harta pailit, sehingga sebagai pihak yang ingin hartanya di dahulukan maka Bank BTN seharusnya mengambil inisiatif untuk meminta surat pemberitahuan untuk eksekusi yang sudah ada persetujuan hakim pengawas, kepada kurator maupun hakim pengawas. Di dalam kasus ini juga dijelaskan bahwa adanya pihak ketiga yaitu konsumen sehingga menurut Bank BTN, eksekusi ditangguhkan 90 hari sejak pernyataan pailit diucapkan, hal ini sesuai dengan Pasal 56 ayat (1) UUK-PKPU. Dalam kasus ini seharusnya Bank BTN tidak bisa secara sepihak mengambil keputusan bahwa dapat secara langsung menangguhkan eksekusi tanpa memberitahukan kepada kurator maupun hakim pengawas. Upaya hukum yang seharusnya dilakukan pihak Bank BTN adalah mengajukan permohonan kepada kurator untuk mengubah syarat penangguhan atau syarat bahwa karena adanya pihak ketiga maka harus dilakukan Penangguhan eksekusi dan apabila kurator menolak permohonan untuk mengubah bahwa eksekusi harus dilakukan penangguhan, maka Bank BTN dapat mengajukan permohonan kepada hakim pengawas, dan dalam waktu paling lambat satu hari setelah permohonan kepada kurator diterima nantinya hakim pengawas wajib memerintahkan kurator untuk segera memanggil dengan surat tercatat atau kurir, kreditor atau pihak ketiga untuk di dengar pada sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut. Dalam hal ini hakim pengawas wajib memberikan penetapan atas permohonan dalam waktu paling lambat 10 hari setelah permohonan kepada kurator dan nantinya hakim pengawas akan mempertimbangkan bahwa perlindungan kepentingan kreditor dan pihak ketiga yang dimaksud. Dan menurut penulis, upaya hukum yang bisa dilakukan Bank BTN yaitu Peninjauan Kembali, karena kasus ini sudah pada tingkat Kasasi. Pada dasarnya, prosedural administrasi pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat 2 huruf (a) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 yang berbunyi, setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat

menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di pengadilan sudah ada, tetapi belum bisa ditemukan, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat 2 huruf (b) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 yang berbunyi, dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap. Putusan hakim Mahkamah Agung kurang tepat karena apabila hakim membenarkan tindakan kurator yang mengirimkan surat pemberitahuan masa insolvensi untuk melaksanakan hak eksekusi kepada kreditor tanpa persetujuan hakim pengawas, hal ini sudah melanggar ketentuan di dalam Undang-Undang Kepailitan, karena pada dasarnya setiap tindakan kurator untuk pengurusan dan pemberesan harta pailit harus dengan konsultasi dan persetujuan hakim pengawas. Jika tindakan kurator yang memerlukan persetujuan dilaksanakan tanpa adanya persetujuan terlebih dahulu dari hakim pengawas, kurator dapat dimintai pertanggungjawaban karena hal ini telah melampaui wewenang kurator. Menurut Pasal 72 Undang-Undang Kepailitan, kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit. Dari ketentuan Pasal 72 tersebut, kurator bukan saja bertanggung jawab karena perbuatan yang dilakukannya dengan sengaja, tetapi juga karena kelalaian. Sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 72 maka kurator dapat digugat dan wajib membayar ganti kerugian apabila kelalaiannya, lebih-lebih lagi karena kesalahannya dilakukan dengan sengaja telah menyebabkan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap harta pailit, terutama kreditor konkuren dirugikan. Dilain sisi hakim Mahkamah Agung kurang tepat dalam mengambil keputusan ini, karena para pihak disini juga adanya kelalaian yaitu kurator, hakim pengawas dan juga kreditor, dimana Hakim pada dasarnya dalam Undang-Undang Kepailitan bersifat pasif, dan kreditor yang harus bersifat aktif.

Kelalaian kurator dan hakim pengawas ialah bahwa adanya hubungan yang tidak sejalan atau dua arah, dimana kurator memberikan surat pemberitahuan masa insolvensi untuk melaksanakan hak eksekusi harta pailit tanpa persetujuan hakim pengawas. Padahal kurator tidak sepenuhnya bebas dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit, dimana kurator senantiasa berada di bawah pengawasan hakim pengawas. Tugas hakim pengawas adalah mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit yang menjadi tugas kurator 9. Hakim pengawas menilai sejauh manakah pelaksanaan tugas pengurusan dan atau pemberesan harta pailit yang dilaksanakan oleh kurator dapat dipertanggungjawabkan kepada debitor dan kreditor. Dalam kondisi inilah diperlukan peran pengawasan oleh hakim pengawas. Oleh karena itu, kurator harus menyampaikan laporan kepada hakim pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap tiga bulan. 10 Dalam kasus ini juga seharusnya kreditor harus berperan aktif dalam meminta surat pemberitahuan masa insolvensi untuk melaksanakan hak eksekusi yang ada persetujuan hakim pengawas dan tidak langsung secara sepihak menangguhkan eksekusi tanpa melaporkan kepada kurator atau hakim pengawas walaupun undang-undang memfasilitasi hal tersebut dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, karena pada dasarnya Kreditur adalah pihak yang aktif sedangkan yang berpiutang atau debitur adalah pihak pasif. 11 KESIMPULAN Dari uraian bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan dari penelitian ini bahwa: 1. Kedudukan Bank BTN yang menerima jaminan hak tanggungan dari PT. Mitra Safir Sejahtera, berkedudukan sebagai kreditor separatis. Pelaksanaan hak eksekusi harta jaminan PT. Mitra Safir Sejahtera sebagai kreditur separatis menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada Pasal 55 ayat(1) bahwa dapat mengeksekusi harta pailit seolah-olah tidak terjadi 9 Pasal 65 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 10 Pasal 74 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 11 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: PT. Citra Adityabakti, 1991), hal.

kepailitan. Namun di dalam kasus ini terdapat beberapa kelalaian kreditor dan juga kurator sehingga hak eksekusi harus ditangguhkan karena kurator telah melebihi kewenangannya dalam memberikan surat pemberitahuan masa insolvensi untuk melaksanakan hak eksekusi kepada Bank BTN tanpa melalui persetujuan hakim pengawas dan adanya pihak ketiga dalam jaminan harta pailit pada proyek perumahan grada roda mutiara. 2. Upaya hukum yang dapat diajukan bank dari awal pemberian kredit menggunakan pertimbangan untuk mengevaluasi calon nasabah dengan prinsip 5C dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, berhatihati Saat proses pembuatan akta hak tanggungan sebagai jaminan kredit kepada debitor PT. Mitra Safir Sejahtera, dan melakukan monitoring terhadap debitur PT.Mitra Safir Sejahtera, Bank BTN meminta surat pemberitahuan untuk eksekusi yang ada persetujuan hakim pengawas, mengajukan permohonan kepada kurator atau hakim pengawas untuk mengubah syarat penangguhan atau syarat bahwa karena adanya pihak ketiga maka harus dilakukan Penangguhan eksekusi dan yang terakhir Bank BTN dapat melakukan Peninjauan Kembali. 3. Putusan hakim Mahkamah Agung pada tingkat kasasi tidak sesuai dengan Undang- Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. SARAN 1. Undang-Undang Kepailitan seharusnya mengatur tentang kedudukan kreditor pemegang Hak Tanggungan secara konsisten dan sesuai dengan prinsip hukum kepailitan. Jadi pemegang Hak Tanggungan dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Maka pemerintah hendaknya melakukan penyempurnaan berupa perubahan dari Undang-Undang Kepailitan itu sendiri. 2. Bank dalam memberikan persetujuan kredit kepada debitur didasarkan pada penilaian yang total atas permintaan kredit dan atas diri deitur, yaitu kelayakan permintaan kredit yang diajukan oleh debitur dengan perkiraan keadaan ekonomi dan usaha yang dijalani

debitur baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, untuk menghindari dari risiko kredit macet. DAFTAR REFERENSI Badrulzaman, Mariam Darus. Perjanjian Kredit Bank. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991. Barulzaman, Mariam Darus. Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Hukum Bisnis,Volume 11.2000. Fuady Munir. Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktek. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. Hak Eksekutorial Kreditor Separatis: Kapan Dapat Dilaksanakan? http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20364/hak-eksekutorial-kreditor-separatiskapan-dapat-dilaksanakan. Diunduh pada tanggal 9 Oktober 2014. Indonesia, Undang- Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. LN No.131 Tahun 2004, TLN No.4443. Undang-Undang Kepailitan yang mengamputasi Undang-Undang Hak Tanggungan http://hery-shietra.blogspot.com/2013/10/undang-undang-kepailitan-yang.html. Diunduh pada tanggal 11 Oktober 2014. Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan. Jakarta: Grafiti,2010. Widjaja Gunawan & Ahmad Yani. Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002. Wignojosumarto, Parwonto. Peran dan Hubungan Hakim Pengawas dengan Kurator/Pengurus serta Permasalahannya dalam Praktik Kepailitan dan PKPU, (Makalah Disampaikan pada Lokakarya Kurator dan Hakim Pengawas: Tinjauan Secara Kritis. Jakarta 30-33 Juli 2002.